14 Agustus 1982
FFI 1982, JAKARTA
Enam buah yang berkesan
Yayasan ini merupakan satu aparat Dewan Film, khusus bertanggungjawab mensukseskan tiap FFI sejak tahun ini. Penanganannya segera bisa disaksikan -- misalnya pada sistem penjurian yang diusahakan disempurnakan atau kegiatan pesta yang agak dibatasi. Di samping itu pengenalan film Indonesia ke masyarakat ditingkatkan. Antara lain lewat pameran, pekan apresiasi dan pemutaran unggulan film terbaik di 3 bioskop terkemuka di Jakarta: Plaza Theatre, New Garden Hall dan Djakarta Theatre. Dengan kombinasi kegiatan serupa itu, siapa tahu FFI bisa tampil sebagai sebuah peristiwa budaya dan tidak sekedar pesta meriah yang penuh glamur. Sejak FFI diselenggarakan pertama kali, 1955 di gedung Metropole (sekarang Megaria) Jakarta, kegiatan pesta memang selalu lebih menonjol. Sedang khalayak selalu mengulang keluhan mereka: "Film Indonesia kok tidak maju-maju." Tidak maju-maju? Dari segi jumlah, sesudah terpukul oleh SK Menpen No. 224, (yang intinya menghapuskan kewajiban importir untuk memproduksi film), produksi film Indonesia memang merosot -- meski kemudian punya kecenderungan naik lagi. Produksi yang 134 judul (tahun 1977), turun berturut-turut menjadi 60 (1978), 38 (1979), lantas kembali naik jadi 54 (1981) dan 70 (1982). Benarkah dalam 5 tahun, SK No. 224 punya pengaruh dalam menaikkan mutu seperti yang secara tidak langsung menjadi ambisinya? Jawabnya ya, namun tidak seperti yang diharap.
PADA 1980, saat pukulan SK 224 masih membekas ada film berani tapi murah biayanya seperti Perawan Desa (karya sutradara Franky Rorimpandey, pemenang Citra untuk film terbaik). Juga Harmonikaku dan Yuyun, di samping Kabut Sutra Ungu yang manis tapi rada mahal. Tahun 1981 pilihan tema cukup beraneka. Mulai dari Gadis Penakluk, Usia 18, Perempuan Dalam Pasungan (karya Ismail Subardjo, pemenang Citra film terbaik). Bukan Sandiwara, Gadis dan Para Perintis Kemerdekaan. Dan keragaman tema itu nampak berlanjut tahun ini, walaupun seorang pengamat berkata tidak melihat hal itu. Meski tidak banyak, beberapa judul patut disebut. Serangan Fajar (karya Arifin C. Noer produksi PPFN) yang kolosal, yang merekam sebuah episode Perang Kemerdekaan. Lalu Sang Guru dan Bukan Istri Pilihannya (karya Edward Pesta Sirait), Gadis Marathon (karya Chaerul Umam), Tangan-Tangan Mungil (karya Yazman Yazid) dan Bercanda Dalam Duka. (karya Ismail Soebardjo). Sopan, dalam pengertian tidak melayani naluri rendah penonton, film-film tersebut mengandung sikap moral yang teguh, orientasi sosial yang cukup kuat, telaah perwatakan yang lumayan, dan di atas semua itu mengesankan usaha pencarian ke bidang-bidang yang jarang atau belum dirambah. Bagaimanapun ini satu upaya terpuji -- bukti bahwa para insan film tidak selalu berputar-putar pada tema ringan di permukaan, seperti yang selalu dituduhkan. Sejak Perawan Desa, Usia 18, Rembulan dan Matahari, kehendak membuat film baik yang berpijak di bumi dan masyarakat Indonesia nampak terus diperjuangkan, kendati tidak terlepas dari macam-macam kompromi.
Besar kemungkinan, untuk mencari-cari contoh kompromi, peran guru dalam Sang Guru sengaja dipercayakan kepada S. Bagio karena nama pelawak itu sudah merupakan jaminan bagi penonton. Dengan alasan yang sama duet Yenny Rachman dan Roy Marten masih diteruskan dalam Gadis Maratbon. Syukur keduanya menghayati peran dengan baik, hingga kasting yang disodorkan pada Umam, sutradara Gadis Marathon, tidak meleset. Tapi sesudah memahami kompromi semacam ini, dan "konsekuensi lois" entah apalagi yang harus dihadapi para seniman film, tidak ada salahnya bila kita membubuhkan sekedar catatan tambahan. Kecuali Serangan Fajar, lima film lainnya adalah film cerita biasa, yang menampilkan wajah realisme dalam pendekatan yang berbeda. Sang Guru misalnya, dalam penokohan cenderung karikatural, tapi ceritanya melontarkan isu yang amat realistis: pencarian integritas dan kejujuran yang, seperti sering dikatakan, sulit ditemukan dalam tata-nilai masyarakat yang sedang berubah. Dari materi cerita mestinya bisa lahir sebuah film drama, tapi sutradara Edward Sirait berangkat dari konsepsi berbeda -- yang terbukti kurang pas untuk pengarahan akting auupun cerita. Dalam Gadis Marathon, cerita sejak awal dibangun rapi. Kamera lincah dan editing mengesankan. Namun ketika sampai pada konflik yang menentulcan -- saat KONI Ja-Bar memecat pelatih Anton Sudirgo -- cerita menjadi agak samar. Perdebatan seru dalam adegan ini kurang kuat mencerminkan motivasi pemecatan, satu hal yang menjadi kunci penutup kisah. Tangan-Tangan Mungil, yang berhasil menyelam ke lubuk jiwa anak-anak, nampak diolah rapi seraya menawarkan keharuan di sana-sini. Namun penggarapan tokoh kurang seimbang, hingga ada yang terabaikan. Tampil dengan sendi-sendi fakta yang lebih kokoh, Bukan Istri Pilihannya cermat menggambarkan kehidupan pedasaan yang kemudian dipertautkan dengan kehidupan kota besar. Tapi ada juga beberapa cacat kecil yang mengganggu seperti dalam credit title yang berkepanjangan, hingga merusak konsentrasi penonton. Terakhir Bercanda Dalam Duka.
Film ini menampilkan seting desa terpencil di Jawa Timur, dan amat menarik karena permasalahan yang khas, penokohan yang khas, penataan artistik dan penataan suara yang hampir sempurna. Pengolahan yang dilakukan Ismail Soebardjo setingkat lebih baik dari karyanya, Perempuan Dalam Pasungan. Namun kericuhan penggambaran dalam dimensi jarak, serta terlalu gelapnya bagian tertentu, lagi-lagi meninggalkan cacat kecil. Memang, kelemahan-kelemahan di atas tergolong kerikil-kerikil kecil yang bisa saja menyebabkan orang tergelincir. Kalau kini ada yang dituntut dari seniman film, maka itu tampaknya tidak lain dari ketekunan, khususnya dalam penulisan skenario dan penyutradaraan. Dan bila TEMPO kali ini kembali menurunkan film-film pilihannya, tak lain dimaksud sebagai ekspresi penghargaan kepada jerih-payah para seniman dan pekerja film kita, tanpa ingin mempengaruhi para juri FFI yang baru akan menyiarkan hasil penilaian mereka 14 Agustus pekan ini.
GADIS MARATHON Pemain: Yenny Fachman, Roy Marten Rachmat Hidayat, Pong Harjatmo Skenario: Sjuman Djaya, Sutradara: Chaerul Umam. Film ini segera memikat karena menyorot sisi buruk dunia olahraga di tanahair. Konteksnya: nasib pelatih yang terombang-ambing, bibit unggul yang kurang tersalurkan karena ketiadaan dana, serta salah-urus yang seakan tiada habis-habisnya. Lewat skenarionya, Sjuman Djaya menampilkan kebuntuan dunia atletik khususnya dan penyakit-penyakit masyarakat yang menggerogoti olahraga pada umumnya. Berusaha menjangkau permasalahan yang lebih luas, film ini tidak berhenti pada pribadi-pribadi. Sebuah tema yang tidak biasa dalam perfilman Indonesia. Toh sutradara trampil sekali menjalin dan mengakrabkan 'kisah olahraga' itu kepada penonton. Ada misi yang dititipkannya. Bahwa para juara adalah manusia biasa. Mereka tidak bisa hidup hanya dari sanjungan. Seperti yang lain, mereka butuh pengertian dan perlindungan. Meski tidak istimewa, Gadis Marathon boleh dipujikan untuk penyutradaraan terbaik (Chaerul Umam) dan pemain utama wanita terbaik (Yenny Rachman).
TANGAN-TANGAN MUNGIL Pemain: Kiki Amelia, Dina Mariana, Kak Seto, Kusno Sudjarwadi, Skenario: Parakitri & Th. A. Budi Susilo Sutradara: Yazman Yazid. Bertolak dari kasus seorang anak perempuan yang salah asuhan, film ini berusaha memberi tempat yang layak bagi Jiwa anak-anak yang sedang tumbuh -- lewat cita-cita seorang pendidik, Kak Seto. Mengetengahkan suka-duka tiga bersaudara perempuan: Lala (Kiki Amelia), Mita, dan Dina (Dina Mariana). Plus ibu mereka yang penuh pengertian serta ayah yang senantiasa merindukan seorang anak lelaki. Akibat keinginan yang tak sampai ini, ayah membesarkan si bungsu Lala seakan bocah itu anak lelaki. Banyak konflik terjadi, banyak tokoh terlibat, tapi semuanya ditata dalam irama yang terpelihara. Permainan Kiki Amelia wajar dan mengesankan, satu prestasi yang perlu diperhitungkan. Di samping itu skenario yang diolah bersama oleh Parakitri dan Th. A Budi Susilo pantas terpilih sebagai skenario terbaik tahun ini.
SANG GURU Pemain: S. Bagio. Maruli Sitompul, Rahayu Effendi, Bambang Hermanto, Skenario: Parakitri, Sutradara: Edward Pesta Sirait Seorang guru yang lugu bernama Topaz (S. Bagio) tampil sebagai pahlawan kejujuran. Ia gagal berhadapan dengan kepala sekolah, nyonya penggede dan pejabat tinggi. Kebetulan sekali ketiganya bermental korup. Terus terang ini sebuah pilihan tema yang berani, apalagi dialognya melabrak ke sana-ke mari -- dengan konsekuensi tidak lolos sensur. Terlepas dari penokohannya yang karikatural, plus gaya akting Maruli dan Rahayu Effendi yang menurut konsep sutradara harus distilisasikan hingga terlihat teatral, film ini menumbuhkan optimisme di lubuk penonton. Diam-diam kita berkata, "Harapan itu ada. Badan Sensortoh masih peka." Satu hal lain yang tidak kurang'penting ialah bagaimana film ini memberi porsi terbesar untuk dialog. Dalam hal ini permainan Bagio (dan Bambang Hermanto) telah menyelamatkannya. Memang, Bagio layak dipilih sebagai pemain utama pria terbaik tahun ini.
SERANGAN FAJAR Pemain: Antonius Yacobus, Dani Marsuni, Amoroso Katamsi, Suwastinah, Suparmi, Nunuk, Chaerul Umam, Skenario & Sutradara: Arifin C. Noor. Film ini memberi kesan lain dari kebanyakan film Indonesia, terutama dari segi sinefotografinya. Sebagian besar adegan terpampang dalam warna tunggal kehijauan atau kecokelatan -- seakan kita membalik kembali album lama. Ini memang kisah masa lalu -- masa perang kemerdekaan -- dan dalam hal itu ide dan emosi berpaut bagus dengan teknik. Agak sayang film ini mengalami kesulitan bercerita. Kisahnya terdiri dari tiga lapis. Lapis pertama kisah bocah Temon, saksi dalam masa yang bergolak hebat. Lapis kedua kisah keluarga (Amoroso Katamsi), para ningrat yang kena angin perubahan di masa republik ditempa. Lapis ketiga sebuah kisah resmi: bagaimana pelbagai angkatan bersenjata tumbuh dan bergerak, dengan tokoh sentral pemuda yang kini jadi Presiden Soeharto.
KETIKA lapis itu dicoba dipertautkan oleh Arifin, tapi tidak luluh benar. Keberaniannya bereksperimen memang bisa menyebabkan kita berdecakk-ck-ck, tapi sebuah "propaganda patriotisme," seperti dikatakan sendiri oleh sutradaranya tentang film ini, akan lebih menggugah jika penonton tidak disibukkan menyesuaikan diri dengan eksperimen itu. Termasuk eksperimen untuk berkisah dengan cara wayang: ada gunungan, ada goro-goro, bahkan ada semacam suluk. Toh Arifin tetap menunjukkan keunggulannya sebagai sutradara yang lama berpengalaman dengan para pemain pentas: dia bisa membikin seorang yang hampir nol menjadi tujuh angkanya dalam memainkan peran. Terbukti dari permainan Dani Marsuni sebagai Temon, yang baru pertama kali itu berhadapan dengan kamera. Dani berperan dengan mantap, mengimbangi Suparmi yang melakonkan tokoh Mbah, seorang pemain dari dunia ketoprak. Dan Amoroso Katamsi yang berperan amat meyakinkan sebagai tokoh ningrat. Keduanya, Suparmi dan Amoroso Katamsi, tepat dipilih sebagai pemeran pembantu pria dan wanita terbaik tahun ini. Ada pun gelar juru kamera terbaik tak pelak lagi diberikan kepada M. Soleh Ruslani, juru kamera kawakan yang tahun ini telah mempersembahkan kepada kita "gambar-gambar yang mengagumkan."
14 Agustus 1982
Munculnya kpu dan notaris
ANGGOTA Dewan Juri Festival Film Indonesia 1982 tak lagi harus duduk dalam gelap, menyaksikan berpuluh film. Satu cara penilaian baru dirintis tahun ini. Ada tim penyeleksi pendahuluan yang langsung menentukan film-film yang diunggulkan, disebut KPU (Komite Pengaju Unggulan). Itulah yang diputuskan Dewan Film Nasional (DFN) Maret lalu. Menurut Misbach Jusa Biran, salah seorang dari 18 anggota KPU, cara itu merupakan pemenuhan tuntutan orang film sendiri agar dilibatkan dalam penilaian. Maka itulah anggota KPU, yang diangkat oleh DFN, terdiri dari para pekerja film (sutradara, juru kamera, penulis skenario dan lain-lain) ditambah dua produser.
Yang jelas, dengan adanya KPU kerja Dewan Juri FFI kini menjadi sangat terarah, dan pilihan terbatas. Dari sebuah film mereka tak perlu lagi mempertimbangkan bidang apanya yang harus diunggulkan. Sebab yang itu tugas KPU. Bila sebuah film diunggulkan hanya tata artistiknya misalnya, ya, bidang itulah yang dinilai juri dari film itu. Tak bisa yang lain -- misalnya bila ternyata menurut juri permainan peran utama yang patut ditampilkan. Dengan demikian dewan juri sedikit banyak sudah "diprogram". Ini satu hal yang sangat berbeda dari sistem nominasi pada tiga FFI sebelumnya (1979, 80 dan 81). Dulu, unggulan sepenuhnya ditentukan Dewan Juri sendiri. Kebijaksanaan yang pertama kali diterapkan di FFI 1979 di Palembang itu, sebetulnya untuk memberi muka kepada film atau pekerja film yang tidak menang tapi nilainya hanya terpaut tipis dengan yang menang. Bukan rahasia lagi, dengan sistem angka, keterpautan nilai antara pemenang dan yang bukan terkadang sangat tipis. Tapi bagaimanapun, dulu itu, dewan jurilah yang menentukannya setelah melihat keseluruhan peserta FFI. Maka peran KPU sekarang sesungguhnya amat besar. Badan inilah yang menentukan sebuah film bisa diikutkan penilaian dewan juri atau tidak. Untuk pertama kali ini saja misalnya, dari 81 film yang terdaftar ikut FFI, hanya 17 yang diunggulkan.
Maka begitu hasil kerja KPU diumumkan 10 Juli yang lalu, muncul kritik di sana-sini. Soal penjurian dengan angka yang bisa meleset jauh. Soal ada anggota KPU yang sering absen. Masalah tiadanya diskusi dalam KPU. Juga tiadanya tolok ukur penilaian. Misbach Jusa Biran mengakui belum sempurnanya cara kerja KPU. "Harus diingat bahwa KPU soal baru, dan hanya mempunyai kesempatan menilai semua film dalam waktu dua bulan," tuturnya. Tapi bahwa orang film diikutsertakan menilai, dianggapnya bermanfaat. "Dulu penilaian hanya didasarkan pada ide dan isi cerita. Sajian teknisnya luput. Sekarang orang film pun ikut punya hak menentukan," kata Misbach, yang juga menjadi Ketua Dewan Juri. Tidak boleh tidak, itu berarti dewan juri FFI selama ini -- yang memang kebanyakan datang dari kalangan luar film -- dianggap kurang mampu mempertimbangkan segi filmisnya. Tapi masih menjadi pertanyaan, seperti juga dalam cabang kesenian yang lain, apakah seorang yang pintar membikin film juga seorang penilai film yang baik. Dan sebaliknya, apakah mereka yang berada di luar dunia film kurang berbobot wawasannya terhadap nilai sebuah karya celluloid.
Diketahui, dari FFI pertama, 1973, sampai yang ke-9 tahun lalu, dewan juri selalu berusaha menyempurnakan kriteria dan sistem penilaiannya. Pada FFI 1974, misalnya, dewan juri meniadakan pemenang aktor dan aktris terbaik. Alasannya aktor dan aktris kita sering mutu permainannya ditentukan oleh peran dan sutradaranya. Bobot permainan menjadi jauh berbeda di tangan sutradara satu dan lainnya. Bahkan FFI 1977 di Jakarta sempat heboh. Dewan juri waktu itu mencoba mencari kriteria "film terbaik". Hasilnya, film terbaik harus mempunyai 4 pendukung yang terbaik pula: skenario, sinefotografi, penyutradaraan, dan editing. Dan buntutnya, tak ada film terbaik yang muncul -- karena tak sebiji pun film produksi 1976/77 memenangkan empat unsur itu sekaligus. Memang menjadi persoalan, dewan juri yang dari tahun ke tahun selalu berubah-ubah orangnya itu. Sementara satu kriteria yang baku belum ada. Yang ada baru satu petunjuk garis bcsar unsur apa saja yang dinilai. Maka keobyektifan penilaian, yang konon begitu didambakan, sebenarnya bukan tergantung pada terjaganya angka-angka yang diberikan oleh KPU maupun dewan juri, hingga misalnya tahun ini angka-angka itu perlu diserahkan kepada notaris. Notaris itulah yang kemudian menjumlahkannya dan mengumumkan nilai tertingginya. Tapi justru soal angka itu yang menjadikan keberatan sejumlah orang. Dianggap lebih mendekati nilai yang sebenarnya apabila penilaian akhir merupakan perpaduan angka dan diskusi antarjuri. Seperti dikatakan D. Djajakusuma, anggota KPU. Sementara diakui pula oleh Misbach, diskusi dalam KPU meman dianggap kurang. Langsung semu a unggulan yang tahun ini muncul adalah hasil penjumlahan angka-angka yang memang dijamin "tak ada manipulasi". Mungkin masalahnya justru terletak pada kualitas para anggota dewan juri dan KPU itu. Menurut Ami Priyono, sutradara, idealnya seorang penilai adalah "yang sering nonton film Indonesia, paham soal selera dan psikologi penonton, memiliki pengetahuan umum sinematografi, dan mengikuti perkembangan sejarah perfilman Indonesia." Dan, tentu saja, ia netral.
28 Agustus 1982
Bila bintang cilik berubah
DIA anak yatim yang bercita-cita jadi dokter. Honorariumnya main film yang Rp 0,5 juta sudah ia habiskan untuk mainan dan pakaian. Tapi Sumardani Marsuni alias Dhani, 8 tahun, nampak tetap ceria, lincah dan banyak tawa. Sebagai Temon dalam Serangan Fajar dia sangat mengesankan hingga juri FFI 1982 memberinya penghargaan, khusus untuk peran anak-anak.
Dengan ini sutradara Arifin C. Noer berhasil mencetak seorang bintang lagi, sah diakui sebagai penghuni dunia film yang gemerlapan. Akankah dia bertahan lama di sana, agaknya masih terlalu pagi untuk direka. Untuk peran Temon, Arifin sebenarnya mencari seorang bocah Jawa tulen, 100%. Tapi dari sekitar 30 anak yang dites, Dhani paling top, menurut Budi Setiawan, abang pemain cilik itu. Pilihan pun jatuh padanya. Ternyata tidak mengecewakan, padahal beraksi di depan kamera baru itulah yang pertama. Mungkin juga yang terlama. Mengapa? Untuk membintangi Serangan Fajar (SF), Dhani terpaksa meninggalkan bangku sekolah lima bulan, dari November 1980 sampai Maret 1981. Akibatnya dia tidak naik kelas. Tapi anak itu tidak menyesal mendekam satu tahun lagi di kelas 2 SD. Kok tidak? "Karena main film dapat uang banyak," jawabnya mantap. Dhani rupanya sudah mengetahui benar nikmatnya uang. Tanpa ragu ia bersedia main film lagi tapi honorariumnya yang dimintanya kini tidak kurang dari Rp 1 juta.
Tatkala ia diterima Presiden Soeharto akhir Februari lalu, kepadanya dijanjikan tabanas. Sayang, tabanas yang dinanti-nanti dari Kepala Negara itu belum juga sampai ke tangannya. "Sekarang masih diurus," tutur Dhani. Ketika ditanya ia minta berapa, anak itu mencetus tak terduga: "Dua juta!" Tapi segera ia menambahkan, "Yang dari Pak Harto biar sedikit, mau ditabung juga." Di samping telanjur dengan uang, Dhani juga ketagihan menonton film. Dalam sepekan ia menonton 3 - 4 kali, terutama film perang, film silat dan film sedih. Anehnya dia tidak berminat pada film anak-anak. Terbilang anak yang terjun ke film untung-untungan, Dhani nampaknya kurang terarah. Sebaiknya ada persiapan lebih rapi hingga andaikata kelak ia tidak "laku" lagi, anak itu tidak mesti mengulang nasib Mangapul Panggabean, bintang cilik tenar (filmnya antara lain Jenderal Kancil) yang sekarang jadi pegawai negeri rendahan. Persiapan semacam itu diperoleh Rizki Amelia alias Kiki, 7 tahun. Gadis cilik itu -- kini mengambil alih tempat Faradilla Sandi -- sudah memulai karirnya pada umur 1 tahun 8 bulan. Ini tidak terlalu mengherankan karena Kiki memang keturunan aktor. Kakeknya, Sjamsuddin Safei, pemain sandiwara kenamaan dari perkumpulan sandiwara Keluarga Ratu Asia. Ibunya, Pipiet Sandra, sering muncul dalam sandiwara televisi.
Begitu pula ayahnya, K.M. Bey Erry. Melihat anak lain main sandiwara, pernah ia bertanya kepada ibunya, "Kok Kiki tidak diajak main?" Kemudian ia menirukan lagu Hujan Rintik-rintik hingga berurai air mata. Maka Kiki pun "dicoba" untuk pertama kali berperan dalam sandiwara televisi Keluarga Berencana. "Waktu itu dialognya masih dibatasi," tutur sang ibu. Sekarang kepada pemain cilik itu diajarkan cara akting yang baik, menghafal dialog dan menghayati cerita. Meski kebolehannya berperan "sudah agak lumayan," katanya, "menghayati cerita" tidak gampang. Memang itu bisa diatasi, karena "kan sudah biasa main film," lanjutnya ringan. Nona kecil itu tidak melebih-lebihkan. Dalam tempo 4 tahun ia sudah membintangi 8 film belum terhitung sandiwara televisi.
Filmnya terakhir Tangan-tangan Mungil. Di sini Kiki berperan sebagai Lala, anak perempuan yang kelaki-lakian. Permainannya sudah menonjol, namun piala khusus sebagai pemeran anak-anak terbaik justru diperoleh Kiki tahun lalu di FFI Surabaya, dalam film Nakalnya Anak-anak. Bercita-cita jadi insinyur pertanian, Kiki sekarang duduk di kelas 2 SD Al-Azhar. Tidak seperti Dhani, "honornya dirahasiakan, ditabung," tutur Pipiet. Tapi Kiki pun seperti Dhani, gemar menonton film. Mereka berdua mengaku "main film itu capek " biarpun "tidak mengganggu sekolah." Di sela-sela shooting, Kiki membuat pekerjaan rumah, menghafal atau membaca. Menurut penilaiannya, sutradara dan crew film "baik-baik semua," selalu membantunya dalam akting dan belajar. Namun selama shooting anak itu tetap didampingi ibunya. "Menjaga ia dari hal-hal yang semestinya belum boleh ia dengar," Pipiet menjelaskan. Sebagaimana anak-anak lain, Kiki oleh kedua orang tuanya diarahkan agar bisa tumbuh secara wajar. Anak tunggal yang punya lesung pipit pemanis itu bebas bermain-main, asal tahu waktu. Tapi Dhani, yang pernah terlibat shooting 5 bulan di Yogya, kembali ke rumah sudah berubah. Pergaulannya yang cukup lama dengan orang dewasa di sana menyebabkan anak ke-9 dalam 10 bersaudara itu sampai kini masih kurang "sreg" bermain dengan teman sebaya. Sampai bisa begitu rupanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar