TUTY S
Lahir di Bandung. Pendidikan : Lepas SLP melanjutkan ke SKP dan Akademi Teater Nasional Indonesia. Masuk dunia film sebagai pemain tahun 1955 lewat film "Hanya Sepekan", sebagai pemain. Kemudian dilanjutkan dalam "Senyum Derita" (1955), "Korupsi" (1956), "8 Pendjuru Angin" (1957), "Se-sudah Subuh" (1958), "Detik Detik Revolusi" (1959), "Pesta Musik La Bana"(1960), "Asrama dan Wanita" (1961), "Bintang Ketjil" (1963), "Diambang Fadjar" (1964), "Minah Gadis Dusun" (1966), masih menggunakan nama Tuty Soeprapto. Tahun 1971 mendirikan perusahaan film yang bernama "Tuty Jaya Film" dengan produksi pertamanya "Tiada Maaf Bagimu" (1971). Selain sebagai produser Tuty juga sebagai pemain utama dalam film tersebut. Produksi selanjutnya adalah : "Yatim" (1973), "Jimat Benyamin" (1973), "Perawan Malam" (1974), "Si Kabayan" (1975), "Tante Sex" (1976). Tahun 1977 ia mendirikan P.T. Diah Pitaloka Film di Bandung, sedangkan P.T. Tuty Jaya Pict diserahkan kepada anaknya Gatot Teguh Arifianto. Meski telah punya perusahaan sendiri, Tuty yang awet muda itu masih juga bersedia main dalam film-film yang diproduksi oleh perusahaan lain. Pada 1978 Diah Pitaloka membikin film "Mat Peci", di mana Tuty ikut main.
Tiada Maaf Bagimu merupakan film Indonesia pertama yang berani membawakan adegan lesbian.
Film itu seolah-olah menjadi awal sebuah tren. Judul lain yang membawakan tema serupa berjudul Jang Djatuh di Kaki Lelaki. Entah ada unsur kesengajaan atau tidak, keduanya dirilis pada saat yang berdekatan, yakni pertengahan 1971.
Semenjak Orde Baru resmi berkuasa pada 1968, perfilman Indonesia sempat mengalami fase yang menggembirakan. Industri yang tadinya lesu mendadak kembali berenergi. Kecenderungan tema yang semula diisi film-film pembangunan lantas lebih berorientasi kepada kisah-kisah perkotaan yang diwarnai segala bentuk eksperimen adegan semi-seks, salah satunya seks lesbian.
Adegan lesbian merupakan hal baru dalam perfilman kala itu. Akibatnya, Tiada Maaf Bagimu harus melalui jalan terjal ketika harus berhadapan dengan gunting sensor Orde Baru yang terkenal tajam tetapi juga labil saat menghadapi adegan ranjang. Lain halnya dengan Jang Djatuh di Kaki Lelaki yang lolos kriteria sensor tetapi sempat dicekal di luar negeri.
Semenjak Orde Baru resmi berkuasa pada 1968, perfilman Indonesia sempat mengalami fase yang menggembirakan. Industri yang tadinya lesu mendadak kembali berenergi. Kecenderungan tema yang semula diisi film-film pembangunan lantas lebih berorientasi kepada kisah-kisah perkotaan yang diwarnai segala bentuk eksperimen adegan semi-seks, salah satunya seks lesbian.
Adegan lesbian merupakan hal baru dalam perfilman kala itu. Akibatnya, Tiada Maaf Bagimu harus melalui jalan terjal ketika harus berhadapan dengan gunting sensor Orde Baru yang terkenal tajam tetapi juga labil saat menghadapi adegan ranjang. Lain halnya dengan Jang Djatuh di Kaki Lelaki yang lolos kriteria sensor tetapi sempat dicekal di luar negeri.
Tiada Maaf Bagimu merupakan film pertama yang diproduksi
perusahaan Tuty Jaya Pictures milik aktris Tuty Suprapto. Perusahaan itu
baru dibentuk sekitar Februari 1971, bertepatan dengan hari ulang tahun
Tuty yang ke-35.
Tuty Suprapto memang punya sikap apresiasi tersendiri terhadap adegan erotis dalam film Indonesia sepanjang 1970-an. Jauh sebelum era boom seks dimulai, Tuty sudah memulai tren adegan telanjang bulat (hanya berbalut kain tipis) dalam film Dibalik Pintu Dosa (1970) buatan rumah produksi Agora Film.
Terguran pemerintah terhadap Dibalik Pintu Dosa akibat adegan erotis yang berlebihan tampaknya tidak cukup untuk menggertak Tuty. Produksi film perdananya malah disulap menjadi film lesbian atas bantuan penulis Motinggo Boesje yang piawai mengolah cerita panas. Motinggo Boesje pulalah yang bertanggung jawab di balik kadar erotis Dibalik Pintu Dosa.
Tuty Suprapto memang punya sikap apresiasi tersendiri terhadap adegan erotis dalam film Indonesia sepanjang 1970-an. Jauh sebelum era boom seks dimulai, Tuty sudah memulai tren adegan telanjang bulat (hanya berbalut kain tipis) dalam film Dibalik Pintu Dosa (1970) buatan rumah produksi Agora Film.
Terguran pemerintah terhadap Dibalik Pintu Dosa akibat adegan erotis yang berlebihan tampaknya tidak cukup untuk menggertak Tuty. Produksi film perdananya malah disulap menjadi film lesbian atas bantuan penulis Motinggo Boesje yang piawai mengolah cerita panas. Motinggo Boesje pulalah yang bertanggung jawab di balik kadar erotis Dibalik Pintu Dosa.
Dibalik Pintu Dosa dan Tiada Maaf Bagimu menjadi dua dari
tiga film yang ditegur langsung oleh Badan Sensor Film (BSF) pada Juli
1971. Tak hanya ditegur, Ketua Badan Sensor R.M. Sutarto juga memanggil
pihak yang berwewenang di balik layar.
Sebagai direktur Tuty Jaya Pictures, mau tak mau Tuty harus hadir. Dia menghadap Sutarto sekitar awal Juli 1971. Kepada Sutarto, Tuty meyakinkan bahwa tokoh yang dibawakannya dalam Tiada Maaf Bagimu membawa pembelajaran tentang keretakan hubungan keluarga.
“Meskipun anak itu hidup mewah, mereka pada tidak betah, berantakan, sementara ibunjapun tidak keruan,” kata Tuty, seperti dikutip Tempo.
Sutarto tampaknya bukan orang yang lembek dalam perkara seks. Orang lama dalam kepengurusan Perusahaan Film Negara (PFN) sejak era Sukarno itu tidak berhasil diyakinkan Tuty. Bahkan dikabarkan, Tuty hampir menangis karena adegan ciuman lidah dalam filmnya dipotong habis oleh sensor.
Film Jang Djatuh di Kaki Lelaki punya kisah lain lagi saat harus berhadapan dengan reaksi masyarakat film. Seniman-seniman berduyun-duyun memuji film lesbian kedua itu karena digarap dengan mempertimbangkan teori psikologi tentang perilaku sadisme dan lesbianisme. Pujian ini salah satunya dilayangkan Asrul Sani, penulis sekaligus sutradara film, sebagaimana diwartakan dalam Ekspres (15/9/1972).
Ketimbang film lesbian pendahulunya, film garapan sutradara muda Nico Pelamonia itu cenderung lebih miskin berita miring. Nico memang mengungkapkan bahwa filmnya tidak porno sehingga tidak ada yang perlu diperkarakan.
“Saja tidak ingin membuat film porno. Djalan lain mengkomersilkan film ini masih ada jaitu membuat film itu dengan se-baik2-nja. Bahan-bahan itu keluar dari kreatifitas seorang sutradara,” tutur Nico seperti dikutip Purnama (25/7/1971).
Kumpulan ulasan film yang dikumpulkan Kristanto sejalan dengan klaim Nico itu. Jika dibandingkan dengan film serupa di tahun yang sama, Jang Djatuh di Kaki Lelaki berhasil digarap dengan cukup halus.
Kisahnya dihidupkan di sekitar konflik cinta segitiga perempuan-perempuan yang menjadi lesbian akibat ulah sadis dan pengalaman traumatis berhubungan intim dengan para lelaki. Tampaknya kepiawaian Sjuman Djaya mengadaptasi tulisan Abdullah Harahap menjadi naskah film berperan besar dalam keberhasilan cerita ini.
Sebagai direktur Tuty Jaya Pictures, mau tak mau Tuty harus hadir. Dia menghadap Sutarto sekitar awal Juli 1971. Kepada Sutarto, Tuty meyakinkan bahwa tokoh yang dibawakannya dalam Tiada Maaf Bagimu membawa pembelajaran tentang keretakan hubungan keluarga.
“Meskipun anak itu hidup mewah, mereka pada tidak betah, berantakan, sementara ibunjapun tidak keruan,” kata Tuty, seperti dikutip Tempo.
Sutarto tampaknya bukan orang yang lembek dalam perkara seks. Orang lama dalam kepengurusan Perusahaan Film Negara (PFN) sejak era Sukarno itu tidak berhasil diyakinkan Tuty. Bahkan dikabarkan, Tuty hampir menangis karena adegan ciuman lidah dalam filmnya dipotong habis oleh sensor.
Film Jang Djatuh di Kaki Lelaki punya kisah lain lagi saat harus berhadapan dengan reaksi masyarakat film. Seniman-seniman berduyun-duyun memuji film lesbian kedua itu karena digarap dengan mempertimbangkan teori psikologi tentang perilaku sadisme dan lesbianisme. Pujian ini salah satunya dilayangkan Asrul Sani, penulis sekaligus sutradara film, sebagaimana diwartakan dalam Ekspres (15/9/1972).
Ketimbang film lesbian pendahulunya, film garapan sutradara muda Nico Pelamonia itu cenderung lebih miskin berita miring. Nico memang mengungkapkan bahwa filmnya tidak porno sehingga tidak ada yang perlu diperkarakan.
“Saja tidak ingin membuat film porno. Djalan lain mengkomersilkan film ini masih ada jaitu membuat film itu dengan se-baik2-nja. Bahan-bahan itu keluar dari kreatifitas seorang sutradara,” tutur Nico seperti dikutip Purnama (25/7/1971).
Kumpulan ulasan film yang dikumpulkan Kristanto sejalan dengan klaim Nico itu. Jika dibandingkan dengan film serupa di tahun yang sama, Jang Djatuh di Kaki Lelaki berhasil digarap dengan cukup halus.
Kisahnya dihidupkan di sekitar konflik cinta segitiga perempuan-perempuan yang menjadi lesbian akibat ulah sadis dan pengalaman traumatis berhubungan intim dengan para lelaki. Tampaknya kepiawaian Sjuman Djaya mengadaptasi tulisan Abdullah Harahap menjadi naskah film berperan besar dalam keberhasilan cerita ini.
Kendati dipuji di dalam negeri, Jang Djatuh di Kaki Lelaki tidak mendapat reaksi serupa di luar negeri. Majalah Ekspres
kembali melaporkan bahwa film produksi perusahaan milik aktris dan
pengusaha Tuty Mutia tersebut dilarang beredar di Singapura, meskipun
sudah disensor sebanyak 10% dari keseluruhan film.
Menurut sumber yang sama, unsur lesbianisme secara moral bertentangan dengan tata hidup masyarakat Melayu yang berlaku di Singapura pada 1970-an. Aparat sensor Singapura menganggap serangkaian dialog yang terjadi di antara para perempuan lesbian dalam film tersebut terdengar agak sugestif.
Lain halnya dengan badan sensor di Singapura, BSF menganggap adaptasi tema lesbianisme ke dalam media film cukup beralasan. Ketua BSF Sutarto menyambut baik selama tema lesbianisme yang diutarakan secara konsisten bertutur tentang keadaan aktual masyarakat. Dia mengungkapkan kejadian serupa memang kerap terjadi di Jakarta pada dasawarsa 1970-an dengan berbagai latar belakang masalah.
“Mungkin karena sang suami impoten. Atau kesibukan sang suami jang tidak sempat bergaul dengan isterinja. Jang mengakibatkan si-isteri megadakan hubungan sex sedjenisnya. Si-isteri melakukan hubungan sedjenis, karena mentjegah adanya kehamilan atau tidak menginginkan keguguran,” kata Sutarto dalam wawancara dengan Ekspres.
Menurut sumber yang sama, unsur lesbianisme secara moral bertentangan dengan tata hidup masyarakat Melayu yang berlaku di Singapura pada 1970-an. Aparat sensor Singapura menganggap serangkaian dialog yang terjadi di antara para perempuan lesbian dalam film tersebut terdengar agak sugestif.
Lain halnya dengan badan sensor di Singapura, BSF menganggap adaptasi tema lesbianisme ke dalam media film cukup beralasan. Ketua BSF Sutarto menyambut baik selama tema lesbianisme yang diutarakan secara konsisten bertutur tentang keadaan aktual masyarakat. Dia mengungkapkan kejadian serupa memang kerap terjadi di Jakarta pada dasawarsa 1970-an dengan berbagai latar belakang masalah.
“Mungkin karena sang suami impoten. Atau kesibukan sang suami jang tidak sempat bergaul dengan isterinja. Jang mengakibatkan si-isteri megadakan hubungan sex sedjenisnya. Si-isteri melakukan hubungan sedjenis, karena mentjegah adanya kehamilan atau tidak menginginkan keguguran,” kata Sutarto dalam wawancara dengan Ekspres.
ASMARA DAN WANITA | 1961 | REMPO URIP | Actor | |
IBU DAN PUTRI | 1955 | HA VAN WU | Actor |
DIAMBANG FADJAR | 1964 | PITRAJAYA BURNAMA | Actor | |
DARAH NELAJAN | 1965 | HASMANAN | Actor | |
SENJUM DERITA | 1955 | SIDIK PRAMOMO | Actor | |
TEROR TENGAH MALAM | 1972 | WILLY WILIANTO | Actor | |
ANAKKU SAJANG | 1957 | LILIK SUDJIO | Actor | |
RAMADHAN DAN RAMONA | 1992 | CHAERUL UMAM | Actor | |
KAMAR 13 | 1961 | BASUKI EFFENDI | Actor | |
BERNAFAS DALAM LUMPUR | 1970 | TURINO DJUNAIDY | Actor | |
PERAWAN MALAM | 1974 | BAY ISBAHI | Actor | |
BENGAWAN SOLO | 1971 | WILLY WILIANTO | Actor | |
BINTANG KETJIL | 1963 | WIM UMBOH | Actor | |
ANTARA SURGA DAN NERAKA | 1976 | RATNO TIMOER | Actor | |
DELAPAN PENDJURU ANGIN | 1957 | USMAR ISMAIL | Actor | |
SANTY | 1961 | M. SHARIEFFUDIN A | Actor | |
RATU ULAR | 1972 | LILIK SUDJIO | Actor | |
KORUPSI | 1956 | RD ARIFFIEN | Actor | |
KINI KAU KEMBALI | 1966 | DANU UMBARA | Actor | |
ISTRI DULU ISTRI SEKARANG | 1978 | NAWI ISMAIL | Actor | |
MISTRI RONGGENG JAIPONG | 1982 | MARDALI SYARIEF | Actor | |
SAYANG SAYANGKU SAYANG | 1978 | BAY ISBAHI | Actor | |
DUKUN BERANAK | 1977 | BAY ISBAHI | Actor | |
TRAGEDI TANTE SEX | 1976 | BAY ISBAHI | Actor | |
PERMATA BIRU | 1984 | WIM UMBOH | Actor | |
APA JANG KAUTANGISI | 1965 | WIM UMBOH | Actor | |
PESTA MUSIK LA BANA | 1960 | MISBACH JUSA BIRAN | Actor | |
CINTA SEMALAM | 1983 | I.M. CHANDRA ADI | Actor | |
TIADA MAAF BAGIMU | 1971 | M. SHARIEFFUDIN A | Actor | |
WAJAH TIGA PEREMPUAN | 1976 | NICO PELAMONIA | Actor | |
PENGAKUAN SEORANG PEREMPUAN | 1926 | TURINO DJUNAIDY | Actor | |
GADIS PANGGILAN | 1976 | RATNO TIMOER | Actor | |
GADIS SIMPANAN | 1976 | WILLY WILIANTO | Actor | |
SI KABAYAN | 1975 | BAY ISBAHI | Actor | |
DAN BUNGA-BUNGA BERGUGURAN | 1970 | WIM UMBOH | Actor | |
PEREMPUAN | 1973 | PITRAJAYA BURNAMA | Actor | |
PEREMPUAN HISTRIS | 1976 | RATNO TIMOER | Actor | |
DETIK-DETIK REVOLUSI | 1959 | ALAM SURAWIDJAJA | Actor | |
PRAHARA | 1974 | NICO PELAMONIA | Actor | |
SESUDAH SUBUH | 1958 | DJOKO LELONO | Actor | |
DUEL | 1970 | PITRAJAYA BURNAMA | Actor | |
TANTANGAN | 1969 | PITRAJAYA BURNAMA | Actor | |
GAUN HITAM | 1977 | ALI SHAHAB | Actor | |
PEGAWAI NEGERI | 1956 | RD ARIFFIEN | Actor | |
JIMAT BENYAMIN | 1973 | BAY ISBAHI | Actor | |
DJUDJUR MUDJUR | 1963 | MANG TOPO | Actor | |
GENERASI BARU | 1963 | AHMADI HAMID | Actor | |
ROMANSA | 1970 | HASMANAN | Actor | |
ENAK BENAR JADI JUTAWAN | 1982 | NAWI ISMAIL | Actor | |
MINAH GADIS DUSUN | 1966 | S. WALDY | Actor | |
MAT PECI | 1978 | WILLY WILIANTO | Actor |