PARA PERINTIS KEMERDEKAAN
Film ini dinominasikan sebagai film terbaik dalam Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia pada tahun 1980.
Di samping itu masih ada tokoh Demang dan Sidi Marajo, protip pria Minang zaman itu yang senang berjudi dan sewenang-wenang kepada istri. Dan masih ada Halimah (Mutiara Sani) istri Sidi Marajo, yang dijatuhi hukum nusyuz (tindak menyeleweng) oleh Haji Makmur akibat laporan suami perempuan itu. Bentuk hukuman "Islam" menurut penafsiran setempat itu begini: si istri tidak diberi nafkah lahir-batin oleh suami, tapi juga tidak diceraikan. Dengan demikian wajah Islam di Minangkabau disorot dari beberapa segi dari Haji Jalaluddin, tokoh pergerakan di Padang yang terang-terangan menentang Belanda, dari Haji Wali yang menenung Demang dan secara tidak langsung melawan Belanda, dan dari kasus Halimah. Besar kemungkinan, tema nusyuz diambil untuk menimbulkan efek dramatik paling kuat. Risikonya tentu ada Islam di Minangkabau disorot dari sudut yang paling ekstrim, hingga gambaran yang diperoleh seakan menyempit. Sutradara juga tidak berusaha menyeimbangkan porsi nusyuz dan porsi perjuangan tokoh agama. Karena itu jangan heran bila kemudian digambarkan bagaimana penduduk kota Padang beramai-ramai melempari Halimah dengan batu--karena wanita ini bermaksud menyatakan keluar dari Islam semata-mata karena ingin bebas dari itu bab nusyuz.
Memang ada juga dihidupkan tokoh Haji Wali, pemimpin agama yang berpikiran maju di Padangpanjang. Ia ini mengambil risiko ditangkap Belanda karena mengadakan musyawarah antar pemuka agama--dalam usaha membebaskan Halimah pula. Berkata Haji Wali (dimainkan dengan bagus oleh Asrul sendiri): "Satu persoalan tidak menjadi kecil hanya karena ia menyangkut diri satu orang saja." Sayangnya, bobot kehadiran tokoh ini tidak pula bisa mengimbangi gambaran seperti yang diwakili oleh nusyuz dan sebagainya itu. Tetapi efek dramatik memang benar muncul. Sebagai puncak, diperlihatkan dua arak-arakan Halimah berbaju dan berkain putih, dicemooh dan diludahi khalayak, menuju surau, tempat ia bermaksud mengingkari Islam--meskipun akhirnya tidak. Dan arakan ini bertemu dengan arak-arakan Haji Wali yang menuu penara. Klimaks memang tercapai. Sesudah itu clash bersenjata--antara kelompok Zainuddin dan tentara Belanda. Dan bagian ini seakan lepas. Pemberontakan digerakkan oleh Zainuddin (Soultan Saladin) yang meninggalkan gurunya Haji Wali, karena terpengaruh pikiran Marxis.
Tapi mungkin juga karena ia berdarah panas, kurang perhitungan, seperti yang sebelumnya 2-3 kali ditampakkan. Akan hal ini kita hanya dapat menduga-duga. Informasi tidak cukup. Padahal gejala pembelotan -yang tidak diolah serapi pengolahan bab nusyuz --disamping menarik juga bisa mempertegas wajah Islam maupun wajah Marxis sendiri. Tapi kecenderungan sutradara menghijau merahkan tokoh Zainuddin secara begitu saja, juga terlihat pada semua tokoh penting lain. Termasuk Zainab dan Hamid (Camelia Malik dan Cok Simbara), dua tokoh utama dalam Di Bawah Lindungan Ka'bah karya HAMKA yang dikatakan "mengilhami" film ini, dan yang kehadirannya di layar film ternyata tidak menambah atau mengurangi hobot cerita. Berkembang menurut alur yang dikehendaki sendiri oleh sutradara, dalam film Hamid dikatakan digembleng sebagai pejuang kemerdekaan. Tapi perjuangannya tidak meyakinkan. Konon pula Hamid menulis syair tentang rakyat yang lapar. Hanya itu. Selebihnya ia nampak di layar pulang-balik antara Padang dan Padangpanjang, bertindak sebagai kurir bagi Halimah yang menderita karena nusyuz. Pada akhir film, Hamid nampak pergi berlayar, untuk sementara mengasingkan diri ke negeri orang, hingga tiba saatnya kembali memperjuangkan tanah air. Barangkali memang ada sedikit masalah hak cipta di sini (lihat box). Di atas segala-galanya, film ini lancar. Musik (Idris Sardi) kuat, dan seluruh warna lokal terhidang dengan indahnya. Warna lokal ini menjadi kaya karena hadir lewat pandangan Asrul, seorang pribumi setempat. Dan bukan lewat mata turis seperti yang sering terlihat. Isma Sawitri.
Karya sastra besar akan terus relevan menjadi semangat zaman, meskipun penulisnya telah tiada. Sastrawan sekaligus politisi, ulama, dan pendidik, Buya Hamka sangat terkenal dengan karya monumentalnya, novel Di bawah lindungan Kakbah. Tak heran sineas Asrul Sani tertarik mengadaptasi karya beliau ke dalam film. Tahun 1981 lalu, film yang diperankan Cok Simbara dan Camelia Malik tersebut terpaksa diganti judulnya menjadi Para Perintis Kemerdekaan karena pelarangan Orde Baru.
Penangkapan Haji Jalaluddin (Mansyur Syahdan) saat berkhutbah membekas di hati para pengikutnya, termasuk Hamid (Cok Simbara) dan Halimah (Mutiara Sani). Halimah adalah istri yang disia-siakan suami karena pro kepada Belanda, sedangkan Hamid adalah anak saudagar kaya. Ayahnya jatuh miskin dan meninggal setelah dicap sebagai pemberontak. Hamid dibawa ibunya ke Padang dan dibesarkan di keluarga Haji Jakfar (Rendra Karno), ayah Zaenab (Camelia Malik).
Hamid berguru di Padang Panjang dan bertemu dengan kawan lama, Fakhrudin (Arman Effendy) dan Zainudin (Soultan Saladin). Hamid dan Fakhrudin lebih dekat pada pikiran gurunya, sementara Zainudin lebih radikal. Hamid dan kawan-kawan memperjuangkan nasib Halimah. Hamid berlayar menuju Mekkah, karena kecewa Zaenab menikah dengan orang lain. Halimah meneruskan perjuangan, tetapi akhirnya ditangkap Belanda.
Penangkapan Haji Jalaluddin (Mansyur Syahdan) saat berkhutbah membekas di hati para pengikutnya, termasuk Hamid (Cok Simbara) dan Halimah (Mutiara Sani). Halimah adalah istri yang disia-siakan suami karena pro kepada Belanda, sedangkan Hamid adalah anak saudagar kaya. Ayahnya jatuh miskin dan meninggal setelah dicap sebagai pemberontak. Hamid dibawa ibunya ke Padang dan dibesarkan di keluarga Haji Jakfar (Rendra Karno), ayah Zaenab (Camelia Malik).
Hamid berguru di Padang Panjang dan bertemu dengan kawan lama, Fakhrudin (Arman Effendy) dan Zainudin (Soultan Saladin). Hamid dan Fakhrudin lebih dekat pada pikiran gurunya, sementara Zainudin lebih radikal. Hamid dan kawan-kawan memperjuangkan nasib Halimah. Hamid berlayar menuju Mekkah, karena kecewa Zaenab menikah dengan orang lain. Halimah meneruskan perjuangan, tetapi akhirnya ditangkap Belanda.
Film ini dinominasikan sebagai film terbaik dalam Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia pada tahun 1980.
P.T. TATY & SONS JAYA FILM |
COK SIMBARA MUTIARA SANI SOULTAN SALADIN MARLIA HARDI ARMAN EFFENDY FAKHRI AMRULLAH RITA ZAHARA CAMELIA MALIK RENDRA KARNO ADE IRAWAN MANSYUR SYAHDAN CASSIM ABBAS |
NEWS 03 Oktober 1981
Bukan lagi roman hamka PARA PERINTIS KEMEDEKAAN Sutradara dan skenario: Asrul Sani Pemain: Mutiara Sani, Soultan Saladin, Camelia Malik, Cok Simbara, Asrul Sani. DIAWALI dengan guntingan-guntingan film dokumenter hitam putih. (tentang kebangunan bangsa-bangsa, ia sesudah perang Jepang-Rusia awal abad ini), Para Perintis Kemerdekaan (PPK) disebut sebagai epos. Tapi ternyata bercerita lebih banyak tentang seorang Halimah, daripada tentang para perintis tersebut. Untuk sebuah tema besar yang bersegi banyak dan bertokoh banyak, Halimah (dengan sejumlah besar close up) terasa terlalu mendominasi cerita--sementara ada beberapa tokoh sentral lain yang layak diberi porsi yang sama. setapapun, judul film kemudian terasa tidak mendapat dukungan sepenuhnya. PPK adalah film Asrul kedua yang berkisah tentang perjuangan kemerdekaan, sesudah Pagar Kawat Berduri (1960-an). Kedua film jelas mewakili kurun masa, setting dan bobot masalah yang jauh berbeda. PPK kalau tidak salah mengambil masa sekitar pemberontakan komunis di Silungkang (Sumatera Barat), 1927. Ada kesan sutradara terdorong untuk menceritakan banyak hal sekaligus praktek pemerintah kolonial Belanda, konflik antar pemuka agama, bentrokan fisik tentara Belanda dan perintis kemerdekaan, juga konflik suamiistri dalam tata-hidup beradat dan beragama di Minangkabau. Tidak dapat dihindarkan tampilnya beberapa tokoh penting - seperti Haji Jalaluddin (mengingatkan pada Syekh Thaher Jalaluddin), Haji Wali (mengingatkan pada Syekh Rasul, ayahanda Hamka dan pendiri Sumatera Tawalib di Padang Panjang), Syekh Mukhtaruddin (mengingatkan pada Syekh Jamil Jambek), Zainuddin (mengingatkan pada Zainuddin pelopor pemberontakan komunis), dan seorang tokoh agama yang tidak jelas namanya yang mengingatkan pada Datuk Batuah, pembawa ideologi Marxis ke perguruan Sumatera Tawalib.
Bukan lagi roman hamka PARA PERINTIS KEMEDEKAAN Sutradara dan skenario: Asrul Sani Pemain: Mutiara Sani, Soultan Saladin, Camelia Malik, Cok Simbara, Asrul Sani. DIAWALI dengan guntingan-guntingan film dokumenter hitam putih. (tentang kebangunan bangsa-bangsa, ia sesudah perang Jepang-Rusia awal abad ini), Para Perintis Kemerdekaan (PPK) disebut sebagai epos. Tapi ternyata bercerita lebih banyak tentang seorang Halimah, daripada tentang para perintis tersebut. Untuk sebuah tema besar yang bersegi banyak dan bertokoh banyak, Halimah (dengan sejumlah besar close up) terasa terlalu mendominasi cerita--sementara ada beberapa tokoh sentral lain yang layak diberi porsi yang sama. setapapun, judul film kemudian terasa tidak mendapat dukungan sepenuhnya. PPK adalah film Asrul kedua yang berkisah tentang perjuangan kemerdekaan, sesudah Pagar Kawat Berduri (1960-an). Kedua film jelas mewakili kurun masa, setting dan bobot masalah yang jauh berbeda. PPK kalau tidak salah mengambil masa sekitar pemberontakan komunis di Silungkang (Sumatera Barat), 1927. Ada kesan sutradara terdorong untuk menceritakan banyak hal sekaligus praktek pemerintah kolonial Belanda, konflik antar pemuka agama, bentrokan fisik tentara Belanda dan perintis kemerdekaan, juga konflik suamiistri dalam tata-hidup beradat dan beragama di Minangkabau. Tidak dapat dihindarkan tampilnya beberapa tokoh penting - seperti Haji Jalaluddin (mengingatkan pada Syekh Thaher Jalaluddin), Haji Wali (mengingatkan pada Syekh Rasul, ayahanda Hamka dan pendiri Sumatera Tawalib di Padang Panjang), Syekh Mukhtaruddin (mengingatkan pada Syekh Jamil Jambek), Zainuddin (mengingatkan pada Zainuddin pelopor pemberontakan komunis), dan seorang tokoh agama yang tidak jelas namanya yang mengingatkan pada Datuk Batuah, pembawa ideologi Marxis ke perguruan Sumatera Tawalib.
Di samping itu masih ada tokoh Demang dan Sidi Marajo, protip pria Minang zaman itu yang senang berjudi dan sewenang-wenang kepada istri. Dan masih ada Halimah (Mutiara Sani) istri Sidi Marajo, yang dijatuhi hukum nusyuz (tindak menyeleweng) oleh Haji Makmur akibat laporan suami perempuan itu. Bentuk hukuman "Islam" menurut penafsiran setempat itu begini: si istri tidak diberi nafkah lahir-batin oleh suami, tapi juga tidak diceraikan. Dengan demikian wajah Islam di Minangkabau disorot dari beberapa segi dari Haji Jalaluddin, tokoh pergerakan di Padang yang terang-terangan menentang Belanda, dari Haji Wali yang menenung Demang dan secara tidak langsung melawan Belanda, dan dari kasus Halimah. Besar kemungkinan, tema nusyuz diambil untuk menimbulkan efek dramatik paling kuat. Risikonya tentu ada Islam di Minangkabau disorot dari sudut yang paling ekstrim, hingga gambaran yang diperoleh seakan menyempit. Sutradara juga tidak berusaha menyeimbangkan porsi nusyuz dan porsi perjuangan tokoh agama. Karena itu jangan heran bila kemudian digambarkan bagaimana penduduk kota Padang beramai-ramai melempari Halimah dengan batu--karena wanita ini bermaksud menyatakan keluar dari Islam semata-mata karena ingin bebas dari itu bab nusyuz.
Memang ada juga dihidupkan tokoh Haji Wali, pemimpin agama yang berpikiran maju di Padangpanjang. Ia ini mengambil risiko ditangkap Belanda karena mengadakan musyawarah antar pemuka agama--dalam usaha membebaskan Halimah pula. Berkata Haji Wali (dimainkan dengan bagus oleh Asrul sendiri): "Satu persoalan tidak menjadi kecil hanya karena ia menyangkut diri satu orang saja." Sayangnya, bobot kehadiran tokoh ini tidak pula bisa mengimbangi gambaran seperti yang diwakili oleh nusyuz dan sebagainya itu. Tetapi efek dramatik memang benar muncul. Sebagai puncak, diperlihatkan dua arak-arakan Halimah berbaju dan berkain putih, dicemooh dan diludahi khalayak, menuju surau, tempat ia bermaksud mengingkari Islam--meskipun akhirnya tidak. Dan arakan ini bertemu dengan arak-arakan Haji Wali yang menuu penara. Klimaks memang tercapai. Sesudah itu clash bersenjata--antara kelompok Zainuddin dan tentara Belanda. Dan bagian ini seakan lepas. Pemberontakan digerakkan oleh Zainuddin (Soultan Saladin) yang meninggalkan gurunya Haji Wali, karena terpengaruh pikiran Marxis.
Tapi mungkin juga karena ia berdarah panas, kurang perhitungan, seperti yang sebelumnya 2-3 kali ditampakkan. Akan hal ini kita hanya dapat menduga-duga. Informasi tidak cukup. Padahal gejala pembelotan -yang tidak diolah serapi pengolahan bab nusyuz --disamping menarik juga bisa mempertegas wajah Islam maupun wajah Marxis sendiri. Tapi kecenderungan sutradara menghijau merahkan tokoh Zainuddin secara begitu saja, juga terlihat pada semua tokoh penting lain. Termasuk Zainab dan Hamid (Camelia Malik dan Cok Simbara), dua tokoh utama dalam Di Bawah Lindungan Ka'bah karya HAMKA yang dikatakan "mengilhami" film ini, dan yang kehadirannya di layar film ternyata tidak menambah atau mengurangi hobot cerita. Berkembang menurut alur yang dikehendaki sendiri oleh sutradara, dalam film Hamid dikatakan digembleng sebagai pejuang kemerdekaan. Tapi perjuangannya tidak meyakinkan. Konon pula Hamid menulis syair tentang rakyat yang lapar. Hanya itu. Selebihnya ia nampak di layar pulang-balik antara Padang dan Padangpanjang, bertindak sebagai kurir bagi Halimah yang menderita karena nusyuz. Pada akhir film, Hamid nampak pergi berlayar, untuk sementara mengasingkan diri ke negeri orang, hingga tiba saatnya kembali memperjuangkan tanah air. Barangkali memang ada sedikit masalah hak cipta di sini (lihat box). Di atas segala-galanya, film ini lancar. Musik (Idris Sardi) kuat, dan seluruh warna lokal terhidang dengan indahnya. Warna lokal ini menjadi kaya karena hadir lewat pandangan Asrul, seorang pribumi setempat. Dan bukan lewat mata turis seperti yang sering terlihat. Isma Sawitri.
03 Oktober 1981
Sang ulama di belakang film
HAMKA memprotes Asrul Sani. Dalam suratnya bertanggal 14 April 1981 kepada produser Para Perintis Kemerdekaan (PPK), Andy Azhar dari PT Tati & Sons Jaya Film, almarhum waktu itu menyatakan keberatan namanya dicantumkan dalarn film tersebut. Padahal sejak pagi-pagi dahulu sudah dipropagandakan, film itu akan menjadi semacam visualisasi roman pendek Di Bawah Lindungan Ka'bah (DBLK) karya Hamka. Dan hak memfilmkannya pun sudah dibeli hampir Rp 2 juta. Apakah ulama yang pujangga itu berbalik pikiran? Tetapi PPK memang boleh dikatakan bukan lagi DBLK (lihat: Bukan Lagi Roman Hamka). Karena itu, kata Hamka dalam suratnya, "untuk sebuah karya yang terhormat Asrul Sani, saya merasa keberatan nama saya dibawa-bawa." Bahkan, dengan agak pahit "Mungkin memang belum saatnya karangan saya difilmkan." Perubahan besar memang telah terjadi. Tetapi Asrul bilang kepada TEMPO "Omong kosong kalau Buya Hamka tidak tahu pengembangan cerita tersebut. " Sebab Hamka sudah memberi sambutan yang simpatik atas skenario yang diberikan Asrul. Bahkan Buya menulis DBLK, "dalam bentuk filmnya tidaklah akan persis sebagaimana naskah aslinya." Sambutan ini bertanggal 4 Agustus 1977. Yang tidak diceritakan Asrul: perubahan apa saja yang telah dibuatnya sejak lebih empat tahun lalu itu. Belum lagi soal pemotongan yang dilakukan kemudian untuk bagian-bagian Zainab & Hamid--yang menjadikan PPK "makin bersih" dari DBLK. Camelia Malik, yang memerankan Zainab, dalam pada itu pernah mengeluh semula ia diberi janji akan menjadi tokoh utama -- nyatanya hanya diberi peranan kecil. Semua itu layaknya memang tidak diketahui Hamka--begitulah dalam suratnya. Hamka jelas.kecewa. Apalagi karena agaknya dulu cukup antusias ulama yang tetap berdarah seniman ini menyuruh mengundang Idris Sardi dan grup musik asli Minang--dan sementara musik bermain, Buya omong-omong dengan Idris yang akan jadiilustratornya. Malah selamatan shooting filmnya sendiri diadakan di aula Masjid Al Azhar. Karena itulah ketika melihat konsep kreditasi film, yang menyatakan "cerita dan skenario Asrul Sani--diilhami oleh . . .," dan seterusnya (yang dalam film nanti akan ditulis besar-besar), suya minta agar namanya tak usah dicantumkan saja. Padahal sebenarnya ada masalah lain lagi.
Sang ulama di belakang film
HAMKA memprotes Asrul Sani. Dalam suratnya bertanggal 14 April 1981 kepada produser Para Perintis Kemerdekaan (PPK), Andy Azhar dari PT Tati & Sons Jaya Film, almarhum waktu itu menyatakan keberatan namanya dicantumkan dalarn film tersebut. Padahal sejak pagi-pagi dahulu sudah dipropagandakan, film itu akan menjadi semacam visualisasi roman pendek Di Bawah Lindungan Ka'bah (DBLK) karya Hamka. Dan hak memfilmkannya pun sudah dibeli hampir Rp 2 juta. Apakah ulama yang pujangga itu berbalik pikiran? Tetapi PPK memang boleh dikatakan bukan lagi DBLK (lihat: Bukan Lagi Roman Hamka). Karena itu, kata Hamka dalam suratnya, "untuk sebuah karya yang terhormat Asrul Sani, saya merasa keberatan nama saya dibawa-bawa." Bahkan, dengan agak pahit "Mungkin memang belum saatnya karangan saya difilmkan." Perubahan besar memang telah terjadi. Tetapi Asrul bilang kepada TEMPO "Omong kosong kalau Buya Hamka tidak tahu pengembangan cerita tersebut. " Sebab Hamka sudah memberi sambutan yang simpatik atas skenario yang diberikan Asrul. Bahkan Buya menulis DBLK, "dalam bentuk filmnya tidaklah akan persis sebagaimana naskah aslinya." Sambutan ini bertanggal 4 Agustus 1977. Yang tidak diceritakan Asrul: perubahan apa saja yang telah dibuatnya sejak lebih empat tahun lalu itu. Belum lagi soal pemotongan yang dilakukan kemudian untuk bagian-bagian Zainab & Hamid--yang menjadikan PPK "makin bersih" dari DBLK. Camelia Malik, yang memerankan Zainab, dalam pada itu pernah mengeluh semula ia diberi janji akan menjadi tokoh utama -- nyatanya hanya diberi peranan kecil. Semua itu layaknya memang tidak diketahui Hamka--begitulah dalam suratnya. Hamka jelas.kecewa. Apalagi karena agaknya dulu cukup antusias ulama yang tetap berdarah seniman ini menyuruh mengundang Idris Sardi dan grup musik asli Minang--dan sementara musik bermain, Buya omong-omong dengan Idris yang akan jadiilustratornya. Malah selamatan shooting filmnya sendiri diadakan di aula Masjid Al Azhar. Karena itulah ketika melihat konsep kreditasi film, yang menyatakan "cerita dan skenario Asrul Sani--diilhami oleh . . .," dan seterusnya (yang dalam film nanti akan ditulis besar-besar), suya minta agar namanya tak usah dicantumkan saja. Padahal sebenarnya ada masalah lain lagi.
Dalam surat itu Hamka juga mengingatkan tulisan Asrul dalam kata pengantar skenarionya -- bahwa pengembangan DBLK terutama mengambil bahan dari buku Hamka yang lain, Ayahku --yang memaparkan seluk-beluk pergolakan agama dan kebangsaan rakyat Minang. Tetapi bagi Asrul sendiri, seperti pernah dikatakannya, buku Ayahku bukan satu-satunya. Ia juga memakai sumber-sumber lain, misalnya buku Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 karya Deliar Noer. Dan Deliar memang banyak juga mengutip Ayahku - di samping banyak sumber lain, termasuk buku Sejarah Islam di Sumatera karya Hamka. Tapi mengapa Ayahku tak dicantumkannya? "Bilm bukan seperti buku yang bisa ada catatan kaki," kata Asrul. Bagi Asrul, pencantuman nama Hamka dan DBLK "justru untuk menghormati suya." Asrul rupanya tak melihat kemungkinan lain nama Hamka tidak dicantumkan. Sebaliknya dibuat slide pernyataan terimakasih (kecil saja, tapi jelas dan jujur) kepada pengarang buku Ayahku, buku DBLK, dan pihak lain kalau memang ada. Hanya, nama Hamka--atau nama Ka'bah, atau roman Hamka--memang laris.
punya film fullnya. saya pertama menonton di TVRI dan ceritanya sangat bagus...
BalasHapus