Senin, 24 Januari 2011

CHAERUL UMAM 1975-2009

CHAERUL UMAM


(lahir di Tegal, Jawa Tengah, 4 April 1943; umur 66 tahun) adalah seorang sutradara Indonesia. Chaerul telah mendapatkan penghargaan maupun nominasi untuk karya-karyanya di berbagai acara penghargaan lokal maupun internasional.

Sekali waktu, Sutradara D. Djajakusuma memintanya mengisi suara (dubbing) sebuah film. Biasa main band di SMA, Chaerul Umam tidak kikuk menghadapi mikrofon. ''Eh, tak tahunya dibayar,'' katanya. Jumlah bayaran sama dengan bila ia sekali main drama -- yang latihannya berbulan-bulan. ''Pikiran saya waktu itu, enak benar jadi orang film, duitnya banyak.''

Promosinya sebagai sutradara juga tanpa sengaja. Pada 1975, Asrul Sani menangani film Tiga Sekawan, produksi Kwartet Jaya pimpinan Eddy Sud. Dua minggu sebelum shooting, Asrul mendadak mengundurkan diri. Tiga sutradara -- Misbach Jusa Biran, Wahju Sihombing, dan Nya Abas Acub -- diminta menggantikannya. Semua menolak. Acub malah mengusulkan Chaerul, yang memang pernah melamar, sebagai pengganti Asrul. ''Dan jadilah saya sutradara,'' tutur anak Tegal, yang biasa dipanggil Mamang ini.
 
 
 
Anak opseter ini dididik dalam ketaatan beragama oleh ibunya, seorang muballighat. Walaupun bercita-cita menjadi polisi, si kecil Mamang gemar berteater di desa kelahirannya. Lewat grup Ababalu yang dibentuknya, ia merekrut para tetangganya -- tukang krupuk, tukang obat, pembatik -- untuk main sandiwara.Pindah ke Yogyakarta, jebolan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada ini membentuk grup Pentas Cuwiri, bersama Syu'bah Asa (kelak wartawan Tempo) dan Abdurrachman Saleh (terakhir pengacara). Ia juga bergabung dengan Teater HMI, kemudian tiga tahun mengikuti Bengkel Teater pimpinan Rendra.

Chaerul Umam mulai dicatat sebagai sutradara yang baik lewat film Al Kautsar, 1977, produksi PT Sippang Jaya Film, dan Titian Serambut Dibelah Tujuh, 1983, produksi PT Kofina. Kedua film bernapaskan Islam itu tampil utuh. ''Mungkin karena lingkungan kecil saya bersuasana keagamaan,'' katanya. Al Kautsar meraih penghargaan dari Festival Film Asia di Bangkok untuk Film Budaya Sosial Terbaik dan Rekaman Suara Terbaik. Namun, lewat Gadis Marathon, 1981, Mamang juga membuktikan dirinya mampu menggarap tema nonagama.

Pengagum sutradara Jepang Akira Kurosawa ini mengaku belajar film dari Sjumandjaja, Motinggo Boesje, Teguh Karya, dan buku- buku. Dalam menerima ''order'', ia mensyaratkan skenario yang baik, misi yang jelas, dan tidak mau didikte. Ia pernah menolak membikin film komedi seks.

Anak ketiga dari empat bersaudara, Mamang kini ayah sepasang putra-putri. Dulu ia suka lari pagi, tetapi belakangan lebih sering malas. Ia juga dikenal sebagai pembaca cerita pendek yang baik, dan beberapa kali tampil di TIM, Jakarta.


SEORANG DUBBER
BEBERAPA  tahun lalu, nama Imam Setyantono, Chaerul Umam, sehari-hari dipanggil  Mamang, identik dengan dubber (pengisi suara) top suaranya yang bernada  bariton itu, antara lain bisa didengar lewat dialog pemeran kepala  stasiun dalam film Koboi Sutra Ungu. Kini ia menyandang predikat lain:  sutradara terkemuka. Baru saja melewati usia 40 tahun, April silam,  Mamang sudah magang untuk profesi sutradara sejak 10 tahun berselang.  Potensinya menyata dalam film Al-Kautsar (1977) dan Gadis Marathon  (1982). Kuat dugaan dalam FFI tahun ini, filmnya Titian Serambut Dibelah  Tujuh (TSDT) akan terpilih sebagai film terbaik. Di rumahnya yang  "sering kebanjiran kalau hujan", sutradara kelahiran Tegal ini, pada  suatu malam pekan silam, berbincang santai dengan James Lapian dari  TEMPO

Beberapa petikan: Mengapa Anda tertarik memfilmkan kembali  TSDT? Tahun 1973 saya membaca skenario TSDT di Sinematek dan menemukan  dua hal yang menarik. Pertama, plot cerita yang dipakainya bergaya  western yaitu plot linear. Kedua tema cerita menyodorkan kritik sosial  dalam masyarakat Islam. Benarkah Anda mengubah skenario? Perubahan  pertama justru dilakukan Asrul Sani, penulisnya sendiri. Perubahan ini  dimaksudkan untuk menyesuaikan kembali dengan perkembangan masyarakat.  Kemudian, baru saya mengadakan perubahan untuk skenario yang telah  direvisi itu. Tapi sedikit, sekitar 10-20%. Itu pun terbatas pada  masalah interpretasi terhadap skenario tersebut. Adakah semata-mata  pesan "kebatilan pasti kalah" yang ingin Anda sampaikan lewat TSDT?  Tidak. Justru saya ingin mengetengahkan masalah "kepemimpinan", tepatnya  lagi, pudarnya keberanian untuk memimpin. Ini saya ungkapkan melalui  tokoh Ibrahim. Kabut yang Anda hadirkan dalam TSDT, adakah dimaksudkan  untuk lebih memberi tekanan pada setting desa yang terpencil? Kabut  tidak punya hubungan dengan desa yang saya tempatkan terpencil di  sela-sela pebukitan. Kabut hanya metafora yang melambangkan adanya  selubung. Yakni selubung terhadap masalah yang ditampilkan. Saya sendiri  tidak tahu apa yang menyelubungi, tapi saya sadar itu ada. Saya tidak  menyalahkan Anda yang melihat itu sebagai kabut. Bagaimana dengan desa,  simbol juga? Kesederhanaan desa yang belum dijamah teknologi -- Anda  bisa langsung tahu ini karena tidak adanya tiang listrik di sana  sebenarnya melambangkan republik kita ini. Untuk ini saya tidak memberi  warna lokal, karena desa seperti itu bisa ditemui di mana-mana. Namun  saya sadar untuk menghilangkan warna lokal juga sulit sedangkan  pengimbuhannya tidak selalu diharuskan.

Mengapa Anda cenderung  pada Islam sebagai latar? Karena itu yang paling saya ketahui. Kegagalan  saya dalam Sepasang Merpati karena saya tidak mengenal lingkungan yang  jdi landasan cerita. Demikian juga dengan Gadis Marathon yang tertolong  skenario (ditulis oleh Sjumaridjaya -- red.) yang kuat. Kalau saja saya  mengenal dunia olah raga, atletik khususnya, film itu pasti lebih baik.  Adakah hal lain yang ingin Anda ungkapkan sehubungan dengan  penyutradaraan TSDT? Ya. Saya bebas dari campur-tangan pihak produser  (Dewan Film). Berarti saya bertanggung jawab penuh atas buruk baiknya  film tersebut. Dan saya tidak bisa berlindung di balik alasan "tekanan  produser yang mengharuskan begini dan begitu." * * * Bupati  Sosroningrat, yang dalam film R.A. Kartini diperankan Wisnoe Wardhana,  memang penuh dengan konflik. Sebagai seorang bupati, ia sudah selayaknya  patuh pada adat yang turun-temurun. Misalnya saja, ia harus memasang  tembok pemisah antara R.A. Kartini, anaknya, dan Mas Ayu Ngasirah, ibu  kandung Kartini. Maka ketika Kartini di suatu hari kemudian meminta  kepada bapaknya agar ibu kandungnya diundang makan bersama, bisa  dibayangkan apa yang berkeaamuk dalam sanubarinya: antara mempertahankan  adat dan memenuhi tuntutan kemanusiaan anaknya. Sosok yang penuh  konflik itu ternyata dihadirkan oleh aktor Wisnoe Wardhana dengan bagus.  Apa resepnya

"Wah tak ada resep-resepan, saya main, ya main  begitu saja," kata penari yang kini sedang menyiapkan disertasi di IKIP  Yogyakarta. Tapi memang ada yang dilakukan Wisnoe. Dengan tekun ia  mempelajari skenario Kartini selama setengah bulan. Ia pun selama itu  berusaha menghafal dialog-dialog yang harus dilakukannya. Akhirnya  muncul keyakinan dalam dirinya bahwa "kehidupan Bupati Sosroningrat yang  harus saya perankan tak jauh berbeda dengan keluarga saya sendiri."  Wisnoe, memang dilahirkan di dalam dinding keraton Yogya, 1929.  Neneknya, Ratna Djuwita, dipersunting Sri Sultan Hamengkubuwono VII.  Peran Sosroningrat, kemudian dibawakannya dengan sangat wajar. Boleh  dikata suasana kejawaan Kartini terbentuk antara lain berkat permainan  Wisnoe. Lelaki dengan tinggi 172 cm dan berat 72 kg itu bukan orang baru  dalam dunia film. Film pertamanya Roda Revolusi (1965) kemudian ia  sempat bermain dalam beberapa film. November 1828, dan Al-Kautsar,  antara lain. Diakuinya perannya dalam Kartini memang menantang. Tak  mengherankan bila ia berusaha keras untuk membawakannya dengan baik.  Adapun Sjumandjaya, sutradara Kartini, menjatuhkan pilihan pada Wisnoe  karena "saya suka posturnya." Maksud Sjuman, "untuk membawakan seorang  bupati Jawa yang progresif saya kira yang paling tepat ya Wisnoe."  Sjuman telah rnengenal Wisnoe ketika main dalam sandiwara, ketika ia  menari, dan ketika ia main dalam film. Toh, bagi Wisnoe sendiri film  Kartini tidak sepenuhnya memuaskan. "Saya menyesal mengapa bukan suara  saya sendiri dalam film itu, tapi suara Maruli Sitompul," katanya kepada  TEMPO. Padahal kegagalan saya waktu dubbing, hanya karena saya belum  diberi kesempatan maksimal

Tapi Sjuman punya pendapat sendiri:  "Wisnoe seorang dalang juga, yang disiplin dlalognya tidak tepat untuk  keperluan dubbing. Gara-gara suaranya diisi orang lain, sekalipun  mainnya bagus, maka Wisnoe tak berhak untuk mendapat Citra. Sayang,  memang. * * * Bagi Dewi Irawan, anak pertama almarhum aktor Bambang  Irawan, perannya sebagai Halimah dalam Titian Serambut Dibelah Tujuh  memang baru. "Saya ingin mengubah gambaran bahwa saya cuma cocok untuk  peran gadis binal," katanya kepada TEMPO ketika ditemui di Pusat  Perfilman Usmar Ismail. Aktris yang kini berusia 20 tahun ini mengaku  membaca skenario TSDT dengan tekun. Penafsirannya terhadap tokoh Halimah  berubah setelah pengambilan gambar dimulai. Mula-mula Dewi menafsirkan  si Halimah memang gila. "Tapi kemudian saya sadar bahwa Halimah  sebenarnya belum gila," kata Dewi. "Semua perilakunya untuk menunjukkan  bahwa ia sebenarnya tidak bersalah." Atas dasar penafsiran itulah ia  bermain dengan gemilang, menandingi El Manik yang menjadi lawan mainnya.  Pengagum Jane Fonda ini pertama kali terjun dalam film pada usia 9  tahun, membawakan peran kecil dalam Hanya Satu Jalan (1972). Selang dua  tahun kemudian baru ia mendapat porsi agak besar dalam film Belas Kasih  yang disutradarai ayahnya. Adakah Dewi memimpikan Citra? "Bukan  Citra-nya yang penting, tapi kontrak filmnya," kata mahasiswi Fakultas  Ekonomi Universitas Trisakti, Jakarta itu terus terang. "Untuk  ngebiayain sekolah gue.

SEPASANG MERPATI 1979 CHAERUL UMAM
Director
AL KAUTSAR 1977 CHAERUL UMAM
Director
NADA DAN DAKWAH 1991 CHAERUL UMAM
Director
BOSS CARMAD 1990 CHAERUL UMAM
Director
RAMADHAN DAN RAMONA 1992 CHAERUL UMAM
Director
JANGAN BILANG SIAPA-SIAPA 1990 CHAERUL UMAM
Director
BINTANG KEJORA 1986 CHAERUL UMAM
Director
FATAHILLAH 1996 CHAERUL UMAM
Director
JOE TURUN KE DESA 1989 CHAERUL UMAM
Director
TERAN BULAN DI TENGAH HARI 1988 CHAERUL UMAM
Director
KEJARLAH DAKU KAU KUTANGKAP 1985 CHAERUL UMAM
Director
OOM PASIKOM 1990 CHAERUL UMAM
Director
CINTA PUTIH 1977 CHAERUL UMAM
Director
NARROW BRIDGE, THE 19-- CHAERUL UMAM
Director
KELUARGA MARKUM 1986 CHAERUL UMAM
Director
TITIAN SERAMBUT DIBELAH TUJUH 1982 CHAERUL UMAM
Director
BETAPA DAMAI HATI KAMI 1981 CHAERUL UMAM
Director
GADIS MARATHON 1981 CHAERUL UMAM
Director
TIGA SEKAWAN 1975 CHAERUL UMAM
Director
MALIOBORO 1989 CHAERUL UMAM
Director
HATI YANG PERAWAN 1984 CHAERUL UMAM
Director
SAMA JUGA BO HONG 1986 CHAERUL UMAM
Director
SAMA JUGA BOHONG 1986 CHAERUL UMAM
Director

Tidak ada komentar:

Posting Komentar