Film bicara (talking picture) hadir pertama kali di Indonesia pada 1929. Kota yang beruntung menyaksikan untuk kali pertama pertunjukan film bersuara adalah Surabaya. Film bersuara ini berjudul Fox Follies dan diputar di Princesse Schouwborg Surabaya pada 26 Desember 1929. “Kehebohan” dari Surabaya segera menjalar ke kota-kota besar di Nusantara.
Negeri yang pertama kali berhasil membuat film bersuara atau talking picture adalah Amerika Serikat. Melalui perusahaan film Warner Brothers, film bersuara pertama di dunia berhasil dibuat dengan judul Don Juan pada 1926. Tahun berikutnya Warner Brothers memproduksi film bersuara keduanya berjudul The Jazz Singer. Sejak itu perlahan-lahan berakhirlah masa film bisu (tanpa suara).
Masyarakat penggemar film di Batavia baru mendapat kesempatan menyaksikan film bersuara tiga bulan setelah pemutaran perdana Fox Follies di Surabaya. Film bersuara pertama di Batavia diputar di bioskop Globe pada 27 Maret 1930, yaitu film The Rainbow Man. Pemutaran-pemutaran film bersuara ini dilaksanakan oleh Charles Hugo yang berkeliling kota-kota besar pulau Jawa, yaitu Malang, Semarang, Yogyakarta, Bandung, dan terakhir Batavia, setelah pemutaran perdana film bicara di Surabaya. Sebenarnya ini merupakan promosi dari General Manager Fox Film Coorporation, S. Samuels, dan Hugo untuk memperkenalkan peralatan Hugo Apparaat.
Film-film bicara yang diimpor dari Amerika ini mendapat sedikit kritikan dari publik. Film-film tersebut terlalu banyak percakapan, dan percakapan dalam film impor menggunakan bahasa Inggris. Bahasa Inggris tidak dimengerti oleh penonton di Indonesia. Namun kritikan tersebut langsung ditanggapi oleh General Manager Fox Film Coorporation yang menyebutkan bahwa percakapan dalam film-film bersuara impor akan dihilangkan dan diganti dengan teks Bahasa Belanda. Penonton di Indonesia lebih mengutamakan suara nyanyian dan musik daripada alur dialog yang membawa mereka pada cerita.
Gedung Bioskop yang Pertamakali Memutar Film Bersuara di Indonesia
Bagi bioskop-bioskop yang ada di Indonesia, kedatangan film bicara ditanggapi dengan menambah embel-embel kata “talkies” di belakang nama bioskop mereka. Seperti Thalia Talkies Batavia, Tropica Talkies Bangkalan Madura, Sirene Talkies Makassar, sampai Dreaming Talkies Borneo. Dengan menambahkan kata talkies berarti bioskop mereka memutar “film-film yang ada suaranya”, dan timbul kebanggaan pada diri pengusaha bioskop ini.
Tanggapan atas Film Bicara
Charles Hugo, orang yang berjasa memutar film bersuara di Jawa
Kehadiran teknologi film bicara menimbulkan tanggapan beragam dari pelaku perfilman dan publik pada zamannya. Tanggapan dari aktor/aktris papan atas dunia muncul. Jesse L. Lasky dari Paramount menganggap bahwa dalam tempo lima tahun film bisu akan terkubur sama sekali, sedangkan Joseph M. Schenck dari United Artists menganggap sebaliknya, film bicara menurutnya hanya berumur lima sampai sepuluh tahun saja. Bahkan Charlie Chaplin, seorang komedian legendaris dunia, menganggap bahwa film bicara cuma trend belaka. Menurutnya film bukan sandiwara. Film mengutamakan percakapan lewat gambar, sedangkan sandiwara lewat dialog kata-kata. Charlie tetap konsisten membuat film bisu, namun akhirnya ia harus menyerah pada zaman dan membuat film bicara juga pada 1940, yaitu The Great Dictator. Senada dengan Charlie Chaplin, sutradara terkenal asal Amerika Serikat, King Vidor, juga menyatakan (pendapatnya yang keliru) bahwa film bicara tidak akan berjalan begitu lama, dan tidak lama lagi mode ini akan segera berakhir.
Kritik-kritik juga tersirat dalam media massa. Majalah Doenia Film tanggal 1 Maret 1930, dalam sebuah rubriknya (nampaknya rubrik lelucon/komedi) menulis “En bagaimana kaoe poenja anggapan tentang itoe film bitjara, Mary? Ah, terlaloe tante, akoe dengar soewara kamedjanja Adolphe Menjou jang terlaloe keras dikandji menggresek, tante, laloe akoe bentji sama dia!”
Pengaruh Film Bicara
Film bicara yang masuk ke Indonesia pada akhir 1929, dan mulai merambah keberbagai penjuru Nusantara pada 1930, mengakibatkan berbagai pengaruh, positif dan negatif, terutama di kota-kota besar pulau Jawa. Di antaranya lagu-lagu dari negeri Barat yang merupakan lagu latar (soundtrack) menjadi populer terutama di kalangan kaum muda. Majalah Doenia Film tanggal 15 Juni 1930 mencatat “Kaloe kita beada didjalanan kita dengar pemoeda-pemoeda moerid-moerid sekola melagoeken lagoe-lagoe jang populair dari films bitjara, kaloe diwaktoe malem saban roemah kedengaran gramofoon,...djoega lagoe-lagoe dari films bitjara, apalagi kaloe liwat roemah-roemah dansa, restaurants atawa hotels tida laen dari lagoe-lagoe films bitjara jang populairs…” Lagu-lagu dari film The Rainbow Man, Sleepy Valley, That’s You Baby, Pagan Love Song, Broadway Melody, selalu terdengar di setiap rumah yang mempunyai gramofon/piringan hitam. Dengan adanya film-film bicara, toko-toko musik ikut “kebanjiran” pelanggan yang meminta lagu-lagu baru dari film bicara yang telah mereka tonton sebelumnya.
Adanya film bicara juga menguntungkan perusahaan-perusahaan yang menghasilkan alat pemutar talkie (toestel film bitjara). Mereka berlomba memajang iklan-iklan produk di berbagai media massa. Lazimnya mereka mencantumkan nama bioskop yang telah menggunakan peralatan mereka, seperti Klangfilm-Tobis mengiklankan nama-nama bioskop yang memakai produk tersebut yaitu Rojal Standard dan Rialto Bogor, Flora Sukabumi, Hollywood Cirebon, Union Surabaya, Varia dan Concordia Bandung, Riche Kediri, Sriwedarie Solo, dan Komisi Sensor Film Batavia. Bioskop yang menggunakan merk Philips-Loetafoon lebih banyak lagi, yaitu Cinema Banyuwangi, Azia Bondowoso, Flora Probolinggo, Cinema Jember, Gemeente Madiun, Rojal Cinema Pekalongan, Centrale Jatinegara, Orion Medan, Cinema Bukittinggi, Orion Pematang Siantar, Volks Malang, Excellent dan Orient Pontianak, Cinema dan Scala Padang, serta Kranggan, Capitol, Central, City, dan Pie Oen Kie Surabaya.
Seorang penulis, mungkin Andjar Asmara, di majalah Doenia Film dan Sport tanggal 7 Juni 1932 mengungkapkan “…kedatengan film bitjara meroesaken betoel pada oesaha film disini, sebab dengen kedatengannja “talkies” itoe tersangkoet dan perloe pegetahoean jang dalam tentang microfoon, radio dan sebagainja…sekarang terpaksa kita menambah dan mempergoenakan satoe kepinteran jang tadinja tida bersangkoetan apa-apa dengan film. Selaennja dari pengetahoean ini sadja kita terpaksa poela memake toestel-toestel lebih lengkap dan ingewikkelder dari toestel jang di pergoenaken boeat membikin film gagoe”. Film bicara memaksa para pengusaha dan pelaku film untuk bagaimana memutar otak, guna menghasilkan suatu karya film bicara yang tadinya tidak diperlukan dalam membuat film bisu. Di samping itu, tidak kalah pentingnya, mereka harus menyediakan peralatan tambahan yang dapat menghasilkan suara pada film-film mereka.
Para pelaku perfilman di Indonesia pada 1931 berlomba-lomba untuk menghasilkan film bicara. Rintangan-rintangan, seperti peralatan yang mahal, tidak menyurutkan langkah mereka untuk berkarya. Bagi mereka, ini adalah kesempatan yang baik untuk memproduksi film-film bicara dalam negeri. Penonton banyak yang tidak paham percakapan antar pelaku dalam film-film bicara impor, sedangkan kalau memproduksi film-film bicara Indonesia tentunya mereka tidak akan kesulitan menangkap maksud percakapan dalam film-film itu. Wong Bersaudara, The Teng Chun, dan Krugers menyiasati peralatan film ini dengan percobaan pembuatan kamera di Bandung, serta meminta bantuan dua orang Belanda, Morris dan Lemmens. Empat buah perusahaan film dalam negeri pada masa ini sudah membuat film bicara, yaitu Krugers Film Bedrijf dan Halimoen Film di Bandung serta Tan’s Film dan Cino Motion Pictures di Batavia. Film bicara pertama di Indonesia menurut buku yang ditulis oleh Taufik Abdullah, S. M. Ardan, dan Misbach Yusa Biran berjudul Film Indonesia Bagian I adalah Karnadi Anemer Bangkong buatan Krugers Film Bedrijf. Kemudian bermunculanlah berbagai judul film bicara buatan dalam negeri, seperti Indonesia Malaise buatan Wong Bersaudara dan Boenga Roos dari Tjikembang buatan The Teng Chun.
Demikianlah sekilas tentang sejarah film di Indonesia, yang saya fokuskan pada masa kedatangan film bicara di tanah air. Semoga ini dapat menjadi kenang-kenangan kecil bagi peringatan perfilman nasional kita yang ke-58.
Negeri yang pertama kali berhasil membuat film bersuara atau talking picture adalah Amerika Serikat. Melalui perusahaan film Warner Brothers, film bersuara pertama di dunia berhasil dibuat dengan judul Don Juan pada 1926. Tahun berikutnya Warner Brothers memproduksi film bersuara keduanya berjudul The Jazz Singer. Sejak itu perlahan-lahan berakhirlah masa film bisu (tanpa suara).
Masyarakat penggemar film di Batavia baru mendapat kesempatan menyaksikan film bersuara tiga bulan setelah pemutaran perdana Fox Follies di Surabaya. Film bersuara pertama di Batavia diputar di bioskop Globe pada 27 Maret 1930, yaitu film The Rainbow Man. Pemutaran-pemutaran film bersuara ini dilaksanakan oleh Charles Hugo yang berkeliling kota-kota besar pulau Jawa, yaitu Malang, Semarang, Yogyakarta, Bandung, dan terakhir Batavia, setelah pemutaran perdana film bicara di Surabaya. Sebenarnya ini merupakan promosi dari General Manager Fox Film Coorporation, S. Samuels, dan Hugo untuk memperkenalkan peralatan Hugo Apparaat.
Film-film bicara yang diimpor dari Amerika ini mendapat sedikit kritikan dari publik. Film-film tersebut terlalu banyak percakapan, dan percakapan dalam film impor menggunakan bahasa Inggris. Bahasa Inggris tidak dimengerti oleh penonton di Indonesia. Namun kritikan tersebut langsung ditanggapi oleh General Manager Fox Film Coorporation yang menyebutkan bahwa percakapan dalam film-film bersuara impor akan dihilangkan dan diganti dengan teks Bahasa Belanda. Penonton di Indonesia lebih mengutamakan suara nyanyian dan musik daripada alur dialog yang membawa mereka pada cerita.
Gedung Bioskop yang Pertamakali Memutar Film Bersuara di Indonesia
Bagi bioskop-bioskop yang ada di Indonesia, kedatangan film bicara ditanggapi dengan menambah embel-embel kata “talkies” di belakang nama bioskop mereka. Seperti Thalia Talkies Batavia, Tropica Talkies Bangkalan Madura, Sirene Talkies Makassar, sampai Dreaming Talkies Borneo. Dengan menambahkan kata talkies berarti bioskop mereka memutar “film-film yang ada suaranya”, dan timbul kebanggaan pada diri pengusaha bioskop ini.
Tanggapan atas Film Bicara
Charles Hugo, orang yang berjasa memutar film bersuara di Jawa
Kehadiran teknologi film bicara menimbulkan tanggapan beragam dari pelaku perfilman dan publik pada zamannya. Tanggapan dari aktor/aktris papan atas dunia muncul. Jesse L. Lasky dari Paramount menganggap bahwa dalam tempo lima tahun film bisu akan terkubur sama sekali, sedangkan Joseph M. Schenck dari United Artists menganggap sebaliknya, film bicara menurutnya hanya berumur lima sampai sepuluh tahun saja. Bahkan Charlie Chaplin, seorang komedian legendaris dunia, menganggap bahwa film bicara cuma trend belaka. Menurutnya film bukan sandiwara. Film mengutamakan percakapan lewat gambar, sedangkan sandiwara lewat dialog kata-kata. Charlie tetap konsisten membuat film bisu, namun akhirnya ia harus menyerah pada zaman dan membuat film bicara juga pada 1940, yaitu The Great Dictator. Senada dengan Charlie Chaplin, sutradara terkenal asal Amerika Serikat, King Vidor, juga menyatakan (pendapatnya yang keliru) bahwa film bicara tidak akan berjalan begitu lama, dan tidak lama lagi mode ini akan segera berakhir.
Kritik-kritik juga tersirat dalam media massa. Majalah Doenia Film tanggal 1 Maret 1930, dalam sebuah rubriknya (nampaknya rubrik lelucon/komedi) menulis “En bagaimana kaoe poenja anggapan tentang itoe film bitjara, Mary? Ah, terlaloe tante, akoe dengar soewara kamedjanja Adolphe Menjou jang terlaloe keras dikandji menggresek, tante, laloe akoe bentji sama dia!”
Pengaruh Film Bicara
Film bicara yang masuk ke Indonesia pada akhir 1929, dan mulai merambah keberbagai penjuru Nusantara pada 1930, mengakibatkan berbagai pengaruh, positif dan negatif, terutama di kota-kota besar pulau Jawa. Di antaranya lagu-lagu dari negeri Barat yang merupakan lagu latar (soundtrack) menjadi populer terutama di kalangan kaum muda. Majalah Doenia Film tanggal 15 Juni 1930 mencatat “Kaloe kita beada didjalanan kita dengar pemoeda-pemoeda moerid-moerid sekola melagoeken lagoe-lagoe jang populair dari films bitjara, kaloe diwaktoe malem saban roemah kedengaran gramofoon,...djoega lagoe-lagoe dari films bitjara, apalagi kaloe liwat roemah-roemah dansa, restaurants atawa hotels tida laen dari lagoe-lagoe films bitjara jang populairs…” Lagu-lagu dari film The Rainbow Man, Sleepy Valley, That’s You Baby, Pagan Love Song, Broadway Melody, selalu terdengar di setiap rumah yang mempunyai gramofon/piringan hitam. Dengan adanya film-film bicara, toko-toko musik ikut “kebanjiran” pelanggan yang meminta lagu-lagu baru dari film bicara yang telah mereka tonton sebelumnya.
Adanya film bicara juga menguntungkan perusahaan-perusahaan yang menghasilkan alat pemutar talkie (toestel film bitjara). Mereka berlomba memajang iklan-iklan produk di berbagai media massa. Lazimnya mereka mencantumkan nama bioskop yang telah menggunakan peralatan mereka, seperti Klangfilm-Tobis mengiklankan nama-nama bioskop yang memakai produk tersebut yaitu Rojal Standard dan Rialto Bogor, Flora Sukabumi, Hollywood Cirebon, Union Surabaya, Varia dan Concordia Bandung, Riche Kediri, Sriwedarie Solo, dan Komisi Sensor Film Batavia. Bioskop yang menggunakan merk Philips-Loetafoon lebih banyak lagi, yaitu Cinema Banyuwangi, Azia Bondowoso, Flora Probolinggo, Cinema Jember, Gemeente Madiun, Rojal Cinema Pekalongan, Centrale Jatinegara, Orion Medan, Cinema Bukittinggi, Orion Pematang Siantar, Volks Malang, Excellent dan Orient Pontianak, Cinema dan Scala Padang, serta Kranggan, Capitol, Central, City, dan Pie Oen Kie Surabaya.
Seorang penulis, mungkin Andjar Asmara, di majalah Doenia Film dan Sport tanggal 7 Juni 1932 mengungkapkan “…kedatengan film bitjara meroesaken betoel pada oesaha film disini, sebab dengen kedatengannja “talkies” itoe tersangkoet dan perloe pegetahoean jang dalam tentang microfoon, radio dan sebagainja…sekarang terpaksa kita menambah dan mempergoenakan satoe kepinteran jang tadinja tida bersangkoetan apa-apa dengan film. Selaennja dari pengetahoean ini sadja kita terpaksa poela memake toestel-toestel lebih lengkap dan ingewikkelder dari toestel jang di pergoenaken boeat membikin film gagoe”. Film bicara memaksa para pengusaha dan pelaku film untuk bagaimana memutar otak, guna menghasilkan suatu karya film bicara yang tadinya tidak diperlukan dalam membuat film bisu. Di samping itu, tidak kalah pentingnya, mereka harus menyediakan peralatan tambahan yang dapat menghasilkan suara pada film-film mereka.
Para pelaku perfilman di Indonesia pada 1931 berlomba-lomba untuk menghasilkan film bicara. Rintangan-rintangan, seperti peralatan yang mahal, tidak menyurutkan langkah mereka untuk berkarya. Bagi mereka, ini adalah kesempatan yang baik untuk memproduksi film-film bicara dalam negeri. Penonton banyak yang tidak paham percakapan antar pelaku dalam film-film bicara impor, sedangkan kalau memproduksi film-film bicara Indonesia tentunya mereka tidak akan kesulitan menangkap maksud percakapan dalam film-film itu. Wong Bersaudara, The Teng Chun, dan Krugers menyiasati peralatan film ini dengan percobaan pembuatan kamera di Bandung, serta meminta bantuan dua orang Belanda, Morris dan Lemmens. Empat buah perusahaan film dalam negeri pada masa ini sudah membuat film bicara, yaitu Krugers Film Bedrijf dan Halimoen Film di Bandung serta Tan’s Film dan Cino Motion Pictures di Batavia. Film bicara pertama di Indonesia menurut buku yang ditulis oleh Taufik Abdullah, S. M. Ardan, dan Misbach Yusa Biran berjudul Film Indonesia Bagian I adalah Karnadi Anemer Bangkong buatan Krugers Film Bedrijf. Kemudian bermunculanlah berbagai judul film bicara buatan dalam negeri, seperti Indonesia Malaise buatan Wong Bersaudara dan Boenga Roos dari Tjikembang buatan The Teng Chun.
Demikianlah sekilas tentang sejarah film di Indonesia, yang saya fokuskan pada masa kedatangan film bicara di tanah air. Semoga ini dapat menjadi kenang-kenangan kecil bagi peringatan perfilman nasional kita yang ke-58.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar