Tampilkan postingan dengan label ASRUL SANI 1959-1984. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ASRUL SANI 1959-1984. Tampilkan semua postingan

Senin, 24 Januari 2011

DESA DI KAKI BUKIT / 1972

DESA DI KAKI BUKIT


Desa Semangka mulai terbuka dari keterpencilannya berkat dibangunnya sebuah jembatan. Datang ke desa itu guru Rais yang idealis dan ingin membuat anak desa maju dalam sekolah, bidan Sadiah yang hendak menganjurkan keluarga bencana, tapi ada juga tukang obat dan potret keliling, dan berikut juga seorang pelacur. Dua tokoh terakhir ini dimaksudkan untuk memberi warna kocak pada kisah film. Yang menentang rencana Rais dan Sadiah adalah Said, petani tembakau di desa itu. Perlahan-lahan Said sadar, dan akhirnya mendukung rencana Sadiah dan Rais.

B.P.K.K.
P.T. SRI AGUNG UTAMA FILM

MIEKE WIJAYA
A. HAMID ARIEF
MANSJUR SJAH
JOHNY LESAR
MENZANO
MUTIARA SARUMPAET
RITA ZAHARA
JULIES ROFI'IE
HASSAN SANUSI
DODDY SUKMA
RINA HASSIM
ANDY CAROL


Sutradara Asrul Sani sedang menggarap film "Desa Di Kaki Bukit” di daerah Darma Kuningan. Film tersebut adalah produksi ke IV PT.Sri Agung Utama Film Jakarta. Sedangkan cerita dan skenario film tersebut ditangani sendiri dan shooting daynya diperkirakan menurut sutradara Asrul Sani akan memakan waktu 30 hari saja. Para pendukung dari film tersebut a.l. Mieke Wijaya, Rita Zahara dll.

Saat ini Asrul Sani sedang mengadakan pembuatan film "Desa Di Kaki Bukit", dimana ia berperan sebagai sutradara dan juga penulis skenario film tersebut. Selama seminggu sebelum pembuatan film berlangsung, diadakan latihan-latihan seperti latihan analisa karakter, latihan akting dan vokal dengan harapan agar para pemain betul-betul mampu untuk menjiwai setiap tokoh cerita dalam film tersebut. Film ini bercerita mengenai orang-orang yang menjadi sadar akan kekhilafannya, dimana sebagian penduduk desa awalnya menolak adanya pembaharuan-pembaharuan, pendidikan intelek dan pembentukan keluarga bahagia dengan program keluarga berencana. Film ini merupakan pesanan pemerintah dalam mendukung program Keluarga Berencana dan diharapkan nantinya film ini tidak menjadi film propaganda melainkan menjadi sebuah film bermutu yang bertendens.

Pada bulan Agustus Asrul Sani menyutradarai cerita/skenario film "Desa Dikaki Bukit" yang diproduksi oleh PT. Sri Agung Utama Film. Film ini menceritakan tentang kondisi sosial psikologis suatu masyarakat desa sehubungan dengan adanya pembangunan di tempat tersebut. Bintang-bintang yang terlibat dalam film ini diantaranya Rita zahara, A. Hamid Arif, Hasan, Sanusi, Mutiara Sarumpaet, Johny Lezar, Mansursjah, Mike Wijaya, Menzano, dll. Lokasi film ini mengambil tempat di desa Darma, Kuningan dan diperkirakan akan menghabiskan dana sekitar Rp. 30.000.000,-

KEMELUT HIDUP / 1977

 

Adaptasi dari novel berjudul sama.

Menjelang masa pensiunnya, Abdurahman (Sukarno M. Noor), pegawai suatu departemen yang jujur, rajin, dan sederhana, sudah mempersiapkan diri. Ia berhasil mengantongi ijazah sarjana. Dengan bekal itu ia yakin bisa menjalani pensiunnya dengan tenang bersama enam anaknya. Yang terjadi adalah kebalikannya. Ia tak bisa memperoleh pekerjaan baru.

Susana (Widyawati), anaknya, jadi pelacur. Ina (Sri Widiati), istrinya dalam usahanya mencari uang, jatuh dalam rayuan bapak tirinya sendiri, sampai tertangkap basah oleh istrinya sendiri. Kemelut ini masih ditambah lagi oleh anaknya yang lain, Aminah (Mutiara Sani), yang pulang dari belajar di luar negeri sebelum selesai, karena hamil dan mengalami tekanan jiwa.
 P.T. TRIDHARMA BAKTI

CHITRA DEWI
WIDYAWATI
SUKARNO M. NOOR
AEDY MOWARD
MUTIARA SANI
ADE IRAWAN
PONG HARDJATMO
DARUSSALAM
MUNGKY S. PUSPONEGORO
SRI WIDIATI
MANSYUR SYAHDAN

TAUHID / 1964

TAUHID


Dalam rombongan haji yang hendak ke Mekah terdapat Mayor Udara Mursyid (Ismed M. Noor), guru agama muda (Nurbani Jusuf) dan seorang pengarang (ME Zainuddin).Dalam perjalanan,mereka berkenalan dengan Halim (Aedy Moward), dokter kapal, yang sudah sering bertugas dalam perjalanan ke Tanah Suci, tapi tak tergetar untuk ikut ibadah haji. Berkat dorongan Mursyid dkk, Halim akhirnya ikut ibadah haji. Niat film ini adalah penerangan tentang rukun kelima islam itu.

Film ini resminya produksi Lesbumi (lembaga seni budaya Indonesia), Misbach diminta mendampingi Asrul Sari dalam penulisan skenario dan penyutradaraannya. Jadi rombongan crew film akan melaksanakan naik haji, sekalian shooting juga. Karena saat itu tidak gampang naik haji, harus di undi dan benar-benar di batasi dengan ketat.

PERSARI
DEPARTEMEN PENERANGAN
DEPARTEMEN AGAMA

AEDY MOWARD
M.E. ZAINUDDIN
NURBANI JUSUF
RD MOCHTAR
ISMED M. NOOR
SUKARSIH
MANSJUR SJAH


Film ini rencana awal di lakukan pembuatannya tahun 1963, namun terjegal dan proyek ini terancam gagal gara-gara seorang mentri. Padahal film ini sudah siap shoting, bahkan film ini joint juga dengan kementrian agama. Lalu Djamaluddin mengajak Misbach kerumah menteri agama, K.H.Sjaifudin Zuchry, dialah yang paling terpukul atas peristiwa ini. Tapi nasehat mentri ini agar menunda dulu pembuatan film ini dan dia akan meluruskan masalahnya dengan mentri yang bersangkutan, sampai tahun 1964.

Bung Karno mendukung film ini setelah diyakinkan oleh Asrul Sani. Presiden sebetulnya sudah optimis orang film bisa membuat film agama dengan bagus. Bung Karno tidak mau film agama itu kaku penuh dakwah dan doktrin.

Masa pembuatan film ini akan memakan waktu yang lama. Tanggal 25 Maret 1964 kapal Ambulombo mengangkut crew dan pemain film ke tanah suci. Kercuali Djamaluddin dan Asrul yang harus terbang menyusul crew film ke tanah suci.

APA JANG KAU TJARI PALUPI / 1969

APA JANG KAU TJARI, PALUPI?


Apa Jang Kau Tjari, Palupi? adalah film Indonesia tahun 1969 yang disutradarai oleh Asrul Sani. Film ini diproduksi oleh Dewan Produksi Film Nasional. Apa Jang Kau Tjari, Palupi? terpilih sebagai film terbaik Festival Film Asia pada tahun 1970.

Haidar adalah pengarang yang sedia melarat demi mempertahankan kejujuran dan kebenaran. Sebaliknya sang istri, Palupi (Farida Syuman) adalah wanita yang tak bisa memberikan cintanya kepada siapa pun, kecuali kepada dirinya sendiri. Karenanya, Palupi merasa tidak bahagia, walau telah diizinkan bermain film. Di situ dia merasa iri kepada Putri, kekasih Chalil, sang sutradara. Palupi mendekati Chalil begitu rupa, sehingga sutradara itu menjauhi Putri. Kemudian Palupi tertarik kepada seorang pengusaha muda, Sugito. Melihat hal itu Chalil menjauhi Palupi dan kembali pada kekasih lamanya, Putri. Apa yang sesungguhnya dicari Palupi?


FARIDA FEISOL
PITRAJAYA BURNAMA
ISMED M. NOOR
WIDYAWATI
AEDY MOWARD
SANDY SUWARDI HASSAN
RATIH DARDO
FAKHRI AMRULLAH
JUSMAN
SOFYAN SHARNA
ISHAK SUHAYA
MOH MOCHTAR

FARIDA FEISOL sebagai PALUPI.
Farida Oetoyo /Farida Syuman / Farida Feisol adalah Maestro Balet Indonesia. Lahir di Solo. Orang lebih mengenalnya dengan nama Farida Syuman. Pendidikan: Fine Art of Movement -Singapura, Sekolah Ballet Barbara Todd Canberra, Akademi Tari Bolshoi Moskow (1961-1965). Balerina pendiri sekolah dan perkumpulan tari "Nritya Sundara" (1959) ini, mulai main film tahun 1960 lewat "Laruik Sandjo", sebagai Pemeran Utama. Namun setelah itu, Farida melepaskan diri dari film dan lebih aktif sebagai penari ballet. Tahun 1961 pergi ke Rusia untuk belajar dan kawin di sana tahun 1962 dengan Sutradara Syuman Jaya juga sedang belajar di Akademi Sinematografi Negara di Moskow. Farida kembali lagi bermain film dalam "Apa Yang Kau Tjari Palupi?" (1969), lalu diikuti dengan "Perawan Disektor Selatan" (1971). Sebagai Koreografer, Farida juga telah membuat beberapa koreografi untuk film, diantaranya untuk "Liku Liku Panasnya Cinta" (1976). Terakhir Farida tinggal di Malaysia mengikuti suaminya yang kedua, namun masih tetap aktif sebagai penari dan pengajar di Akademi Tari LPKJ.

PEMBUATAN FILM ASRUL SANI YANG RUMIT

 
 
Untuk pertama kali Indonesia jadi tuan rumah Festival Film Asia (yang diadakan sejak 1954), dan pertama kali pula merebut piala utama, film terbaik, melalui Apa Jang Kau Tjari Palupi? (Asrul Sani)

Pembuatan film "Apa jang kau tjari Palupi" yang merupakan ide dari Asrul Sani sangat rumit karena gambar-gambar yang ditangkap oleh frame kamera semua hanya ada di dalam selaput penglihatan Asrul Sani.

1969 (tahun film ini diproduksi) adalah masa negara ini mulai lepas dari bayang-bayang orde lama. Era geger sama komunisme baru saja lewat 5 tahun. Industri film sedang menggeliat. Geliat ini akan semakin semarak di kurun tahun 70 - 80, lalu meredup di 90an dan kemudian bangkit di 2000an. Jadi dari latar waktu, ini adalah film yang menyongsong harapan baru perfilman nasional. Dengan logika yang saya pas-paskan belaka (cocoklogi), maka film ini saya review biar waktunya pas dengan perayaan hari film nasional yang ke 69 saat ini. Lha pas kan angka tahunnya juga.

Asrul Sani, sastrawan yang menjadi sutradara ini mengangkat karakter perempuan dan kegelisahannya. Palupi adalah karakter yang mewakili kegelisahan perempuan menjelang usia "non kinyis-kinyis". Kalau usia 17 dibilang sweet seventeen karena di usia ini seorang gadis mulai cantik-cantiknya, maka degradasi secara umum adalah ketika mulai masuk usia 30-40an. Karena tidak semua akan menua dengan anggun. Sama juga buat kami para pria. Tak semua penuaan berlangsung dengan gagah semacam Tom Cruise atau Keanu Reeves. Banyak dari kami ketika masuk usia 30 udah keliatan buluk dan arkhaik. Di usianya yang 32, Palupi mulai gelisah. Haidar si suami adalah seniman idealis yang membosankan. Jadi bagi Palupi, cinta saja mulai nggak cukup.

Maka Palupi lari menuju ke dunian yang ia rasa lebih benderang. Kebetulan kawan suaminya si Chalil adalah orang film. Tapi ternyata Chalil tidak bisa menerima Palupi. Palupi pun juga tidak yakin sama hatinya. Toh meski Palupi mencintai Chalil dan kadang merindukan sang mantan, eh dia malah hohohihe sama Sugito. Happinnes is not a simple thing for Palupi.

Makanya apa yang kau cari, Palupi? Maka ia pun kesukaran menjawabnya. Pada gemerlap (diwakili sosok Sugito)? Pada kesunyian (diwakili sosok Haidar)? Pada keteguhan (diwakili sosok Chalil)?

Palupi bukanlah sosok gila harta. Ia hanya bosan. Usia adalah hal signifikan yang jadi pemicu kegelisahan Palupi. Nampaknya ini pun masalah universal yang kita alami saat usia beranjak. Coba ingat, betapa bahagianya kalo anda-anda om dan tante sekalian dipanggil "mbak" atau "mas" ketika masuk minimarket. Ini tentu hal yang gak bisa dirasakan ketika kita masih anak SMA atau kuliahan. Saya sendiri merasakan ironi. Oleh anak SMA dipanggil "pak", tapi sama anak SD dipanggil "mas" (pinter kamu, Nak!).

Palupi, usia 32 sudah dianggap tua. Setidaknya salah satu gadis muda mengejeknya begitu. "Kau setua bibiku!". Jadi Palupi mengira bahwa ia musti berlomba dengan masa agar bisa hidup optimal. Aku musti bahagia, teriak Palupi. Ia musti menikmati hidup di saat ini. Carpediem! Tapi apakah Palupi berhasil? Itu soal lain lagi.

Lewat gambar-gambar noir dan penyuntingan (oleh Janis Badar) yang mengalir, Asrul Sani pun tidak hendak mengkotbahi kita jawabannya. Ia menunjukkan suasana batin Lu lewat musik menyayat gubahan maestro Trisutji Djuliaty Djuham (Trisutji Kamal).

Ini tipe film yang memakai semiotika "nyastra", jarang digunakan oleh film komersil nasional pada masanya. Nyastranya gimana? Simak bagaimana kehidupan artifisial selebriti disimbolkan lewat shot manekin. Manekin itu cantik tapi palsu. Juga lihat bagaimana kelembutan hati seorang lelaki membosankan disimbolkan lewat kegemarannya mengumpulkan kerang. Itu adalah hal remeh temeh yang hanya dipedulikan orang berhati mendalam. Adegan Lu naik truk sampah adalah puncak seluruh ironinya. Segemerlap apapun diri seseorang, ia akan tercampakkan ketika sudah tak bernilai untuk kepuasan orang lain.

Lu... demikian Palupi dipanggil. Mungkin ya kayak elu-elu semua hehehe. Gelisah mencari kebahagiaan yang sebenarnya bisa dicari di dalam hati masing-masing. Setidaknya demikianlah yang dinasehatkan Chalil. Well... dasar Chalil sok-sokan. Kagak semudah itu Chaleeeel...

Apa Jang Kau Tjari, Palupi adalah film dewasa. Dewasa bukan dalam arti "nganu" melainkan menyoroti problematika manusia dewasa. Tema soal pencarian kebahagiaan versus kesetiaan, idealisme versus pasar dan juga pencarian cinta sejati merupakan inti dari film ini.
 

TITIAN SERAMBUT DIBELAH TUDJUH / 1959

TITIAN SERAMBUT DIBELAH TUDJUH

Ini adalah Film pertama Asrul menyutradarai. Sudah pasti cerita yang baik baik, belum tentu di layar tampak baik juga. Karena Asrul biasa bermain dengan kata-kata untuk membuat sebuah imajinasi pembaca, kali ini ia harus membuat gambar yang imajinasi penonton untuk bercerita.
MURNI FILM


TATIEK MALIYATI
S. EFFENDY
ENNY ROCHAENI
A. HADI
ALI YUGO

Film ini dibuat ulang lagi oleh  CHAERUL UMAM dengan judul yang sama  TITIAN SERAMBUT DIBELAH TUJUH dan merubah sedikit skenario Asrul Sani.

Film ini sangat kental dengan keagamaan islam, egoisme, munafik, kekafiran, dan segala dosa yang ada dalam manusia, sehingga seseorang (semacam tugas Nabi) harus melakukan pembaikan terhadap sebuah daerah dengan masyarakatnya yang seperti itu. Ceritanya lebih kepada, bagaimana kebajikan/ sebuah agama belum tersentuh oleh sebuah daerah yang penuh dengan dosa. Dan tugas yang paling berat adalah ulama itu sendiri yang harus memperbaiki mereka kejalan yang benar menurut islam.

Film ini kurang sukses, sehingga Chairul Umam membuat ulang lagi film ini, dan menjadikan sukses.

Film Titian Serambut Dibelah Tujuh (1959) ini sendiri berkisah tentang seorang guru agama muda bernama Ibrohim yang sedang melakukan perjalanan dakwah dan singgah di sebuah desa di Sumatera Barat, kemudian disana terjadi hal-hal amoral yang dilakukan oleh petinggi-petinggi desa yang ditakuti dengan memperkosa seorang gadis kemudian menuduh gadis tersebut telah berzinah. Kemudian dikisahkan dari salah satu petinggi adalah pecinta sesama jenis dan memiliki istri yang memiliki nafsu tidak terpuaskan sehingga akhirnya mengincar ibrohim. Yang lebih ditekankan adalah bagaimana masyarakat sekitar menanggapi keadaan social ini, rupanya mereka acuh, dan mereka sudah mengabaikan nilai-nilai social dan keagamaan bahkan salah satu guru mengaji di desa itu pun tidak berani bertindak apa-apa. Dan disini agama juga digunakan sebagai kedok untuk mendapat kekuasaan, sebagai topeng atas kemunafikan. Perjalanan sang guru agama Ibrohim dalam membuka tabir kemusyrikan dan peliknya konflik social di desa itu harus dilewatinya dengan berbagai macam halangan bagaikan menjalani titian serambut dibelah tujuh.

Tokoh ibrohim dalam film ini merupakan seruan dakwah seorang asrul sani, ia mampu menampilkan sosok yang sangat membumi dan rendah hati meski terkadang terlihat lemah dan naïf. Beberapa adegan bisa membuat penonton geram karena tidak langsungnya terungkap kebejatan si ulama tua ataupun sifat dengki istrinya.

Ketika pada jaman tersebut film nasional didominasi oleh film perang yang sangat eskapis dengan gambar yang fantastis dan memilik artis-artis yang sangat rupawan. Rupanya masyarakat haus dan menantikan film-film yang mampu kembali menyebarkan nilai-nilai social yang tidak lupa berintikan ajaran agama didalamnya. Sedangkan asrul sani yang banyak dipengaruhi oleh keadaan sekitar dan pergaulanya pada saat itu percaya bahwa film adalah alat berekespresi dengan bahasa-bahasa sastra.

Banyak sekali nilai yang bisa didapat melalui ungkapan-ungkapan pada dialog pemainya. Bagaimana tokoh Arsyad (si pemerkosa dan pengangguran di desa tersebut) berlagak bijaksana dalam mengomentari pembangunan mesjid. Lalu tokoh Harun seorang saudagar penguasa disitu begitu disegani dan ditakuti bahkan muncul sifat-sifat penjilat orang kecil yang hingga sekarang masih dekat dengan keseharian masyarakat kita. Kemunafikan kehidupan keluarga harun yang sangat tidak harmonis, dimana ia sendiri adalah homoseksual dan istrinya seorang heteroseksual memiliki imajinasi-imajinasi liar yang berkedok islam. juga karakter halimah yang lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa terhadap peraturan adat setempat yang cenderung konvesional namun menyimpang dari fakta. Dan yang paling mencolok adalah Sulaiman guru Ibrohim yang memiliki ajaran-ajaran yang penuh kompromi dengan monopoli kekuasaan duniawi Harun. Ia memilih diam ketika Halimah di pasung dan menyelamatkan dirinya. Nilai-nilai diatas diangkat cukup dekat dengan ajaran agama dengan benteng-benteng yang kuat dalam menghalau nilai barat yang masuk begitu gencar pada masa itu. Bagaimana menyelesaikan kriminalitas dan konflik tajam didalamnya, dan juga membawa rahmatan lil alimin bagi sekitarnya. Menangkap berbagai potret orang islam yang tersebar di seluruh Indonesia khususnya di ranah minang. Bagaimana kita bisa salah menilai sebuah ajaran agama berdasarkan perilaku penganutnya. Melihat penyimpangan arti surat-surat ataupun hadist nabi dalam berkehidupan pada jaman itu.

FADJAR MENJINGSING DIPERMUKAAN LAUT / 1966

FADJAR MENJINGSING DIPERMUKAAN LAUT

Nelayan-nelayan di sebuah desa nelayan dikuasai sepenuhnya oleh seorang rentenir, hingga sulit lepas dari kemiskinan. Di pihak lain, seorang gadis baru lulus sarjana, jadi pegawai BNI. Ia diharap bisa membantu prinsip bank berjuang, tapi terperosok. Pacarnya menghubungkannya dengan sang rentenir. 
 
Nelayan-nelayan kemudian bersatu membuat serikat nelayan dan berjuang lepas dari cengkeraman rentenir. Sang gadis kemudian sadar dan membantu nelayan. Ia jatuh cinta pada salah satu di antaranya. Sesuai dengan sponsornya, tampaknya ada maksud mempromosikan Bank Negara Indonesia alias BNI.

PERFINI
BANK NEGARA INDONESIA

RAHAYU EFFENDI
MANSJUR SJAH

ATENG MATA KERANJANG / 1975

ATENG MATA KERANJANG


Dengan membuat film ini, berarti Asrul Sani punya ketertarikan untuk mengetes selera humornya ke dalam film.

Dua buruh kasar Ateng dan Iskak berjumpa dengan Edy Sud, seorang doktorandus gadungan dan dua orang eksentrik (Purnomo dan Aedy Moward) yang membawa peta harta karun. Mereka sepakat mencari harta karun itu. Dalam perjalanan, rombongan ini berjumpa dengan dua gadis (Vivi Sumanti dan Mutiara Sani). Ateng dan Iskak mulai ada main dengan dua gadis tadi. Sementara sekelompok penjahat ingin menjarah hasil galian mereka. Ternyata dua orang eksentrik tadi adalah pasien rumah sakit gila yang sedang dicari-cari polisi. Film ini merupakan film komedi yang mempunyai warna agak lain daripada film-film komedi yang biasanya dapat disaksikan masyarakat penonton indonesia dewasa ini. Dialog Ateng Mata Keranjang memang tidak sama dengan dialog film-film lainnya. Disana sini kelihatan Asrul berusaha mengarah kepada satire.
 P.T. SAFARI SINAR SAKTI FILM

ATENG
ISKAK
EDDY SUD
VIVI SUMANTI
MUTIARA SANI
PURNOMO
AEDY MOWARD
AZWAR AN
SAID EFFENDY


JEMBATAN MERAH / 1973

JEMBATAN MERAH


Warung mbok Puspo di pinggiran Kalimas di bawah Jembatan Merah, bagai sebuah tempat pertemuan berbagai jenis profesi. 

Mbok Puspo sendiri sebagai penjual baju bekas, sementara warungnya dititipkan pada anak angkatnya Sudiasih, yang terkenal sebagai kembang warung. Orang-orang yang sering datang ke warung seperti Ngawang, seorang pencopet yang gagal membahagiakan istrinya. Kemudian Kenanga seorang pelacur yang ingin balas dendam suaminya. Siswanto, orang terpelajar yang menaruh hati pada Sudiasih, Pungguk seorang pelukis. Kisah percintaan Siswanto-Sudiasih dan Ngawang-Kenanga menjadi pusat cerita. Melihat pasangan Siswanto-Sudiasih, Ngawang dan Kenanga menemukan kembali cinta mereka. Sementara itu mbok Puspo sedang kebingungan karena akan kedatangan anaknya bersama calon suami dan mertuanya. Datang tawaran dari Sudibyo untuk memakai rumah temannya. Dua jalur kisah tadi seolah melukiskan kisah manusia kecil yang ingin lepas dari kungkungan kemiskinan, atau kisah manusia kecil yang mengapung dalam masyarakat besar.
 P.T. REMADJA ELLYNDA FILM

FIFI YOUNG
SUKARNO M. NOOR
TANTY JOSEPHA
MUTIARA SANI
MANSJUR SJAH
RD MOCHTAR

PARA PERINTIS KEMERDEKAAN / 1977

PARA PERINTIS KEMERDEKAAN

 
Karya sastra besar akan terus relevan menjadi semangat zaman, meskipun penulisnya telah tiada. Sastrawan sekaligus politisi, ulama, dan pendidik, Buya Hamka sangat terkenal dengan karya monumentalnya, novel Di bawah lindungan Kakbah. Tak heran sineas Asrul Sani tertarik mengadaptasi karya beliau ke dalam film. Tahun 1981 lalu, film yang diperankan Cok Simbara dan Camelia Malik tersebut terpaksa diganti judulnya menjadi Para Perintis Kemerdekaan karena pelarangan Orde Baru.

Penangkapan Haji Jalaluddin (Mansyur Syahdan) saat berkhutbah membekas di hati para pengikutnya, termasuk Hamid (Cok Simbara) dan Halimah (Mutiara Sani). Halimah adalah istri yang disia-siakan suami karena pro kepada Belanda, sedangkan Hamid adalah anak saudagar kaya. Ayahnya jatuh miskin dan meninggal setelah dicap sebagai pemberontak. Hamid dibawa ibunya ke Padang dan dibesarkan di keluarga Haji Jakfar (Rendra Karno), ayah Zaenab (Camelia Malik).

Hamid berguru di Padang Panjang dan bertemu dengan kawan lama, Fakhrudin (Arman Effendy) dan Zainudin (Soultan Saladin). Hamid dan Fakhrudin lebih dekat pada pikiran gurunya, sementara Zainudin lebih radikal. Hamid dan kawan-kawan memperjuangkan nasib Halimah. Hamid berlayar menuju Mekkah, karena kecewa Zaenab menikah dengan orang lain. Halimah meneruskan perjuangan, tetapi akhirnya ditangkap Belanda.

Film ini dinominasikan sebagai film terbaik dalam Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia pada tahun 1980.


P.T. TATY & SONS JAYA FILM

NEWS 03 Oktober 1981
Bukan lagi roman hamka 

PARA PERINTIS KEMEDEKAAN Sutradara dan skenario: Asrul Sani Pemain: Mutiara Sani, Soultan Saladin, Camelia Malik, Cok Simbara, Asrul Sani. DIAWALI dengan guntingan-guntingan film dokumenter hitam putih. (tentang kebangunan bangsa-bangsa, ia sesudah perang Jepang-Rusia awal abad ini), Para Perintis Kemerdekaan (PPK) disebut sebagai epos. Tapi ternyata bercerita lebih banyak tentang seorang Halimah, daripada tentang para perintis tersebut. Untuk sebuah tema besar yang bersegi banyak dan bertokoh banyak, Halimah (dengan sejumlah besar close up) terasa terlalu mendominasi cerita--sementara ada beberapa tokoh sentral lain yang layak diberi porsi yang sama. setapapun, judul film kemudian terasa tidak mendapat dukungan sepenuhnya. PPK adalah film Asrul kedua yang berkisah tentang perjuangan kemerdekaan, sesudah Pagar Kawat Berduri (1960-an). Kedua film jelas mewakili kurun masa, setting dan bobot masalah yang jauh berbeda. PPK kalau tidak salah mengambil masa sekitar pemberontakan komunis di Silungkang (Sumatera Barat), 1927. Ada kesan sutradara terdorong untuk menceritakan banyak hal sekaligus praktek pemerintah kolonial Belanda, konflik antar pemuka agama, bentrokan fisik tentara Belanda dan perintis kemerdekaan, juga konflik suamiistri dalam tata-hidup beradat dan beragama di Minangkabau. Tidak dapat dihindarkan tampilnya beberapa tokoh penting - seperti Haji Jalaluddin (mengingatkan pada Syekh Thaher Jalaluddin), Haji Wali (mengingatkan pada Syekh Rasul, ayahanda Hamka dan pendiri Sumatera Tawalib di Padang Panjang), Syekh Mukhtaruddin (mengingatkan pada Syekh Jamil Jambek), Zainuddin (mengingatkan pada Zainuddin pelopor pemberontakan komunis), dan seorang tokoh agama yang tidak jelas namanya yang mengingatkan pada Datuk Batuah, pembawa ideologi Marxis ke perguruan Sumatera Tawalib.

Di samping itu masih ada tokoh Demang dan Sidi Marajo, protip pria Minang zaman itu yang senang berjudi dan sewenang-wenang kepada istri. Dan masih ada Halimah (Mutiara Sani) istri Sidi Marajo, yang dijatuhi hukum nusyuz (tindak menyeleweng) oleh Haji Makmur akibat laporan suami perempuan itu. Bentuk hukuman "Islam" menurut penafsiran setempat itu begini: si istri tidak diberi nafkah lahir-batin oleh suami, tapi juga tidak diceraikan. Dengan demikian wajah Islam di Minangkabau disorot dari beberapa segi dari Haji Jalaluddin, tokoh pergerakan di Padang yang terang-terangan menentang Belanda, dari Haji Wali yang menenung Demang dan secara tidak langsung melawan Belanda, dan dari kasus Halimah. Besar kemungkinan, tema nusyuz diambil untuk menimbulkan efek dramatik paling kuat. Risikonya tentu ada Islam di Minangkabau disorot dari sudut yang paling ekstrim, hingga gambaran yang diperoleh seakan menyempit. Sutradara juga tidak berusaha menyeimbangkan porsi nusyuz dan porsi perjuangan tokoh agama. Karena itu jangan heran bila kemudian digambarkan bagaimana penduduk kota Padang beramai-ramai melempari Halimah dengan batu--karena wanita ini bermaksud menyatakan keluar dari Islam semata-mata karena ingin bebas dari itu bab nusyuz.

Memang ada juga dihidupkan tokoh Haji Wali, pemimpin agama yang berpikiran maju di Padangpanjang. Ia ini mengambil risiko ditangkap Belanda karena mengadakan musyawarah antar pemuka agama--dalam usaha membebaskan Halimah pula. Berkata Haji Wali (dimainkan dengan bagus oleh Asrul sendiri): "Satu persoalan tidak menjadi kecil hanya karena ia menyangkut diri satu orang saja." Sayangnya, bobot kehadiran tokoh ini tidak pula bisa mengimbangi gambaran seperti yang diwakili oleh nusyuz dan sebagainya itu. Tetapi efek dramatik memang benar muncul. Sebagai puncak, diperlihatkan dua arak-arakan Halimah berbaju dan berkain putih, dicemooh dan diludahi khalayak, menuju surau, tempat ia bermaksud mengingkari Islam--meskipun akhirnya tidak. Dan arakan ini bertemu dengan arak-arakan Haji Wali yang menuu penara. Klimaks memang tercapai. Sesudah itu clash bersenjata--antara kelompok Zainuddin dan tentara Belanda. Dan bagian ini seakan lepas. Pemberontakan digerakkan oleh Zainuddin (Soultan Saladin) yang meninggalkan gurunya Haji Wali, karena terpengaruh pikiran Marxis.

Tapi mungkin juga karena ia berdarah panas, kurang perhitungan, seperti yang sebelumnya 2-3 kali ditampakkan. Akan hal ini kita hanya dapat menduga-duga. Informasi tidak cukup. Padahal gejala pembelotan -yang tidak diolah serapi pengolahan bab nusyuz --disamping menarik juga bisa mempertegas wajah Islam maupun wajah Marxis sendiri. Tapi kecenderungan sutradara menghijau merahkan tokoh Zainuddin secara begitu saja, juga terlihat pada semua tokoh penting lain. Termasuk Zainab dan Hamid (Camelia Malik dan Cok Simbara), dua tokoh utama dalam Di Bawah Lindungan Ka'bah karya HAMKA yang dikatakan "mengilhami" film ini, dan yang kehadirannya di layar film ternyata tidak menambah atau mengurangi hobot cerita. Berkembang menurut alur yang dikehendaki sendiri oleh sutradara, dalam film Hamid dikatakan digembleng sebagai pejuang kemerdekaan. Tapi perjuangannya tidak meyakinkan. Konon pula Hamid menulis syair tentang rakyat yang lapar. Hanya itu. Selebihnya ia nampak di layar pulang-balik antara Padang dan Padangpanjang, bertindak sebagai kurir bagi Halimah yang menderita karena nusyuz. Pada akhir film, Hamid nampak pergi berlayar, untuk sementara mengasingkan diri ke negeri orang, hingga tiba saatnya kembali memperjuangkan tanah air. Barangkali memang ada sedikit masalah hak cipta di sini (lihat box). Di atas segala-galanya, film ini lancar. Musik (Idris Sardi) kuat, dan seluruh warna lokal terhidang dengan indahnya. Warna lokal ini menjadi kaya karena hadir lewat pandangan Asrul, seorang pribumi setempat. Dan bukan lewat mata turis seperti yang sering terlihat. Isma Sawitri.

 
03 Oktober 1981
Sang ulama di belakang film

HAMKA memprotes Asrul Sani. Dalam suratnya bertanggal 14 April 1981 kepada produser Para Perintis Kemerdekaan (PPK), Andy Azhar dari PT Tati & Sons Jaya Film, almarhum waktu itu menyatakan keberatan namanya dicantumkan dalarn film tersebut. Padahal sejak pagi-pagi dahulu sudah dipropagandakan, film itu akan menjadi semacam visualisasi roman pendek Di Bawah Lindungan Ka'bah (DBLK) karya Hamka. Dan hak memfilmkannya pun sudah dibeli hampir Rp 2 juta. Apakah ulama yang pujangga itu berbalik pikiran? Tetapi PPK memang boleh dikatakan bukan lagi DBLK (lihat: Bukan Lagi Roman Hamka). Karena itu, kata Hamka dalam suratnya, "untuk sebuah karya yang terhormat Asrul Sani, saya merasa keberatan nama saya dibawa-bawa." Bahkan, dengan agak pahit "Mungkin memang belum saatnya karangan saya difilmkan." Perubahan besar memang telah terjadi. Tetapi Asrul bilang kepada TEMPO "Omong kosong kalau Buya Hamka tidak tahu pengembangan cerita tersebut. " Sebab Hamka sudah memberi sambutan yang simpatik atas skenario yang diberikan Asrul. Bahkan Buya menulis DBLK, "dalam bentuk filmnya tidaklah akan persis sebagaimana naskah aslinya." Sambutan ini bertanggal 4 Agustus 1977. Yang tidak diceritakan Asrul: perubahan apa saja yang telah dibuatnya sejak lebih empat tahun lalu itu. Belum lagi soal pemotongan yang dilakukan kemudian untuk bagian-bagian Zainab & Hamid--yang menjadikan PPK "makin bersih" dari DBLK. Camelia Malik, yang memerankan Zainab, dalam pada itu pernah mengeluh semula ia diberi janji akan menjadi tokoh utama -- nyatanya hanya diberi peranan kecil. Semua itu layaknya memang tidak diketahui Hamka--begitulah dalam suratnya. Hamka jelas.kecewa. Apalagi karena agaknya dulu cukup antusias ulama yang tetap berdarah seniman ini menyuruh mengundang Idris Sardi dan grup musik asli Minang--dan sementara musik bermain, Buya omong-omong dengan Idris yang akan jadiilustratornya. Malah selamatan shooting filmnya sendiri diadakan di aula Masjid Al Azhar. Karena itulah ketika melihat konsep kreditasi film, yang menyatakan "cerita dan skenario Asrul Sani--diilhami oleh . . .," dan seterusnya (yang dalam film nanti akan ditulis besar-besar), suya minta agar namanya tak usah dicantumkan saja. Padahal sebenarnya ada masalah lain lagi.

Dalam surat itu Hamka juga mengingatkan tulisan Asrul dalam kata pengantar skenarionya -- bahwa pengembangan DBLK terutama mengambil bahan dari buku Hamka yang lain, Ayahku --yang memaparkan seluk-beluk pergolakan agama dan kebangsaan rakyat Minang. Tetapi bagi Asrul sendiri, seperti pernah dikatakannya, buku Ayahku bukan satu-satunya. Ia juga memakai sumber-sumber lain, misalnya buku Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 karya Deliar Noer. Dan Deliar memang banyak juga mengutip Ayahku - di samping banyak sumber lain, termasuk buku Sejarah Islam di Sumatera karya Hamka. Tapi mengapa Ayahku tak dicantumkannya? "Bilm bukan seperti buku yang bisa ada catatan kaki," kata Asrul. Bagi Asrul, pencantuman nama Hamka dan DBLK "justru untuk menghormati suya." Asrul rupanya tak melihat kemungkinan lain nama Hamka tidak dicantumkan. Sebaliknya dibuat slide pernyataan terimakasih (kecil saja, tapi jelas dan jujur) kepada pengarang buku Ayahku, buku DBLK, dan pihak lain kalau memang ada. Hanya, nama Hamka--atau nama Ka'bah, atau roman Hamka--memang laris.

BULAN DI ATAS KUBURAN / 1973

BULAN DI ATAS KUBURAN


Judul film ini mengingatkan orang atas karangan Sitor Situmorang atas sajaknya berjudul Malam Lebaran. Saat itu Sitor di penjara karena dianggap kaum kiri (komunisme), ini adalah tafsiran baru dari Asrul terhadap kalimat atau bait tunggal sajak itu.

Dan inilah film Indonesia yang pertama mengisahkan tentang urbanisasi orang Batak ke Jakarta. Sabar ( Aedy Moward), Tigor (Muni Cader) dan Sahat (Rahmat Hidayat) yang Sabar, perantauan orang Batak ke Jakarta yang kurang berjaya. tetapi bergaya kampung halaman dengan gambar bintang film dan janji ketemu menteri Perindustrian. Tigor, pemecah batu di tepi danau Toba yang mengimpikan Jakarta sebagai Sorga. Sahat, pengarang yang mengharapkan Jakarta akan menjadi penerbitnya. Akhir cerita ketiga orang Batak ini dengan pahit menerima kekalahan mereka atas kota Jakarta. Bulan Di Atas Kuburan kata Togar kepada Sahat ketika cobaan pertama (Sabar sebagai supir taxi mendapat kecelakaan fatal) menimpa perantau-perantau itu. Dan bulan diatas kuburan menghantui hidup para urban dari sekitar Danau Toba itu selama mereka berada di Jakarta. Dengan tekat dan hasrat yang keras, sahat dan Tigor mula-mula memang nampak berhasil. Tigor yang berani dan nekad sempat menguasai pelataran parkir yang tadinya diusahakan oleh Kris Biantoro. Bahkan pacar si tukang parkir sempat digaet si Tigor. Sempat menjadi kepala tukang parkir, melebarkan usaha dengan pencucian mobil. Dalam pertikaian memperebutkan wilayah cuci mobil itulah Tigor tewas tertikam. Sedangkan Sahat berhasil menjadi menantu seorang penerbit. Pertemuan Sahat dan Mona (Mutiara Sani) sudah membayangkan akhirnya tragis. Sebagai orang yang diperkenalkan dan muncul dengan harga diri yang teguh, lamaran Mona yang kesepian amat mengejutkan ketika dengan segera diterima oleh Sahat. Diakhir cerita Sahat menceritkan alasannya, Waktu aku mencintaimu, sebenarnya aku tidak mencintaimu. Waktu itu aku memerlukan jalan pendek untuk hidupku.

Jalan pendek itu pun tidak ia peroleh meski pun pada Maruli (Kusno Sudjarwadi), mertuanya, Sahat sudah rela berkompromi dalam hal mutu karangan yang harus dihasilkan. Tetapi Sahat masih lebih beruntung dari dua temannya. Masih tersisa baginya pekerjaan menjual majalah porno setelah di kampung ia bermimpi menjadi penyair besar.

Bagi peminat film Indonesia dari Zaman hitam putih hingga Zaman gemerlap, tema yang digarap Asrul Sani ini sesungguhnya tidak terlalu baru. Kisah orang desa masuk kota sudah dari dulu menjadi makanan sedap bagi para pembuat film yang suka mencari makan di leluconan yang lahir dari kekonyolan orang udik di kota. Tema-tema seperti ini terus menarik sesuai perkembangan jamannya.

Asrul cukup berani dengan memilih orang Batak sebagai objeknya. Pilihan ini membawa konsekuensi berat. Kalau Asrul tidak mengenal watak dan motivasi urban orang Batak, ia toh akhirnya hanya menjadi salah satu nomor dari banyak nomor sutradara film urban sebelumnya. Film ini terasa sekali bataknya.

 P.T. MATARI FILM

AEDY MOWARD
RACHMAT HIDAYAT
KUSNO SUDJARWADI
KRIS BIANTORO
MUTIARA SANI
SOFIA WD
CHITRA DEWI
SAM SUHARTO
MUNI CADER
YANA YUANITA


Film ini Asrul sangat lincah dalam cerita dan juga tokohnya lebih hidup. Awal film saja sudah menarik, Sabar menarik perhatian penonton sambil memancing teka-teki tentang rencana pertemuannya dengan menteri perindustrian setelan putih kemeja merah serta uang yang dibagi-bagikannya kepada para pemain musik, semua ini konon khas perantau Batak yang pulang kampung dan selalu ingin memberi kesan sukses di perantauan. Gaya macam inilah yang sesungguhnya hanya tabir dari kegiatannya sebagai supir taksi di Jakarta yang kemudian ikut mempercepat arus Urbanisasi. Orang macam Sabar, ini tidak pernah menyadari bahwa ketika ia mencoba memberikan gambaran salah tentang dirinya, ia juga telah menjual impian palsu tentang kota yang kadang lebih garang dari yang bisa dibayangkan orang desa yang bersahaja itu.

Sabar yang tidak terlalu beruntung itu tidak pula terlalu risau akan nasibnya. Kecuali keributan dengan Minar (Charita Dewi) semua soal menjadi rutin baginya. Dalam keadaan gawatvdengan istrinya yang melayangkan piring dan sendok, Batak Sabar masih punya humor yang cukup kreatif.Dengan menyodorkan microphon dan merekamnya ke mulut istrinya, ternyata Sabar berhasil menghentikan omelan istrinya.

Selain itu juga solidaritas Batak digambarkan Asrul melalui sikap Sabar kepada Tigor dan Sahat yang terpaksa menumpang di pondok buruknya pinggur rel kereta. Serta optimisme, percaya diri dan sedikit rasa superior juga digambarkan Asrul dengan toko Tigor dengan mudah pendatang baru itu bisa menguasai lapangan parkir berikut sejumlah anak buah untuk akhirnya merencanakan suatu perusahaan pencucian mobil. melalui perjuangan yang berat, Tigor yang banyak diilhami oleh karangan-karangan temannya, Sahat, pada suatu hari sampai pada kenyataan yang pahit. Setelah tertikam ia kembali menjadi manusia biasa. Tergeletak di kereta dorong rumah sakit Tigor menaikan bendera putih. Menyerah kepada Jakarta. Dan Jakarta yang angkuh dan dingin itu hanya menyibakkan sedikit kainnya bagi tempat istrahat jasad Tigor tumpas itu.

Film ini mengisahkan kehidupan nyata manusia yang kita kenal, dengan pemain yang baik mainnya.

Melihat Sabar (Aedy Moward) memamerkan suksesnya di kampung, maka dua Batak muda, Tigor (Muni Cader) dan Sahat (Rachmat Hidayat) datang ke Jakarta berbekal alamat Sabar. Impian dan harapan langsung musnah. Sabar tinggal di gang kampung kumuh yang mencarinya setengah mati, dan hanya seorang sopir oplet, dan kehidupan rumahtangganya dipenuhi cekcok dengan istrinya, karena Sabar sendiri penuh khayal. Maka Sahat dan Tigor berusaha hidup di Jakarta dengan caranya masing-masing. Tigor yang merasa akan melipat Jakarta, lalu menjadi penguasa sebuah kawasan parkir, mati dikeroyok tukang parkir dan cuci motor. Sahat yang bercita-cita jadi penulis besar, merelakan diri mengawini Mona, putri seorang penerbit buku untuk melancarkan jalannya. Sabar sendiri mati saat kendaraannya terguling. Semua tak menemukan bulan yang dicari. Boleh dikata ini film Asrul Sani yang terbaik, selain "Apa jang Kau Tjari Palupi". Aedy Moward juga bermain sangat gemilang.



Urbanisasi ke Jakarta, entah itu dari pulau Jawa sendiri, entah itu dari Sumatera, Sulawesi dll. adalah merupakan persoalan yang ruwet bagi Pemda DKI. Dari Tapanuli (Batak) tercatat pula sebagai pendatang yang cukup banyak Dasar inilah yang dijadikan cerita oleh Drs. Asrul Sani menjadikannya sebuah film dengan judul BULAN DIATAS KUBURAN.

Bulan Diatas Kuburan, punya rasa sentuh yang halus, yang bicara lewat banyolan-banyolan umum, lewat kenyataan dan cara menghadapi kepahitan. Tetapi sebagai hiburan yang "konsumtif", Insya Allah masih akan merupakan hidangan yang cukup sedap bagi lidah masarakat.



NEWS
21 September 1974
Zakarta, zakarta
JUDUL film terbaru Haji Asrul Sani: Bulan Di Atas Kuburan. Dan para peminat sastra segera saja mengenali judul tersebut sebagai baris satu-satunya dari sajak Sitor Situmorang yang berjudul Malam Lebaran. Nama Sitor tidak ikut tersorot ke layar lebar ketika film berwarna dengan layar lebar ini dipertontonkan. Tentu karena Sitor Situmorang masih berada dalam status tahanan. Tapi bagi mereka yang bakal sempat menonton film ini, bisa juga diharapkan alasan itu berdasar pada tafsiran baru yang diberikan Asrul Sani kepada kalimat dan bait tunggal sajak penyair asal Batak itu. 

Dan inilah film Indonesia pertama yang secara khusus mengisahkan urbanisasi orang-orang Batak ke Jakarta. Di awal film, Asrul memperkenalkan tiga tokoh utama: Sabar (Aedy Moward), Tigor (Muny Cader) dan Sahat (Rahmat Hidayat). Yang pertama adalah perantau Batak yang kurang berjaya di Jakarta -- tapi bergaya di kampung halaman dengan gambar bintang film dan janji ketemu Menteri Perindustrian. Yang kedua adalah pemecah batu di tepi danau Toba yang mengimpikan Jakarta sebagai sorga yang melambai-lambai. Yang ketiga adalah pengarang yang mengharapkan Jakarta bakal menjadi penerbit karangan-karangannya.
Kris Biantoro Di akhir cerita, ketiga-tiga orang Batak ini, dengan pahit menerima kekalahan mereka atas kota Jakarta. "Bulan di atas kuburan", kata Tigor kepada Sahat ketika cobaan pertama (Sabar sebagai sopir taksi mendapat kecelakaan fatal) menimpa perantau-perantau itu. Dan bulan di atas kuburan memang selalu menghantui hidup para urban dari sekitar danau Toba itu selama mereka berada di Jakarta. Dengan tekad dan hasratnya yang keras, Sahat dan Tigor mula-mula memang nampak berhasil. Tigor yang berani dan nekad sempat menguasai pelataran parkir yang tadinya diusahakan oleh Kris Biantoro. Bahkan pacar si tukang parkir sempat digaet oleh Tigor. Sempat menjadi kepala para tukang parkir, Tigor melebarkan usahanya dengan kegiatan mencuci mobil. Dalam perebutan tempat cuci mobil dengan gerombolan lain itu ia akhirnya tewas tertikam . Sahat berhasil menjadi mantu seorang penerbit. Tapi dari semula, pertemuan sang pengarang dengan calon isterinya, Mona (Mutiara Sani) sudah membayangkan akhir yang tragis. Sebagai orang yang diperkenalkan dan muncul dengan harga diri yang teguh, lamaran Mona yang kesepian amat mengejutkan ketika dengan segera diterima oleh Sahat. Di akhir kisah perkawinan mereka, Sahat menjelaskan soalnya: "Waktu aku mengawini kau, aku tidak mencintaimu. Waktu itu aku memerlukan jalan pendek untuk hidupku". Jalan pendek itupun tidak ia peroleh, meskipun kepada Maruli (Kusno Sujarwadi) mertuanya, Sahat sudah rela berkompromi dalam hal mutu karangan yang harus ia hasilkan. Tapi Sahat masih lebih beruntung dari dua temannya. 

Masih tersisa baginya pekerjaan menjual majalah porno setelah di kampung ia bermimpi menjadi penyair besar. Bagi para peminat film Indonesia dari zaman hitam putih hingga zaman kelir gemerlapan, tema yang digarap Asrul Sani ini sesungguhnya tidak terlalu baru. Kisah orang desa masuk ke kota sudah dari dulu menjadi makanan sedap bagi para pembuat film yang suka mencari makan dari lelucon yang lahir dari kekonyolan orang udik di kota. Di zaman film berwarna dengan layar lebar, Turino Djunaidi tidak ketinggalan. Film Bernafas Dalam Lumpur adalah juga kisah urbanisasi yang berakhir tragis. Yanti (Suzana), si pelacur, mati setelah terperas habis oleh germo Rais (Farouk Afero). Film Anjing-Anjing Geladak punya Niko Pelamonia juga sebuah kisah yang keras tentang orang-orang desa yang bermimpi indah tentang kota yang menawarkan seribu kemungkinan.
Akhir cerita: juga tragis. Kendatipun demikian, tema-tema demikian akan tetap menarik, persis seperti arus pasang daya tarik urbanisasi terhadap kantor walikota dan para ahli-ahli ilmu sosiologi. Lebih dari sekedar daya tarik kisah urban, film Asrul Sani yang baru ini telah menempatkan dirinya jauh lebih terlibat ke dalam latar belakang tokoh-tokohnya. Baik film urban zaman hitam putih, maupun karya Turino atau Niko Pelemonia, semuanya hanya sekedar berkisah tentang orang Indonesia dari desa masuk kota. Asrul lebih berani. Ia memilih orang Batak sebagai obyeknya. Pilihan ini membawa konsekwensi berat. Kalau Asrul tidak kenal watak dan motifasi urban orang Batak, ia toh akhirnya hanya menJadi salah satu nomor dari banyak nomor sutradara film urban sebelumnya. Dan Asrul selamat dari sekedar menjadi nomor sekian. Tanpa nama-nama Batak saja, tokoh-tokoh yang ditampilkannya terasa sekali ke-Batakan-nya: keras, optimis, sedikit merasa superior, tapi masih tetap manusia. Yang terakhir inilah yang amat penting, manusia. Asrul Sani telah berkisah tentang manusia yang kebetulan kelahiran Batak. 

Di Dan Sebagai Entah disadari entah kebetulan, tapi niat membuat film Indonesia yang betul-betul Indonesia terasa berada di balik pemilihan obyek yang dilakukan Asrul. Sepanjang disepakati para ahli ilmu kebudayaan dan ilmu-ilmu sosial. Indonesia ini baru satu dalam sejarah, bahasa, politik dan cita-cita untuk masa depan. Ini tidak bisa lain kecuali berarti bahwa secara kulturil baru sejumlah kecil orang di kota besar yang barangkat bebas dari kebudayaan bapak, ibu dan embah buyutnya nun di kampung sana. Dalam hal-hal yang kritis -- sebagai yang suka diperlihatkanl pada klimaks film manapun -- reaksi setiap orang nyaris tak terbebas dari pola dasar kultur asalnya. Nah, kalau mau bikin film Indonesia, jelas pilihannya hanya dua: manusia kota yang jumlahnya teramat kecil -- dikisahkan Asrul melalui Apa Yang Kau Cari Palupi -- atau orang Indonesia yang kebetulan lahir di dan sebagai orang Batak atau suku mana saja. Berlainan dengan film-filmnya terdahulu, kali ini Asrul bercerita lebih lincah dengan tokoh-tokoh yang jauh lebih hidup. Dari sejak muncul di layar, Sabar (Aedy Moward) sudah menarik perhatian sambil juga memancing suatu teka-teki. Lagaknya berbicara tentang rencana pertemuannya dengan Menteri Perindustrian setelan putih kemeja merah serta uang yang dibagi-bagikannya kepada para pemain musik, semua itu konon khas perantau Batak yang pulang kampung dan selalu ingin memberi kesan sukses di perantauan.
Gaya macam inilah -- yang sesungguhnya hanya tabir dari kegiatannya sebagai sopir taksi di Jakarta -- yang kemudian ikut mempercepat arus urbanisasi. Orang macam Sabar ini tidak pernah menyadari bahwa ketika ia mencoba memberikan gambaran salah tentang dirinya, ia juga telah menjual impian palsu tentang kota yang kadang-kadang lebih garang dari yang bisa dibayangkan orang-orang desa yang bersahaja itu. Dan Sabar yang tidak beruntung itu tidak pula terlalu risau akan nasibnya. Kecuali keributan dengan Minar (Citra Dewi), semua soal menjadi haruslah rutin saja baginya. Dalam keadaan gawat dengan isterinya yang melayangkan piring-sendok, Batak perantau satu ini masih saja punya humor yang cukup kreatif. Dengan menghadapkan mikropon yang dihubungkan dengan alat perekam ke mulut isterinya, ternyata Sabar berhasil menghentikan omelan dan amarah sang isteri. Setelah itu, solidaritas khas perantau Batak digambarkan Asrul Sani melalui sikap Sabar kepada Tigor dan Sahat yang terpaksa menumpang di pondok buruknya di pinggir jalan kereta api itu. Tertikam Optimisme, percaya diri sendiri dan selikit rasa superior juga digambarkan dengan plastis oleh Asrul melalui tokoh Tigor. 

Dengan mudah pendatang baru ini bisa menguasai lapangan parkir berikut sejumlah anak buah -- untuk akhirnya merencanakan suatu perusahaan pencucian mobil. Melalui perjuangan yang berat, Tigor yang banyak diilhami oleh karangan-karangan temannya, Sahat, pada suatu hari sampai pada kenyataan yang pahit. Setelah ia tertikam, ia kembali menjadi manusia biasa. Tergeletak lunglai di kereta dorong rumah sakit, Tigor menaikkan bendera putih. Menyerah kepada Jakarta. Dan Jakarta yang angkuh dan dingin itu hanya menyibakkan sedikit kainnya bagi tempat istirahat jasad Tigor yang tumpas itu. Kekalahan demi kekalahan itu barangkali akan lebih terasa tragis kalau saja Asrul Sani secara teknis sanggup menggambarkannya dengan baik. Rasanya sudah menjadi kebiasaan Asrul ini kalau bikin film, bagian-bagian permulaan dikerjakan dengan baik, tapi ekor-ekornya lalu terseret. Bulan Di Atas Kuburan ini pun tidak selamat dari kebiasaan kurang terpuji itu. Adegan beralihnya Sahat menjadi pengabdi mertua terasa kurang digarap dengan baik, sehingga terasa sulit dicerna penonton.
Dan Sabar yang hidup dari menjalankan mobil itu tidak pernah sekalipun -- kecuali adegan kematiannya -- tampil bersama mobil yang dikemudikannya. Adegan kematian Tigor juga tidak digambarkan dengan baik. Tapi adegan macam ini -- adegan di rumah sakit -- nampak menjadi kelemahan umum sutradara Indonesia. Sementara seorang tertikam terus menerus kekurangan darah, sudah jelas sang suster tidak akan terbengong-bengong membiarkan Sahat menahan Tigor di lorong rumah sakit. Adalah kemalasan untuk mencari penyelesaian lain yang tidak bertentangan dengan kebiasaan kerja para dokter dan suster dalam menghadapi kasus darurat macam Tigor yang tertikam di perut. Kekurangan-kekurangan ini jelas sekali berakar pada sikap Asrul yang terlalu percaya pada dialog. Semakin percaya seorang sutradara film terhadap dialog, semakin filmnya kekurangan gambar, dan semakin film itu berbau sandiwara. 

Dan Bulan Di Atas Kuburan, meskipun saya anggap film berwarna terbaik karya Asrul, toh masih menderita kekurangan gambar seraya beberapa gambar terlalu lama muncul di layar lebar tanpa perubahan sudut pemotretan (perhatikan adegan perpisahan suami isteri Sahat-Mona). Dengan segala bau sandiwara dan kekurangan gambarnya, film Asrul Sani yang terbaru ini betul-betul menarik untuk ditonton. Paling sedikit untuk melihat embrio sebuah film Indonesia yang lahir dan berpijak di buminya sendiri. Pasti karena yang dikisahkannya adalah manusia nyata di bumi yang nyata itulah yang menyebabkan tokoh-tokoh dalam film ini terasa hidup, akrab dan seperti kita kenal. Dan hanya dalam film-film macam inilah kita seharusnya berbicara tentang akting para aktor. Tidak dalam film-film yang ceritanya dicuri dari film India sebelum akhirnya diramu dengan resep-resep olahan para produser sendiri. Melalui produksi terbaru PT Matari Film ini -- setelah sukses dengan Si Mamat oleh Sjuman Djaja -- Asrul telah memotret dengan jelas wajah Jakarta yang bengis, sedang Aedy Moward dan Muny Cader telah memperlihatkan permainan cemerlang yang sebelumnya tidak pernah sempat mereka tampilkan. Salim Said