TITIAN SERAMBUT DIBELAH TUJUH
Saya menontonnya kembali, kali ini dalam DVDnya yang diputar di screen. Saya sekali tidak bisa melihat 35mm, karena masih kecil saya belum tahu apa-apa tentang film. Tetapi dari kecil saya sudah tahu ini film bagus, dan mendapatkan piala citra akhirnya. Tetapi saya menonton kembali.
Luar biasa apa yang saya rasakan saat kecil itu terulang kembali, berarti ini film bagus dong. Asrul Sani memang baik dalam memnulis skenario dari pada menjadi sutradara. Entah apa nasib film dengan judul yang sama ini sebelumnya dibuat oleh Asrul Sani. saya ingin tanya dia kalau masih hidup, sayang sudah meninggal. Yang ingin saya tanyakan adalah apakah Asrul puas atas film Pak Mamang ini? Dan apa bedanya dengan film yang dia buat sebelumnya.
Biasanya film dibuat ulang lagi karena banyak hal. Skenario bagus, tapi film tidak bagus. Tehnologi pembuatan film yang terus berkembang sesuai dengan kemajuan jaman dan kreatifitas. Kalau tehnologi ini penyebabnya, jarak waktu Asrul sani membuat film ini dengan Pak Mamang tidak jauh beda. Mumngkin bedanya hanya di suara saja. Tetapi saya bisa merasakan, film yang dibuat pak Mamang ini lebih baik dari pada yang dibuat Asrul Sani.
Asrul sani sangat brilian membuat film ini. Ada kesamaan dengan karya-karya Hamka mungkin, karena film ini sebenarnya film dakwah yang tanpa disadari penonton di dakwahi oleh film ini. Dialoq sangat bagus, pemilihan nama-nama karaketernya bagus juga sesuai dengan arti masing-masing yang diambil dari sejumlah nama-nama islam (Arab dan juga Nabi-Nabi sesuai dengan karakter mereka).
Ada sesuatu yang jangal yaitu Mr.Misterius kita di awal film dan muncul di Akhir film itu. Sampai sekarang tidak tahu namanya siapa dalam film itu. Saat El Manik mau menuju desa itu, dia bilang...rakyat di desa itu seperti layang-layang yang putus. Tentu artinya layang-layang tanpa arah terobang ambing...harus dikendalikan. Mr.Misterius hanya bilang, berkelana dari kampung satu ke kampung yang lain. Kalau ada Kiayi yang pintar, dia mau belajar. Kalau tidak ada, dia yang akan mengajar. Ini dalah informasi kalau dia sangat paham sekali tentang ilmu islam sehingga pemunculannya di ending juga penonton sudah mengetahuinya kepintaran Mr.Misterius ini.
Hal yang paling membuat hancur di dunia ini adalah Fitnah. Fitnah adalah dosa awal dan besar yang bisa menjadi dosa-dosa yang lainnya. Disini digambarkan juga bila seorang pemimpin sudah dikendalikan dengan uang tanpa ada rasa imam, apa yang terjadi. Seorang pemimpin desa yang guru ngaji dan kiayi di desa itu bisa tunduk pada seorang juragan kaya pejudi karena masalah uang. Semua peraturan dan kelakuan jahat di desa itu di restui oleh Kiayai Sulaiman ini. Bahkan Fitnah yang terjadi pada Halimah juga dibenarkan. Apa jadinya sebuah dunia kalau sudah dikendalikan oleh uang dan nafsu.
Film ini sangat menyeramkan sekali, saat kecil saya takut menontonya seperti menonton film horor, sekarang juga masih terasa seram sekali. Sara merasa seram melihat orang yang melakukan dosa dan agama belum ditegagkan di desa itu. Ini mirip El Manik yang dilakukan oleh para nabi untuk menuntun umatnya ke jalan agama. Dan El-Manik disini sebagai pemimpin dan penyelamat untuk desa itu selayaknya tugas nabi. Tetapi El Manik bukan nabi karena dia tidak memiliki mukzizat. Karena it7 dia juga merasa getir saat orang kampung menuduhnya memeperkosa istri Juragan kaya yang dimainkan Soekarno M.Noor itu.
Dosa manusia yang digambarkan dikampung itu sangat komlit, mulai Fitnah, pemerkosaan, pendusta, penjudi, mabuk, Kiayi ke jalan yang salah, hingga kepada soal Homoseksual dan lesbian. Istri tidak hormat sama suami, suami juga tida menafkahi istri dan sebagainya....sangat komplit dosa manusia didunia ini hanya digambarkan dalam satu desa ini saja. Seharusnya rintangan El Manik Jauh lebih besar kalau Pak Mamang mau. Tetapi pak Mamang atau Asrul punya maksud tersendiri.
Adegan pemasungan sangat bagus sekali, sangat menyentuh. Bagaimana bisa keadilan belum di tegakkan dan hukum bisa di beli...seperti inilah jaman antah berantah nanti.
El Manik hanya bisa curhat dengan buku diarynya dari pada Sholat. Mungkin ada maksud tertentu agar tidak terlalu agamais film ini. Tidak masalah, karena dia seorang guru, maka buku adalah dunianya juga. Dan juga matinya Asrat juga terlalu gampang untuk orang yang dibenci orang kampung dan penonton, hanya jatuh dari motor dan mati karena kepanikannya dikejar orang kampung.
Tetapi saat El Manik mau dibunuh sama Juragan kaya itu karena memperkosa istrinya, sang Mr.Misterius datang dan membelanya. Baju koyak di belakang El Manik menjadi kuncinya. Akhir dari cerita, pak Hj Sulaiman, Kiayi itu insaf dan bilang...saya memang orang berpendidikan, tetapi tidak punya iman. Sebaik-baiknya orang sekolah tinggi tapi kalau iman tidak ada, maka..tidak ada gunanya juga.
El Manik memutuskan untuk pergi dari kampung itu, di jalan dia ketemu Mr.Misterius itu lagi dan Mr.Misterius itu bilang kamu baru saja lulus. Pemimpin adalah pemimpin bagi sesamanya....ini bagus sekali kalimatnya. Sehingga El Manik membalikan sepedanya dan kembali ke arah desa itu lagi.
Entah kenapa, skenario film dulu, dialoqnya bagus-bagus...apakah mereka memang orang sastra yang memiliki bendahara kata yang baik, dan kosa kata yang indah...? Tapi film sekarang skenario hanya dibuat orang yang hanya bisa menulis dan pintar mengarang saja sudah cukup. Karena itu tidak ada dialoq seindah film-film dulu. Karena mereka adalah sastrawan.
Film ini dimulai dengan sebuah kampung (kata Pak Mamang sih di Sumatra Barat mereka shootingnya), kampung ini sangat ditutupi oleh kabut tebal sehingga tampak seram sekali kampung ini dikaki bukit (kata Pak Mamang kabut itu adalah hasil efek dari penata artistiknya). Jelas bagi penonton ada apa kampung ini sehingga tampak suram seperti ini, di jelaskan dari masyarakatnya yang sudah menjauh dari ajaran agama Islam, sehingga datanglah seorang lulusan pesantren ke kampung itu. Tinggal disana, dan istri dari juragan kaya dikampung itu ternyata menaruh hati sama pemudah ini. Mulailah dia dihasut, seorang yang imannya baik, dikampung ini mulai dipertarungkan, mualai dari hal apa saja ada.
Ringkasan ceritanya:
Hingga suatu hari si peria ini di jebak oleh istri juragan ini dirumahnya. Tetapi si pemuda tidak mau sehingga baju pemuda ini terkoyak di belakangnya, tetapi si istri melancarkan dustanya sambil berteriak tolong dan menyobek bajunya di depan. Si istri berdusta di depan suaminya, sang juragan itu balau dia mau diperkosa oleh pemuda alim ini, tetapi sang Suami justru sangat pintar, mana mungkin si pemuda ini mau memperkosa istrinya kalau baju si pemuda ini sobel di bagian belakangnya, sedang si istri sobek di depannya.
Peristiwa ini mirip dengan kisah nabi Yusuf. Saat keadilan ditegagkan didesa itu, dusta sudah dihilangkan, fitnah juga,...maka ending film ini kembali ke establishing desa yang tampak cerah dengan matahari muncul (tidak kabut lagi seperti di opening film)
Walaupun ceritanya mengambil sedikit cuplikan dari kisah Nabi Yusuf, tetapi Pak Umam menggambarkannya khas dengan daerah setempat, yaitu di padang. Pelajaran yang diambil dalam film itu jauh lebih banyak. Dan yang paling hebatnya lagi, saya masih ingat scene opening kampung yang suram dengan kabut-nya, dan setelah problem selesai. kampung itu tidak suram, bahkan cerah dan tidak berkabut lagi. Luar biasa film itu.
Film ini berkisah tentang seorang guru yang datang dari berusaha membawa perubahan di sebuah kampung, namun tidak disukai oleh penduduk. Mereka kemudian berusaha menyingkirkannya dengan tuduhan usaha pemerkosaan terhadap seorang gadis. Sementara itu, seorang warga yang dianggap alim menuduh seorang gadis muda sebagai tidak bermoral setelah gadis itu menolak rayuannya. Seorang ustadz yang sedang mengunjungi desa itu kemudian berusaha mengungkap kemunafikan masyarakat kampung tersebut.
Titian Serambut Dibelah Tujuh adalah film Indonesia tahun 1982 yang disutradarai oleh Chaerul Umam. Skenarionya ditulis oleh Asrul Sani, dan dibintangi antara lain oleh Rachmat Hidayat dan El Manik.
Asrul Sani meraih penghargaan skenario terbaik dalam Festival Film Indonesia 1983 untuk film ini.
Sebagai ilustrasi pembahasan struktur dramatik scenario, berikut akan dibahas scenario film yang ditulis Asrul sani (almarhum) berjudul TITIAN SERAMBUT DIBELAH TUJUH yang disutradarai Chaerul Umam. Berikut ini adalah Basic Story-nya : Ibrahim adalah santri muda yang diperintahkan gurunya untuk menjadi guru agama di sebuah kampung yang jauh terpencil bernama Batu Hampar. Setelah sampai di kampung itu, Ibrahim menemukan keganjilan-keganjilan. Ia bertemu Sulaiman sebagai satu-satunya guru agama di kampung itu, tapi betapa Sulaiman seorang guru yang munafik. Tidak bisa berbuat apapun dibawah kekuasaan Harun, orang paling kaya di kampung, serta Arsyad seorang pemuda yang menonjol dan sombong. Ibrahim dapat merasakan kampung berada pada kekacauan akibat ulah Harun dan Arsyad. Seorang gadis bernama Halimah telah menjadi korban kesewenangan mereka. Terutama Arsyad yang ditolak cintanya oleh Halimah. Orang-orang kampung juga membenci Halimah sebagai aib karena dituduh pernah diperkosa serdadu Belanda. Ibrahim memulai usahanya memerangi kebatilan tersebutdengan modal keimanan. Ia mendapat rintangan dari Sulaiman, Harun dan Arsyad. Puncak rintangannya adalah Saleha, istri Harun yang selalu merayunya. Sampai kemudian ibrahim difitnah oleh Saleha telah memperkosanya. Ibrahim diadili oleh orang sekampung. Halimah yang berusaha menolongnya tak berrarti apa-apa dan tak merubah keputusan harun untuk memenggal kepala Ibrahim. Saat itulah dating musyafir tua yang pertama kali dijumpai ibrahim saat menuju kampung itu. Musafir tua itulah yang membuktikan baha Ibrahim tidak bersalah. ****
Konflik sebagai unsure utama cerita merupakan konflik besar yang berkembang membesar. Jenis konflik hitam putih yang dihadapkan pada konflik situasional dan social. Unsur seperti curiosity, suspense dan identifikasi hadir melengkapi bangunan cerita dengan cermat. Curiosity muncul ketika tokoh Halimah hadir sebagai gadis yang selalu kelihatan ketakutan sambil membawa sangkar burung, serta tokoh Ibrahim yang dihadapkan pada persoalan rumit dan harus mencari jalan keluarnya seorang diri. Suspense muncul ketika Ibrahim sepertinya tidak menemukan jalan keluar dari masalah yang dihadapinya. Ibrahim tetap sebagai manusia biasa yang mempunyai ketakutan menghadapi masalah yang tengah dihadapinya. Ia harus berjuang seorang diri di suatu tempat yang asing. Apalagi tokoh-tokoh antagonis trus diberi ruang sehingga persoalannya sulit diduga kapan selesainya dan seperti apa jenis penyelesaiannya nanti. Identifikasi muncul pada tokoh Ibrahim sebagai sosok pejuang seorang diri, Sulaiman sebagai seorang Haji yang munafik, tokoh halimah yang selalu kalah. Bukankah mereka tokoh yang selalu ada disekitar kita. Konflik yang ditawarkan mempunyai arti penting bagi tokoh-tokoh yang terlibat dan pemecahan masalahnya membawa perubahan penting bagi tokoh-tokohnya dan lingkungan dimana peristiwa tersebut terjadi.
Konflik berawal dari konflik Ibrahim dengan kampung Batu Hampar sebagai konflik situasional, yang berkembang menjadi konflik-konflik: - konflik ibrahim dengan warga (konflik social) - konflik ibrahim dengan Sulaiman - Konflik Ibrahim dengan Arsyad - Konflik ibrahim dengan Harun - Konflik Ibrahim dengan Saleha - Konflik Ibrahim dengan Halimah Sebelum kedatangan Ibrahim ke Kampung Batu Hampar, konflik sudah terjadi di tempat itu. Konflik itu adalah: - Konflik Halimah dengan warga kampung - Konflik Halimah dengan Arsyad - Konflik Saleha dengan Harun Satu budaya yang bisa ditangkap dari sifat konflik film ini adalah bahasa yang diucapkan oleh para tokohnya. Yang paling mudah orang menebaknya adalah logat Sumatra. Pola dramatik yang dipakai scenario film ini adalah struktur tiga babak. Penyusunan opening yang cermat dan mengurai konfliknya dengan matang dan menyelesaikannya dengan menjaga emosi yang rapi dan tidak buru-buru sehingga pada hasil akhirnya kita mendapatkan perenungan yang dalam setelah selesai menontonnya. Catatan: Mendapat piala citra sebagai skenario terbaik FFI tahun 1983.
NEWS
26 Maret 1983 Orang-orang munafik TITIAN SERAMBUT DIBELAH TUJUH Cerita skenario: Asrul Sani Pemain utama: El Manik, Dewi Irawan Sutradara: Chaerul Umam Produksi: Koperasi Film Nasional GURU mengaji Ibrahim duduk terpuruk di kamarnya, dan dengan tubuh gemetaran ia membaca Ayat Kursi. Diluar rumah, laki-laki seluruh kampung berteriak-teriak menyuruhnya keluar. "Guru munafik, uru munafik," teriak mereka sambil merempari rumah dan mendobrak pintu. Adegan yang sangat menesankan itu seperti menjadi penentu: apakah film ini akan jadi vulgar atau tidak. Ternyata tidak. Ibrahim, di situ, ditunjukkan dalam wajah manusiawi. Ia, ternyata juga kecut bukan kepalang menghadapi amukan orang kampung - tidak seperti Nabi Muhammad saw. menghadapi orang Kurais sebagaimana diceritakannya kepada murid-muridnya. Padahal ia tahu dirinya tak bersalah. Tapi dengan begitu film ini jadi menyentuh bila dibanding, misalnya, si tokoh unjuk keberanian dan menjadi martir. Kisah yang ditulis, dan pernah difilmkan sendiri oleh Asrul Sani di tahun 1950-an bertolak dari cerita seorang guru mengaji muda pendatang di sebuah kampung yang "warganya seperti layang-layang putus". Di kampung itu, sebagaimana dikisahkan penulis, semua kehidupan sudah banyak menyimpang dari jalan agama. Di situ ada Harun (Soekarno M. Noor), orang kaya tukang judi, menjadi penguasa kampung yang ditakuti. Ke mana pergi ia selalu ditemani bujang lelakinya yang cantik - Harun memang homo. Lalu ada Arsad (Soultan Saladin), lelaki licik yang tak pernah memikirkan anak Istrinya.
Kegemarannya mengganggu istri orang. Dan ada Halimah (Dewi Irawan), gadis yang tersingkir dari pergaulan karena difitnah telah berzina dengan pacarnya. Di kampung itu berdiam pula seorang guru mengaji senior: Sulaiman (Rachmat Hidayat). Tapi sang guru telah "berdamai" dengan tingkah laku orang kampung. Maka lengkaplah kekacauan itu. Mulanya Ibrahim tak menyadari semua itu. Ia mulai terlibat ketika memergoki Arsad hendak memperkosa Halimah. Malu dan takut perbuatannya terbongkar, Arsad pun menyebar fitnah bahwa Halimah telah sampai ke puncak kegilaannya. Sebab gadis itu telah mencakar pipinya. Ia mengusulkan agar Halimah dipasung saja. Dan memang itulah yang terjadi. Lagi-lagi sutradara haerul Umam, yang sehari-hari dipanggil Mamang, memperlihatkan kebolehan. Adegan Halimah diambil secara paksa dari rumahnya oleh orang-orang kampung yang dipimpin Arsad dibuat dengan bagus. Ada orang-orang yang berpakaian hitam, obor-obor, dan ratap tangis orangtua Halimah. Ada pula guru muda yang tak berdaya menyaksikan kezaliman itu. Sementara Sulaiman yang diharapkan (oleh si guru muda) bisa menolong, ternyata berdiri di luar pagar. Yang terasa agak berlebihan: Mamang menambahkan hujan dan petir dalam adegan ini. Akhir cerita memang sesuai dengan judulnya.
Orang yang beriman selamat meniti jembatan serambut dibelah tujuh. Arsad mati terjatuh sewaktu hendak melarikan diri dari gerebekan orang kampung lain gara-gara kepergok hendak memperkosa seorang wanita kampung tersebut. Halimah sehat kembali. Dan Ibrahim, yang hampir mati konyol karena fitnah istri Harun, diselamatkan oleh seorang musafir - yang entah dari mana munculnya. Film ini memang sedikit menyimpang dari skenario Asrul. Tokoh musafir yang muncul di awal dan akhir kisah, versi Chaerul, adalah tokoh yang santai. Sebaliknya dalam skenario. Yang hendak dicapai Mamang dengan menyantaikan tokoh itu, agar musafir tampak wajar - sekalipun akhirnya mirip tokoh pengembara dalam film silat. Tokoh Ibrahim, diperankan oleh El Manik, aktor yang pernah duduk di bangku Sekolah Pendidikan Guru, agaknya tak akan mendapat tepukan tangan sebagaimana tokoh dalam Al Kautsar - film Mamang terdahulu. Tapi itulah yang membuat film ini berharga, di tengah sepinya film-film lokal bermutu saat ini.
Ini film sangat amat baik sekali. Dulu sekali saya menontonya di bioskop saat masih kecil. ada dua hal yang saya masih ingat saat itu. Satu adalah kampung it8 penuh dengan asap/kabut, yang kedua adalah sobekan baju di belakang El Manik mengingatkan pada kisah Nabi Yusuf.
KOFINA
DEWI IRAWAN EL MANIK SOULTAN SALADIN DARUSSALAM RACHMAT HIDAYAT MARLIA HARDI SUKARNO M. NOOR MENZANO CHAIDAR DJAFAR SUM HUTABARAT YUSTINE RAIS IDA LEMAN |
Saya menontonnya kembali, kali ini dalam DVDnya yang diputar di screen. Saya sekali tidak bisa melihat 35mm, karena masih kecil saya belum tahu apa-apa tentang film. Tetapi dari kecil saya sudah tahu ini film bagus, dan mendapatkan piala citra akhirnya. Tetapi saya menonton kembali.
Luar biasa apa yang saya rasakan saat kecil itu terulang kembali, berarti ini film bagus dong. Asrul Sani memang baik dalam memnulis skenario dari pada menjadi sutradara. Entah apa nasib film dengan judul yang sama ini sebelumnya dibuat oleh Asrul Sani. saya ingin tanya dia kalau masih hidup, sayang sudah meninggal. Yang ingin saya tanyakan adalah apakah Asrul puas atas film Pak Mamang ini? Dan apa bedanya dengan film yang dia buat sebelumnya.
Biasanya film dibuat ulang lagi karena banyak hal. Skenario bagus, tapi film tidak bagus. Tehnologi pembuatan film yang terus berkembang sesuai dengan kemajuan jaman dan kreatifitas. Kalau tehnologi ini penyebabnya, jarak waktu Asrul sani membuat film ini dengan Pak Mamang tidak jauh beda. Mumngkin bedanya hanya di suara saja. Tetapi saya bisa merasakan, film yang dibuat pak Mamang ini lebih baik dari pada yang dibuat Asrul Sani.
Asrul sani sangat brilian membuat film ini. Ada kesamaan dengan karya-karya Hamka mungkin, karena film ini sebenarnya film dakwah yang tanpa disadari penonton di dakwahi oleh film ini. Dialoq sangat bagus, pemilihan nama-nama karaketernya bagus juga sesuai dengan arti masing-masing yang diambil dari sejumlah nama-nama islam (Arab dan juga Nabi-Nabi sesuai dengan karakter mereka).
Ada sesuatu yang jangal yaitu Mr.Misterius kita di awal film dan muncul di Akhir film itu. Sampai sekarang tidak tahu namanya siapa dalam film itu. Saat El Manik mau menuju desa itu, dia bilang...rakyat di desa itu seperti layang-layang yang putus. Tentu artinya layang-layang tanpa arah terobang ambing...harus dikendalikan. Mr.Misterius hanya bilang, berkelana dari kampung satu ke kampung yang lain. Kalau ada Kiayi yang pintar, dia mau belajar. Kalau tidak ada, dia yang akan mengajar. Ini dalah informasi kalau dia sangat paham sekali tentang ilmu islam sehingga pemunculannya di ending juga penonton sudah mengetahuinya kepintaran Mr.Misterius ini.
Hal yang paling membuat hancur di dunia ini adalah Fitnah. Fitnah adalah dosa awal dan besar yang bisa menjadi dosa-dosa yang lainnya. Disini digambarkan juga bila seorang pemimpin sudah dikendalikan dengan uang tanpa ada rasa imam, apa yang terjadi. Seorang pemimpin desa yang guru ngaji dan kiayi di desa itu bisa tunduk pada seorang juragan kaya pejudi karena masalah uang. Semua peraturan dan kelakuan jahat di desa itu di restui oleh Kiayai Sulaiman ini. Bahkan Fitnah yang terjadi pada Halimah juga dibenarkan. Apa jadinya sebuah dunia kalau sudah dikendalikan oleh uang dan nafsu.
Film ini sangat menyeramkan sekali, saat kecil saya takut menontonya seperti menonton film horor, sekarang juga masih terasa seram sekali. Sara merasa seram melihat orang yang melakukan dosa dan agama belum ditegagkan di desa itu. Ini mirip El Manik yang dilakukan oleh para nabi untuk menuntun umatnya ke jalan agama. Dan El-Manik disini sebagai pemimpin dan penyelamat untuk desa itu selayaknya tugas nabi. Tetapi El Manik bukan nabi karena dia tidak memiliki mukzizat. Karena it7 dia juga merasa getir saat orang kampung menuduhnya memeperkosa istri Juragan kaya yang dimainkan Soekarno M.Noor itu.
Dosa manusia yang digambarkan dikampung itu sangat komlit, mulai Fitnah, pemerkosaan, pendusta, penjudi, mabuk, Kiayi ke jalan yang salah, hingga kepada soal Homoseksual dan lesbian. Istri tidak hormat sama suami, suami juga tida menafkahi istri dan sebagainya....sangat komplit dosa manusia didunia ini hanya digambarkan dalam satu desa ini saja. Seharusnya rintangan El Manik Jauh lebih besar kalau Pak Mamang mau. Tetapi pak Mamang atau Asrul punya maksud tersendiri.
Adegan pemasungan sangat bagus sekali, sangat menyentuh. Bagaimana bisa keadilan belum di tegakkan dan hukum bisa di beli...seperti inilah jaman antah berantah nanti.
El Manik hanya bisa curhat dengan buku diarynya dari pada Sholat. Mungkin ada maksud tertentu agar tidak terlalu agamais film ini. Tidak masalah, karena dia seorang guru, maka buku adalah dunianya juga. Dan juga matinya Asrat juga terlalu gampang untuk orang yang dibenci orang kampung dan penonton, hanya jatuh dari motor dan mati karena kepanikannya dikejar orang kampung.
Tetapi saat El Manik mau dibunuh sama Juragan kaya itu karena memperkosa istrinya, sang Mr.Misterius datang dan membelanya. Baju koyak di belakang El Manik menjadi kuncinya. Akhir dari cerita, pak Hj Sulaiman, Kiayi itu insaf dan bilang...saya memang orang berpendidikan, tetapi tidak punya iman. Sebaik-baiknya orang sekolah tinggi tapi kalau iman tidak ada, maka..tidak ada gunanya juga.
El Manik memutuskan untuk pergi dari kampung itu, di jalan dia ketemu Mr.Misterius itu lagi dan Mr.Misterius itu bilang kamu baru saja lulus. Pemimpin adalah pemimpin bagi sesamanya....ini bagus sekali kalimatnya. Sehingga El Manik membalikan sepedanya dan kembali ke arah desa itu lagi.
Entah kenapa, skenario film dulu, dialoqnya bagus-bagus...apakah mereka memang orang sastra yang memiliki bendahara kata yang baik, dan kosa kata yang indah...? Tapi film sekarang skenario hanya dibuat orang yang hanya bisa menulis dan pintar mengarang saja sudah cukup. Karena itu tidak ada dialoq seindah film-film dulu. Karena mereka adalah sastrawan.
Film ini dimulai dengan sebuah kampung (kata Pak Mamang sih di Sumatra Barat mereka shootingnya), kampung ini sangat ditutupi oleh kabut tebal sehingga tampak seram sekali kampung ini dikaki bukit (kata Pak Mamang kabut itu adalah hasil efek dari penata artistiknya). Jelas bagi penonton ada apa kampung ini sehingga tampak suram seperti ini, di jelaskan dari masyarakatnya yang sudah menjauh dari ajaran agama Islam, sehingga datanglah seorang lulusan pesantren ke kampung itu. Tinggal disana, dan istri dari juragan kaya dikampung itu ternyata menaruh hati sama pemudah ini. Mulailah dia dihasut, seorang yang imannya baik, dikampung ini mulai dipertarungkan, mualai dari hal apa saja ada.
Ringkasan ceritanya:
Hingga suatu hari si peria ini di jebak oleh istri juragan ini dirumahnya. Tetapi si pemuda tidak mau sehingga baju pemuda ini terkoyak di belakangnya, tetapi si istri melancarkan dustanya sambil berteriak tolong dan menyobek bajunya di depan. Si istri berdusta di depan suaminya, sang juragan itu balau dia mau diperkosa oleh pemuda alim ini, tetapi sang Suami justru sangat pintar, mana mungkin si pemuda ini mau memperkosa istrinya kalau baju si pemuda ini sobel di bagian belakangnya, sedang si istri sobek di depannya.
Peristiwa ini mirip dengan kisah nabi Yusuf. Saat keadilan ditegagkan didesa itu, dusta sudah dihilangkan, fitnah juga,...maka ending film ini kembali ke establishing desa yang tampak cerah dengan matahari muncul (tidak kabut lagi seperti di opening film)
Walaupun ceritanya mengambil sedikit cuplikan dari kisah Nabi Yusuf, tetapi Pak Umam menggambarkannya khas dengan daerah setempat, yaitu di padang. Pelajaran yang diambil dalam film itu jauh lebih banyak. Dan yang paling hebatnya lagi, saya masih ingat scene opening kampung yang suram dengan kabut-nya, dan setelah problem selesai. kampung itu tidak suram, bahkan cerah dan tidak berkabut lagi. Luar biasa film itu.
Film ini berkisah tentang seorang guru yang datang dari berusaha membawa perubahan di sebuah kampung, namun tidak disukai oleh penduduk. Mereka kemudian berusaha menyingkirkannya dengan tuduhan usaha pemerkosaan terhadap seorang gadis. Sementara itu, seorang warga yang dianggap alim menuduh seorang gadis muda sebagai tidak bermoral setelah gadis itu menolak rayuannya. Seorang ustadz yang sedang mengunjungi desa itu kemudian berusaha mengungkap kemunafikan masyarakat kampung tersebut.
Titian Serambut Dibelah Tujuh adalah film Indonesia tahun 1982 yang disutradarai oleh Chaerul Umam. Skenarionya ditulis oleh Asrul Sani, dan dibintangi antara lain oleh Rachmat Hidayat dan El Manik.
Asrul Sani meraih penghargaan skenario terbaik dalam Festival Film Indonesia 1983 untuk film ini.
Sebagai ilustrasi pembahasan struktur dramatik scenario, berikut akan dibahas scenario film yang ditulis Asrul sani (almarhum) berjudul TITIAN SERAMBUT DIBELAH TUJUH yang disutradarai Chaerul Umam. Berikut ini adalah Basic Story-nya : Ibrahim adalah santri muda yang diperintahkan gurunya untuk menjadi guru agama di sebuah kampung yang jauh terpencil bernama Batu Hampar. Setelah sampai di kampung itu, Ibrahim menemukan keganjilan-keganjilan. Ia bertemu Sulaiman sebagai satu-satunya guru agama di kampung itu, tapi betapa Sulaiman seorang guru yang munafik. Tidak bisa berbuat apapun dibawah kekuasaan Harun, orang paling kaya di kampung, serta Arsyad seorang pemuda yang menonjol dan sombong. Ibrahim dapat merasakan kampung berada pada kekacauan akibat ulah Harun dan Arsyad. Seorang gadis bernama Halimah telah menjadi korban kesewenangan mereka. Terutama Arsyad yang ditolak cintanya oleh Halimah. Orang-orang kampung juga membenci Halimah sebagai aib karena dituduh pernah diperkosa serdadu Belanda. Ibrahim memulai usahanya memerangi kebatilan tersebutdengan modal keimanan. Ia mendapat rintangan dari Sulaiman, Harun dan Arsyad. Puncak rintangannya adalah Saleha, istri Harun yang selalu merayunya. Sampai kemudian ibrahim difitnah oleh Saleha telah memperkosanya. Ibrahim diadili oleh orang sekampung. Halimah yang berusaha menolongnya tak berrarti apa-apa dan tak merubah keputusan harun untuk memenggal kepala Ibrahim. Saat itulah dating musyafir tua yang pertama kali dijumpai ibrahim saat menuju kampung itu. Musafir tua itulah yang membuktikan baha Ibrahim tidak bersalah. ****
Berikut ini akan saya cuplikan beberapa scene dari sKenario asli TITIAN SERAMBUT DIBELAH TUJUH. Saya hanya akan menuliskan 2 scene yang saya anggap mewakili keseluruhan ceritanya. SCENE 6.EXT. JALAN DEKAT MASJID - PAGI IBRAHIM naik sepeda. Waktu sampai di tempat yang agak sepi ia berhenti, lalu menyandarkan sepedanya ke sebatang pohon. Ia melepaskan ikatan sebuah botol yang berisi air dan sebuah caan (mangkok) dari alumunium lalu minum. Distang sepeda itu juga diikatkan sebuah karung kecil dari kain belacu (bekas karung terigu) berisi beras. Tapi kemudian ia mendengar suara seorang lelaki tua mengucapkan salam. LELAKI TUA Assalamu’alaikum! IBRAHIM Alaikumsalam! Ibrahim duduk. Dan waktu orang tua itu mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengannya, Ibrahim berdiri. Orangtua itu mengenakan peci resam, brbaju gunting cina sedangkan celananya terbuat dari kain merekan sepanjang setengah lutut (dibawah lutut tapi tak sampai kemata kaki:sampai ke betis), sedangkan sehelai kain pelekat terlilit dipinggangnya. Dibahunya ia menyandang sebuah kampil beras yang sudah hampir kosong. Ibrahim bergeser sedikit dari tempatnya untuk memberikan tempat bagi orangtua itu dibagian yang kelindungan baying-bayang. Orangtua itu berjalan menggunakan sebuah tongkat, biarpun ia kelihatannya sehat dan kuat. Tongkat itu lebih banyak merupakan alat mainan tangan daripada sesuatu yang ia perlukan untuk bertopang. Rupanya ia baru sarapan pagi. IBRAHIM Bapak mau kemana? ORANGTUA Ke Tanjung Beringin. IBRAHIM Sehari perjalanan dari sini. Bapak akan Kemalaman dijalan. Antara tempat ini Dan Tanjung Beringin tidak ada kampung. ORANGTUA Tidak apa. Saya biasa tidur dibawah Kolong langit. IBRAHIM Apakah bapak mau menjenguk keluarga disana? ORANGTUA Tidak. Saya berjalan dari kampung ke Kampung. Kalau ada ulama besar di kampung itu saya belajar, kalau tidak saya mengajar. Anak mau kemana? IBRAHIM Ke Batu Hampar. Orangtua itu terdiam sebentar, lalu ia berkata sambil tercenung.
ORANGTUA Rakyat di kampung itu seperti laying- layang putus IBRAHIM Kenapa pak? Disana mengajar Haji Sulaiman. Orangtua itu diam tidak menjawab ORANGTUA Nanti anak akan lihat sendiri. Ah, sudah Turun matahari.Saya mau terus. Ibrahim memandang ke kampil beras orangtua yang sudah hampir kosong itu. IBRAHIM Sebentar pak. Ia berdiri mengambil kampil berasnya dari ikatan sepedanya dan kemudian menuangkan isinya kedalam kampil beras kepunyaan orantua itu. IBRAHIM Hanya ini yang dapat saya berikan. ORANGTUA Alhamdulillah. Semoga Allah melindungimu. Kedua mereka bersalaman. Orantua itu mengucapkan salam lalu pergi meninggalkan tempat itu. Ibrahim memperhatikannya sebentar lalu menaiki sepedanya. 107. EXT. TIKUNGAN JALAN - PAGI Ibrahim menaiki sepedanya. Tanpa ia ketahui ia melewati Lelaki Tua (di scene atas Orangtua- penulis) yang sedang asyik dengan sarapan paginya, duduk sambil membakar singkong dan sedang ngopi. LELAKI TUA Ibrahim! Ibrahim mendengar. Ia seolah mengenali suara itu. Lalu ia menghentikan sepedanya. Ketika ia melihat siapa yang menegurnya, ia mengangguk hormat. LELAKI TUA Kau mau kemana? IBRAHIM Mau kembali.
LELAKI TUA Kau tidak bisa lagi meninggalkan kampung ini IBRAHIM Aku harus belajar bayak… LELAKI TUA Kau baru saja lulus sekolah. Mereka percaya Padamu. Kalau kamu pergi mereka akan jadi Kapan tanpa nakoda. Kau telah menyelamatkan Kampung dari dosa. IBRAHIM Aku seorang guru Pak. Yang mereka Perlukan adalah pemimpin. LELAKI TUA Setiap muslim adalah pemimpin bagi sesamanya. Berat nak, tapi terimalah itu sebagai amanat Tuhan yang kau bawa dari rahim ibumu. Orangtua itu berkata sambil mengemasi barang perlengkapan kelananya. Selesai memberesi segalanya LELAKI TUA Assalamualaikum. LElaki Tua itu pergi. Ibrahim tak mampu melawan kebenaran kata-kata yang diucapkan oleh lelaki Tua itu. Dipandanginya kepergian orangtua ituyang kian menjauh, sampai tak terlihat lagi. Dengan kemantapan hati seorang muslim. Ibrahim memutar arah sepedanya, mengarah ke kampung kembali. Selesai.****
ORANGTUA Rakyat di kampung itu seperti laying- layang putus IBRAHIM Kenapa pak? Disana mengajar Haji Sulaiman. Orangtua itu diam tidak menjawab ORANGTUA Nanti anak akan lihat sendiri. Ah, sudah Turun matahari.Saya mau terus. Ibrahim memandang ke kampil beras orangtua yang sudah hampir kosong itu. IBRAHIM Sebentar pak. Ia berdiri mengambil kampil berasnya dari ikatan sepedanya dan kemudian menuangkan isinya kedalam kampil beras kepunyaan orantua itu. IBRAHIM Hanya ini yang dapat saya berikan. ORANGTUA Alhamdulillah. Semoga Allah melindungimu. Kedua mereka bersalaman. Orantua itu mengucapkan salam lalu pergi meninggalkan tempat itu. Ibrahim memperhatikannya sebentar lalu menaiki sepedanya. 107. EXT. TIKUNGAN JALAN - PAGI Ibrahim menaiki sepedanya. Tanpa ia ketahui ia melewati Lelaki Tua (di scene atas Orangtua- penulis) yang sedang asyik dengan sarapan paginya, duduk sambil membakar singkong dan sedang ngopi. LELAKI TUA Ibrahim! Ibrahim mendengar. Ia seolah mengenali suara itu. Lalu ia menghentikan sepedanya. Ketika ia melihat siapa yang menegurnya, ia mengangguk hormat. LELAKI TUA Kau mau kemana? IBRAHIM Mau kembali.
LELAKI TUA Kau tidak bisa lagi meninggalkan kampung ini IBRAHIM Aku harus belajar bayak… LELAKI TUA Kau baru saja lulus sekolah. Mereka percaya Padamu. Kalau kamu pergi mereka akan jadi Kapan tanpa nakoda. Kau telah menyelamatkan Kampung dari dosa. IBRAHIM Aku seorang guru Pak. Yang mereka Perlukan adalah pemimpin. LELAKI TUA Setiap muslim adalah pemimpin bagi sesamanya. Berat nak, tapi terimalah itu sebagai amanat Tuhan yang kau bawa dari rahim ibumu. Orangtua itu berkata sambil mengemasi barang perlengkapan kelananya. Selesai memberesi segalanya LELAKI TUA Assalamualaikum. LElaki Tua itu pergi. Ibrahim tak mampu melawan kebenaran kata-kata yang diucapkan oleh lelaki Tua itu. Dipandanginya kepergian orangtua ituyang kian menjauh, sampai tak terlihat lagi. Dengan kemantapan hati seorang muslim. Ibrahim memutar arah sepedanya, mengarah ke kampung kembali. Selesai.****
TITITAN SERAMBUT DIBELAH TUJUH adalah sebuah cerita yang serius. Hal tersebut sudah dimulai dari judulnya. Suatu perlambang perjuangan melewati ujian yang kelewat mustahil. Sebuah cerita religius yang tidak jatuh menjadi verbal. Cerita ini bicara moral, bukan melulu tentang khotbah Firman Tuhan atau sekadar menggambarkan orang sembahyang atau sedang mengaji Al Qur’an atau orang bersorban dan berjilbab. Inilah sikap orang beragama yang benar. Bangunan ceritanya menguat. Mulai dari opening gaya bertuturnya menganut pola AB-AB atau garis lurus. Stuktur dramatiknya tertata dengan pelan tapi pasti dan terus menanjak konfliknya menuju klimaks.
Konflik sebagai unsure utama cerita merupakan konflik besar yang berkembang membesar. Jenis konflik hitam putih yang dihadapkan pada konflik situasional dan social. Unsur seperti curiosity, suspense dan identifikasi hadir melengkapi bangunan cerita dengan cermat. Curiosity muncul ketika tokoh Halimah hadir sebagai gadis yang selalu kelihatan ketakutan sambil membawa sangkar burung, serta tokoh Ibrahim yang dihadapkan pada persoalan rumit dan harus mencari jalan keluarnya seorang diri. Suspense muncul ketika Ibrahim sepertinya tidak menemukan jalan keluar dari masalah yang dihadapinya. Ibrahim tetap sebagai manusia biasa yang mempunyai ketakutan menghadapi masalah yang tengah dihadapinya. Ia harus berjuang seorang diri di suatu tempat yang asing. Apalagi tokoh-tokoh antagonis trus diberi ruang sehingga persoalannya sulit diduga kapan selesainya dan seperti apa jenis penyelesaiannya nanti. Identifikasi muncul pada tokoh Ibrahim sebagai sosok pejuang seorang diri, Sulaiman sebagai seorang Haji yang munafik, tokoh halimah yang selalu kalah. Bukankah mereka tokoh yang selalu ada disekitar kita. Konflik yang ditawarkan mempunyai arti penting bagi tokoh-tokoh yang terlibat dan pemecahan masalahnya membawa perubahan penting bagi tokoh-tokohnya dan lingkungan dimana peristiwa tersebut terjadi.
Konflik berawal dari konflik Ibrahim dengan kampung Batu Hampar sebagai konflik situasional, yang berkembang menjadi konflik-konflik: - konflik ibrahim dengan warga (konflik social) - konflik ibrahim dengan Sulaiman - Konflik Ibrahim dengan Arsyad - Konflik ibrahim dengan Harun - Konflik Ibrahim dengan Saleha - Konflik Ibrahim dengan Halimah Sebelum kedatangan Ibrahim ke Kampung Batu Hampar, konflik sudah terjadi di tempat itu. Konflik itu adalah: - Konflik Halimah dengan warga kampung - Konflik Halimah dengan Arsyad - Konflik Saleha dengan Harun Satu budaya yang bisa ditangkap dari sifat konflik film ini adalah bahasa yang diucapkan oleh para tokohnya. Yang paling mudah orang menebaknya adalah logat Sumatra. Pola dramatik yang dipakai scenario film ini adalah struktur tiga babak. Penyusunan opening yang cermat dan mengurai konfliknya dengan matang dan menyelesaikannya dengan menjaga emosi yang rapi dan tidak buru-buru sehingga pada hasil akhirnya kita mendapatkan perenungan yang dalam setelah selesai menontonnya. Catatan: Mendapat piala citra sebagai skenario terbaik FFI tahun 1983.
NEWS
26 Maret 1983 Orang-orang munafik TITIAN SERAMBUT DIBELAH TUJUH Cerita skenario: Asrul Sani Pemain utama: El Manik, Dewi Irawan Sutradara: Chaerul Umam Produksi: Koperasi Film Nasional GURU mengaji Ibrahim duduk terpuruk di kamarnya, dan dengan tubuh gemetaran ia membaca Ayat Kursi. Diluar rumah, laki-laki seluruh kampung berteriak-teriak menyuruhnya keluar. "Guru munafik, uru munafik," teriak mereka sambil merempari rumah dan mendobrak pintu. Adegan yang sangat menesankan itu seperti menjadi penentu: apakah film ini akan jadi vulgar atau tidak. Ternyata tidak. Ibrahim, di situ, ditunjukkan dalam wajah manusiawi. Ia, ternyata juga kecut bukan kepalang menghadapi amukan orang kampung - tidak seperti Nabi Muhammad saw. menghadapi orang Kurais sebagaimana diceritakannya kepada murid-muridnya. Padahal ia tahu dirinya tak bersalah. Tapi dengan begitu film ini jadi menyentuh bila dibanding, misalnya, si tokoh unjuk keberanian dan menjadi martir. Kisah yang ditulis, dan pernah difilmkan sendiri oleh Asrul Sani di tahun 1950-an bertolak dari cerita seorang guru mengaji muda pendatang di sebuah kampung yang "warganya seperti layang-layang putus". Di kampung itu, sebagaimana dikisahkan penulis, semua kehidupan sudah banyak menyimpang dari jalan agama. Di situ ada Harun (Soekarno M. Noor), orang kaya tukang judi, menjadi penguasa kampung yang ditakuti. Ke mana pergi ia selalu ditemani bujang lelakinya yang cantik - Harun memang homo. Lalu ada Arsad (Soultan Saladin), lelaki licik yang tak pernah memikirkan anak Istrinya.
Kegemarannya mengganggu istri orang. Dan ada Halimah (Dewi Irawan), gadis yang tersingkir dari pergaulan karena difitnah telah berzina dengan pacarnya. Di kampung itu berdiam pula seorang guru mengaji senior: Sulaiman (Rachmat Hidayat). Tapi sang guru telah "berdamai" dengan tingkah laku orang kampung. Maka lengkaplah kekacauan itu. Mulanya Ibrahim tak menyadari semua itu. Ia mulai terlibat ketika memergoki Arsad hendak memperkosa Halimah. Malu dan takut perbuatannya terbongkar, Arsad pun menyebar fitnah bahwa Halimah telah sampai ke puncak kegilaannya. Sebab gadis itu telah mencakar pipinya. Ia mengusulkan agar Halimah dipasung saja. Dan memang itulah yang terjadi. Lagi-lagi sutradara haerul Umam, yang sehari-hari dipanggil Mamang, memperlihatkan kebolehan. Adegan Halimah diambil secara paksa dari rumahnya oleh orang-orang kampung yang dipimpin Arsad dibuat dengan bagus. Ada orang-orang yang berpakaian hitam, obor-obor, dan ratap tangis orangtua Halimah. Ada pula guru muda yang tak berdaya menyaksikan kezaliman itu. Sementara Sulaiman yang diharapkan (oleh si guru muda) bisa menolong, ternyata berdiri di luar pagar. Yang terasa agak berlebihan: Mamang menambahkan hujan dan petir dalam adegan ini. Akhir cerita memang sesuai dengan judulnya.
Orang yang beriman selamat meniti jembatan serambut dibelah tujuh. Arsad mati terjatuh sewaktu hendak melarikan diri dari gerebekan orang kampung lain gara-gara kepergok hendak memperkosa seorang wanita kampung tersebut. Halimah sehat kembali. Dan Ibrahim, yang hampir mati konyol karena fitnah istri Harun, diselamatkan oleh seorang musafir - yang entah dari mana munculnya. Film ini memang sedikit menyimpang dari skenario Asrul. Tokoh musafir yang muncul di awal dan akhir kisah, versi Chaerul, adalah tokoh yang santai. Sebaliknya dalam skenario. Yang hendak dicapai Mamang dengan menyantaikan tokoh itu, agar musafir tampak wajar - sekalipun akhirnya mirip tokoh pengembara dalam film silat. Tokoh Ibrahim, diperankan oleh El Manik, aktor yang pernah duduk di bangku Sekolah Pendidikan Guru, agaknya tak akan mendapat tepukan tangan sebagaimana tokoh dalam Al Kautsar - film Mamang terdahulu. Tapi itulah yang membuat film ini berharga, di tengah sepinya film-film lokal bermutu saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar