Rabu, 26 Januari 2011

CINTA REMAJA / 1974



Mirta (Sophan Sophiaan), Mira (Widyawati), dan Heri (Bul Bul Salim), tiga remaja bersahabat dalam satu sekolah di Malang. Mira dan Mirta sudah pacaran, dan mereka sering pergi ke sebuah bukit dengan batu besar dinaungi atap rumbia. Di sini mereka merancang rumah masa depan. Ternyata nasib berkata lain. Mirta, anak pegawai negeri kecil, ikut pamannya bekerja di Kalimantan, Mira meneruskan ke IKIP, sedang Heri membantu ayahnya sebagai pemborong. Mirta tak memenuhi janjinya pada Mira karena kesibukannya. Surat pemberitahuannya disabot Sulya (Debby Cynthia Dewi), anak pemilik hutan tempat pamannya bekerja, tapi sudah meninggal. Sulya ini baru kembali dari sekolah di Singapura berkat paman Mirta, yang kini memiliki perusahaan tempatnya bekerja. Sulya diam-diam mencintai Mirta. Mira sangat kecewa dengan Mirta. Heri yang tahu keadaan itu, lalu mendekati Mira dan berhasil menikahinya. Baru pada saat perkawinan itu Mirta datang. Heri ingin menyerahkan Mira pada Mirta, tapi Mirta menolak. Suatu saat Heri melihat Mira bertemu dengan Mirta dan bercakap-cakap. Heri marah dan pulang larut malam. Mira yang menunggu-nunggu untuk merayakan ulang tahun Heri, lalu pergi ke bukit kenangan. Di situ ia jumpa lagi dengan Mirta yang menasehatinya agar pulang. Sesampai di rumah, didapatinya rumahnya berantakan dihancurkan Heri, yang ditemuinya sudah tak bernyawa...
 P.T. KARYA DUNIA FILM

SOPHAN SOPHIAAN
WIDYAWATI
BULBUL SALIM
DEBBY CYNTHIA DEWI
ALAM SURAWIDJAJA
MARILU SITOMPUL
FIFI YOUNG
NETTY HERAWATI


News
07 Juni 1975
Romantis, banyak bengkok

CINTA REMAJA skenario: Sjuman Djaja. sutradara: Lilik Sudjio. *** INI sebuah contoh bagus dari film-film yang dibuat berdasar potongan-potongan adegan yang diharapkan romantis dramatis dan kalau boleh sekaligus juga tragis. Dibuka dengan adegan bubaran sekolah di sebuah SMA Malang, belum sampai ke rumah, Mira (Widyawati) dan Mirta (Sophan Sophian) tahu-tahu sudah berada di sebuah bukit. Di sana, bagaikan orang plesir di hari Minggu--lengkap dengan roti dan keju--mereka berasyik maksyuk. Tapi baru sepotong roti tertelan oleh Mirta, si pemuda ini tiba-tiba mengajak pulang. "Hari sudah sore", katanya. Menghabiskan Banyak Waktu Adegan yang satu ini nampaknya sengaja dibikin untuk sekedar memperkenalkan sebuah batu besar di bawah naungan atap rumbia dengan topangan bambu yang bertengger di bukit. Nah di bukit itulah konon Mirta merencanakan sebuah rumah untuk hari depan saya dengan Mira.

Romantis juga kedengarannya. Di bukit ini Lilik Sudjio menghabiskan banyak waktu, sebab cukup lumayan adegan Cinta Renaja yang terjadi di tempat ini. Bahkan pada tengah malam buta, Mira yang hamil besar harus pula digiring ke sini hanya agar film menjadi lebih tragis lewat pertemuan Mirta dengan bekas pacarnya yang kawin dengan Harry (Bul-Bul Salim). Adegan laut juga tidak kurang dalam film ini. Jangan tanya berapa jarak kota Malang dari pantai. Pokoknya Mira dan Mirta bisa saja bersepeda dari tengah kota pegunungan itu ke pantai. Ini tentu romantis juga. Tengah malam buta, Mira dan Harry ada pula diantar ke pantai entah dengan maksud apa, Harry langsung saja jalan ke dalam laut dengan pakaian rapi seperti mau bunuh diri saja -- hanya untuk meyakinkan sang gadis bahwa laki-laki yang satu ini juga cukup mencintainya. Mereka memang kawin. Adegan kawin ini tidak kurang hebat. Kejadian berlangsung setelah Mira lama berada di Kalimantan sana. Mira yang dilanda kesulitan ekonomi terpaksa kawin dengan Harry lantaran kabar tak kunjung datang dari Mirta. Meskipun di hutan Mirta ditemani oleh gadis montok (Debby Cintia Dewi) tapi bukan lantaran berkhianat maka surat tidak muncul di Malang. Justru si gadis montok ini yang jadi hulu malang: Mirta dengan menyuruh anak muda ini mempercayakan mengeposkan suratnya pada gadis yang justru juga amat sangat menginginkannya Mirta dibikin lebih tolol lagi dengan terus menyuruhnya mempercayai sang gadis, meskipun balasan surat tidak pula kunjung datang dari Malang. Tapi apa boleh buat. Kalau Mirta sedikit dibikin pandai, film segera selesai dengan happy ending. Dan adegan perkawinan Mira di gereja yang tragis macam yang dihadiri oleh Mirta itu tentu tak bakal muncul di bioskop.

Mengherankan bahwa kerja sama Lilik Sudjio dengan Drs Syuman Djaja (bangsa Indonesia pertama yang menjadi sarjana film jurusan skenario) justru menghasilkan tontonan macam ini. Ada kesan bahwa Lilik malahan tidak tahu tentang apa sebenarnya yang ia kisahkan. Menonton film ini tidak ada beda dengan menyaksikan anak kecil yang belajar jalan: tertumbuk ke kiri, ke kanan, jatuh, bangun. Banyak hal-hal yang tidak begitu perlu toh dihadirkan. Untuk mengatakan sesuatu, misalnya tidak terlalu urgen untuk menggiring pemain ke tempat-tempat yang indah, jika tempat yang indah itu sendiri tidak memainkan sesuatu peran penting dahulu film. Sebaliknya, justru tempat yang penting, yang harus memainkan peranan besar dalam cerita, dilupakan begitu saja. Bagaimana, misalnya, kita akan yakin bahwa Mirta sedang terlibat pada proyek perkayuan jika kita cuma dipersilahkan melihat ia beredar di sekitar kemah-kemah kecil. Ini adegan cuma mengingatkan kita pada kegiatan pramuka, bukan? Sebagian dari kekonyolan film ini tentu tidak terpisahkan dari penulis skenarionya. Bagi mereka yang sempat menyaksikan beberapa skenario karya Drs Sjuman Djaja, adegan-adegan yang artifisial memang sering muncul. Lihatlah misalnya sejumlah bekas pejuang mengenang teman-teman mereka yang dulu gugur sembari meneguk sampanye (film Lewat Tengah Malam). Dan contoh-contoh semacam itu bertebaran dalam Cinta Remaja ini. Agaknya ini bersumber pada kurangnya imajinasi sang penebus skenario dalam usahanya menciptakan adegan-adegan romantis, dramatis maupun tragis. Maka selain klise-klise yang muncul, klise-klise itu tidak pula klop dengan keseluruhan cerita. Dari seorang anak pegawai kereta api macam Mirta, tentulah gaya hidupnya berbeda dengan Mira yang bermukim di gedongan. Dan soal kccil begini dianggap sepi saja. Sebuah film, pada akhirnya, memang karya dari seorang sutradara. Meskipun misalnya skenario tidak menyebut adanya seorang pelayan dalam sebuah rumah keluarga kaya, tapi nalar sutradara bisa mendesaknya menambah seorang pemain di sana. Di tangan dialah seharusnya bengkok lurusnya sebuah skenario. Dan semua ini nampaknya sudah di luar jangkauan Lilik Sudjio. Sangat menyedihkan bahwa sutradara yang dulu menjanjikan banyak harapan itu (Film: Si Jampang, Si Buta Dari Gua Hantu), kini terjatuh ke jurang yang sejak lama menadah sejumlah kekonyolan yang menandai film-film Indonesia. Salim Said.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar