Sabtu, 05 Februari 2011

HOLIDAY IN BALI / 1962


Film ini disutradarai oleh Misbach Jusa Biran (Indonesia) dan

TONY CAYADO












Dalam data film Misbach juga masuk dalam sutradara juga dan penulisan skenario filmnya. Sedang produksinya pihak Indonesia Persari dan Philipines. Tony Cayado.

Dan USmar Ismail lah yang mendorong Misbach untuk terlibat dalam film ini, padahal Misbach belum pernah menyutradari film sama sekali, selain hanya sebagai pembantu sutradara sebelumnya. Disaat Misbach masih ragu, justru Usmar yang memberi semangat padanya, itung-itung latihan dan study juga.

Film ini adalah film berwarna, disaat itu film indonesia masih hitam putih, walaupun pertamakali film berwarna tahun 1952 itu film kerja sama.

Ketika belajar di Filipina, Cokorde Gde Rai (Johny Misa) berkenalan dengan Angelo Reyes (Luis Gonzales), yang akan ke Indonesia untuk memperdalam pengetahuannya sebagai ahli tumbuhan. Sebelum ke Bali, Cokorde mengantarnya dulu melihat Borobudur dll. Sesudah beberapa waktu di Bali, pacar Reyes, Liza Presler (Daisy Romualdez), datang. Maka terjadi konflik, karena Reyes sudah jatuh hati pada Aryani (Josephine Estrada), adik Suryati (Chitra Dewi), pacar Cokorde. Liza mencoba menghalangi hubungan pacarnya dengan Aryani. Gagal. Akhirnya Liza malah mendapatkan Raka (Jusman) yang berniat mengawini Aryani, tapi gagal, karena Aryani memilih Reyes.

SAMPAGUITA PICTURES
PERSARI


JOSEPHINE ESTRADA
CHITRA DEWI
LUIS GONZALES
JOHNNY MISA
FIFI YOUNG
RD ISMAIL
DAISY ROMUALDEZ
JUSMAN
MANSJUR SJAH

"Holiday In Bali" Serba Besar Untuk Serba Singkat Oleh: Djamaluddin Malik
Joint-Productions Persari dan Sampaguita (Pilipina) melahirkan film "Holiday in Bali` merupakan wujud kembalinya Persari dan dipergunakan Djamaluddin Malik sebagai bantahan atas adanya kerusuhan di perfilman Indonesia. Film "Holiday in Bali" merupakan suatu sinar bagi perfilman Indonesia karena dalam melakukan pembuatan pile mini banyak hal-hal yang bertemali dengan problem perfilman Indonesia.

Soal yang menarik dari pembuatan film adalah masa pembikinan yang direncanakan hanya dalam tempo 2 bulan ternyata Sampaguita telah selesai menawarkan film tersebut pada bioskop-bioskop di Filipina untuk diputar. Sementara pihak Sampaguita sendiri merencanakan tanggal 22 Desember yang akan datang film "Holiday in Bali" harus sudah selesai direlease. Untuk memperkokoh barisan pemain sesuai dengan dasar kontrak yang menyebutkan bahwa semua dilakukan dengan joint antara bintang Indonesia dengan bintang Pilipina. Keanehan lain yang ditemui dalam film berwarna ini adalah bahasa yang dipakai adalah bahasa Inggris dan Indonesia, sementara untuk peredarannya masih akan dilihat perkembangan selanjutnya apakah bahasa lain yang akan didubbing ke dalam film ini

NEWS
Joint-Productions Persari dan Sampaguita (Pilipina) melahirkan film "Holiday in Bali` merupakan wujud kembalinya Persari dan dipergunakan Djamaluddin Malik sebagai bantahan atas adanya kerusuhan di perfilman Indonesia. Film "Holiday in Bali" merupakan suatu sinar bagi perfilman Indonesia karena dalam melakukan pembuatan pile mini banyak hal-hal yang bertemali dengan problem perfilman Indonesia. Soal yang menarik dari pembuatan film adalah masa pembikinan yang direncanakan hanya dalam tempo 2 bulan ternyata Sampaguita telah selesai menawarkan film tersebut pada bioskop-bioskop di Filipina untuk diputar. Sementara pihak Sampaguita sendiri merencanakan tanggal 22 Desember yang akan datang film "Holiday in Bali" harus sudah selesai direlease. Untuk memperkokoh barisan pemain sesuai dengan dasar kontrak yang menyebutkan bahwa semua dilakukan dengan joint antara bintang Indonesia dengan bintang Pilipina. Keanehan lain yang ditemui dalam film berwarna ini adalah bahasa yang dipakai adalah bahasa Inggris dan Indonesia, sementara untuk peredarannya masih akan dilihat perkembangan selanjutnya apakah bahasa lain yang akan didubbing ke dalam film ini.

Apakah joint-productions Persari Sampaguita (Pilipina) untuk melahirkan “Holiday in Bali” jang djuga merupakan come backnja Persari setelah “tidur2an” sedjak tahun 1958, dipergunakan Djamaluddin Malik sebagai bantahan atas adanja “kerusuhan” diperpileman Indonesia tidaklah menarik perhatian kita, karena sebenarnja masaalah itu bukanlah masaalah jang harus ditjari2 pemetjahannja. Jang pokok, dengan adanja joint antara Persari dan Sampaguita ini tidaklah berarti tahun 1962 berlalu tanpa kesan, chusus dibidang produksi. “Holiday in Bali” merupakan suatu “sinar” bagi perfilman Indonesia, karena dalam melakukan pembuatan pile mini banjak hal2 jang bertemali dengan problem perfilman Indonesia.

Mungkin untuk pertama kalinja dalam sedjarah perfilman Indonesia dilahirkan sebuah film jang memakan biaja begitu besar seperti jang dialami “Holiday in Bali”. Dalam kontrak telah ditetapkan Persari menanggung segala biaja jang dikeluarkan dengan rupiah dengan pengertian selama diadakan lokasi di Indonesia, Persari-lah jang mendjadi “bandar”nja dan menurut kalkulasi kasar jang sudah terkira selama “Holiday in Bali” masih dikerdjakan di Indonesia, Persari harus mengeluarkan wang sedjumlah Rp. 9.000.000,- Kemudian apabila film ini nanti selesai lokasi di Indonesia dan penggodogannja dilakukan di Pilipina, seluruh biaja ditanggung pula oleh Sampaguita, termasuk honorarium artis2 Pilipina dan crew jang datang dari Manila. Lokasi jang dilakukan di Pilipina hanja ketika artis2 tersebut akan “terbang” ke Djakarta sadja. Berdasarkan kenjataan2 jang ada sekarang, sedikitnja Sampaguita akan menarik wang dari sakunja sedjumlah 150.000,- pesos. Kalau dipindahkan mendjadi wang rupiah dengan nilai SIVA, paling tidak wang jang 150.000 pesos itu akan mendjadi Rp. 35.000.000,-

Dengan demikian total djenderal “Holiday in Bali” keseluruhannja akan menekan biaja Rp. 44.000.000,-

TJUMA DUA BULAN

Lain soal jang menarik adalah masa pembikinan jang direntjanakan hanja dalam tempo 2 bulan, djusteru Sampaguita pada saat ini telah selesai menawarkan film tersebut pada bioskop2 di Pilipina untuk diputar. Pihak Sampaguita merentjanakan tgl. 22 Desember jad., “Holiday in Bali” harus sudah selesai direlease. Kalau memang nanti benar2 “Holiday in Bali” ini bisa diselesaikan dalam tempo jang telah direntjanakan tersebut, “kerdja Pilipino” ini harus mendjadi soko guru bagi pekerdja2 film Indonesia karena meski perfilman di Pilipina nampak lebih “tjemerlang” djika dibandingkan dengan Indonesia, namun perlengkapannja sama sadja dengan Indonesia, malah kalau dinilai dengan apa jang kini sudah dimiliki PFN, Indonesia sudah lebih baik.

Untuk memperkokoh barisan bermain2 sesuai dengan dasar kontrak dimana disebutkan semuanja dilakukan dengan joint, pendukung “Holiday in Bali” ini djuga adalah joint antara bintang Indonesia dengan bintang Pilipina. Indonesia memadjukan artis2 jang sudah tjukup tenar namanja seperti Bing Slamet, Chitra Dewi, pasangan old- crack Rd. Ismail dan Fifi Young serta Jusman, sedang dari pihak Pilipina ditemui Josephino Estrada, Deasy Romualdes dengan aktor2nja jg gagah Luiz Gonzal Johnny Misa. Selain bintang2nja djuga sutradaranja dilakukan joint, dimana akan bertemu sutradara Pilipina Tony Cayado dengan Misbach Jusa Biran, sedang tjerita dan scenario diserahkan kepada scenario- writer dari Pilipina Luciano B. Carlos jang djuga merangkap associate director.

Mengenai sutradara Tony Cayado dapat diterangkan, bahwa ia pernah menjadi best director hasil filmnja, " I sold my son"e Estrada Sebelum itu pada tahun 1956, ia menghasilkan pula seorang actor terbaik. “Holiday in Bali” adalah filmnja jang ke-17. Sebuah karyanja jang dianggap besar ketika ia memfilmkan novel Jose Leonard jang berdjudul “Big Broadcast” dan berhasil keluar sebagai best musical choreography untuk tahun 1962.

Untuk “Holiday in Bali” ini Ratu Kentjantikan Pilipina Josephin dan actor “tjakap” Johnny Misa akan memegang peranan sebagai gadis dan pemuda Bali.

DENGAN BAHASA INGGERIS
Suatu “keanehan” lain jang ditemui dalam film berwarna ini adalah bahasa jang dipakai jakni bahasa Inggeris dan Indonesia dengan pengertian kalau artis Indonesia berhadapan dengan artis Pilipina dipakai bahasa Inggeris, demikian djika sesame artis Pilipina berhadapan. Tapi djika jg. harus berdialog sesama

artis Indonesia bahasa jang dipakai adalah bahasa Indonesia pula.
Untuk peredarannja nanti masih akan dilihat perkembangan apakah bahasa lain jang akan didubbing kedalam film ini.

Dalam melaksanakan pembuatan film ini dipergunakan 4 buah truck jang membawa generator jang akan menjusuri Bali dan pulau Djawa. Opname pertama jang jg. semula direntjanakan di Djakarta tidak djadi dilakukan dan pada tgl. 15 Oktober’62 telah dimulai di Bali untuk seterusnja berpindah2 tempat kebeberapa kota di Djawa seperti Jogja, Solo, Bandung, Bogor dan tempat2 tourus jang terkenal Borobudur, Mendut, Kebon Raya dll. Crew dan artis2 jang ber “Holiday in Bali” selama dua bulan ini tertjatat 60 orang.

DIDAHULUI “HOLIDAY IN HONGKONG”
Sampaguita jang mendjadi “akrab” Persari kali ini adalah sebuah perusahaan film terbesar di Manila dan dengan “Holiday in Bali” perusahaan film ini sudah dua kali melakukan joint. Pertama kalinja Sampaguita mengadakan joint dengan perusahaan film Hongkong dan menghasilkan “Holiday in Hongkong”.*

1962: Holiday in Bali
Pada tahun 1962, Persari membawa beberapa bintang dan sutradara Sampaguita untuk membuat film di Bali (Indonesia). Tony Cayado dan Misbach Yusa Biran mengarahkan Holiday in Bali.

Holiday in Bali diproduksi dalam satu versi dengan bahasa Inggris, dan pemeran serta aktris Indonesia dan Filipina bermain dalam film yang sama. Luis Gonzales, Josephine Estrada, dan Daisy Romualdez datang ke Bali dan bergabung dengan Chitra Dewi, Johny Misa, dan Jusman untuk memerankan karakter mereka.
 
Film ini berkisah tentang kisah cinta yang rumit antara seorang wanita Filipina dan seorang wanita Bali dan menggunakan beberapa tujuan wisata di Indonesia. Luciana Carlos mengawali cerita dengan pertemuan antara Cokorde Gede Rai (Johny Misa), yang belajar di Filipina, dan Angelo Reyes (Luis Gonzales), ahli botani. Reyes memutuskan untuk meneliti tumbuhan di Bali, namun sebelum tiba di Bali, Cokorde menemaninya melihat beberapa tempat wisata Borobudur, candi Budha. Saat melakukan penelitian, Reyes jatuh cinta dengan gadis Bali, Aryani (Josephine Estrada). Aryani adalah adik dari Suryati (Chitra Dewi), kekasih Cokorde. Masalah terjadi ketika kekasih Reyes, Liza (Daisy Romualdez), datang ke Bali dan mengetahui bahwa Reyes sedang jatuh cinta pada Aryani. Liza mencoba menghentikan hubungan kekasihnya namun gagal, Reyes dan Aryani menjadi sepasang kekasih. Akhirnya Liza memiliki kekasih baru, Raka (Jusman) yang gagal menikah dengan Aryani (Kristanto 62). Secara teknis, tidak ada kendala berarti dari segi waktu pengambilan gambar. Kesulitan dalam pembuatannya berasal dari sudut pandang produsen terkait dengan pemasaran. Kesulitan utama justru datang dari pihak produser yang ingin lebih menampilkan adegan-adegan yang memiliki daya jual meski bertentangan dengan estetika dan etika. Misalnya, produser Filipina lebih suka memodifikasi adegan menjadi lebih gaya yang tidak lazim dalam budaya Bali. Misalnya, produser ingin memodifikasi adegan gadis berjalan di pinggir jalan dengan menambahkan percakapan di antara kekasih. Awalnya dalam budaya Bali tidak ada kegiatan seperti itu.
 
Karena ini adalah produksi bersama, masalah harus didiskusikan bersama. Tony Cayado adalah direktur utama dan Misbach Yusa Biran adalah wakil direktur. Keduanya saling mendukung dengan memberikan ide atau koreksi. Mereka selalu berdiskusi sebelum memutuskan untuk berfoto. Mengenai adegan yang dimodifikasi, baik sutradara maupun penulis skenario membahasnya dan Tony Cayado memutuskan untuk mematuhi budaya Bali. Stagnasi dalam pembuatan film ini bisa dihindari karena pemahaman penuh dari Tony Cayado dan dukungan dari Misbach Yusa Biran.
 
Selama pertunjukan perdananya, ada sedikit keraguan bahwa film tersebut akan sukses di kalangan penonton bioskop. Hal itu terjadi karena banyaknya film asing terutama dari India dan Amerika, dan turunnya jumlah film Indonesia dari 37 (1961) menjadi 15 (1962) menantang peredaran Liburan di Bali. Kondisi politik di Indonesia, dengan maraknya partai komunis dan produk-produk anti asing, tentu menjadi penghambat film tersebut. Untungnya, kondisi ini tidak menimbulkan respon negatif karena ceritanya masuk akal dan sesuai dengan budaya Indonesia.
 
Pemasaran film di Indonesia tidak terlalu sukses karena kondisi ekonomi saat itu kurang baik dan tingkat inflasi tinggi. Hal tersebut berpengaruh signifikan terhadap daya beli masyarakat Indonesia yang rendah sehingga menyebabkan peredaran film cukup moderat. Namun, di tingkat internasional Holiday in Bali mendapat penghargaan khusus dalam Asian Film Festival 1963 di Tokyo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar