SEJARAH FILM
& IDEOLOGI NEGARA
Periode 1900 – 1940
¹ Film pertama kali diputar di Indonesia, berupa film dokumenter dari Belanda tentang perjalanan Ratu Olanda dan Raja Hertog Hendrik. Film yang mulai diputar pada 5 Desember 1900 ini (5 tahun setelah pemutaran film pertama dunia oleh Lumière) disebut “Gambar Idoep”. Pemutaran di Indonesia tidak sukses karena tiket terlalu mahal.
• ¹ Pada tahun 1905 film cerita pertama masuk Indonesia, impor dari Amerika. Film lokal masih berbentuk dokumenter
.
• ¹ Animo masyarakat akan film cerita impor meningkat di Indonesia, sehingga sampai tahun 1923 jumlah bioskop juga meningkat. Bioskop terbuka, yang biasanya terletak di pasar malam lebih memiliki daya tarik. Film China mulai masuk melalui China Moving Picture (“Li Ting Lang” dan “Satoe Perempoean Jang Berboedi”). Semua film yang diputar masih film bisu.
• ¹ Film lokal pertama diproduksi pada tahun 1926, berupa film cerita bisu. Film berjudul “Loetoeng Kasaroeng” ini diproduksi oleh NV Java Film Company, yang kemudian juga memproduksi “Eulis Atjih”. Setelah itu makin banyak perusahaan-perusahaan film lainnya. Film-film bersuara mulai masuk ke Indonesia, bahkan ada yang telah menggunakan teks Melayu.
• ¹ Film lokal bersuara baru diproduksi pada tahun 1931 oleh Tans Film Company dan Kruegers Film Bedrif berjudul “Atma de Vischer”. Sampai dengan tahun 1931 telah diproduksi 21 judul film bisu dan bersuara. Jumlah bioskop meningkat, tidak hanya di kota besar, tapi juga di kota kecil (misal: Ambarawa, Balige, Subang, Tegal).
Periode 1941 – 1970
• ¹ Film lokal panen pada 1941, dengan 30 film cerita dan 11 film dokumenter. Tema film kebanyakan romantisme, diselingi lagu, tarian, lawakan dan laga.
• ¹ Tahun berikutnya film lokal anjlok karena pendudukan Jepang, yang melarang pembuatan film. Pada masa itu film diurus oleh Nippon Eiga Sha yang menjadikan film sebagai alat propaganda politik, film Amerika dilarang. Setelah Jepang kalah, film-film Hollywood masuk kembali dengan deras, tanpa dibatasi kuota impornya. Film lokal ada beberapa, misalnya “Moestika Dari Djenar” dan “Koeda Sembrani”.
• ¹ Usmar Ismail mendirikan Perfini pada tahun 1950 dengan produksi perdana “Darah dan Doa”. Dewan Film Nasional menetapkan tanggal pengambilan gambar pertama film ini (30 Maret), sebagai Hari Film Nasional.
• ¹ Djamaludin Malik membuat Festival Film Indonesia (FFI) untuk lebih mempopulerkan film lokal pada tahun 1955. Film karya Usmar Ismail “Lewat Jam Malam” dinobatkan sebagai film terbaik, lalu diikutsertakan dalam Festival Film Asia II di Singapore.
• ¹ PARFI (Persatuan Artis Film Indonesia) berdemonstrasi di depan Presiden Soekarno (1956) dan PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia) menutup semua studionya agar pemerintah membatasi kuota impor film asing.
Film Indonesia terus anjlok setelah FFI I, puncaknya pada zaman PKI tahun 1965. Krisis politik yang melanda Indonesia berimbas pada perfilman nasional. Aksi pemboikotan terhadap film Amerika oleh PARFIAS (Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat) menyebabkan film-film impor mati. Film impor selama ini ikut mendukung film lokal dalam segi dana, sehingga dengan matinya film impor, film lokal pun menderita. Banyak bioskop yang terpaksa tutup. Setelah boikot usai, film impor beredar lagi, bioskop baru bermunculan. Namun film nasional tidak juga bangkit dari keterpurukannya.
Periode 1970 – 1980
• ¹ Film nasional mulai bangkit pada tahun 1970, dengan produksi 20 judul film. PWI jaya mengadakan pemilihan Aktor dan Aktris Terbaik di tahun 1971. Badan Sensor Film mulai melonggarkan adegan-adegan seks dan ciuman dalam film, untuk mendongkrak minat penonton. Pemerintah juga menekan peredaran fim impor.
• ¹ Pada tahun 1974 “Badai pasti berlalu” meraih Piala Antemas sebagai film laris yang baik, walaupun itu bukanlah film terlaris saat itu. Hal ini karena penonton lebih tertarik pada film dengan tema seks akibat longgarnya BSF terhadap film lokal. Film terlaris sebetulnya “Akibat Pergaulan Bebas”.
• ¹ Tahun 1977 adalah masa paling produktif film nasional, karena pemerintah mengharuskan importir film untuk memproduksi film lokal. Akibatnya produser hanya memproduksi film-film demi keuntungan saja, bukan kualitas. Pemerintah juga mengetatkan kuota terhadap film impor.
Periode 1980 – 1990
• ¹ Di tahun 80-an, produksi film-film lokal meningkat (721 judul). Tema yang ditampilkan komedi, seks, sex horor, musik (dangdut). Film-film Warkop dan Rhoma Irama selalu ditunggu penonton. Film “Lupus” dan “Catatan si Boy” dibuat sequelnya berkali-kali.
• ¹ Film paling monumental pada periode ini mungkin “Pengkhianatan G30S/PKI”. Jumlah penontonnya sangat besar, karena selain campur tangan pemerintah Orde Baru, film ini juga diputar di TV. Film ini mengukuhkan fungsi film yang juga sebagai alat tunggangan kepentingan tertentu.
• ¹ Jumlah bioskop meningkat, bahkan sampai ke pinggiran kota. Hal ini memperbesar akses masyarakat, memperbanyak pilihan dan mendewasakan masyarakat dalam memilih film yang akan ditonton. Bioskop mulai berkelas-kelas.
• ¹ Dewasanya masyarakat dalam memilih film, mendorong semakin gencarnya film-film Hollywood yang lebih menjanjikan hiburan yangsesungguhnya. Film lokal dinilai monoton, tak bermutu, profit oriented serta asal-asalan.
• ¹ Film berkualitas pada periode ini misalnya “Doea Tanda Mata” dan “Tjoe Njak Dien”, yang mendapat penghargaan dalam Festival Film Asia Pasifik 1986.
• Hal-hal yang mendukung terpuruknya film lokal/nasional:
• Film-film impor dikelola swasta, dan film lokal dibina pemerintah. Sehingga memungkinkan terjadi sogok, suap dan KKN dalam peredarannya di bioskop.
• Cinemascope (21 Grup) hanya mau memutar film produksi Hollywood, tidak memberi peluang terhadap film lokal.
• Dana hasil peredaran film impor yang sedianya dimanfaatkan untuk memajukan film nasional tidak dikelola dengan baik oleh BP2N. Selama 30 tahun hanya memproduksi 10 judul.
• TV-TV swasta mulai hadir dengan tontonan sinetron dan telenovelanya.
Periode 1990 – 2000
• ¹ Garin Nugroho hadir dengan nafas baru perfilman nasional, dengan keberhasilan menghadirkan tema seks dewasa dan tidak vulgar dalam “Cinta Dalam Sepotong Roti”. Film lain, “Taxi” karya Arifin C. Noer juga mencetak sukses.
• Dewan Film Nasional berusaha mengangkat film nasional dalam “Bulan Tertusuk Ilalang”, dengan Garin sebagai sutradara. Film ini selain unik dan puitis judulnya, alur ceritanya tidak teratur dan dituturkan secara linier, dialog yang minim serta sangat menonjolkan perjalanan kejiwaan tokohnya.. Sayangnya masyarakat kita belum siap dengan gaya baru perfilman ini.
• ¹ Film yang dianggap sukses baik di pasaran maupun segi kualitas adalah “Daun di Atas Bantal” karya Garin lagi. Film ini berhasil menembus dominasi film impor di 21 dan meraih berbagai penghargaan di Festival Film Canes.
• Tabel Produksi Film Nasional
• 1990
• 1991
• 1992
• 1993
• 1994
• 115
• 57
• 31
• 27
• 32
TEKNOLOGI
• Teknologi perfilman di Indonesia mengikuti perkembangan teknologi internasional. Dari film bisu (dokumenter atau cerita), bersuara, warna dan teknik sinematografi lainnya. Adanya kamera digital dan handy-cam memungkinkan dibuatnya film-film yang sifatnya amatir dan pribadi, walau ada juga yang disalahgunakan (kasus film porno).
• Dari segi distribusi film, media video di awal 80-an sempat populer. Banyak rental-rental video yang mendukung animo masyarakat terhadap film-film di video. Teknologi kita yang mengacu ke Jepang menyebabkan video yang beredar dalam bentuk Beta (dipopulerkan oleh Sony Betamax), padahal di Amerika video dalam bentuk VHS.
• Masa kejayaan video (Beta) ini tak lama bertahan. Muncul video Laser yang kualitasnya jauh lebih baik dari video. Namun laser tidak terlalu populer karena perangkatnya mahal dan video Lasernya masih jarang. Tidak banyak rental yang menyewakan laser, karena laser biasanya harus asli, yang otomatis mahal.
• Laser dengan mudah digantikan oleh VCD. Kecenderungan terhadap VCD ini terus meningkat walaupun di USA, VCD sudah tergantikan oleh DVD. DVD yang menawarkan teknologi gambar dan suara yang bermutu, juga lebih dapat memvisualisasikan efek khusus film. DVD sebenarnya dapat meredam pembajakan jika dilakukan sesuai prosedur.
GENRE
• 1920-1930, film dengan tema tradisional/pribumi.
Contoh: Loetoeng Kasaroeng, Eulis Atjih
• 1940-1950, tema romantisme dengan diselingi lagu, tari, lawak dan laga. Kemudian beralih ke dokumenter selama penjajahan Jepang, sebagai propaganda politik.
• 1950-1970, tema patriotisme, dan kritik yang tajam tentang perlakuan terhadap bekas pejuang kemerdekaan.
• 1970-1980, tema seks dan pornografi, juga komedi.
Contoh: Hidup Tjinta dan Airmata, Akibat Pergaulan
• Bebas, Benyamin Tarzan Kota, Ateng Minta Kawin.
• 1980-1990, tema komedi, seks, seks horor, musik (dangdut).
Contoh: Maju Kena Mundur Kena (Warkop), Lupus,
Catatan si Boy.
• 1990-2000, tema seks non vulgar, kejiwaan.
Contoh: Cinta Dalam Sepotong Roti, Bulan tertusuk
Ilalang, Daun di Atas Bantal.
ISSUE
• Kebijakan pemerintah yang menyerahkan pengelolaan film-film impor kepada swasta dan film lokal oleh pemerintah, menyebabkan terjadinya ketimpangan. Hal ini memungkinkan terjadi sogok, suap dan KKN dalam peredaran film-film di bioskop. Cinemascope (21 Grup) hanya mau memutar film produksi Hollywood, tidak memberi peluang terhadap film lokal.
• Grup 21 dengan jaringannya yang luas menyebabkan terjadinya monopoli dalam pemasaran film di bioskop. Dengan monopoli itu Grup 21 dapat menetapkan charge yang cukup mahal bagi film-film yang ingin ditayangkan di 21. Hal ini yang menyebabkan film lokal dan independen terhambat, karena keterbatasan dana mereka untuk menayangkan produksinya. Contoh kasus, film Beth yang dinilai para kritisi cukup bagus dan meraih banyak simpati, tidak ditayangkan di 21. Begitu juga film Jalangkung yang baru bisa ditayangkan di beberapa studio 21 setelah animo masyarakat ternyata besar.
• Film-film impor di Indonesia telat penayangannya. Hal ini karena telatnya kita membayar paten terhadap film-film itu. Rata-rata film impor yang ditayangkan di sini sudah diluncurkan setahun sebelumnya di negara asalnya.
• Ketidakprofesionalan manajemen BP2N, dan ketidakefisienan dalam mengelola dana hasil peredaran film impor, menyebabkan dana yang sedianya dimanfaatkan untuk memajukan film nasional, tidak jelas juntrungannya. Selama 30 tahun BP2N hanya memproduksi 10 judul, dan itupun tidak meledak di pasaran.
• Derasnya arus informasi menyebabkan masyarakat kita segera tahu film-film yang sedang hit di Amerika. Sayangnya film tersebut belum tentu dapat dinikmati dalam waktu dekat, karena masalah paten. Akhirnya suburlah bisnis pembajakan di Indonesia. Selain menawarkan film-film terbaru, VCD bajakan juga jauh lebih murah daripada VCD asli atau tiket bioskop. Keadaan ini terus berlangsung, karena campur tangan pemerintah dalam memberantas hal ini sangat kurang.
• Seiring dengan menjamurnya VCD bajakan, semakin banyak juga tempat penyewaan VCD. Walaupun ada juga dari VCD yang disewakan yang asli, namun lebih banyak bajakannya. Masalah pembajakan ini yang jelas-jelas melanggar hak cipta, semakin disuburkan dengan rental-rental VCD ini. Pemerintah juga tidak menunjukkan penanganan yang serius dan konsisten. Tidak ada ketentuan/peraturan pemerintah tentang bisnis rental VCD, misalnya dengan mengharuskan VCD asli untuk disewakan.
• Ketika penonton Amerika mulai beralih ke HBO, penonton Indonesia mulai dimanjakan dengan telenovela. Semakin banyaknya pilihan tontonan masyarakat melalui TV swasta dengan tayangan sinetron dan telenovelanya menyebabkan penonton banyak yang berpaling dari bioskop. Bahkan kini banyak TV swasta dan production house yang memproduksi film khusus untuk ditayangkan di televisi, seperti FTV.
•
Sebelum Lahirnya Hari Film Nasional
Hari Film Nasional diperingati oleh insan perfilman Indonesia setiap tanggal 30 Maret. Tanggal ini ditetapkan sebagai hari lahirnya Film Nasional karena pada 30 Maret 1950 adalah hari pertama pengambilan gambar film “Darah & Do’a” atau “Long March of Siliwangi” yang disutradarai oleh Usmar Ismail. Alasan disakralkannya film “Darah & Do’a” karena film ini dinilai sebagai film lokal pertama yang bercirikan indonesia. Selain itu inilah film pertama yang benar-benar disutradarai oleh orang Indonesia asli dan juga dilahirkan dari perusahaan film milik orang Indonesia asli. Perusahaan ini bernama Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) Usmar Ismail juga pendirinya.
Film Nasional telah disepakati lahir pada tanggal 30 Maret 1950, namun sebenarnya sejarah pembuatan film cerita di Indonesia yang dulunya bernama Hindia Belanda, sudah dimulai pada tahun 1926. Bahkan sampai tahun 1942 industri film lokal sudah cukup berkembang, meskipun masih kalah bersaing dengan film-film asing terutama dari Amerika. Pada masa itu para pemilik perusahaan-perusahan film lokal adalah orang-orang Cina & Belanda. Judul film cerita yang pertama kali dibuat di negeri ini adalah: “Loetoeng Kasaroeng” yang masih berupa film bisu. Pemain-pemainya adalah orang-orang pribumi, pembuatnya adalah dua orang Belanda: G. Krugers & L. Heuveldorf. Ketika film ini dibuat penduduk di kota-kota besar seperti Batavia, Bandung, Surabaya dll sudah tidak asing lagi dengan pemutaran film yang dulu dikenal dengan sebutan “Gambar Idoep”. Mereka sudah biasa melihat film-film cerita yang berasal dari Amerika, Cina dan Belanda. Penduduk Hindia Belanda khususnya warga Batavia untuk pertama kalinya bisa menyaksikan film di penghujung tahun 1900.
Awal Pertunjukan Film
Pada 1895 Lumiere bersaudara (August & Louis) untuk pertama kalinya memutar film di kota Paris tepatnya di grand Cafe dengan cara memungut bayaran dari penonton, seperti halnya sistem pada bioskop saat ini. Sebelumnya mereka telah menemukan alat perekam gambar bergerak (kamera) dan berhasil memperoyeksikannnya kembali, sehingga bisa disaksikan orang banyak. Film-film yang ditampilkan adalah rekaman kehidupan sehari-hari warga kota Paris seperti buruh-buruh yang keluar dari pabrik dan seorang ibu yang sedang memberi makan bayinya. Yang paling membuat kegaduhan adalah rekaman gambar kereta yang berjalan ke arah layar. Ketika kereta semakin “mendekati” layar, penonton pun dibuat panik, mereka merasa kalau kereta tersebut akan menabraknya.
Film akhirnya semakin berkembang khusunya di Eropa termasuk Belanda. Kemudian film mulai di eksport ke koloni-koloni bangsa Eropa. Tentunya Belanda mengirimnya ke Hindia Belanda.
Gambar Idoep tiba di Betawi
Tanggal 5 Desember 1900 warga Betawi utuk pertama kalinya dapat melihat “gambar-gambar idoep” atau Pertunjukan Film. Pertunjukan ini berlangsung di Tanah Abang, Kebonjae. Film pertama yang ditampilkan adalah sebuah dokumenter yang terjadi di Eropa & Afrika Selatan, juga diperlihatkan gambar Sri Baginda Maha Ratu Belanda bersama Yang Mulia Hertog Hendrig memasuki kota Den Haag.
Bioskop yang terkenal saat itu antara lain adalah dua bioskop Rialto di Tanah Abang (kini bioskop Surya) dan Senen (kini menjadi gedung Wayang Orang Baratha) serta Orion di Glodok. Saat itu bioskop dibagi-bagi berdasarkan ras, bioskop untuk orang-orang eropa hanya memutar film dari kalangan mereka sementara bioskop untuk pribumi & tionghoa selain memutar film import juga memutar film produksi lokal. Kelas pribumi mendapat sebutan kelas kambing, konon hal ini disebabkan karena mereka sangat berisik seperti kambing.
Film Cerita Lokal Pertama
Film cerita lokal pertama berjudul “Loetoeng Kasaroeng” (1926) diambil dari cerita legenda yang berasal dari Jawa Barat. Pembuatannya dilakukan di Bandung, oleh Perusahan Film: Java Film Company yang dipimpin oleh G.Krugers dari Bandung dan L. Heuveldorf dari Batavia. Heuveldorf adalah seorang Belanda totok yang disebutkan sudah berpengalaman di bidang penyutradaraan di Amerika. Krugers adalah seorang Indo-Belanda asal Bandung, ia adalah adik menantu dari Busse seorang raja bioskop di Bandung. Penyutradaraan Film ini dilakukan oleh Heuveldorf, sementara pemainnya adalah anak2 dari bupati Bandung Wiranata Kusuma II. Hasilnya tergolong sukses, diputar selama satu minggu di Bandung, antara 31 Desember 1926-6 Januari 1927.
Kemudian Java Film Coy me
mbuat film kedua: “Euis Atjih”, perekamannya kembali dilakukan di Bandung. Tidak seperti “Loetoeng kasaroeng” yang merupakan cerita legenda, “Euis Atjih” adalah kisah drama modern. Hasilnya juga tergolang sukses.
Setelah orang Belanda memproduksi film lokal, berikutnya datang Wong bersaudara, yang hijrah dari industri film Shanghai. Awalnya hanya Nelson Wong yang datang, ia menyutradarai “Lily van Java” (1928) pada perusahaan South Sea Film Co. Kemudian kedua adiknya Joshua & Otniel Wong menyusul dan mendirikan perusahaan Halimoen Film.
Film Bicara
Pada akhir tahun 1929 diputar di sini film-film bersuara yaitu “Fox Follies” dan “Rainbouw Man” yang merupakan film bicara pertama yang disajikan di Indonesia. Perkembangan pemutaran film bicara agak lambat. Sampai tengah tahun 1930, baru sebagian kecil saja bioskop yang sanggup memasang proyektor film bicara.
Masuknya film bicara sebetulnya menguntungkan kedudukan film buatan dalam negeri. Karena penonton kalangan bawah semakin kurang faham menyaksikan film asing. Sebab informasi yang semula hanya disampaikan dalam bentuk aksi, kini banyak diganti dengan dialog, yang bahasanya tidak dipahami mereka. Sejak 1931 pembuat film lokal mulai membuat film bic
ara. Percobaan pertama yang antara lain dilakukan oleh The Teng Chun dalam film perdananya: “Bunga Roos dari Tjikembang” (1931) hasilnya amat buruk. Film bicara pertama yang dibuat Halimoen Film adalah Indonesie Malaise (1931). Sampai 1934 usaha pembuatan film bicara oleh perusahaan film lokal belum mendapatkan sambutan yang sangat antusia dari penontonnya sendiri.
Film cerita lokal pertama yang “Meledak”
Nama Albert Balink tercatat sebagai orang pertama yang memproduksi film lokal yang sangat laris, judulnya “Terang Boelan”. Albert Balink adalah seorang wartawan Belanda yang tidak pernah terjun ke dunia film dan hanya mempelajari film lewat bacaan-bacaan.
Pada tahun 1934 Balink mengajak Wong Bersaudara untuk membuat film “Pareh”. Untuk mendampinginya didatangkan dari negeri Belanda tokoh film Dokumenter Manus Franken. Mungkin karena Franken berlatar belakang dokumenter maka banyak adegan dari film “Pareh” yang menampilkan keindahan alam Hindia Belanda. Film seperti ini rupanya tidak mempunyai daya tarik buat penonton film lokal karena sehari-harinya mereka sudah sering melihat gambar-gambar tersebut. Kemudian Balink membuat perusahaan film “ANIF” (Gedung perusahaan film ANIF kini menjadi gedung PFN, terletak di kawasan Jatinegara) dengan dibantu oleh Wong bersaudara dan seorang wartawan pribumi yang bernama Saeroen, mereka membuat film “Terang Boelan” (1934). Hasilnya: inilah Film cerita lokal pertama yang mendapat sambutan yang luas dari kalangan penonton kelas bawah.
Film tersebut dibintangi oleh Miss. Roekiah & R.d Mochtar dimana berkat film “Terang Boelan” ini nama mereka jadi ikut melambung. Ketika namanya naik Miss. Roekiah sudah berkeluarga, ia bersuamikan Kartolo (pemain film juga) dan anak mereka kelak menjadi pemain film terkenal yaitu Rachmat Kartolo. Cerita film “TB” sendiri sebenarnya sangat mirip dengan film buatan Amerika yang berlatar kepulauan Hawai. Pada film “Terang Boelan” kostum penduduk pulau SAWOBA (pulau fiktif , SWOBA adalah singkatan dari: SAeroen, WOng & BAlink) mirip dengan kostum penduduk kepulauan Hawai yang bisa diliat pada film-film Amerika, jadi bisa dipastikan bahwa film “TB” adalah hasil adaptasi. Kesuksesan TB di pasar menyebabkan pembuat film lain jadi ikut tergiur, maka film-film selanjutnya banyak yang menggunakan resep “TB”.
Film di bawah Pendudukan Jepang & Masa Revolusi
Pada 8 Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang. Dalam bidang film yang pertama-tama dilakukan Jepang adalah menutup semua perusahaan film yang ada, termasuk 2 perusahaan film milik orang Cina yang produktif. JIF dan TAN’s FILM. Peralatan studio-studio tersebut disita untuk dimanfaatkan pada pembikinan film berita & penerangan. Dengan di tutupnya studio film tersebut maka para pengusahanya yang keturunan Cina beralih ke bisnis lain. Para pemainnya pun yang sebelumnya bergelut di panggung sandiwara kembali ke bidang tersebut. Pemerintah Jepang memang amat menggalakan media panggung sandiwara sebagai alat propaganda. Pada masa ini film cerita diproduksi dibawah pengawasan ketat pemerintah Jepang semua film harus sejalan dengan keinginan pihak Jepang.
Setelah Jepang menyerah terhadap sekutu maka di Indonesia terjadi kekosongan pemerintahan, proklamasi kemerdekaan pun dikumandangkan, namun pihak Belanda tidak mengakuinya & terjadilah perang sampai 1949. Pada masa revolusi kemerdekaan ini seorang pemuda yang bernama Usmar Ismail (kelak akan menjadi tokoh penting Perfilman Nasional) ikut dalam peperangan ia kemudian ditawan pihak Belanda. Setelah diketahui latar belakangya oleh pihak Belanda maka ia dipekerjakan pada perusahaan film Belanda sebagai asisten sutradara. Pada perusahaan film tersebut ia sempat menyutradarai film “tjitra”.
Hubungan Perfilman Lokal & Pergerakan Nasional pada zaman kolonial
Film lokal, terutama pada masa Hindia Belanda dan awal berdirinya Republik ini, ditujukan untuk masyarakat kelas bawah, sementara kaum pergerakan Nasional adalah orang-orang terpelajar yang berasal dari kalangan atas. Sepertinya mereka hidup di dalam dunia yang berbeda.
Dimata kaum terpelajar film lokal dinilai tidak bermutu, baik dari segi teknis pembuatan maupun cerita. Namun bukan berarti tidak ada persentuhan sama sekali antara dua dunia ini. Beberapa orang film juga ada yang sepaham dengan pikiran2 kaum pergerakan nasional ini. Seperti Saeroen (“sutradara” film “Terang Boelan”) yang dulunya adalah seorang wartawan pernah menulis di koran “Pemandangan” dengan nama samaran Kampret. Dia menuliskan suatu kali ia memimpikan berdirinya negara “Republik Indonesia Serikat” dengan Perdana Menteri: M.H Thamrin, Menteri Pekerjaan Umum: Abikusno Tjokrosujoso, Menteri Pengajaran: Ki Hajar Dewantoro, Menteri Penerangan: Parada Haraha. Akibatnya koran “Pemandangan” dibreidel Pemerintah Belanda.
Kemudian ada seorang terpelajar yang bernama A.K Gani yang bermain dalam film “Asmara Moerni”, namun akibat dari perbuatan A.K Gani ini, ia dikecam oleh kalangan terpelajar/ pergerakan nasional lainnya. Setelah penampilannya di film tersebut A.K Gani tidak pernah muncul lagi di dunia perfilman.
“Lahirnya” Film Nasional
Usmar Ismail yang sempat bekerja untuk perusahaan film Belanda akhirnya keluar dari perusahaan tersebut karena ketidak-cocokannya dengan sistem yang diterapkan. Ia pun mendirikan perusahaan film sendiri yang bernama Perfini (Perusahaan Film Indonesia). Produksi pertama film ini adalah “Darah & Do’a” atau “The Long March of Siliwangi” yang perekamannya dimulai pada 30 Maret 1950. Film ini mengisahkan tentang perjalanan jauh serombongan tentara bersama para pengungsi, di dalamnya terjadi saling tertarik hati antar komando tentara dengan salah satu pengungsi wanita Indo-Belanda, wanita dari kalangan musuh yang sedang diperangi, ceritanya digarap oleh Sitor Situmorang. Oleh Usmar Ismail dijelmakan dengan menggunakan pemain baru sama sekali, tidak menggunakan pemain profesional, rupanya ia anti “Star System”. 12 tahun sesudah produksi film “Darah & Do’a” tepatnya pada 11 oktober 1962 konferensi kerja Dewan Film Nasional dengan organisasi perfilman menetapkan hari shooting pertama film tersebut yaitu 30 Maret 1950 sebagai Hari Film Indonesia.
Ketetapan tersebut sempat mendapat perlawanan dari golongan kiri yang sangat agresif dalam menghadapi pihak yang dianggap sebagai lawan-lawannya. Pada 1964 golongan kiri membentuk PAPFIAS (penulis menemukan dua versi arti dari PAPFIAS: yang pertama Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat, yang kedua Panitia Aksi Pengganyangan Film Imperialis Amerika Serikat.) Golongan kiri melakukan serangan-serangan kepada film Usmar Ismail yang dianggap tidak nasionalis atau kontra-revolusioner. PKI dan golongan kiri pun tidak mengakui tanggal 30 Maret 1950 sebagai Hari Film Nasional, tapi menuntut 30 April 1964 yang dijadikan sebagai Hari Film Nasional, saat berdirinya PAPFIAS. Pada 1966 terjadi peristiwa Gestapu, golongan komunis yang dianggap sebagai biang keladi peristiwa ini dihabisi. Artinya wacana penggantian tanggal hari film nasional ikut lenyap dan tanggal 30 Maret 1950 tetap diakui sebagai hari lahirnya Flm Nasional sampai saat ini.
Kader NU Pelopori Kebangkitan Perfilman Nasional
Sejarah perfilman nasional telah dimulai sejak era 1950-an. Namun, ada kenyataan yang barangkali terlupakan dalam sejarah itu, yakni, kader Nahdlatul Ulama (NU) yang memelopori kebangkitan dunia karya sinematografi itu.Demikian diungkapkan Anggota Komisi I DPR RI, Arif Mudatsir Mandan, saat berbicara pada diskusi bertajuk ”Mengembalikan Film Indonesia ke Khittah 1950” di Gedung Pengurus Besar NU, Jalan Kramat Raya, Jakarta. “Sebut saja nama-nama, seperti, Djamaluddin Malik, Usmar Ismail, Asrul Sani. Mereka adalah orang NU. Sampai sekarang masih diakui jasa-jasanya,” terang Arif Mudatsir yang juga Ketua Umum Ikatan Keluarga Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia.Hal yang sama dikatakan Pemimpin Redaksi NU Online, Abdul Mun’im DZ, yang juga hadir pada diskusi itu. Ia menjelaskan, Usmar Ismail dan kawan-kawan pernah memelopori gerakan perlawanan terhadap masuknya film-film dari Amerika Serikat meski sempat diprotes oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) kala itu. “Usmar Ismail diprotes PKI gara-gara tidak mau memboikot film-film dari Amerika (Serikat). Jawab beliau: ‘Kita melawan Amerika bukan dengan memboikot, tapi mencipta, membuat karya (baca: film tandingan)’,” jelas Mun’im.Djamaluddin Malik, Usmar Ismail dan Asrul Sani merupakan aktivis NU yang tergabung dalam Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi). Saat itu Lesbumi berafiliasi dengan Partai NU pada 1960-an. Ketika pertentangan politik semakin panas, semua kegiatan lembaga kebudayaan, antara pro dan kontra komunis, lebih berbau politik. Justru mereka yang tidak tergabung dalam lembaga kebudayaan yang memiliki sikap budaya yang jelas, seperti Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Tiga sineas besar itu juga pernah menjadi pemrakarsa utama, surat kepercayaan gelanggang yang muncul pada 1950. Surat yang menjadi tongkat estafet sastrawan-seniman yang menamakan diri “Angkatan 45” kemudian dipandang cikal-bakal paham humanisme-universal dalam kebudayaan Indonesia sebagai “pewarna” dalam Manikebu. (rif)
Pak Harto Dalam Film Nasional "Janur Kuning" Membingkai "Djakarta 1966"
Oleh YOYO DASRIYO
WAJAH film nasional terkesan belum "dihalalkan" untuk melukiskan kisah seorang presiden seutuhnya. Belum pernah lahir film biografi alm. Pak Harto, atau mantan Presiden RI lainnya. Romantika kehidupan alm. Ir. H. Soekarno, mantan Presiden RI pertama pun, belum mulus untuk dikemas ke dalam film. Tahun 1982, lakon "Di Pintumu Aku Mengetuk" yang siap diproduksi dengan sutradara alm. Drs. H. Asrul Sani, menghilang tanpa kepastian. Tak jelas kendalanya, rencana produksi film yang menominasikan alm. Eddy Soed untuk tokoh Bung Karno itu, berlalu begitu saja. Kalangan orang film menyebut, saat itu kondisi iklim politik di negeri ini belum memungkinkan kisah Bung Karno difilmkan! Bahkan judul film "Di Bawah Lindungan Kabah" (1978) saja, harus kompromi dengan situasi hingga berganti judul "Para Perintis Kemerdekaan". Film apik dan menarik dari Asrul Sani yang membintangkan Mutiara Sani, Cok Simbara, Camelia Malik, serta Arman Effendy itu, nyaris kehilangan daya jualnya atas kepopuleran novel Hamka. Itu contoh kenyataan, yang "memasung" penggambaran tokoh Soekarno maupun Soeharto dalam media film. Keduanya belum pernah beranjak dari penceritaan berkultur kesejarahan, atau kaitan peristiwa nasional. Kalaupun pernah lahir film "Nyoman dan Presiden" karya Judy Soebroto, sinetron "Tegar" ataupun "Kepak Sayap Burung Garuda" (Vick Hidayat), yang menampilkan tokoh Soeharto sebagai Presiden RI, hanya merangkai gambar dari momen tertentu. Bukan shooting langsung! Bukan pula film berkapasitas biografi presiden. Kenang kembali film "Peristiwa Tjikini" dalam kondisi "tempo doeloe!" Heboh yang memopulerkan filmnya, karena dukungan rekaman dari peristiwa ledakan granat, yang mengancam keselamatan Bung Karno di Cikini. Apa pun kenyataannya, tidak akan mengubah kesaksian perfilman Indonesia, tentang potret putaran sejarah masa lampau.
Kader NU Pelopori Kebangkitan Perfilman Nasional
Sejarah perfilman nasional telah dimulai sejak era 1950-an. Namun, ada kenyataan yang barangkali terlupakan dalam sejarah itu, yakni, kader Nahdlatul Ulama (NU) yang memelopori kebangkitan dunia karya sinematografi itu.Demikian diungkapkan Anggota Komisi I DPR RI, Arif Mudatsir Mandan, saat berbicara pada diskusi bertajuk ”Mengembalikan Film Indonesia ke Khittah 1950” di Gedung Pengurus Besar NU, Jalan Kramat Raya, Jakarta. “Sebut saja nama-nama, seperti, Djamaluddin Malik, Usmar Ismail, Asrul Sani. Mereka adalah orang NU. Sampai sekarang masih diakui jasa-jasanya,” terang Arif Mudatsir yang juga Ketua Umum Ikatan Keluarga Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia.Hal yang sama dikatakan Pemimpin Redaksi NU Online, Abdul Mun’im DZ, yang juga hadir pada diskusi itu. Ia menjelaskan, Usmar Ismail dan kawan-kawan pernah memelopori gerakan perlawanan terhadap masuknya film-film dari Amerika Serikat meski sempat diprotes oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) kala itu. “Usmar Ismail diprotes PKI gara-gara tidak mau memboikot film-film dari Amerika (Serikat). Jawab beliau: ‘Kita melawan Amerika bukan dengan memboikot, tapi mencipta, membuat karya (baca: film tandingan)’,” jelas Mun’im.Djamaluddin Malik, Usmar Ismail dan Asrul Sani merupakan aktivis NU yang tergabung dalam Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi). Saat itu Lesbumi berafiliasi dengan Partai NU pada 1960-an. Ketika pertentangan politik semakin panas, semua kegiatan lembaga kebudayaan, antara pro dan kontra komunis, lebih berbau politik. Justru mereka yang tidak tergabung dalam lembaga kebudayaan yang memiliki sikap budaya yang jelas, seperti Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Tiga sineas besar itu juga pernah menjadi pemrakarsa utama, surat kepercayaan gelanggang yang muncul pada 1950. Surat yang menjadi tongkat estafet sastrawan-seniman yang menamakan diri “Angkatan 45” kemudian dipandang cikal-bakal paham humanisme-universal dalam kebudayaan Indonesia sebagai “pewarna” dalam Manikebu. (rif)
Pak Harto Dalam Film Nasional "Janur Kuning" Membingkai "Djakarta 1966"
Oleh YOYO DASRIYO
WAJAH film nasional terkesan belum "dihalalkan" untuk melukiskan kisah seorang presiden seutuhnya. Belum pernah lahir film biografi alm. Pak Harto, atau mantan Presiden RI lainnya. Romantika kehidupan alm. Ir. H. Soekarno, mantan Presiden RI pertama pun, belum mulus untuk dikemas ke dalam film. Tahun 1982, lakon "Di Pintumu Aku Mengetuk" yang siap diproduksi dengan sutradara alm. Drs. H. Asrul Sani, menghilang tanpa kepastian. Tak jelas kendalanya, rencana produksi film yang menominasikan alm. Eddy Soed untuk tokoh Bung Karno itu, berlalu begitu saja. Kalangan orang film menyebut, saat itu kondisi iklim politik di negeri ini belum memungkinkan kisah Bung Karno difilmkan! Bahkan judul film "Di Bawah Lindungan Kabah" (1978) saja, harus kompromi dengan situasi hingga berganti judul "Para Perintis Kemerdekaan". Film apik dan menarik dari Asrul Sani yang membintangkan Mutiara Sani, Cok Simbara, Camelia Malik, serta Arman Effendy itu, nyaris kehilangan daya jualnya atas kepopuleran novel Hamka. Itu contoh kenyataan, yang "memasung" penggambaran tokoh Soekarno maupun Soeharto dalam media film. Keduanya belum pernah beranjak dari penceritaan berkultur kesejarahan, atau kaitan peristiwa nasional. Kalaupun pernah lahir film "Nyoman dan Presiden" karya Judy Soebroto, sinetron "Tegar" ataupun "Kepak Sayap Burung Garuda" (Vick Hidayat), yang menampilkan tokoh Soeharto sebagai Presiden RI, hanya merangkai gambar dari momen tertentu. Bukan shooting langsung! Bukan pula film berkapasitas biografi presiden. Kenang kembali film "Peristiwa Tjikini" dalam kondisi "tempo doeloe!" Heboh yang memopulerkan filmnya, karena dukungan rekaman dari peristiwa ledakan granat, yang mengancam keselamatan Bung Karno di Cikini. Apa pun kenyataannya, tidak akan mengubah kesaksian perfilman Indonesia, tentang potret putaran sejarah masa lampau.
Sungguh kejutan yang membanggakan, saat Era Reformasi melahirkan sinetron "Cinta Fatma" (Agustus 2007)! Terlebih, karena berkisah cinta segitiga Bung Karno di antara Ibu Fatmawaty dan Ibu Inggit Garnasih di tengah perjuangan kemerdekaan RI.
Sayang, lakon sinetron yang menampilkan Donny Damara sebagai Bung Karno muda itu kurang pendalaman. Figur Donny pun masih merentang jarak pemisah dengan sosok Proklamator RI. Tak terdukung pula dengan kemantapan vokal sang tokoh, yang dikenal amat spesifik! Sosok Bung Karno, dimungkinkan bisa tertolong, andai tidak "memaksakan" pemeran yang terlanjur dikenal jadi bintang sinetron.
Betapa pun, kemasan lakon semacam "Cinta Fatma", sekian lama banyak didamba penonton film dan televisi. Terlepas dari kekurangannya, tapi setting lokasi klasik yang menawan, sangat membantu daya pikat sinetronnya. Selama riwayat Orde Baru, gambaran kepemimpinan alm. H.M. Soeharto pun pernah mewarnai wajah-wajah film nasional. Berlatar ragam peristiwa penting dalam kelangsungan hidup berbangsa dan bertanah air, lalu sejumlah film nasional hadir dengan lakon kilas balik perjuangan Pak Harto. Karena keberangkatan sang tokoh dari dunia kemiliteran, film-filmnya pun berwajah potret perjuangan pasukan TNI bersama rakyat.
Figur sentral
Kenyataan lama membuktikan.
Banyak film kenangan revolusi untuk kemerdekaan Indonesia, berdaya tarik spesifik dalam wajah perfilman nasional. Sukses komersial, terutama dicapai dalam kemasan lakon fiktif tanpa beban politis. Simak kembali film-film seperti "Pedjoang" (1960), "Anak-anak Revolusi" (1964) karya (alm) H. Usmar Ismail, "Sehelai Merah Putih" atau "Perawan Di Sektor Selatan" (1971) garapan alm. Alam Rengga Surawidjaya. Sebut pula film "Lebak Membara" berikut "Pasukan Berani Mati" dari Imam Tantowi, serta "Budak Nafsu" karya alm. Drs. Syumandjaya. Selebihnya, lahir film perjuangan yang mengemas peristiwa kesejarahan, tanpa penonjolan pelaku sejarahnya.
Dua film di antaranya, bertitel "Mereka Kembali" (1972) karya alm. Nawi Ismail, dan "Bandung Lautan Api" (1975) dari Alam Surawidjaya. Bisa dicermati, sukses filmnya berbeda dengan "Toha Pahlawan Bandung Selatan" kemasan alm. H. Usmar Ismail, yang menjual heroisme Mochammad Toha (alm. Ismed M. Noor) sebagai figur sentral pelaku sejarah.
Lain pula dengan tokoh Soeharto dalam film, yang dinilai bermuatan kepentingan pemerintahannya. Film "Janur Kuning" (1980) karya alm. Alam Rengga Surawidjaya, mengawali romantika perjuangan dan kepemimpinan Letkol Soeharto, dalam "Serangan Oemoem" (1 Maret 1949). Itu sebabnya, Alam Surawidjaya yang identik sebagai sutradara spesialis film epos, lebih fokus menokohkan Pak Harto dalam peperangan.
Jauh sebelum itu, alm. Usmar Ismail pun pernah melukiskan peristiwa Serangan Umum secara umum, dalam film "Enam Djam di Djogja". Lahir pula film berjudul "Serangan Oemoem", yang dikemas tanpa muatan politis. Bahkan, kedua filmnya tergelar, semasa tokoh "Soeharto" masih aktif sebagai perwira TNI AD.
Di luar perhitungan banyak orang, jika kemudian sang tokoh berjaya sebagai Presiden RI sepanjang Orde Baru. Film yang bertokoh sentral Letkol Soeharto itu, menguntungkan kehadiran Kaharudin Syah sebagai pemerannya.
Terlepas dari faktor kemiripan, Kaharudin Syah berdaya komersial atas gelar Aktor Terbaik di FFI (Festival Film Indonesia) 1978-Ujungpandang, dari film "Letnan Harahap" karya Sophan Sophiaan.
Tiga film lainnya yang menokohkan Pak Harto, tercatat "Pengkhianatan G-30-S/PKI" dan "Djakarta 1966" dari alm. Arifien C. Noer, bersambut film "Gema Kampus 66" karya Nico Pelamonia. Sebelumnya, Arifien pun sukses mengemas film "Serangan Fajar", yang juga memotret peristiwa tempur di Yogyakarta. Dengan kaidah sinematografi berdaya pujian, film "Serangan Fajar" berjaya sebagai Film Terbaik FFI 1982 Jakarta.
Sukses komersial tinggi, dicapai "Pengkhianatan G-30-S/PKI".
Piala Antemas di FFI 1985 Bandung, jadi bukti pengakuan filmnya sebagai film terlaris sepanjang tahun 1984. Film itu melukiskan kepemimpinan Pak Harto lebih mendalam, pada kapasitasnya sebagai Pangkostrad. Sebuah kesaksian sejarah saat pemulihan keamanan nasional, selepas guncangan badai politik PKI. Itu film tentang duka para jenderal TNI AD yang diculik, dan jadi korban keganasan massa pendukung PKI.
Penokohan Pak Harto yang memimpin penggalian jenazah para jenderal di sumur tua Lubang Buaya, membasahkan tangis luka bangsa, dalam cekaman tragedi berdarah yang amat memilukan.
Luka sejarah yang menjemput keruntuhan pemerintahan Orde Lama. Film "Tragedi" mengenaskan di Lubang Buaya, bukan sekadar membingkai gambaran kepemimpinan Mayjen TNI Soeharto. Lebih dari itu, film yang pernah wajib tayang tiap tanggal 30 September di semua stasiun televisi, berdaya kepentingan nasional untuk mewaspadai gerakan PKI dan antek-anteknya.
Telanjur kenal
Media film yang menokohkan Amoroso Katamsi untuk figur Pak Harto, mengingatkan segenap lapisan warga Indonesia agar mewaspadai ancaman bahaya komunis. Memang, filmnya berdaya tontonan dan tuntunan! Dalam film "Djakarta 1966", dan "Gema Kampus 66", diungkapkan tentang kejuangan aksi mahasiswa dengan dukungan ABRI, saat pengamanan proses peralihan Orde Lama ke Orde Baru! Amoroso Katamsi--pemeran Mayjen TNI Soeharto-- di film sebelumnya, lalu naik pangkat, tampil berperan sebagai Jenderal TNI Soeharto di film "Djakarta 1966" dan "Gema Kampus 66". Sebagai tokoh pelaku sejarah, figur Pak Harto pun terbingkai dalam kemasan sinetron "Panglima Sudirman" karya Nurhadie Irawan.
Itu semua, kesaksian film nasional dan sinetron berwajah sejarah, tentang nilai kejuangan alm. Pak Harto, yang terpatri sepanjang kenangan bangsa di negeri ini. Betapa pun, figur Pak Harto di layar putih menjadi hidup dengan keberadaan sosok dan acting Amoroso Katamsi. Kecermatan sutradara alm. Arifien C. Noer dalam memotret detail acting keseharian sang tokoh, pantas diacungi jempol! Amoroso Katamsi terasa lebih pas dibandingkan dengan Kaharudin Syah. Terlebih, saat Amoroso berkostum militer dan berkacamata gelap, menguatkan kemiripannya dengan sosok dan karakteristik mantan Presiden RI itu. semasa Pak Harto berkapasitas perwira TNI AD.
Ketepatan casting Amoroso Katamsi sebagai Pak Harto, memang cermin kejelian dan keteguhan sutradara sekelas Arifien C. Noer. Sang sutradara tidak tergoda menapaki langkah alm. Alam Rengga Surawidjaya, untuk kembali menokohkan Kaharudin Syah dalam figur Pak Harto, seperti diperaninya di film "Janur Kuning". Kedekatan figur Amoroso dengan Pak Harto, memang lebih dimungkinkan terdukung sosoknya, yang belum banyak dikenal sebagai pelakon film. Manakala tergelar adegan tragedi memilukan di Lubang Buaya, semua penonton filmnya seolah melihat keaslian figur Pak Harto.
Bukan lagi tengah menonton acting Amoroso Katamsi!
Arifien pun berhasil menghadirkan alm. Dr. Umar Khayam sebagai Bung Karno di film itu, serta Syubah Asya pelakon D.N. Aidit, gembong PKI. Andai saja tokoh Pak Harto di film "Pengkhianatan G-30-S/PKI" maupun "Djakarta 1966" dimainkan aktor film kenamaan, mungkin sama nasibnya dengan figur Umar Wirahadikusumah yang diperankan alm. Doddy Sukma. Orang telanjur kenal dengan Doddy Sukma, hingga tokoh Pak Umar terasa ngambang. Berbeda dengan sukses aktor alm. H. Ratno Timoer, saat berperan Pangeran Diponegoro di film "Pahlawan Goa Selarong" garapan Liliek Sujio. Atau ketika Christine Hakim memvisualkan karakteristik "Tjoet Nyak Dien" karya Eros Djarot.
Kedua tokoh sejarah nasional itu, hanya dipersaingkan dengan imajinasi penontonnya. Apa pun hasilnya, perfilman nasional dan sinetron turut bersaksi tentang sejarah perjuangan Pak Harto. Peristiwa serangan umum di Yogyakarta, maupun jasa kepemimpinannya menumpas PKI, sudah mewarnai film nasional.
Akan hadirkah film dengan keutuhan biografi figur Presiden RI? Keberadaan acara "Republik Mimpi", seolah menawarkan kemudahan untuk pemeran tokoh nasional. Paket parodi politik di Metro TV itu, memilik sosok Pak Suharta, yang amat memiripi Pak Harto dalam kesenjaan usianya.
Kalau tokoh Bung Karno di film "Djakarta 1966" memikat, dengan olah vokal alm. Abdi Wiyono. Tokoh Pak Harto bersosok Pak Suharta, sangat mungkin hidup dengan dukungan suara Butet Kertaredjasa, sang Presiden Republik BBM. Keberadaan figur Gus Pur sebagai Gus Dur, dan sederet kemiripan tokoh yang pernah jadi payung negeri ini, memang "aset berharga" dalam dunia seni peran. Terbuka kemungkinan, suatu saat mereka dibutuhkan ***
Penulis, wartawan senior, pemerhati film nasional & sinetron, tinggal di Garut.
Pemboikotan Film Amerika oleh PAPFIAS Dalam Rangka Propaganda Politik “Kepribadian Nasional”
Tahun 1964
Dwi Aris Subakti
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, bersifat deskriptif analitis, yang berusaha mendeskripsikan serta menganalisa tentang Pemboikotan film Amerika oleh PAPFIAS pada tahun 1964. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang (1) Peta pemikiran kebudayaan sebelum berlangsungnya aksi boikot, (2) Latar belakang terbentuknya PAPFIAS, (3) Jalannya aksi boikot film AS, (4) Pengaruh PAPFIAS terhadap kehidupan politik dan perfilman. Penelitian ini merupakan penelitian sejarah sehingga metode yang digunakan adalah metode Historis dengan empat tahapan, yaitu; heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Dalam penelitian ini digunakan kerangka teori Propaganda Politik. Teori ini dipakai karena pada masa demokrasi terpimpin, Soekarno dengan didukung oleh PKI menggunakan propaganda politik kepribadian nasional untuk melawan kebudayaan asing. Perlawanan terhadap kebudayaan asing tidak lepas dari kepentingan politik luar negeri Soekarno yang konfrontatif. Kepentingan ini dimanfaatkan dengan baik oleh PKI agar kepentingan Soekarno satu arah dengan kepentingan PKI, sehingga hubungan di antara keduanya semakin baik. Berdasarkan penelitian ini diketahui aksi boikot film imperialis Amerika Serikat oleh PAPFIAS adalah hasil dari propaganda politik kepribadian nasional. Aksi boikot PAPFIAS merupakan bentuk perjuangan politik dalam konfrontasi Malaysia di bidang kebudayaan. Aksi boikot film Amerika oleh PAPFIAS dilandasi adanya dominasi film Amerika yang merugikan perfilman nasional, merugikan ekonomi Indonesia dan menyebarkan kepribadian yang buruk. Aksi boikot film PAPFIAS mencapai keberhasilan dengan dibubarkannya AMPAI. Aksi juga mencatat sukses dengan terselenggaranya Mubes PAPFIAS seluruh Indonesia yang menghasilkan kebijakan umum perfilman. Kebijakan umum perfilman kemudian disahkan pemerintah menjadi kebijakan umum perfilman.
Susup-Menyusup Gaya PKI
Cara PKI menyebarkan sayapnya di masyarakat. Punya taktik bermuka dua dan sejumlah kaki tangan/onderbouw. misalnya, garwani, sobsi, bti, pr, dan lekra. tak segan-segan melakukan taktik memecah belah. TAK mudah mengenali gelagat orang komunis. Lebih-lebih bila mereka bergerak "di bawah tanah". Dalam keadaan terpaksa, selagi lemah, mereka konon bisa menjelma bak bunglon, musang berbulu ayam, bermuka dua. Karena itu, dalam hal taktik dan strategi, sangat terkenal "petuah" Ketua CC PKI D.N. Aidit kepada kader-kadernya: teguh dalam prinsip, luwes dalam penerapan. Artinya, mereka tetap teguh dalam pendirian, tapi menampilkan diri secara luwes tanpa menimbulkan kecurigaan. Itu bila mereka masih lemah. Tapi, manakala kekuatan sudah di tangan, mereka mulai unjuk gigi. Dan bangkit. Sementara itu, untuk mencapai tujuan, mereka bisa menempuh cara apa pun. Dengan kata lain, tujuan menghalalkan cara. Dalam praktek operasional, sudah bukan rahasia lagi bila mereka selalu menerapkan penyusupan ke dalam organisasi atau lembaga-lembaga yang dapat mereka manfaatkan untuk kepentingan perjuangan. Taktik yang terkenal dengan sebutan "sistem sel" ini mereka lakukan di semua bidang untuk kemudian mereka kuasai: parpol, ormas, angkatan bersenjata, lembaga pemerintahan. Dan itulah pula yang terjadi dalam proses penyusunan kekuatan mereka. Sudah tiga kali PKI memberontak -- pada 1926, 1948 dan 1965 -- dan ketiga-tiganya gagal. Dan segera setelah "revolusi" itu tidak berhasil, mereka menghilang, menyamar, menyusup, bergerak di bawah tanah. Lalu diam-diam menghimpun kekuatan kembali. Setelah G30-S/PKI gagal misalnya, mereka melakukan taktik GTM (gerakan tutup mulut) dan OTB (organisasi tanpa bentuk). Maka, tidaklah heran bila di masa sekarang -- 22 tahun setelah PKI dibubarkan pada 12 Maret 1966 -- banyak yang mulai mengkhawatirkan usaha penyusupan kader-kader PKI dengan "sistem sel" ke dalam beberapa lembaga penting. Celakanya, kekhawatiran itu ada di antaranya yang terbukti. Misalnya, Ketua DPD Golkar Payakumbuh sudah terbukti PKI golongan B2.
Pemboikotan Film Amerika oleh PAPFIAS Dalam Rangka Propaganda Politik “Kepribadian Nasional”
Tahun 1964
Dwi Aris Subakti
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, bersifat deskriptif analitis, yang berusaha mendeskripsikan serta menganalisa tentang Pemboikotan film Amerika oleh PAPFIAS pada tahun 1964. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang (1) Peta pemikiran kebudayaan sebelum berlangsungnya aksi boikot, (2) Latar belakang terbentuknya PAPFIAS, (3) Jalannya aksi boikot film AS, (4) Pengaruh PAPFIAS terhadap kehidupan politik dan perfilman. Penelitian ini merupakan penelitian sejarah sehingga metode yang digunakan adalah metode Historis dengan empat tahapan, yaitu; heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Dalam penelitian ini digunakan kerangka teori Propaganda Politik. Teori ini dipakai karena pada masa demokrasi terpimpin, Soekarno dengan didukung oleh PKI menggunakan propaganda politik kepribadian nasional untuk melawan kebudayaan asing. Perlawanan terhadap kebudayaan asing tidak lepas dari kepentingan politik luar negeri Soekarno yang konfrontatif. Kepentingan ini dimanfaatkan dengan baik oleh PKI agar kepentingan Soekarno satu arah dengan kepentingan PKI, sehingga hubungan di antara keduanya semakin baik. Berdasarkan penelitian ini diketahui aksi boikot film imperialis Amerika Serikat oleh PAPFIAS adalah hasil dari propaganda politik kepribadian nasional. Aksi boikot PAPFIAS merupakan bentuk perjuangan politik dalam konfrontasi Malaysia di bidang kebudayaan. Aksi boikot film Amerika oleh PAPFIAS dilandasi adanya dominasi film Amerika yang merugikan perfilman nasional, merugikan ekonomi Indonesia dan menyebarkan kepribadian yang buruk. Aksi boikot film PAPFIAS mencapai keberhasilan dengan dibubarkannya AMPAI. Aksi juga mencatat sukses dengan terselenggaranya Mubes PAPFIAS seluruh Indonesia yang menghasilkan kebijakan umum perfilman. Kebijakan umum perfilman kemudian disahkan pemerintah menjadi kebijakan umum perfilman.
Susup-Menyusup Gaya PKI
Cara PKI menyebarkan sayapnya di masyarakat. Punya taktik bermuka dua dan sejumlah kaki tangan/onderbouw. misalnya, garwani, sobsi, bti, pr, dan lekra. tak segan-segan melakukan taktik memecah belah. TAK mudah mengenali gelagat orang komunis. Lebih-lebih bila mereka bergerak "di bawah tanah". Dalam keadaan terpaksa, selagi lemah, mereka konon bisa menjelma bak bunglon, musang berbulu ayam, bermuka dua. Karena itu, dalam hal taktik dan strategi, sangat terkenal "petuah" Ketua CC PKI D.N. Aidit kepada kader-kadernya: teguh dalam prinsip, luwes dalam penerapan. Artinya, mereka tetap teguh dalam pendirian, tapi menampilkan diri secara luwes tanpa menimbulkan kecurigaan. Itu bila mereka masih lemah. Tapi, manakala kekuatan sudah di tangan, mereka mulai unjuk gigi. Dan bangkit. Sementara itu, untuk mencapai tujuan, mereka bisa menempuh cara apa pun. Dengan kata lain, tujuan menghalalkan cara. Dalam praktek operasional, sudah bukan rahasia lagi bila mereka selalu menerapkan penyusupan ke dalam organisasi atau lembaga-lembaga yang dapat mereka manfaatkan untuk kepentingan perjuangan. Taktik yang terkenal dengan sebutan "sistem sel" ini mereka lakukan di semua bidang untuk kemudian mereka kuasai: parpol, ormas, angkatan bersenjata, lembaga pemerintahan. Dan itulah pula yang terjadi dalam proses penyusunan kekuatan mereka. Sudah tiga kali PKI memberontak -- pada 1926, 1948 dan 1965 -- dan ketiga-tiganya gagal. Dan segera setelah "revolusi" itu tidak berhasil, mereka menghilang, menyamar, menyusup, bergerak di bawah tanah. Lalu diam-diam menghimpun kekuatan kembali. Setelah G30-S/PKI gagal misalnya, mereka melakukan taktik GTM (gerakan tutup mulut) dan OTB (organisasi tanpa bentuk). Maka, tidaklah heran bila di masa sekarang -- 22 tahun setelah PKI dibubarkan pada 12 Maret 1966 -- banyak yang mulai mengkhawatirkan usaha penyusupan kader-kader PKI dengan "sistem sel" ke dalam beberapa lembaga penting. Celakanya, kekhawatiran itu ada di antaranya yang terbukti. Misalnya, Ketua DPD Golkar Payakumbuh sudah terbukti PKI golongan B2.
Itu sebabnya untuk menjadi anggota sebuah lembaga yang andal dan memiliki kekuatan sangat potensial seperti ABRI, seseorang harus "bersih lingkungan". Lingkungan pergaulan, terutama lingkungan keluarga, bersih dari pengaruh komunis. Sikap berhati-hati seperti itu kini agaknya mulai diterapkan di berbagai bidang. Sepanjang sejarahnya sejak berdiri pada 23 Mei 1920, taktik bermuka dua dan susup-menyusup memang selalu jadi "gaya" PKI. Sejarah mencatat bagaimana tiga pemuda "kiri" -- Semaun, Darsono, dan Alimin -- berusaha menguasai Sarekat Islam, yang pada 1915 merupakan satu-satunya kekuatan massa yang besar dan sangat berpengaruh. Dan mereka berhasil, hingga dalam muktamar di Bandung, Juni 1916, SI terbelah dua. SI yang asli, di bawah trio Tjokro-Agus Salim-Abdul Muis belakangan mendapat julukan "SI Putih", berhadapan dengan "SI Merah" pimpinan trio Semaun-Darsono-Alimin. Tak lama kemudian secara resmi SI Merah mengubah namanya menjadi Sarekat Rakyat. Dengan modal itu, pada 23 Mei 1920, mereka mendirikan PKI di Semarang, yang semula merupakan kepanjangan dari Partai Komunis India. Enam tahun kemudian, PKI melancarkan pemberontakan. Dan gagal. Menjelang meletusnya "Peristiwa Madiun" pada 1948, taktik yang sama masih mereka lakukan. Amir Syarifuddin, yang sempat menjadi menteri pertahanan, misalnya, mula-mula tidak ketahuan sebagai komunis. Tapi belakangan mengaku sebagai anggota PKI ilegal. Ketika itu PKI juga berusaha menguasai beberapa parpol dan ormas dalam sebuah front yang disebut Front Demokrasi Rakyat yang didominasi orang-orang komunis. Setelah merasa kuat, mereka menyulut kudeta di Madiun. Menjelang meletusnya G-30-S/PKI pada 1965, pola taktik PKI hampir tidak berubah. Yaitu menyusup ke dalam tubuh PNI hingga partai ini pecah: PNI Ali-Surachman alias A-Su (yang kekiri-kirian) dan PNI Osa-Usep. PKI kemudian juga menguasai Partindo, bahkan jua partai Islam Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah).
Belakangan ketahuan bahwa Haji Siradjuddin Abbas, Ketua Umum Perti, ternyata "sel" PKI. Begitu pula Sudibyo anggota PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) yang kemudian ditokohkan sebagai Sekjen PB Front Nasional. Pada 1948 mereka membentuk FDR, sedangkan menjelang 1965 mereka membentuk Front Nasional (FN) -- yang semula, ketika itu, merupakan sarana untuk membebaskan Irian Barat. Ketika FN tampil sebagai wadah "kekuatan massa berporoskan Nasakom", praktis badan itu didominasi oleh PKI dan PNI A-Su. Sebagaimana partai komunis di seluruh dunia, PKI merupakan partai yang mempraktekkan ajaran "menggalang dan menggunakan kekuatan massa" guna merebut kekuasaan. Karena itu, PKI berusaha seintensif mungkin menguasai semua bidang kehidupan masyarakat. Sebagai partai, PKI memang memiliki cabang dan ranting-ranting di seluruh Indonesia. Istilahnya: Comite Daerah Besar Comite Daerah, dan Comite Resor. Tapi partai ini juga memiliki "kaki tangan" yang dalam istilah partai politik disebut onderbouw, atau organisasi mantel. Misalnya di kalangan wanita (Gerwani), buruh (SOBSI), petani (BTI), pemuda (PR), dan kebudayaan (Lekra).
Hal ini kemudian ditiru oleh partai politik lain. PNI misalnya membentuk Wanita Demokrat, Pemuda Demokrat, Lembaga Kebudayaan Nasional, dan sebagainya. Begitu pula NU, memiliki Pemuda Ansor, Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia, dan lain-lain. Dua tahun sebelum G-30-S/PKI meletus, dalam rapat Comite Central PKI (lembaga eksekutif partai), Aidit menyatakan, "PKI sekarang sudah combat ready." Rupanya, ia sudah yakin benar untuk "siap tempur". Mereka mengaku anggotanya sudah mencapai 3,5 juta ditambah 20 juta simpatisan yang tersebar di berbagai organisasi mantel tadi. Onderbouw yang paling diandalkan PKI agaknya SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) dan BTI (Barisan Tani Indonesia). Sebab, buruh dan tani, "hanya akan menang atas kaum modal dan tuan tanah bila mereka bersatu di bawah pimpinan partai" yaitu PKI. Kaum buruh, yang bekerja di semua sektor kehidupan, bisa membantu memboikot atau mogok bila PKI melancarkan suatu gerakan. Sedang kaum tani memang sangat penting di negeri agraris seperti Indonesia. Mula-mula SOBSI yang berdiri pada November l946 merupakan onderbouw Partai Sosialis Indonesia pimpinan Sutan Sjahrir. Setelah partai ini pecah dan Amir Syarifuddin keluar, SOBSI bergabung dengan PKI. Tokoh-tokoh SOBSI yang terpenting: Nyono, Harjono, Oey Gwee Hwat, Tan Ling Djie. Belakangan SOBSI berkembang dan merupakan "vaksentral" dari 15 organisasi buruh di berbagai sektor kehidupan. Di antaranya Sarbupri (Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia) yang sangat dominan di berbagai perkebunan seperti karet, teh, tebu, kopi bekas milik Belanda. Sampai tahun 60-an, diperkirakan jumlah anggotanya tak kurang dari 390.000 orang.
Ada pula SBG (Sarekat Buruh Gula) yang setiap saat dapat menyabot produksi gula di pabrik-pabrik gula. Jumlah anggotanya tercatat 305.000 orang. Di sektor kehutanan ada Sarbuksi (Sarekat Buruh Kehutanan Seluruh Indonesia) dengan 250.000 anggota, sementara di sektor pelabuhan ada SBPP (Sarekat Buruh Pegawai Pelabuhan) yang anggotanya 70.000. Di sektor transportasi, banyak buruh sudah dibina oleh PKI. Mereka membentuk Serbaud (Serikat Buruh Angkutan Udara) dengan anggota 3.000 orang, SBKA (Serikat Buruh Kereta Api) dengan jumlah 70.000 anggota, SBKB (Serikat Buruh Kendaraan Bermotor) dengan anggota 40.000 orang. Dalam pada itu, sektor-sektor pemerintahan juga praktis mereka kuasai. Ketika itu ada misalnya Sepda (Serikat Pegawai Daerah) dengan anggota 9.900 orang, SBPU (Serikat Buruh Pekerjaan Umum) yang beranggota 51.000 orang, SB Postel (Serikat Buruh Pos dan Telekomunikasi) dengan anggota 50.000 orang. Ada pula SB Tekstil Batik (94.000 orang), Perbum (Perserikatan Buruh Minyak) dengan 30.000 anggota, SB Kepenjaraan dengan anggota l0.000 orang. Di bidang Hankam pun ada SB Kementerian Pertahanan (80.000 orang). Bahkan di bidang perfilman ada Sarbufis dengan 8.000 anggota. Dalam simposium "Artis Film dan Politik" yang diselenggarakan oleh Persatuan Pers Film Indonesia (Perpefi) pada 1957, dengan menggebu-gebu Sekretaris Sarbufis, Tann Sing Hwat, menegaskan perlunya para artis film berpolitik, bahkan menjadi anggota partai politik. "Partai politik bagi artis film adalah sama dengan kamera bagi kameraman," katanya. Di sektor pertanian, kaki tangan PKI menguasai wilayah yang sangat luas. Menurut Donald Hindley dalam The Communist Party of Indonesia, pada 1957 saja PKI telah berhasil membuka ranting partai sebanyak 84% di antara 21.047 buah desa Indonesia. PKI juga mengembangkan organisasi petani di samping merangkul organisasi yang sudah ada. Ada tiga organisasi yang dapat dikuasai, yaitu BTI (Barisan Tani Indonesia) yang sudah berdiri pada 1948, Rukun Tani Indonesia (RTI), dan Serikat Tani Indonesia (Sakti). Ketiga-tiganya kemudian dihimpun dalam Front Persatuan Tani. Tapi pada 1955, ternyata, hanya BTI yang menonjol.
Dua tahun kemudian, BTI mengaku punya anggota sebanyak tiga juta orang. BTI pula yang melancarkan "aksi sepihak" (aksep) di desa Trucuk, Klaten, pada tahun 60-an. Mereka merebut dan menduduki tanah-tanah milik anggota PNI dan NU yang kebetulan memang lebih berada. PKI ternyata juga tidak melupakan nelayan. Mereka berhasil mempengaruhi sekitar 70.000 nelayan. Meski PKI memusuhi kaum borjuis, termasuk borjuis kecil seperti pamong-pamong desa, untuk sementara kekuatan mereka diperlukan.
Karena itu, mereka juga dihimpun. PKI punya PPDI (Persatuan Pamong Desa Indonesia) yang mengaku beranggota 350.000 orang. Itu semua agaknya baru sebagian kecil data yang tercatat dalam Rangkaian Peristia Pemberontakan Komunis di Indonesia. Masih ada lagi organisasi mantel PKI yang lain seperti HSI (Himpunan Sarjana Indonesia) yang di antara tokohnya terdapat Dr. Carmel Budiardjo, yang sampai sekarang termasuk tokoh Amnesti Internasional di London. Lalu Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), PR (Pemuda Rakyat), CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), Perbepbsi (Persatuan Bekas Pejuan Bersenjata Seluruh Indonesia). Di antara organisasi-organisasi itu, PR dan CGMI cukup menonjol. Dalam setiap pawai -- misalnya dalam merayakan ulang tahun PKI ke-45 pada 1965 -- PR tampil berbaris paling depan. Berjajar sembilan orang, barisan para pemuda itu memenuhi jalan-jalan raya. Mereka mengenakan seragam loreng dan baret berkotak-kotak hitam-putih. Wajah mereka tampak garang. Pimpinannya yang terkenal, Sukatno. Berapa persisnya jumlah anggota PKI dan segenap ormas-ormasnya? Menurut Aidit sendiri dalam Harian Rakyat 20 Agustus 1965, sebagaimana dikutip oleh Arnold C. Brackman dalam The Communist Collapse in Indonesia, pada 1965 PKI mempunyai anggota lebih dari 3 juta orang, Pemuda Rakyat juga 3 juta, SOBSI 3,5 juta, BTI punya 6 juta orang, Gerwani dengan 3 juta orang, Lekra setengah juta, dan CGMI setengah uta orang. Ada sebuah anekdot menggelikan pada rapat samudera menyambut Kongres CGMI 1965 di Istora Senayan.
Ketika itu Aidit antara lain berseru, "Kalau para CGMI tidak bisa membubarkan HMI, lebih baik pakai sarung saja." Ketika G-30-S/PKI gagal, anak-anak HMI membalas ucapan Aidit itu dengan corat-coret di tembok, "Hayo, CGMI pakai sarung ...." Tapi yang juga menarik adalah Lembaga Kebudayaan Rakyat alias Lekra. Majalah kebudayaan yang diterbitkannya, Zaman Baru, menampilkan karya-karya sastra barisan senimannya, yang sarat slogan politik. Beberapa tokohnya: Rivai Apin (penyair seangkatan dengan Chairil Anwar dan Asrul Sani), Utuy Tatang Sontani (penulis drama), Bachtiar Effendi (sutradara film), Sobron Aidit (penyair seangkatan Ayip Rosidi), Joebaar Ajoeb (kini banyak menerjemahkan buku-buku agama) Subronto K. Atmodjo (pemusik, belakangan bekerja di lingkungan gereja). Adapun Pramoedya Ananta Toer, yang semula bukan komunis tapi belakangan muncul sebagai tokoh Lekra -- bahkan membentuk Lembaga Sastra Lekra -- lebih dikenal sebagai redaktur rubrik kebudayaan Lentera pada harian Bintang Timur, terompet Partindo. Pram, ketika itu, terkenal amat garang mengganyang para seniman nonkomunis, terutama yang tergabung dalam Manifes Kebudayaan, yang dinilainya "kontrarevolusi".
Ketika itu Partindo memang sudah menjadi satelit PKI. Tidak diketahui secara luas, pencipta lagu Garuda Pancasila, yaitu Sudharnoto, juga pernah bergabung dengan Lekra. Bahkan pelukis besar Affandi pernah duduk mewakili PKI di Konstituante pada 1955 -- meski mungkin tanpa ia sadari. Yang jelas, penyair Sitor Situmorang dan penulis cerita pendek Virga Belan, meski keduanya aktivis Lembaga Kebudayaan Nasional/PNI, ternyata satu kubu benar dengan Lekra.
Tokoh seperti Pram dan Sitor bahkan terdengar lebih galak daripada orang Lekra dalam mengejar-ngejar kaum Manifes, yang kemudian dibubarkan oleh Bung Karno. Di tahun 60-an, PKI memang sudah tampil sebagai institusi dengan jangkauan yang mencengkeram cukup luas. PKI juga memiliki sebuah badan penerbitan, Yayasan Pembaruan, yang menerbitkan berbagai lektur komunis baik berupa terjemahan maupun karangan asli para tokoh PKI. Ada pula sebuah penerbit yang banyak mendistribusikan buku-buku komunis seperti Yayasan Kebudayaan Sadar. Bahkan ada sebuah toko buku yang khusus menjual karya-karya komunis. Dalam harian Bintang Timur edisi 12 Mei 1964, misalnya, dimuat iklan sebuah buku Tentang Gerakan Pembebasan Nasional karangan N.S. Khrushchev, Sekjen CC PKUS ketika itu, yang dapat dipesan pada toko buku dan seni lukis Double-T Jalan Kebon Sirih, Jakarta, dengan harga hanya Rp100. Tersedia pula karya-karya sastra para pengarang Rusia. PKI juga menghimpun organisasi warga negara keturunan Cina seperti Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Republik Indonesia). Di antara tokohnya antara lain Siauw Giok Tjari (almarhum), dan Oei Tjoe Tat, S.H., yang sempat menjadi menteri negara. Pada 1964 Universitas Baperki berdiri dengan Rektor Nyonya Utami Suryadarma, dan sekretaris Ir. Suharjo. Menjelang 1965, dalam proses persiapan meletusnya G-30-S, PKI masih sempat memecah dua organisasi di sektor pendidikan: PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) dan IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia). Ketika itu dikenal PGRI nonvaksentral dan IPPI pimpinan Robby Sumolang yang pro-PKI. Dalam bidang pendidikan, rupanya perhatian PKI juga sangat besar.
Barangkali PKI memang punya kepentingan untuk mendidik kader-kader partai yang lahir dari keluarga kurang mampu, sementara pengetahuan umum mutlak diperlukan. Ketika itu mereka mendirikan beberapa akademi yang diberi nama beberapa tokoh komunis atau nama tokoh yang mereka anggap "progresif". Misalnya Akademi Ilmu Politik "Bachtaruddin" dengan ketua direksi Sjarifuddin, S.H. dan sekretaris Sumaun Utomo, atau Akademi Sastra dan Bahasa "Multatuli" dengan ketua direksi Bakri Siregar. Dalam diesnatalisnya yang pertama pada 9 Mei 1964, hadir antara lain Prof. Dr. Tjan Tjoe Sim, sementara Nyoto, tokoh PKI itu, memberikan ceramah umum.
Ada pula sebuah akademi yang mengambil nama seorang tokoh komunis kawakan, Aliarcham. Menguliti tubuh PKI dan ormas-ormasnya, ada satu hal yang menarik ditelaah. Yaitu mengenai hubungan Pesindo (Pemuda Sosialis) dengan PKI. Mendengar nama Pesindo, orang-orang yang berusia 45 tahun ke atas mungkin membayangkan sebuah "laskar rakyat", partisan yang militan, dan sangat dekat dengan PKI. Bayangan semacam itu bisa dimaklumi. Kenapa? Sebab, menjelang "Peristiwa Madiun" meletus pada 18 September 1948, PKI yang ketika itu merasa combat ready telah berhasil menghimpun beberapa laskar rakyat dan badan-badan perjuangan lainnya dalam FDR -- yang dipersenjatai. Dan sebagian besar di antara mereka adalah anak-anak Pesindo. Ketika itu pasukan bersenjata FDR meliputi 25.000 orang. Dan adalah anak-anak Pesindo pula yang kelihatan tampil angkat senjata memberontak di Madiun, kemudian ditumpas oleh pasukan TNI. Padahal, sejak lahirnya pada 10 November 1945, Pesindo sesungguhnya bukan organisasi pemuda komunis. Begitu kesaksian Machfudi Mangkudilaga, 55 tahun, Kepala Pusat Konservasi Kearsipan di Arsip Nasional, Jakarta. "Ketika itu Pesindo merupakan onderbouw Partai Sosialisnya Bung Sjahrir," ujar Machfudi, yang sempat mengikuti proses pembentukan Pesindo. Organisasi ini merupakan gabungan tujuh organisasi pemuda dalam masa revolusi bersenjata. Ketika menghadapi Inggris di Surabaya, pamor Pesindo naik. Lebih-lebih ketika laskar Pesindo menggeruduk ke Solo hendak membebaskan ketua mereka, Sjahrir, yang diculik oleh kelompok "Persatuan Perjuangan" pimpinan Tan Malaka yang didukung oleh laskar Barisan Bantengnya Dr. Muwardi. Untunglah, Panglima Besar Sudirman segera menengahi hingga perang saudara terhindar. Tapi belakangan Pesindo semakin bergeser ke kiri yaitu ketika gembong PKI Muso, kembali dari Moskow pada 18 Juli 1948 dan menggalang kekuatan dengan membentuk FDR. Dan ia ikut berontak di Madiun. Budiman S.H., Priyono B. Sumbogo, Agung Firmansyah.
sejarahnya keren cuma miris buat perkembangan film indonesia tahun ini... di dominasi film2 sampah semi seks...
BalasHapushttp://doktergigibandung.com/
DH,
BalasHapusMohon saya diberikan informasi mengenai Film
Sehelai Merah Putih, karena dulu salah satu pemeran pendukungnya adalah alm. ayah saya, saya ingin sekali melihat film tersebut.
Terima kasih.
artikel yg sangat berguna bang/mantab
BalasHapus