Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) merupakan lembaga kebudayaan yang berafiliasi dengan politik seperti partai Nahdlatul Ulama (NU) saat organisasi itu menjadi partai politik pada tahun 1952.
Adalah Djamaluddin Malik, Usmar Ismail, Asrul Sani ?tiga serangkai?, Lesbumi berhasil menciptakan film yang digandrungi masyarakat pada saat itu seperti ?Pagar Kawat Berduri?, ?Tauhid?, dan sebagainya.
Memang jika karya-karya bapak Asrul Sani sangat begitu baik sebagai seorang penulis sekenario. Namun pak asrul sendiri pernah menyatakan kalau film-film Usmar pernah berbau Hollywood, hingga Usmar pun harus mengkompromikan idealismenya dalam film ?Tiga Dara?. Namun, bagaimanapun karya para pejuang-pejuang dalam bidang kebudayaan patut dihormati karena saat itu Indonesia memang membutuhkan Kebudayaan anak Indonesia yang benar-benar muncul dan lahir dari ide kreatif anak bangsa.
Meskipun Proklamasi Kemerdekaan RI dinyatakan pada tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan itu baru sepenuhnya dirasakan secara resmi setelah Desember 1949 dengan berakhirnya serangkaian pertempuran yang masih berlangsung pasca kemerdekaan. Situasi bebas dari serangkaian pertempuran ini membawa angina segar bagi kalangan perfilman Indonesia.
Di tahun 1950 ada sekitar 23 film diproduksi. Salah satu diantaranya adalah film garapan Usmar Ismail , Darah dan Doa. Sebelumnya, dari tahun 1945 hingga 1947, tidak satu pun film diproduksi. Baru pada tahun 1948 sebanyak tiga film dan pada tahun 1949 sebanyak delapan film diproduksi. Misbach Yusa Biran mencatat bahwa perusahaan film yang mula-mula didirikan orang pribumi setelah kemerdekaan Indonesia adalah Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) oleh Usmar Ismail pada 30 Maret 1950. Beberapa bulan kemudian barulah Persari (Persatuan Artis Indonesia) didirikan oleh Djamaluddin Malik. Sejak itu dunia perfilman di Indonesia mulai ?tancap gas? dan penuh semangat. Namun, pada pertengahan tahun 1990-an dikesankan ada kelesuan produksi film nasional. Kesan itu rasanya jauh dari kenyataan kalau hanya melihat jumlah produksi.
Data menunjukkan tahun 1994 terdapat 26 judul film yang diproduksi, 1995, 1996, dan 1997. Tahun 1997 adalah awal krisis ekonomi yang berlanjut dengan krisis sosial-politik. Akibatnya, sangat terasa karena produksi tahun 1998 dan 1999 hanya empat film. Tahun 2000 naik jadi 11 film dan tahun berikutnya, 2001, turun lagi jadi tiga film. Mulai tahun 2002 produksi film nasional bangkit menjadi 14 film, 2003, dan 2004. Diperkirakan tahun 2005 sama dengan tahun sebelumnya.
Angka-angka ini berdasarkan data lolos sensor dari Lembaga Sensor Film, kecuali sekitar 13 film yang langsung beredar dalam bentuk VCD, atau langsung ditayangkan untuk umum dalam bentuk proyeksi video digital di bioskop umum, tempat khusus yang mengadakan pemutaran film dengan membayar tiket masuk, atau festival-festival entah di dalam negeri (JiFFest) entah di luar negeri.
Cita-cita Djamaluddin dengan Persarinya adalah membangun industri film nasional yang modern. Untuk mewujudkan cita-citanya itu, Djamaluddin membangun studio besar dan mewah di kawasan Polonia, Jatinegara, Jakarta. Studio ini juga dilengkapi dengan rumah-rumah tinggal yang mungil diperuntukkan bagi bintang-bintang layer perak. Djamaluddin juga memulai rintisan kerjasama dengan Negara Philipina dalam sebuah produksi film ? karena industri film di Manila pada saat itu jauh lebih baik dari Indonesia. Kondisi seperti ini berbeda dari kebanyakan para produser film saat itu yang masih berkutat dengan peralatan film yang sudah tua dan belum pernah terbayang untuk melangkah ke luar kandang.
Sebelum Lesbumi hadir, upaya negosiasi kepada pemerintah RI agar menetapkan kuota bagi film-film asing, khususnya film-film Amerika, sudah dilakukan oleh Usmar ? melalui Perfini ? bersama dengan Djamaluddin Malik ? melalui Persari ? sejak tahun 1950-an. Sepanjang tahun 1954-1962, mereka berupaya menggerakkan hati pemerintah untuk mengadakan pembatasan kuota terhadap film-film Amerika, dari yang semula 250 film per tahun menjadi 120 film. Akan tetapi, sangat disayangkan, pengurangan masuknya film-film Amerika ini tidak diimbangi oleh tindakan yang positif dalam bentuk memperbanyak produksi film-film nasional. Akibatnya, dominasi film asing tetap saja berlarut-larut. Sampai dengan tahun 1964, kuota untuk film-film Amerika ditetapkan menjadi 80 film.
Kehadiran Lesbumi, dengan demikian, melanjutkan usaha yang telah dirintis oleh Usmar dan Djamaluddin sehubungan dengan pembatasan kekuasaan film-film Amerika. ?Sikap positif membatasi kekuasaan film Amerika di pasaran Indoneisa inilah,? tegas Usmar, ?jang kemudian diambil oper oleh Putjuk Pimpinan Lesbumi. Usmar menyebutkan bahwa penetapan kuota ini bersangkut paut dengan spek financial-ekonomis perdagangan film.
Dalam mengabdikan sejarah perfilman Indonesia tahun 1964-1965, Usmar, pada tahun 1970, mengatakan:
?Tahun 1964-1965 adalah masa hitam bagi perfilman nasional. Dunia film pecah menjadi dua blok yang akibatnya sekarang pun masih dirasakan, karena justru pada masa sesudah 30 September 1965, perpecahan itu telah dieksploitasi oleh pihak-pihak tertentu untuk memenangkan kebijaksanaannya di bidang film??.
Meski sejak awal Djamaluddin Malik memimpin dan menjabat Ketua Umum Lesbumi, tidak diragukan lagi bahwa pemberi bentuk dan konseptor Lesbumi adalah Asrul Sani, disamping Usmar Ismail. Asrul (1927-2004) berusia paling muda di antara kedua rekannya, Djamaluddin Malik (1917-1970) dan Usmar Ismail (1921-1971).
?Tiga serangkai? seniman-budayawan tersebut telah mampu menjadi embrio dan perintis utama kemajuan dunia perfilman di Indonesia. Namun, perfilman Indonesia pernah mengalami krisis hebat ketika Usmar Ismail menutup studionya tahun 1957. Pada tahun 1992 terjadi lagi krisis besar. Tahun 1991 jumlah produksi hanya 25 judul film (padahal rata-rata produksi film nasional sekitar 70 - 100 film per tahun).
Yang menarik, krisis kedua ini tumbuh seperti yang terjadi di Eropa tahun 1980, yakni tumbuh dalam tautan munculnya industri cetak raksasa, televisi, video, dan radio. Dan itu didukung oleh kelembagaan distribusi pengawasannya yang melahirkan mata rantai penciptaan dan pasar yang beragam sekaligus saling berhubungan, namun juga masing-masing tumbuh lebih khusus. Celakanya di Indonesia dasar struktur dari keadaan tersebut belum siap. Seperti belum efektifnya jaminan hukum dan pengawasan terhadap pasar video, untuk menjadikannya pasar kedua perfilman nasional setelah bioskop.
Faktor yang mempengaruhi rendahnya mutu film nasional salah satunya adalah rendahnya kwalitas teknis karyawan film. Ini disebabkan kondisi perfilman Indonesia tidak memberikan peluang bagi mereka yang berpotensi untuk berkembang.
Penurunan jumlah film maupun penonton di Indonesia sudah memprihatinkan. Jumlah penonton dalam skala nasional tahun 1977/78 - 1987/88 tercatat 937.700.000 penonton dan hingga tahun 1992 menurun sekitar 50 persen. Bahkan di Jakarta dari rata-rata 100.000 - 150.000 penonton, turun menjadi 77.665 penonton tahun 1991. Demikian juga dengan jumlah film, dari rata-rata 75 - 100 film pertahun, tahun 1991 / 92 menurun lebih daripada 50 % tahun 1993 surat izin produksi yang di keluarkan Deppen RI, sampai bulan Mei baru tercatat 8 buah film nasional untuk diproduksi. Saat ini dapat dikatakan dunia perfilman Indonesia tengah menggeliat bangun. Masyarakat Indonesia mulai mengganggap film Indonesia sebagai sebuah pilihan di samping film-film Hollywood. Walaupun variasi genre filmnya masih sangat terbatas, tetapi arah menuju ke sana telah terlihat.
Fenomena munculnya film-film Ayat-ayat Cinta yang diangkat dari novel Habiburrahman El Shirazy memukau banyak orang pecinta film. Tidak disangka jumlah penonton yang membludak membanjiri gedung-gedung bioskop di seluruh tanah air, khususnya di kota-kota besar. Kemudian, film ?kiamat sudah dekat? dan lainnya yang bernafaskan humanisme-religius terus menanjak. Hal ini tidak bisa dilupakan perjuangan tiga tokoh seniman dan budayawan Lesbumi tempo dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar