RATAPAN ANAK TIRI
Film ini sangat mencengangkan banyak orang saat itu, sungguh sedih dan tragis nasib seorang anak tiri yang dilakukan oleh ibu tirinya. Film ini membuat ikon pada masyarakat kasih sayang ibu tiri akan berakhir seperti ini. Banyak orang yang tersugesti akan kekejaman ibu tiri. Sehingga image ibu tiri sangat kejam dan menakutkan bagi anak tiri didalam satu atap dengan ibu tirinya. Si bapak kandung yang tidak perhatian dan sebaginya.
Film pertama Ratapan anak tiri ini sukses besar, maka di buat lagi lanjutannya Ratapan Anak Tiri 2 dan 3 nya. Tidak heran film ini mendapat penghargaan khusus dari FFI 1974 di Surabaya untuk film terlaris
Yuwono (Soekarno M. Noor) ditinggal pergi oleh istrinya (Tatiek Tamsil) untuk selama-lamanya setelah melahirkan anak ketiganya. Setelah sebelumnya dilarang untuk hamil lagi yang ketiga kalinya oleh dokter karena memang membahayakan nyawa ibu dan anaknya. Akibat melanggar larangan dokter, ketika melahirkan anak ketiga, keduanya pun meninggal. Meninggalnya istri tercinta menyebabkan Yuwono terpukul sekali, apalagi ia mempunyai dua orang anak yang masih membutuhkan kasih sayang ibunya. Netty (Dewi Rosaria Indah) dan Susi (Faradilla Sandy) begitu kehilangan sekali dengan ibunya yang sudah meninggal. Adalah Ningsih (Tanti Yosepha) seorang wanita kantoran yang juga bawahan Yuwono yang telah mencuri hati anak-anak Yuwono dengan kebaikan dan kelembutannya bagaikan seorang Ibu.
Meski dilarang oleh atasannya karena Ningsih bukanlah sosok yang baik bagi anak-anaknya, akan tetapi Yuwono akhirnya menikahi Ningsih. Akhirnya Ningsih pun resmi menjadi istri Yuwono. Di awal kehidupan keluarga tersebut sangat harmonis dan begitu manis. Yuwono menjalankan perannya sebagai suami demikian pula dengan Ningsih yang menjadi ibu dari anak-anaknya menjalankan perannya dengan sangat manis. Hingga suatu ketika tragedy itupun terjadi. Yuwono dituduh menggelapkan uang perusahaan sebesar 14 juta hingga akhirnya Yuwono di penjara. Sebenarnya Yuwono tidak pernah melakukan perbuatan ini, akan tetapi penggelapan ini dilakukan oleh Harun (Bambang Irawan) yang sebenarnya mencintai Ningsih. Begitu mengetahui suaminya di penjara, Ningsih berusaha sabar dan tetap manis sikapnya dengan kedua anak Yuwono. Akan tetapi Harun bermain di air keruh. Dengan rayuan-rayuannya akhirnya Harun mampu kembali mengambil hati Ningsih, keduanya pun terlibat dengan perselingkuhan, sekaligus Harun menghasu Ningsih bahwa ia hanya menjadi babu bagi anak-anak Yuwono. Atas hasutan-hasutan Harun, Ningsih pun berubah pikiran dan sifat aslinyapun kelihatan.
Pembantunya (Roldiah Matulessy) di pecat, dan peran-peran keluarga seperti mengepel, mencuci piring dan sebagainya menjadi tugas kakak beradik Netty dan Susi. Keduanya sering di marahin, di pukul, bahkan sering sekali makan dengan nasi sisa. Tak jarang pula Netty dan Susi sering tidak makan, karena untuk itu mereka harus kerja sendiri. Setiap kesalahan kecil selalu menjadi bencana bagi keduanya. Bahkan tak jarang keduanya tidak bisa masuk rumah karena pintunya dikunci dari luar, ketika Ningsih dan Harun sedang pergi. Terpaksa keduanya menunggu diluar pintu pagar, atau bahkan tidur di luar rumah. Sementara Ningsih dan Harun asyik dengan perselingkuhannya, dan tidak peduli dengan keadaan anak tirinya. Dipenjara, Yuwono selalu bertanya kepada petugas sipir karena tidak ada yang menengoknya. Hingga suatu hari, Yuwono kaget karena tiba-tiba kedua anaknya tiba di penjara dan mengadukan kejadian yang telah menimpa mereka. Netty dan Susi lari dari rumah setelah disuruh tidur diluar, sementara Ningsih dan Harun pergi asyik bersuka ria. Mengetahui keadaan anak-anaknya, Yuwono meminta tolong kepada petugas sipir penjara untuk menjaga anaknya. Walau dengan senang hati petugas tersebut bersedia menolong, akan tetapi Netty dan Susi lebih memilih untuk lari dan tidak mau diasuh olehnya. Kehidupan dijalanan yang keras harus dialami oleh Netty dan Susi. Tidur di emper-emper toko, berjalan dengan disertai malam dan hujan tanpa tujuan yang pasti, hingga akhirnya Susi jatuh sakit ketika sedang tidur di pinggir jalan. Badan susi panas, mengetahui adiknya sakit Netty berusaha mencari obat dan makanan, akan tetapi ketika Netty sedang pergi mencari obat, Susi yang sudah tidak tahan lagi dengan rasa laparnya akhirnya juga mencari makan sendiri.
Akhirnya keduanya pun terpisah dan saling mencari satu dengan yang lain. Yuwono akhirnya bebas, setelah pelaku yang sebenarnya Harun ditangkap dan dipenjara. Begitu bebas, Yuwono langsung menuju rumahnya, akan tetapi ia mendapati rumahnya sudah tidak berpenghuni dan ternyata memang sudah dijual oleh Ningsih dan Harun. Yuwono pun melangkah gontai mencari anaknya yang terpisah. Sementara Netty dan Susi yang sebelumnya terpisah, akhirnya pun bertemu kembali, keduanya saling berpelukan. Di akhir kisah, Yuwono dan kedua anaknya bertemu, mereka menangis pilu. Sebuah Seri drama yang cukup membawa penontonnya ikut terbawa emosi yang di kembangkan oleh sang sutradara. Sutradara Sandy Suwardi Hasan berhasil membawa penontonnya untuk ikut terlibat emosi didalamnya. Ratapan Anak Tiri adalah salah satu film yang boleh dibilang film yang mengharu biru dengan kekerasan yang dialami oleh anak tiri akibat perlakuan ibu tirinya yang kejam. Sukses dengan Ratapan anak tirinya, film ini dibuat skuelnya dengan Ratapan Anak Tiri 2 dan Ratapan Anak Tiri 3. Kemampuan Acting Soekarno M. Noor sudah tidak diragukan lagi, akan tetapi di ratapan anak tiri 1 ini, lebih mengekspose betapa tidak enaknya mempunyai Ibu tiri. Sementara Faradila Sandy, bintang cilik yang berbakat dan aktingnya juga sangat alami sehingga mampu menambah nyawa film ini. Film ini juga tercatat sebagai peraih piala Majalah Junior FFI 1974 untuk pemeran cilik Faradila Sandy dan Piala GPBSI FFI 1974 untuk kategori film terlaris 1973-1974.
Yuwono (Soekarno M. Noor) ditinggal pergi oleh istrinya (Tatiek Tamsil) untuk selama-lamanya setelah melahirkan anak ketiganya. Setelah sebelumnya dilarang untuk hamil lagi yang ketiga kalinya oleh dokter karena memang membahayakan nyawa ibu dan anaknya. Akibat melanggar larangan dokter, ketika melahirkan anak ketiga, keduanya pun meninggal. Meninggalnya istri tercinta menyebabkan Yuwono terpukul sekali, apalagi ia mempunyai dua orang anak yang masih membutuhkan kasih sayang ibunya. Netty (Dewi Rosaria Indah) dan Susi (Faradilla Sandy) begitu kehilangan sekali dengan ibunya yang sudah meninggal. Adalah Ningsih (Tanti Yosepha) seorang wanita kantoran yang juga bawahan Yuwono yang telah mencuri hati anak-anak Yuwono dengan kebaikan dan kelembutannya bagaikan seorang Ibu.
Meski dilarang oleh atasannya karena Ningsih bukanlah sosok yang baik bagi anak-anaknya, akan tetapi Yuwono akhirnya menikahi Ningsih. Akhirnya Ningsih pun resmi menjadi istri Yuwono. Di awal kehidupan keluarga tersebut sangat harmonis dan begitu manis. Yuwono menjalankan perannya sebagai suami demikian pula dengan Ningsih yang menjadi ibu dari anak-anaknya menjalankan perannya dengan sangat manis. Hingga suatu ketika tragedy itupun terjadi. Yuwono dituduh menggelapkan uang perusahaan sebesar 14 juta hingga akhirnya Yuwono di penjara. Sebenarnya Yuwono tidak pernah melakukan perbuatan ini, akan tetapi penggelapan ini dilakukan oleh Harun (Bambang Irawan) yang sebenarnya mencintai Ningsih. Begitu mengetahui suaminya di penjara, Ningsih berusaha sabar dan tetap manis sikapnya dengan kedua anak Yuwono. Akan tetapi Harun bermain di air keruh. Dengan rayuan-rayuannya akhirnya Harun mampu kembali mengambil hati Ningsih, keduanya pun terlibat dengan perselingkuhan, sekaligus Harun menghasu Ningsih bahwa ia hanya menjadi babu bagi anak-anak Yuwono. Atas hasutan-hasutan Harun, Ningsih pun berubah pikiran dan sifat aslinyapun kelihatan.
Pembantunya (Roldiah Matulessy) di pecat, dan peran-peran keluarga seperti mengepel, mencuci piring dan sebagainya menjadi tugas kakak beradik Netty dan Susi. Keduanya sering di marahin, di pukul, bahkan sering sekali makan dengan nasi sisa. Tak jarang pula Netty dan Susi sering tidak makan, karena untuk itu mereka harus kerja sendiri. Setiap kesalahan kecil selalu menjadi bencana bagi keduanya. Bahkan tak jarang keduanya tidak bisa masuk rumah karena pintunya dikunci dari luar, ketika Ningsih dan Harun sedang pergi. Terpaksa keduanya menunggu diluar pintu pagar, atau bahkan tidur di luar rumah. Sementara Ningsih dan Harun asyik dengan perselingkuhannya, dan tidak peduli dengan keadaan anak tirinya. Dipenjara, Yuwono selalu bertanya kepada petugas sipir karena tidak ada yang menengoknya. Hingga suatu hari, Yuwono kaget karena tiba-tiba kedua anaknya tiba di penjara dan mengadukan kejadian yang telah menimpa mereka. Netty dan Susi lari dari rumah setelah disuruh tidur diluar, sementara Ningsih dan Harun pergi asyik bersuka ria. Mengetahui keadaan anak-anaknya, Yuwono meminta tolong kepada petugas sipir penjara untuk menjaga anaknya. Walau dengan senang hati petugas tersebut bersedia menolong, akan tetapi Netty dan Susi lebih memilih untuk lari dan tidak mau diasuh olehnya. Kehidupan dijalanan yang keras harus dialami oleh Netty dan Susi. Tidur di emper-emper toko, berjalan dengan disertai malam dan hujan tanpa tujuan yang pasti, hingga akhirnya Susi jatuh sakit ketika sedang tidur di pinggir jalan. Badan susi panas, mengetahui adiknya sakit Netty berusaha mencari obat dan makanan, akan tetapi ketika Netty sedang pergi mencari obat, Susi yang sudah tidak tahan lagi dengan rasa laparnya akhirnya juga mencari makan sendiri.
Akhirnya keduanya pun terpisah dan saling mencari satu dengan yang lain. Yuwono akhirnya bebas, setelah pelaku yang sebenarnya Harun ditangkap dan dipenjara. Begitu bebas, Yuwono langsung menuju rumahnya, akan tetapi ia mendapati rumahnya sudah tidak berpenghuni dan ternyata memang sudah dijual oleh Ningsih dan Harun. Yuwono pun melangkah gontai mencari anaknya yang terpisah. Sementara Netty dan Susi yang sebelumnya terpisah, akhirnya pun bertemu kembali, keduanya saling berpelukan. Di akhir kisah, Yuwono dan kedua anaknya bertemu, mereka menangis pilu. Sebuah Seri drama yang cukup membawa penontonnya ikut terbawa emosi yang di kembangkan oleh sang sutradara. Sutradara Sandy Suwardi Hasan berhasil membawa penontonnya untuk ikut terlibat emosi didalamnya. Ratapan Anak Tiri adalah salah satu film yang boleh dibilang film yang mengharu biru dengan kekerasan yang dialami oleh anak tiri akibat perlakuan ibu tirinya yang kejam. Sukses dengan Ratapan anak tirinya, film ini dibuat skuelnya dengan Ratapan Anak Tiri 2 dan Ratapan Anak Tiri 3. Kemampuan Acting Soekarno M. Noor sudah tidak diragukan lagi, akan tetapi di ratapan anak tiri 1 ini, lebih mengekspose betapa tidak enaknya mempunyai Ibu tiri. Sementara Faradila Sandy, bintang cilik yang berbakat dan aktingnya juga sangat alami sehingga mampu menambah nyawa film ini. Film ini juga tercatat sebagai peraih piala Majalah Junior FFI 1974 untuk pemeran cilik Faradila Sandy dan Piala GPBSI FFI 1974 untuk kategori film terlaris 1973-1974.
P.T. SERAYU AGUNG JAYA FILM |
SUKARNO M. NOOR TANTY JOSEPHA BAMBANG IRAWAN EMILIA CONTESSA GRACE SIMON FARADILLA SANDY DARUSSALAM TATIEK TAMZIL DEWI ROSARIA INDAH DODDY SUKMAN JEFFRY SANI MOH MOCHTAR |
NYARIS RATAPAN BOMBAY
AGAKNYA sulit menemukan telinga penduduk negeri ini yang luput oleh lengkingan lagu Ratapan Anak Tiri. Menjadi makin terkenal oleh tarikan suara Emilia Contessa, lagu berbau dang dang dut itu memang berkebolehan dalam menguras liur produser film yang berhasrat kebagian rezeki popularitas ciptaan Mashabi tersebut. lamun bukan lagu itu betul yang menarik Sandi Suwardi Hassan ketika ia memutuskan untuk membuat film dengan judul yang sama, melainkan oleh kenyataan bahw film-film India laris bagaikan kode buntut. Tuhan.
Cerita Ratapan Anak Tiri memang tentang anak tiri yang terlantar oleh ibu yang dipanggil Tuhan, ayah yang difitnah dan ibu tiri yang main serong. Nasib malang yang boleh dibilang diatur menimpa 2 gadis kecil (Dewi Rosaria Indah Faradiela Sandi), dan tingkah laku bini muda bapaknya, semua memang mirip film-film buatan Bombay. Ciri khas tontonan berbahasa Urdhu itu adalah tendensinya dalam mengurai hidup pelaku-pelakunya yang hampir selalu sulit menghindari kehendak nasib. Dibumbui dengan tarian dan nyanyian jadilah film itu sesuatu tontonan yang menarik bagi penonton yang masih suka hal-hal yang berbau falsafah sembari sentimentil. Tapi dalam melakukan itu semua, nyaris sulit menemukan film India yang melakukan kecerobohan teknis dalam penyuguhannya. Meskipun kemudian dilakukan berulang kali dalam banyak ksempatan, baik skenario penyutradaraan maupun penyelesaian laboratorium semuanya dilakukan dengan cermat. Maka kalau anda emoh film Bombay, besar kemungkinan cuma lantaran tendensi kisah yang selalu penuh derai air-mata itu. Honorarium. Tidak adil tentu untuk meminta kepada Sandi Suwardi berbuat seperti pembuat film Bombay yang terlatih melalui ratusan produksi pertahun itu. Tapi penonton yang merogoh kocek juga harus diperlakukan sama. Untuk memeras air-mata di tengah aliran air-mata hasil kerja cineast India, paling tidak harus dengan bawang yang berkwalitas sama. Ibunya boleh mati, bapak mereka bisa dikirim ke tahanan polisi, bini muda bisa berubah galak. Tidak ada yang melarang, tapi caranya dong. Seorang direktur seperti Drs Yuwono (Sukarno M, Noor) dibikin sedemikian mudah dituduh menyelewengkan uang kantor, masuk tahanan untuk memberi kesempatan sang bini muda main serong dan menyiksa kedua anak tiri, tentulah hal yang cuma berkembang dalam benak pengarang cerita-cerita hiburan ringan yang diburu kebutuhan honorarium. Ibu tiri (Tanti Yosepha) yang diperkenalkan pertama kali sebagai perempuan baik, dengan gampang diarahkan menjadi ibu-tiri galak oleh kehadiran Harun (Bambang Irawan) yang berlagak persis pemuda romam Maka sepanjang film ini, hanya tangisan kedua anak yang dibikin malang itulah yang terus terdengar. Tanpa diketahui duduk soalnya, Emilia - dengan dikawal Grace Simon - tiba-itba muncul sebagai orang buta yang nlenyanyi sepanjang gang. Flash back, imajinasi, atau komersialisasi? Wallahu Alam. Tapi boleh juga ini lagu nyelinap, kabarnya boleh menambah jumlah orang yang menangis. Hubaya-hubaya memang banyak orang menangisi anak tiri, meskipun konon anak tiri aman sekarang ini nasibnya sedikit lebih baik dari ayahnya yang suka mendapatkan perempuan muda. Perubahan nasib macam demikianlah yang barangkali dicoba digambarkan Wim Umboh melalui film ma yang mempertemukan anak tiri (Andy Auric) dengan ibu tiri (Tuty Kirana) di tempat tidur yang hangat. Tidak dengan sendirinya pembuat film harus meniru Wim, sebab selain tidak akan mengundang air-mata, anak tiri yang malang tentu juga masih ada. Yang amat meragukan adalah tokoh Harun (Bambang Irawan) yang digambarkan Sandi dalam filmnya ini. Kecuali model pakaiannya yang boleh, Bambang yang pernah rupawan di masa Perfini, kini nampak sulit bisa tertolong oleh Sandi. Tapi yang haru diselamatkan -- kalau terus mau bikin film -- adalah Sandi Suwardi Hassan yang bukan tidak punya nama sebagai bintang. Salim Said.
AGAKNYA sulit menemukan telinga penduduk negeri ini yang luput oleh lengkingan lagu Ratapan Anak Tiri. Menjadi makin terkenal oleh tarikan suara Emilia Contessa, lagu berbau dang dang dut itu memang berkebolehan dalam menguras liur produser film yang berhasrat kebagian rezeki popularitas ciptaan Mashabi tersebut. lamun bukan lagu itu betul yang menarik Sandi Suwardi Hassan ketika ia memutuskan untuk membuat film dengan judul yang sama, melainkan oleh kenyataan bahw film-film India laris bagaikan kode buntut. Tuhan.
Cerita Ratapan Anak Tiri memang tentang anak tiri yang terlantar oleh ibu yang dipanggil Tuhan, ayah yang difitnah dan ibu tiri yang main serong. Nasib malang yang boleh dibilang diatur menimpa 2 gadis kecil (Dewi Rosaria Indah Faradiela Sandi), dan tingkah laku bini muda bapaknya, semua memang mirip film-film buatan Bombay. Ciri khas tontonan berbahasa Urdhu itu adalah tendensinya dalam mengurai hidup pelaku-pelakunya yang hampir selalu sulit menghindari kehendak nasib. Dibumbui dengan tarian dan nyanyian jadilah film itu sesuatu tontonan yang menarik bagi penonton yang masih suka hal-hal yang berbau falsafah sembari sentimentil. Tapi dalam melakukan itu semua, nyaris sulit menemukan film India yang melakukan kecerobohan teknis dalam penyuguhannya. Meskipun kemudian dilakukan berulang kali dalam banyak ksempatan, baik skenario penyutradaraan maupun penyelesaian laboratorium semuanya dilakukan dengan cermat. Maka kalau anda emoh film Bombay, besar kemungkinan cuma lantaran tendensi kisah yang selalu penuh derai air-mata itu. Honorarium. Tidak adil tentu untuk meminta kepada Sandi Suwardi berbuat seperti pembuat film Bombay yang terlatih melalui ratusan produksi pertahun itu. Tapi penonton yang merogoh kocek juga harus diperlakukan sama. Untuk memeras air-mata di tengah aliran air-mata hasil kerja cineast India, paling tidak harus dengan bawang yang berkwalitas sama. Ibunya boleh mati, bapak mereka bisa dikirim ke tahanan polisi, bini muda bisa berubah galak. Tidak ada yang melarang, tapi caranya dong. Seorang direktur seperti Drs Yuwono (Sukarno M, Noor) dibikin sedemikian mudah dituduh menyelewengkan uang kantor, masuk tahanan untuk memberi kesempatan sang bini muda main serong dan menyiksa kedua anak tiri, tentulah hal yang cuma berkembang dalam benak pengarang cerita-cerita hiburan ringan yang diburu kebutuhan honorarium. Ibu tiri (Tanti Yosepha) yang diperkenalkan pertama kali sebagai perempuan baik, dengan gampang diarahkan menjadi ibu-tiri galak oleh kehadiran Harun (Bambang Irawan) yang berlagak persis pemuda romam Maka sepanjang film ini, hanya tangisan kedua anak yang dibikin malang itulah yang terus terdengar. Tanpa diketahui duduk soalnya, Emilia - dengan dikawal Grace Simon - tiba-itba muncul sebagai orang buta yang nlenyanyi sepanjang gang. Flash back, imajinasi, atau komersialisasi? Wallahu Alam. Tapi boleh juga ini lagu nyelinap, kabarnya boleh menambah jumlah orang yang menangis. Hubaya-hubaya memang banyak orang menangisi anak tiri, meskipun konon anak tiri aman sekarang ini nasibnya sedikit lebih baik dari ayahnya yang suka mendapatkan perempuan muda. Perubahan nasib macam demikianlah yang barangkali dicoba digambarkan Wim Umboh melalui film ma yang mempertemukan anak tiri (Andy Auric) dengan ibu tiri (Tuty Kirana) di tempat tidur yang hangat. Tidak dengan sendirinya pembuat film harus meniru Wim, sebab selain tidak akan mengundang air-mata, anak tiri yang malang tentu juga masih ada. Yang amat meragukan adalah tokoh Harun (Bambang Irawan) yang digambarkan Sandi dalam filmnya ini. Kecuali model pakaiannya yang boleh, Bambang yang pernah rupawan di masa Perfini, kini nampak sulit bisa tertolong oleh Sandi. Tapi yang haru diselamatkan -- kalau terus mau bikin film -- adalah Sandi Suwardi Hassan yang bukan tidak punya nama sebagai bintang. Salim Said.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar