Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri Bukit Berdarah. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri Bukit Berdarah. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan

Jumat, 12 Maret 2010

TJUTJU SUTEDJA 1976-1994

Cucu Sutedja


Lahir Rabu, 22 Juli 1953 di Tasikmalaya. Pendidikan : SLA. Tjutju mulai karirnya di film tahun 1974 lewat film "Ratu Amplop" Juru Foto. Tahun 1975 mulai menjadi Pembantu Juru Kamera dalam film "Benyamin Tukang Ngibul". Dalam tahun yang sama ia sudah meningkat menjadi Juru Kamera penuh lewat film "Samson Betawi". Filmnya yang lain "Zorro Kemayoran" (1976), "Bandit Pungli" (1977), "Menantang Maut ('78). dll.

GOYANG DANGDUT1980A. HARRIS
Director Of Photography
BEGADANG KARENA PENASARAN 1980 LILIK SUDJIO
Director Of Photography
NAFSU DALAM CINTA 1994 TOMMY BURNAMA
Director Of Photography
BANDIT PUNGLI 1977 LILIK SUDJIO
Director Of Photography
SALAH KAMAR 1978 LILIK SUDJIO
Director Of Photography
MALU-MALU KUCING 1980 ISHAQ ISKANDAR
Director Of Photography
MUSUH DALAM SELIMUT 1984 WILLY WILIANTO
Director Of Photography
TAPAK-TAPAK BERDARAH 1990 IMAM PUTRA PILIANG
Director Of Photography
DARI PINTU KE PINTU 1991 B.Z. KADARYONO
Director Of Photography
MENENTANG BADAI 1985 S.A. KARIM
Director Of Photography
DEPAN BISA BELAKANG BISA 1987 TJUT DJALIL
Director Of Photography
DAERAH JAGOAN 1991 DHANY FIRDAUS
Director Of Photography
SI BADUNG 1989 IMAM TANTOWI
Director Of Photography
ANAK EMAS 1976 LILIK SUDJIO
Director Of Photography
PENGEJARAN DI BUKIT HANTU 1986 S.A. KARIM
Director Of Photography
BALADA TIGA JAGOAN 1990 IMAM PUTRA PILIANG
Director Of Photography
DUYUNG AJAIB 1978 BENYAMIN S
Director Of Photography
SAYA SUKA KAMU PUNYA 1987 TOMMY BURNAMA
Director Of Photography
MAKHLUK DARI KUBUR 1991 S.A. KARIM
Director Of Photography
BUAYA PUTIH 1982 FRITZ G. SCHADT
Director Of Photography
PEMBALASAN RATU LAUT SELATAN 1988 TJUT DJALIL
Director Of Photography
KOBOI CILIK 1977 SOFYAN SHARNA
Director Of Photography
PERMAINAN CINTA 1983 WILLY WILIANTO
Director Of Photography
PERAWAN-PERAWAN 1981 IDA FARIDA
Director Of Photography
OJEK 1991 ATOK SUHARTO
Director Of Photography
KERIS KALAMUJENG 1984 LILIK SUDJIO
Director Of Photography
TARSAN PENSIUNAN 1976 LILIK SUDJIO
Director Of Photography
KUTUKAN NYAI RORO KIDUL 1979 B.Z. KADARYONO
Director Of Photography
KE UJUNG DUNIA 1983 HASMANAN
Director Of Photography
MENYIBAK KABUT CINTA 1986 WILLY WILIANTO
Director Of Photography
WADAM 1978 LILIK SUDJIO
Director Of Photography
DIA YANG BERHATI BAJA 1985 S.A. KARIM
Director Of Photography
CINTA YANG BERLABUH 1989 MAMAN FIRMANSJAH
Director Of Photography
LUPA ATURAN MAIN 1990 TJUT DJALIL
Director Of Photography
SELIR ADIPATI GENDRA SAKTI 1991 TJUT DJALIL
Director Of Photography
MERENDA HARI ESOK 1981 IDA FARIDA
Director Of Photography
GADIS TELEPON 1983 WILLY WILIANTO
Director Of Photography
SATRIA 1985 WISJNU MOURADHY
Director Of Photography
PEREMPUAN MALAM 1987 ATOK SUHARTO
Director Of Photography
TANGKUBAN PERAHU 1982 LILIK SUDJIO
Director Of Photography
TANTANGAN REMAJA 1990 IMAM PUTRA PILIANG
Director Of Photography
TIGA JANGGO 1976 NAWI ISMAIL
Director Of Photography
GAUN MERAH 1994 TJUT DJALIL
Director Of Photography
M-5 1978 ASKUR ZAIN
Director Of Photography
KENIKMATAN TABU 1994 ACKYL ANWARI
Director Of Photography
JARI-JARI LENTIK 1984 S.A. KARIM
Director Of Photography
SINYO ADI 1977 LILIK SUDJIO
Director Of Photography
SUMPAH SI PAHIT LIDAH 1989 DASRI YACOB
Director Of Photography
PRABU SILIWANGI 1988 SOFYAN SHARNA
Director Of Photography

Minggu, 05 Juli 2020

MEMBURU MENANTU / 1961


Janda pensiunan bupati, Ny Adi (Surip), ingin sekali agar anak gadisnya, Supriati (Sutrisno) mendapat jodoh berdarah bangsawan, berpangkat tinggi dan bertitel. Diramalkan seorang dukun (Rukun), bahwa Supriati akan berjodoh dengan orang bertitel yang kini sedang di luar negeri. Maka ny Adi mendadak bersikap baik kepada pak Mangun (Urip), bekas bujangnya, karena Sarip (Bowo), anak pak Mangun, dalam perjalanan pulang dari Belanda. Kenyataannya, Sarip cuma seorang koki di kapal. Ny Adi jatuh pingsan...

Sebelumnya Radial pernah membuat film Kunanti di Djogja (1958), tapi film berbahasa Jawa itu kurang laku. Untuk memperluas pasar, Memburu Menantu diberi teks bahasa Indonesia. Dalam ludruk, semua pemainnya lelaki.

RADIAL FILM
Pemain, 




Ludruk Marhaen / KIRI?
Teater rakyat yang lahir dari semangat revolusi 1945. Pasca peristiwa G30S, Ludruk Marhaen berada di bawah pembinaan militer.

Gelanggang kebudayaan Indonesia pasca kemerdekaan memang cukup riuh. Bukan hanya pada ranah sastra, musik atau film, panggung seni pertunjukan pun turut masuk dalam pusaran di mana bangsa Indonesia tengah mencari identitas kebudayaannya.

Salah satunya ludruk, teater rakyat asal Jawa Timur. Dan nama Ludruk Marhaen merupakan yang paling terkenal pada era 1950-an hingga 1965. Tak hanya menyematkan nama Marhaen yang terdengar politis, ludruk ini juga turut andil dalam pergulatan kebudayaan Indonesia saat itu.

Semangat Revolusi
Menurut Henri Supriyanto dalam Lakon Ludruk Jawa Timur, Ludruk Marhaen didirikan oleh pelawak Rukun Astari dan Shamsudin pada 19 Juni 1949. Namun, kelompok ludruk asal Surabaya ini awalnya telah dibentuk sekitar tahun 1945, pasca Proklamasi.

“Dan di jaman bergejolaknya api revolusi 1945 lahirlah sebuah rombongan ludruk yang terdiri dari anak-anak muda dan hidup terus sehingga kini di bawah nama 'Marhaen'. Sandiwara ini terpaksa menghentikan kegiatannya pada tahun 1948 karena terserak-sebarnya para anggota-anggotanya dan pada permulaan tahun 1950 dibentuk kembali dan berkedudukan di Surabaya,” tulis Harian Rakyat, 14 April 1958.

Setelah lahir kembali pada 1950, Ludruk Marhaen mulai aktif mementaskan lakon-lakon terutama terkait revolusi dan patriotisme. Ludruk ini kemudian dikenal luas tak hanya di wilayah Surabaya maupun Jawa Timur.

“Sejak itu sandiwara ludruk membuka tradisi baru dalam sejarah ludruk: drama tragedi dipanggungkan, dan bersamaan dengan zamannya, ia sepenuhnya didukung oleh gelora dan api patriotisme tetapi tanpa kehilangan wataknya yang khas sebagai ludruk yaitu satirenya. Dari saat berdirinya itulah, kini Ludruk Marhaen tetap mempertahankan tradisinya sendiri dan ia tetap memelihara kecintaan dan kesayangan publik terhadapnya, sejak dari Bung Karno sampai rakyat jelata,” tulis Harian Rakyat.

James L. Peacock dalam Rites of Modernization: Symbolic and Social Aspects of Indonesian Proletarian Drama, menyebut Ludruk Marhaen muncul pada 1945 sebagai bagian dari sayap drama Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), yang pada 1950 menjadi Pemuda Rakyat.

Meskipun Ludruk Marhaen tidak memiliki hubungan resmi dengan PKI atau Pemuda Rakyat, banyak aktornya terpegaruh ideologi komunis melalui ceramah, menghadiri kongres Pemuda Rakyat, atau ambil bagian dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Menurut Supriyanto, Rukun Astari mengatakan bahwa Ludruk Marhaen tidak berbau politik. Namun, Shamsudin mengatakan bahwa Ludruk Marhaen condong ke perjuangan kaum kiri.

Dalam wawancara dengan Peacock, Shamsudin mengatakan bahwa panggung ludruk memang telah menjadi bagian dari propaganda politik.

“Mereka yang mengkritik ludruk karena tidak menjadi seni, tidak berani berbicara tentang bagaimana ludruk diberangus oleh pemerintah kolonial, bagaimana Pak Gondo disiksa oleh Jepang karena perbuatannya. Kritik terhadap mereka yang menikmatinya... bagi kita di ludruk yang lahir dan menjadi hebat dalam kuali revolusi, ludruk menarik warisan heroik dari generasi rahim revolusioner!” kata Shamsudin.

Pak Gondo yang dimaksud Shamsudin adalah Gondo Durasim atau yang lebih dikenal dengan sebutan Cak Durasim. Dia adalah seniman ludruk yang menciptakan parikan atau semacam pantun berbunyi, “Pagupon omahe doro, melu Nippon tambah soro” yang artinya “Pagupon rumah merpati, ikut Nippon tambah sengsara.” Parikan itu membuat Jepang geram. Sang seniman dibui dan setahun setelahnya meninggal dunia.

Ludruk Marhaen dan Sukarno
Di antara kelompok ludruk Surabaya, Ludruk Marhaen paling sering mendapat undangan Presiden Sukarno untuk pentas di Istana Negara. “Berdasarkan pengakuan Rukun Astari, tercatat 16 kali Ludruk Marhaen menerima undangan Presiden Sukarno,” kata Supriyanto.

Dalam pidato Sukarno, Tjapailah Bintang-Bintang Di Langit! (Tahun Berdikari) tahun 1965 Ludruk Marhaen juga disebut Bung Besar. Sukarno mengatakan: "Kalau kaum tani menghasratkan tanah, tanah 'senyari bumi', apakah itu tidak masuk akal? Aku teringat kepada seniman-seniman Ludruk Marhaen yang mengatakan, 'Ia kalau punya pacul tapi ndak punya tanah, kemana pacul itu mesti dipaculkan!'"

Beberapa lakon luruk seperti, Kunanti di Djogja, Memburu Menantu, Mawar Merah di Lereng Bukit, dan Pak Sakerah pernah difilmkan. Film Kunanti di Djogja digarap oleh sutradara Lekra, Tan Sing Hwat. Film ini kemudian menerima penghargaan kategori skenario terbaik dan hadiah khusus pada Festival Film Indonesia 1960.

Sementara itu, pada 1961, kelompok ludruk bernama Tresno Enggal diindoktrinasi melalui ceramah oleh perwira militer yang menekankan tema "perang melawan Imperialisme dan Kolonialisme" dan "Cegah revolusi multi-level Sukarno dengan membangun negara secara moral, ekonomi, dan budaya,". Sejak itu Tresno Enggal membagi waktunya antara pertunjukan komersial untuk keuntungan sendiri dan tampil di kamp militer.

“Marhaen dan Tresno Enggal adalah dua kelompok yang paling terkenal karena loyalitas partai atau faksi mereka: Marhaen kepada PKI, Tresno Enggal kepada tentara,” sebut Peacock.

Selain dua ludruk tersebut, pada masa yang sama, di Surabaya berkembang berbagai ludruk seperti Ludruk Mari Katon, Ludruk Massa, Ludruk Sari Rukun, Ludruk Irama Enggal, Ludruk Massa Rukun, dan Ludruk Panca Bakti.

Nama Marhaen ternyata tak hanya dipakai oleh Ludruk Marhaen Surabaya. Di Jombang, terdapat beberapa ludruk yang menyematkan nama Marhaen seperti Ludruk Banteng Marhaen, Ludruk Suluh Marhaen, dan Ludruk Marhaen Muda.

Sebagian besar kelompok ludruk tersebut memiliki kecenderungan mendukung politik berhaluan kiri. Namun pasca peristiwa G30S 1965, semua hal yang terkait atau dikaitkan dengan PKI, termasuk ludruk kena imbasnya. Organisasi-organisasi ludruk dilebur dan pembinaannya berada di bawah militer. Ada pula yang senimannya dikirim ke Pulau Buru. Eks Ludruk Marhaen akhirnya dilebur menjadi Ludruk Wijaya Kusuma Unit I.

Rabu, 16 Februari 2011

FFI 1987 JAKARTA

22 Agustus 1987
FFI 1987, JAKARTA
Membajak Blitar selatan

SEJUMLAH gembong PKI pelarian dari Jakarta menelusup ke Blitar Selatan, Jawa Timur, lewat pantai. Mereka tiba di sebuah kecamatan berbukit kapur, terpencil, dan gersang. Mereka bermaksud menghimpun kekuatan, dan berhasil mempengaruhi penduduk desa dengan terlebih dahulu meneror sejumlah ulama dan tokoh masyarakat. Kekejaman sisa-sisa PKI itu luar biasa, misalnya menembaki orang-orang yang lagi sembahyang. Kejadian pada tahun 1968 itu, sehari sebelum FFI 1987 ditutup, Jumat dua pekan lalu, dipertunjukkan di sebuah hotel di Jakarta. Itu memang hanya sebuah kaset video, yang diputar sebagai bagian dari pelayanan hotel. Kebetulan di antara tamu-tamu hotel adalah peserta Musyawarah Besar PPBSI (Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia), yang datang dan berbagai daerah. Mereka kaget, film itu tentu hasil rekaman kaset video dari film asli. Akan tetapi, film itu sendiri baru beberapa yang beredar. Artinya, ini pasti bajakan. Lalu PPFN (Pusat Produksi Film Negara), yang memproduksi film itu, dilapori. Memang, menurut pengamatan beberapa wartawan TEMPO film video itu sudah ada di beberapa toko penyewaan kaset video, menjelang FFI dibuka. Direktur PPFN, G. Dwipayana, pun sudah tahu. 

"Pembajakan itu mestinya dilakukan di Jakarta," katanya. Kasus ini menjadi bukti bahwa bukan hanya film laris yang dibajak. Bukan hanya film yang masuk nominasi FFI, lalu diduplikat ke dalam kaset video secara tak sah, kemudian dijual-belikan. Soalnya, film Penumpasan Sisa-sisa PKI di Blitar Selatan, yang punya judul lain Operasi Trisula itu, menurut sejumlah video rental, tidak laku. Juga, dalam peredarannya di gedung bioskop di Jakarta, film yang disutradarai B.Z Kadaryono ini tak menggembirakan. Tapi memang, film yang diangkat dari peristiwa sebenarnya ini punya misi. Yakni memberi penerangan kepada masyarakat bahwa PKI itu berbahaya. Ini kata Direktur PPFN, Dwipayana, sendiri. Itu sebabnya, "Masalah keuntungan tak terlalu dipikirkan," katanya kepada wartawan TEMPO Gatot Triyanto. Jadi, memang berbeda misinya dengan film PPFN sejenis, misalnya Serangan Fajar, yang disutradarai Arifin C. Noer. Dalam film ini, PPFN punya misi, selain menanamkan jiwa patriotik, juga mengharap keuntungan -- dan itu memang dicapai. "Jadi, dibandingkan Serangan Fajar, film Operasi Trisula ini kecil sekali. Apalagi kalau dibandingkan film Pemberontakan G-30-S/PKI," kata Dwipayana pula. "Sutradara Operasi Trisula juga relatif masih yunior." Operasi Trisula yang sebenarnya itu sendiri cukup bersejarah dari sudut militer. 

Di situ terlibat Kolonel Witarmin, yang di kemudian hari menjadi Pangdam Brawijaya, Jawa Timur. (Kini sudah almarhum karena serangan jantung). Di awal-awal film malah sempat disisipi film dokumentasi, ketika Kolonel Witarmin memberikan instruksi-instruksi operasi. Toh, meski diangkat dari kisah sebenarnya, meski kekejaman PKI juga dicoba digambarkan, dari awal hingga akhir ketegangan tak hadir di gedung bioskop. Dilukiskan bagaimana sisa-sisa PKI ini memeras, merampok, membunuh, dan sebagainya. Lalu, teror itu tercium oleh aparat keamanan. Operasi pembersihan pun dilakukan dengan nama sandi, itu tadi, Trisula. Ada sedikit kesempatan untuk menyuguhkan adegan action menarik, sebenarnya. Yakni ketika tentara menyeberang Kali Brantas dengan rakit yang ditembaki PKI. Sayang, ini pun tak tampil secara baik. Dengan singkat dan gampang, PKI dilumpuhkan. Sebuah film yang diangkat dari peristiwa sebenarnya, dan lalu setia pada kejadian itu, biasanya memang menjadi tidak menarik. B.Z. Kadaryono, sutradara, tampaknya memahami hal ini pula. Ia pun telah berusaha "mengembangkan" cerita. Hasilnya, sejumlah adegan fiktif -- maksudnya, hal itu pada tahun 1968 tak benar-benar terjadi. Umpamanya, sebuah adegan dialog antara seorang bapak yang antikomunis dan anaknya yang ikut Gerwani, Gerakan Wanita Indonesia, organ di bawah PKI. Mestinya ini bisa menyentuh hal-hal yang sifatnya manusiawi. Bagaimana "Politik sebagai Panglima" bisa memporak-porandakan sebuah keluarga, umpamanya. Tapi itulah, hal tersebut tidak hadir. Yang penting di sini tampaknya cuma dar-der-dor kekejaman PKI, lalu dar-der-dor penumpasan PKI. Dari sudut seni akting pun, permainan Rachmat Kartolo, Hassan Sanusi, Yati Surachman, Lina Budiarti, dan sejumlah artis dari Surabaya itu sama sekali tak berkembang. Ini sebuah contoh film yang lebih mementingkan misi, tanpa penggarapan memadai. Menjadi terasa scdikit penting karena kisahnya benar-benar terjadi. Itu saja. Maka, agak aneh bahwa film seperti ini pun dibajak. Untung tidak laris.

15 Agustus 1987
TERJADINYA sedikit kesalahan teknis 
-- keputusan juri salah masuk amplop yang mengganggu kelancaran upacara, untunglah tak sampai merusakkan suasana gembira malam penutupan Festival Film Indonesia 1987, Sabtu malam pekan lalu. Dan sesudah Nagabonar dinyatakan memenangkan 6 Piala Citra, bisa ditebak bahwa komedi itu pastilah dipilih sebagai film terbaik. Sebelumnya banyak yang menduga, Citra untuk film terbaik akan jatuh pada Biarkan Bulan Itu. Sebab, film ini mencatat 12 nominasi, sementara Nagabonar, dan Kodrat, masing-masing hanya sembilan. Tapi rupanya Bulan karya Arifin C. Noer tak beruntung alias gagal. Tak satu pun Citra diperolehnya. Sementara itu film yang tak lolos nominasi, seperti Secawan Anggur Kebimbangan karya Wim Umboh, memperoleh Citra untuk editing. Apa yang terjadi? Ada sejumlah hal yang menimbulkan pertanyaan. Umpamanya, Citra untuk penyutradaraan -- unsur terkuat yang menentukan sebuah film sebagai terbaik -- tidak dimenangkan oleh M.T. Risyaf, sutradara Nagabonar. Citra untuk penata fotografi juga tidak diperoleh film yang menang ini. 

Padahal, fotografi termasuk unsur penting dalam menentukan sebuah film menjadi baik atau sebaliknya. Kalau dikaji lebih jauh, kekuatan Nagabonar hanya terkumpul pada tiga aspek: cerita dan skenario, akting, musik dan tata suara. Bandingkan umpamanya dengan film terbaik dalam FFI tahun lalu, Ibunda yang juga memenangkan sejumlah aspek penting dalam sebuah film. Dari sembilan Citra yang diraih oleh film Teguh Karya itu di antaranya adalah unsur-unsur penting: penyutradaraan, pemeran utama, fotografi, editing, cerita. Tentu saja, mutu sebuah film tidak ditentukan oleh tiap-tiap unsurnya, tapi keterpaduan dan keserasian kesemuanya: bobot artistik, teknis, kematangan penggarapan. Di samping itu, masih ada faktor x, yang membuat sebuah karya dipandang punya nilai lebih daripada karya lainnya. Mungkin di situlah keistimewaan Nagabonar -- menurut dewan Juri, tentu. Adapun susunan lengkap pemenang: Film: Nagabonar sutradara: Slamet Rahardjo (Kodrat) pemeran utama wanita: Widyawati (Arini) pemeran pria: Deddy Mizwar (Nagabonar) pemeran pembantu wanita: Rodiah Matulessy (Nagabonar) pemeran pembantu pria: Darussalam (Kodrat) skenario: Asrul Sani (Nagabonar) cerita asli: Asrul Sani (Nagabonar) editing: Emile Callebout (Secawan Anggur Kebimbangan) penata fotografi: M. Soleh (Kodrat), penata artistik: A. Affandy S.M. (Cintaku di Rumah Susun) penata suara: Hadi Artomo (Nagabonar) penata musik: Franki Raden (Nagabonar).

15 Agustus 1987
FESTIVAL artinya hura-hura. 
Dan bagaimana berhura-hura dengan baik, tampaknya, makin disadari oleh dunia perfilman Indonesia. Tahun lalu umpamanya, pawai-pawai oleh mereka yang menamakan diri "insan film" yang biasanya selalu diadakan dengan biaya mahal -- sudah ditiadakan. Juga soal tempat mulai tahun lalu Festival Film Indonesia (FFI) diputuskan hanya dilangsungkan di Jakarta. Tak lagi digilir ke daerah. Tak berarti acara gemerlap dalam penutupan, ketika pengumuman para pemenang Citra dilaksanakan, juga dihapus. Sabtu malam pekan lalu di Balai Sidang, Jakarta, misalnya, para bintang dengan kostum yang byar-byar menghadiri malam penutupan FFI 1987. Toh, dalam acara panggung gembira ini pun terasa ada peningkatan selera. Ada selingan lagu dari Kelompok Suara Impola pimpinan Gordon Tobing. Yakni, jenis musik yang, pinjam istilah pengamat musik pop Remy Silado, tidak merengek-rengekkan cinta. Lebih dari itu, suguhan Lintasan Sejarah Perfilman Indonesia oleh Teguh Karya (sutradara), Idris Sardi (musik), dan Misbach Yusa Biran (naskah) memberikan warna tersendiri untuk pesta penutupan FFI kali ini. Tontonan ini, sesuai dengan namanya, mengajak penonton mengenang perjalanan film Indonesia dari zaman Belanda sampai FFI tahun lalu, ketika Tuti Indra Malaon dan Deddy Mizwar memenangkan Citra. Dengan pengalaman Teguh berteater selama ini, sajian ini memang cukup memikat, dan informatif. Bagaimana dulu kita cuma jadi kuli tukang mengangkat-angkat kamera, bagaimana film Indonesia pernah menyontek gaya India, menarik ditonton. Juga, di sana-sini banyak lucunya, umpamanya ketika menceritakan bahwa Indonesia dulu juga ikut-ikutan bikin film Tarzan. Lebih kurang, teater Teguh agak komplet. 

Ada adegan film Zorro Indonesia, ada Untuk Sang Merah-Putih, Enam Jam di Yogya, sampai Pemberontakan G-30-S/ PKI. Tentu, masih ada kasak-kusuk siapa pemenang Citra. Dan, setelah pengumuman usal, masih pula terdengar diperbincangkan mengapa Nagabonar seperti "dipaksakan" dijadikan film terbaik (lihat Citra itu untuk Nagabonar). Banyak pengamat film yang menatakan kesannya bahwa film peserta FFI kali ini dari segi mutu merosot. Soal mutu ini secara tak langsung malah dilontarkan sendiri oleh Slamet Rahardjo, yang meraih Citra untuk sutradara dalam film Kodrat. "Kita terlalu banyak disuguhi film-film yang tidak pas. Sebaiknya kita tidak lagi melahirkan film-film yang asal jadi. Saya sendiri selalu berkarya dengan sebaik mungkin dan mempunyai rasa tanggung jawab demi kemajuan film Indonesia," katanya. Kalau ditilik lebih jauh, FFI 87 juga merosot dalam berbagai hal, termasuk acara-acara penunjangnya. Kampanye film unggulan yang berlangsung di Pusat Perfilman Usmar Ismail (22 sampai 31 Juli), memang dihadiri lebih banyak pengunjung. Tetapi hasilnya tak lebih dari temu-muka para artis dan penggemarnya. Peningkatan apresiasi? Mungkin masih jauh -- sementara kenyataannya film Indonesia memang belum jadi tuan rumah di bioskop sendiri.
 
Diskusi yang lebih serius memang ada. Di Jakarta tak tanggung-tanggung diskusi itu diselenggarakan di gedung LIPI (16-17 Juli) dengan pembicara Dr. Alfian, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Politik dan Kewilayahan LIPI, dan Dr. Ninuk Kleden Probonegoro, staf peneliti LIPI. Diskusi ini membicarakan, sebagaimana judul makalah Alfian, Manusia Indonesia dalam Film Indonesia. Diskusi lain terjadi di dua kota luar Jakarta, Padang dan Ujungpandang, dikaitkan dengan kampanye film unggulan. Di Padang tampil Drs. Mursal Esten, dosen IKIP Padang yang juga Kepala Taman Budaya Padang. Di Ujungpandang berbicara Dr. Salim Said, penulis buku Profil Dunia Film Indonesia, tentang Revolsi Indonesia dalam Film-Film Indonesia. Diskusi ini tak mencuat ke permukaan lantaran tak banyak tokoh film yang hadir. Lagi pula, yang dibicarakan bukanlah sesuatu yang langsung berkaitan dengan mutu film atau pemasaran film atau pembajakan film ke video, masalah yang mendesak untuk dipecahkan -- meskipun topik itu penting. Bazar film yang juga diselenggarakan di Pusat Perfilman Usmar Ismail (31 Juli - 7 Agustus) jauh beda dengan acara yang pernah diadakan di daerah-daerah sebagai pelengkap FFI. Soetomo Ganda Subrata, Dekan Fakultas Sinemaografi Institut Kesenian Jakarta, mengeluhkan soal tempat. "Tempat bazar tidak strategis, dan jauh dari kendaraan umum, apalagi malam hari," katanya. 

Dalam bazar ini, Fakultas Sinematografi memamerkan film-film pendek dan beberapa program video. Soetomo kemudlan membandingkan dengan FFI Yogya. "Tempatnya di kampus UGM Bulaksumur, pengunjung mencapai targct. Kebanyakan mahasiswa, dan mereka banyak bertanya, kami pun memberikan informasi," kata Soetomo. Di Jakarta tak diperoleh semua itu. Padahal, di pameran FFI Jakarta kali ini, sinematografi IKJ menyediakan 15 film pendek yang cukup berbobot. "Bagaimana pameran ini bisa berhasil kalau yang datang ibu-ibu gendong bayi dan anak-anak ingusan yang tak mengerti film apa-apa?" keluh Nana, seorang mahasiswa IKJ. Nana tentu tak bermaksud bahwa ibu-ibu itu tak layak nonton. Tapi bahwa para insan film sedikit saja perhatiannya terhadap pameran penting ini, kira-kira ini menunjukkan seberapa jauh niat mereka mengatrol mutu film sendiri. Bagaimana FFI tahun depan? Mestinya lebih baik, termasuk persaingan di tingkat film dengan turunnya Teguh Karya dan munculnya film Arifin tentang Supersemar yang kini sedang dikerjakan. Pestanya meningkat, mestinya mutu filmnya bisa pula naik. Barang dagangan, 'kan bisa juga bermutu. Putu Setia, Laporan Biro Jakarta

25 Juli 1987

Ketika musim revisi tiba
DUA orang petugas Kanwil Departemen Penerangan Jawa Barat mendatangi Bioskop Vanda di Bandung, menjelang pukul sepuluh malam, Kamis pekan lalu. Mereka tidak menuju loket, tetapi masuk ke kantor bioskop, lalu menyodorkan selembar "surat sakti". Isi surat, yang ditandatangani Kepala Kanwil Deppen Ja-Bar, Drs. Asep Saefudin, meminta agar film yang diputar saat itu bisa dihentikan secepatnya. Peristiwa yang sama terjadi di Yogyakarta, Tegal, dan berbagai kota lain di Indonesia. Perintah itu datang dari Ketua Pelaksana Badan Sensor Film (BSF), Thomas Soegito, lewat telepon. Maka, untuk sementara, peredaran film nasional yang agaknya bisa menjadi film terlaris tahun ini terganggu. Film itu tak lain Ketika Musim Semi Tiba (KMST). Larangan terhadap film yang sedang dalam masa putar di bioskop agaknya baru sekali ini terjadi. Dan larangan terhadap KMST itu dikeluarkan sesudah BSF menyelenggarakan sidang pleno Senin pekan lalu. "BSF mempertimbangkan banyaknya imbauan dari masyarakat," kata Thomas Soegito. "Film itu akan disensor ulang." Dibintangi Meriam Bellina dan Rico Tampatty, KMST mendapat sambutan di mana-mana. Ketika diambil dari Bioskop Vanda Bandung, KMST sudah memasuki hari putar ke-56, dan sudah ditonton lebih dari 40 ribu orang. 

Di Jawa Tengah dan Yogyakarta, film ini pun diserbu penonton begitu juga di Jawa Timur, Bali, Sumatera. KMST sudah menghilang dari bioskop Jakarta, tapi kaset videonya menyebar sampai ke rental paling kecil. Kabar terakhir, video KMST sudah beredar pula di Denpasar, dan bukan mustahil di kota-kota lain juga. Dalam situasi beginilah, BSF mau merevisi. Amboi! Lalu bagaimana dengan videonya yang mewabah itu? Adakah BSF, ketika melepas film ini Maret lalu -- juga lewat sidang pleno -- tidak memperhitungkan reaksi masyarakat? Tampaknya begitu. BSF hanya melaksanakan tugasnya yang biasa, tapi khusus dalam kasus KMST, kejelian sensornya diragukan banyak orang. Memang, di Yogyakarta yang terkenal rewel itu -- film ini tidak dipersoalkan Bapfida setempat. Hanya ada catatan, film boleh diputar cuma di Kota Madya Yogyakarta. Berarti di Kabupaten Sleman, Gunungkidul, Kulonprogo, dan Bantul, KMST tak laik putar. Apalah artinya itu kalau jarak tempuh ke Yogya bisa dicapai dengan mengayuh sepeda tanpa lelah? Lalu, di Jawa Tengah, yang sudah terbiasa agak longgar, tokoh-tokoh seperti Haji Karmani dan Haji Wahab Djaelani mengakui bahwa KMST "agak mengejutkan" tetapi toh dapat menerima, karena film tetap sebuah film dan urusan porno tergantung dari mana melihatnya. Baru di Jawa Barat KMST kesandung, itu pun setelah masa putarnya mendekati 60 hari. Salah seorang pimpinan MUI Ja-Bar, Endang Rahmat, berkata, menonton KMST adalah haram hukumnya. Dikutip harian Pikiran Rakyat, Endang berucap, "Majelis Ulama Jawa Barat tak perlu lagi mengeluarkan fatwa. 

Film ini amat pornografis." Sejak itu, protes dari masyarakat bermunculan. Di Indonesia, perdebatan tentang pornografi memang seperti tak 'kan habis-habisnya. Film KMST yang sudah lolos sensor itu di mata BSF tetap tidak porno. "Pokoknya, BSF menilai film itu sudah pas," kata Thomas Soegito, akhir pekan lalu. Pertimbangan BSF: film diangkat dari novel yang sudah beredar luas, cerita film terjadi di Roma, dan untuk 17 tahun ke atas. Sampai sekarang BSF sudah berkali-kali melepas film-film panas, tapi baru dalam kasus KMST, lembaga ini dikecam keras. "Karena masyarakat punya pandangan lain, BSF harus peka terhadap imbauan masyarakat," ujar Thomas. Sikap BSF yang cenderung reaktif inilah agaknya, yang membuat Bobby Sandy (sutradara) dan Ferry Angriawan (produser KMST) berang. "Saya jadi tak tahu lagi apa kriteria BSF," kata Ferry. Ia pun menuding media massa. "Sebelum media massa meresensi film itu, tak ada komentar dari masyarakat yang negatif. Oknum-oknum tertentu kemudian memanfaatkannya," umpat pimpinan PT Virgo Putra Film ini. Bobby Sandy ikut menimpali. "Ketika saya membuat film itu, tidak terniat sama sekali menonjolkan hal-hal yang porno. Kalau mau membuat film begitu, kenapa jauh-jauh mencari tempat romantis sepert Roma?" ujarnya, seperti yang sudah diucapkannya berkali-kali sebelum ini. Ia sepakat dengan Ferry, film ini ditarik karena dikerjain. 

Tapi cobalah KMST dikaji sekali lagi. Kostum Meriem dalam adegan tari, sesungguhnya, tak polos betul. Bahkan mirip dengan film Cinta di balik Noda, yang menyebabkan ia memperoleh Citra, FFI 1984 di Yogyakarta. Kesintalan tubuh Mer ketika menari dan diangkat-angkatnya tubuh itu oleh penari lelaki pun pernah muncul dalam film Mer yang lain. Atau mengingatkan pada drama musikal Waktunya Sudah Dekat yang dipentaskan di Balai Sidang, Senayan, November 1985. Tarian dalam KMST pun dari segi artistik tak jatuh betul. Cuma, adegan berciuman dan lagi-lagi berciuman itu apa porsinya tidak terlalu berlebihan? Apa maunya, Bobby? Di sini pula gunting BSF mendadak tumpul, membiarkan adegan ciuman panjang yang sampai kulum-mengulum lidah. Kalau ini digunting dan disisakan cipokan beberapa detik, lalu membiarkan adegan pelukan untuk tak memotong dialog, jalan cerita toh masih tetap bisa diikuti. Kontinuitas tetap terjaga. Selain gunting BSF tak bekerja di bagian ini, KMST bernasib sial karena diputar menjelang FFI 1987. Film ini dijadikan salah satu bahan untuk lomba kritik FFI. Bandingkanlah dengan film-film lain yang terang-terangan mengeksploitasi seks, seperti Permainan yang Nakal, Bukit Berdarah, Bumi Bulat Bundar, Nyi Blorong, yang luput dari pengamatan media massa. Dan aman. Akankah KMST ini mengendap lama di BSF? Thomas Soegito menjanjikan dalam waktu dekat, setelah direvisi penyensorannya, KMST akan dilepas kembali. "Semua film nasional yang direvisi, termasuk Bung Kecil, Petualang-Petualang, Saidja dan Adinda akan dilepas menjelang pergantian anggota BSF ini," katanya. Berita menarik untuk ditunggu, karena keanggotaan BSF itu diganti akhir bulan ini juga. Putu Setia, Laporan Happy S. & Moebanoe Moera

01 Agustus 1987
Pemeran kirana dalam nagabonar
BAGAIMANA rasanya menjadi orang gila? Tanyalah kepada Dewi Yull, si "Jeng Sri" dalam Losmen. "Menjadi orang gila itu enak. Dan sungguh nikmat. Pikiran saya menjadi kosong, tanpa beban," kata Dewi pekan lalu di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta Selatan, sehabis mengampanyekan filmnya. Penyesalan Seumur Hidup. Dalam film yang masuk nominasi Festival Film Indonesia 1987 itulah, "Saya menjadi gila, setelah anak saya meninggal." Anak yang dimaksud, ya, dalam film itu. Konon, ia menghayati perannya tak tanggung-tanggung. Banyak yang memuji-muji Dewi pantas mendapat Piala Citra. "Bila ada yang mengatakan saya akan memperoleh Citra, saya selalu menjawab, Amin," katanya. "Film itu bukan olah raga. Misalkan saya ikut lomba lompat jauh, selesai melompat jarak langsung diukur, hasilnya langsung bisa dilihat. Lha, dalam ibn, setiap orang penilaiannya berbeda," tutur ibu satu anak yang pernah bekerja di kantor Menpora itu. Saingan Dewi Yull kali ini, unara lain, seorang artis muda yang juga tak suka "issue". Dialah Nurul Arifin, 21 tahun pemeran Kirana dalam film yang diduuga bakal muncul sebagai film terbaik, Nagabonar. "Saya tak pernah mimpi mendapatkan Piala Citra," kata Nurul. Sebabnya, "Saya sungguh risi kalau disebut bintang film. Saya ini belum bintang, masih hanya pemain". Kalau pemain yang bintang bagaimana?


01 Agustus 1987
Berperan orang gila
BAGAIMANA rasanya menjadi orang gila? Tanyalah kepada Dewi Yull, si "Jeng Sri" dalam Losmen. "Menjadi orang gila itu enak. Dan sungguh nikmat. Pikiran saya menjadi kosong, tanpa beban," kata Dewi pekan lalu di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta Selatan, sehabis mengampanyekan filmnya. Penyesalan Seumur Hidup. Dalam film yang masuk nominasi Festival Film Indonesia 1987 itulah, "Saya menjadi gila, setelah anak saya meninggal." Anak yang dimaksud, ya, dalam film itu. Konon, ia menghayati perannya tak tanggung-tanggung. Banyak yang memuji-muji Dewi pantas mendapat Piala Citra. "Bila ada yang mengatakan saya akan memperoleh Citra, saya selalu menjawab, Amin," katanya. "Film itu bukan olah raga. Misalkan saya ikut lomba lompat jauh, selesai melompat jarak langsung diukur, hasilnya langsung bisa dilihat. Lha, dalam ibn, setiap orang penilaiannya berbeda," tutur ibu satu anak yang pernah bekerja di kantor Menpora itu. Saingan Dewi Yull kali ini, unara lain, seorang artis muda yang juga tak suka "issue". Dialah Nurul Arifin, 21 tahun pemeran Kirana dalam film yang diduuga bakal muncul sebagai film terbaik, Nagabonar. "Saya tak pernah mimpi mendapatkan Piala Citra," kata Nurul. Sebabnya, "Saya sungguh risi kalau disebut bintang film. Saya ini belum bintang, masih hanya pemain". Kalau pemain yang bintang bagaimana?

Rabu, 09 Februari 2011

KRISIS X / 1975

KRISIS X
 

Ada keinginan sutradara untuk membeberkan keboborakan moral dalam masyarakat, tapi yang muncul adalah pameran keboborakan itu. Dua orang yang sedang bermesra di suatu tempat tiba-tiba diberondong tembakan. Dengan tenang si pelaku meninggalkan tempat kejadian dan mencari sasaran berikutnya. Begitulah pula yang terjadi pada dua pemuda berandal yang sedang memperkosa penjual jamu atau seorang bapak sedang memadu kasih dengan isteri orang. Ada pembunuh berdarah dingin yang seolah ingin menegakkan moral, meski kelakuannya sendiri tidak bermoral. Sementara itu polisi sedang berusaha menggulung sebuah sindikat narkotik. Begitu juga si pembunuh misterius itu. Terjadi pertempuran segitiga. Sindikat narkotik maupun kelompok penegak moral tadi dilumpuhkan. Komandan polisi yang melakukan operasi terkejut ketika melihat bahwa yang membunuh tadi adalah adiknya sendiri.
 
 
07 Februari 1976
Film itu dilarang sensor, dan ...
10 Januari yang lalu. Ketua Badan Sensor Film (BSF) menulis surat hepada Turino Junaidy, Direktur P.T. Sarinande Film di Jakarta. "Dengan ini kami beritahukan bahwa BSF dalam sidang plenonya hari ini untuk menilai film Krisis X yang diproduksi oleh Saudara telah memutuskan untuk melarang film tersebut dipertunjukkan kepada umum . . . ", begitu Soemarmo memulai suratnya. Bukan tanpa alasan keputusan tersebut. Ini alasan di balik keputusan itu: 'Film ini dapat memberi pengaruh negatif terhadap masyarakat dari segi: a. keamanan dan ketertiban masyarakat yang menyangkut penggunaan senjata api dan pembunuhan secara sewenang-wenang oleh anak-anak muda, dan kritik-kritik yang dapat merangsang timbulnya gejolak sosial b. moral yang menyangkut penggambaran adegan-adegan dan dialog yang menyinggung perasaan susila dan kesopanan Timur". Dan film itu hanya bisa diizinkan beredar kalau pemiliknya mau melakukan revisi. 'Kalau film asing sih, kita tolak saja, beres. Tapi ini modal dalan negeri, kasian kan?", begitu seorang anggota BSF memberi komentar. Turino jelas tidak langsung menerima begitu saja putusan orang-orang yang berkumpul dan bersidang di bioskop kecil jalan Agussalim itu. 

Dua puluh empat jam setelah menerima surat dari ketua LSF, Soemarmo, Turino pun mengirimkan balasannya. Jauh lebih panjang dari surat yang harus dijawabnya, pemilik Sarinande Film dan memulai suratnya dengan janji memberi kehormatan kepada surat Soemarmo untuk diberi "bingkai dan disimpan di sinematek Pusat Perfilman Nasional sebagai suatu peristiwa penting dalam sejarah film Indonesia". Tidak lupa Turino juga berkisah tentang kehidupannya sebagai orang film selama 17 tahun terakhir dan "selama itu alhamdulillah film-film yang saya buat belum pernah dijatuhi hukuman mati seperti sekarang" Sudah harus dipastikan bahwa lewat surat yang lumayan panjangnya itu Turino akan mencoba membela filmnya. Sebab dengan menerima begitu saja keputusan BSF berarti sejumlah uang harus ia keluarkan untuk revisi. "Saya kira adegan-adegan yang ada dalam Krisis X itu belum seberapa kalau dibandingkan dengan adegan-adegan yang ada dalam film Barat", kata Turino. Bahkan menurut Turino, adegan-adegan yang ia tampilkan dulu (1970) dalam film Bernafsu Dalam Lumpur lebih berani dari pada dalam film terbaru yang lagi naas itu. Tanya Turino: "Kenapa Bernafas Dalam Lumpur bisa lolos dan Krisis X tidak?". Jawab A. Karim, anggota BSF: "Film ini terlalu obral senjata api, dan ini menunjukkan betapa mudahnya orang main hakim sendiri". Sembari berkata demikian, Karim yang menjadi anggota BSF sejak belasan tahun silam, tidak lupa pula memuji tema pilihan Turino itu. "Sayangnya tema yang baik terasa hanya menyelimuti keseluruhan film, sehingga tidak ada keseimbangan antara isi dan penyampaiannya", tambah Karim pula. Kebobrokan Turino Junaidy bukan tidak punya jawaban terhadap argumentasi Karim. 

Tapi debat yang timbul dari jawaban itu akhirnya toh sama saja dengan debat-debat yang dulu berputar di sekitar keputusan BSF untuk juga melarang peredaran (sebelum direvisi) film-film Manusia Tera*hir, Akhir Cinta Di Atas Bukit dan Mimpi Sedih. Si pembuat film merasa menggambarkan kebobrokan dalam masyarakat, BSF berkesimpulan bahwa penggambaran itu tidak proporsionil terlalu dilebih-lebihkan. Karena itu lebih baik kita dengar alasan Turino membuat film yang kabarnya cukup "berani" itu. "Melihat gejala-gejala yang akan melumpuhkan kembali industri film nasional, saya menjadi cemas, lebih cemas dari pada di tahun 1970", tulis Turino dalam suratnya. Seperti sudah bisa diduga, yang menjadi sumber kecemasn tokoh kita ini adalah film-film impor itu. "Sekarang film-film demikian diperbolehkan masuk ke negeri ini, dan film-film itu umumnya dibuat oleh orang-orang yang berkesusilaan Timur seperti Hongkong, Pilipina, Jepang, Korea dan Taiwan ...". Sembari merenung dan mereka-reka kemungkinan bersaing dengan film impor yang terus membanjiri pasaran Indonesia, Turino tiba pada pertanyaan ini: "Mampukah film-film komedi konyol dan percintaan cengeng merebut selera penonton yang tlah rusak, dirusakkan oleh film-film luar negeri?" Pertanyaan Turino lewat surat ini mengejutkan seorang anggota BSF. "Lho, apa Turino mengira bahwa film yang kita loloskan di sini semua film-film sex bunuh-bunuhan serta segala macam kekasaran?" Menurut anggota yang segan namanya masuk koran itu, kesalahan terbesar yang dilakukan Turino bersumber pada seleranya sendiri yang cuma sanggup berkelahi dengan film murah yang masuk kemari dan pura-pura tidak tahu danya sejumlah film bermutu yang juga beredar di Indonesia. "Kok yang dijadikan ukuran yang konyol-konyol dari Hongkong, kenapa tidak film-film Perancis yang halus dengan ongkos pembuatan yang juga tidak mahal" Debat macam ini bisa tidak habis sampai tua. Yang jelas Turino risau lantaran koceknya -- dan katakanlah juga kehendaknya bekerja -- terancam. 

Tapi sebelum semuanya terlanjur, kabarnya peringatan halus sudah pula sampai ke kantor PT Sarinande. Ini komentar Haji Djohardin, Direktur Pembinaan Film Deppen: "Kalau Sarinande mau mendengarkan saran kami dengan meninjau kembali soal porno dan adegan yang menyinggung pemerintahan, saya kira BSF akan meloloskannya". Alasannya, pak? "Yah, karena adegan yang demikian itu belum cocok dengan kondisi masyarakat kita", jawab Djohardin. Turino boleh mengungkapkan segala perjuangannya dalam dunia film selama 17 tahun dan bahwa "perusahaan milik pribumi 100 persen ini tidak memiliki modal kuat, seluruhnya sudah tertanam dalam film Krisis X", tapi kalau itu dinilai oleh yang berkuasa sebagai "belum cocok dengan kondisi masyarakat", yah, apa boleh buat. Dan Turino pun tahu diri, karena itu film yang sudah ia revisi kini dikembalikannya lagi ke BSF. "Kalau ini juga gagal, terpaksa saya mulai dari bawah lagi", pasrah Turino. Harap dicatat bahwa kata "dari bawah" di sini tidak lalu berarti mulai kumpul uang dari sana-sini. Sebab selain bonafide, Sarinande adalah satu-satunya perusahaan film Indonesia yang mempunyai peralatan paling lengkap, dan lantaran itu antara lain maka biaya produksinya selalu berhasil ditekan amat rendah.

Minggu, 27 Februari 2011

CHITRA DEWI / Roro Patma Dewi Tjitrohadikusumo / 1955-1991

CHITRA DEWI


Bernama asli Roro Patma Dewi Tjitrohadikusumo, dilahirkan di Cirebon, 26 Januari 1934. Pendidikan terakhirnya SMA. Memulai karirnya di seni peran melalui film Tamu Agung (1955). Namanya mulai dikenal sejak membintangi film Tiga Dara arahan sutradara Usmar Ismail pada tahun 1956, dalam film drama musikal itu, ia bermain bersama Mieke Wijaya, Indriati Iskak, dan Bambang Irawan.

Lewat perusahaannya sendiri, Chitra Dewi Film Production, ia menjadi sutradara dalam film Penunggang Kuda Dari Tjimande (1971), Dara-Dara (1971), Bertjinta dalam Gelap (1971). Selain itu, ia pernah menjadi produser dalam 2 X 24 Djam (1969) dan Samiun dan Dasima (1970).

Meraih Piala Citra untuk aktris pembantu wanita pada FFI 1979, Dalam film Gara-Gara Isteri Muda (1978). Karena Pengabdiannya di dunia film, ia memperoleh Penghargaan Kesetiaan Profesi Pada tahun 1992 dari Dewan Film Nasional. Pernah mendapatkan penghargaan Lifetime Achievement Award 2007 dari Festival Film Bandung (FFB) pada tahun 2007.

Selama berkarir dalam dunia film, ia telah bermain dalam 80 film. Di era sinetron, Chitra tampil sebagai tokoh Ibu Sunarya dalam Sartika (1990), yang dibintangi Dewi Yull. Chitra juga tampil dalam sinetron Sengsara Membawa Nikmat.Chitra Dewi wafat, pada hari Selasa 28 Oktober 2008 di kediamannya Perumahan Puri Flamboyan, Rempoa, Tangerang, Banten. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman Jabang Bayi, Cirebon, Jawa Barat.

Anak Bangsawan yang Main Film
Chitra Dewi bukanlah nama aslinya. Ia terlahir dengan nama Roro Patma Dewi Tjitrohadikusumo. Dari namanya saja sudah dapat diketahui bahwa Dewi masih berdarah bangsawan.

Dewi lahir pada 26 Januari 1934 dari seorang ayah yang masih satu satu garis keturunan dengan Keprabonan Cirebon. Tidak ada satu pun di antara keluarganya yang memiliki ikatan dengan dunia perfilman Indonesia kala itu. Bahkan, menurut penuturan Dewi, keluarganya sempat memandang rendah karier bintang film.

Pada masa itu, stigma yang diterima bintang film tidak berbeda dengan apa yang diterima pemain panggung sandiwara atau anak wayang. Perempuan dianggap tidak pantas menjadikan dirinya sendiri sebagai bahan tontonan atau bahan ledekan orang banyak. Seolah tidak terpengaruh, akhirnya Dewi nekat juga menjajal profesi bintang film.

“Saya ya jadi sedih. Tetapi keadaan ini juga mendorong saya untuk membuktikan bahwa karir ini bisa dititi dengan bersih,” kata Dewi, seperti dikutip Kompas (16/12/1990).

Sejak kecil sebenarnya Dewi sudah penasaran dengan dunia film. Begitu lulus dari SMP, ia diam-diam melamar ke Perusahaan Film Nasional (Perfini) milik Usmar Ismail. Meskipun mengaku tidak memiliki pengetahuan apa-apa di bidang film, toh, nyatanya Dewi berhasil mendapatkan peran kecil di film Tamu Agung.

Nama Pemberian untuk Peran Paling Sulit
Sekitar tahun 1955, Usmar Ismail yang baru kembali dari California untuk belajar sinematografi sedang kepikiran membuat adaptasi film musikal berjudul Tiga Dara. Menurut Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia Jilid 2 (2009: 37-38), Usmar terinspirasi dari film Amerika berjudul Three Smart Girls yang ditontonnya ketika masih menjadi siswa MULO.

Seperti film-filmnya yang terdahulu, Usmar memang selalu ingin mengajak wajah-wajah baru, terutama perempuan untuk berperan dalam filmnya. Hal ini didasari rasa prihatinnya terhadap jumlah pemain film perempuan yang masih sangat sedikit kala itu.

“Biasanya dari ratusan lamaran yang diterima oleh bagian casting yang datang dari kaum hawa tidak lebih dari sepuluh. Dan dari sepuluh itu si sutradara sudah dapat mengucap syukur jika ada satu yang dapat dibawa ke depan kamera,” tulis Usmar dalam kumpulan tulisan Usmar Ismail Mengupas Film (1983: 182).

Agar dapat membuat Tiga Dara, Usmar tidak hanya membutuhkan satu perempuan, tetapi tiga untuk mengisi peranan Nunung, Nana, dan Neny. Begitu melihat Dewi, Usmar pun langsung cocok dan mengajaknya mengisi peranan sebagai Nunung. Rosihan Anwar mendeskripsikan karakter Nunung sebagai perempuan sabar yang rela mengalah untuk tidak menikah karena Nenny, salah satu adik perempuannya, justru menyukai pria yang hendak meminangnya.

Kepribadian seperti itu tampak yang dicari Usmar dalam diri Dewi. Menurutnya, sifat-sifat menarik dari seorang tokoh perempuan tidak hanya dari bentuk tubuh atau mata bundar yang cemerlang, tetapi juga pada “keseluruhan personality yang memaksa orang terpesona.”

Agar dapat memainkan karakter demikian, Dewi mengaku menemui banyak kesulitan. Ia menyebut Nunung sebagai peran paling sulit yang pernah ia mainkan dari seluruh film-filmnya. Menurut Dewi, semua itu terjadi lantaran ia tidak memiliki pengalaman menjadi gadis muda perkotaan yang kebingungan karena terlambat menikah.

“Betul kok, saya kan cuma tamatan SMP. Lagi pula waktu itu saya sudah jadi ibu muda. Sedang perannya harus menjadi seorang gadis yang bisa nyanyi dan menari. Tapi akhirnya saya bisa,” kata Dewi dalam wawancara Majalah Film (No. 83, September 1989).

Dewi memang mengaku menikah di usia yang sangat muda, yakni 16 tahun. Suaminya bernama Raden Samaun, juga berdarah ningrat. Mereka dikaruniai tiga anak laki-laki. Sayang pernikahannya ini kandas tidak lama setelah Dewi mengambil nama panggung Chitra Dewi dan menjadi terkenal berkat Tiga Dara.

Dalam wawancara Sinar Harapan (30/5/1983), Dewi mengakui nama Chitra yang tersemat di depan nama aslinya tidak datang dari buah pikirnya sendiri. Usmar Ismail lah orang yang berjasa memberikan nama panggung itu sebelum memulai Tiga Dara.

“Bahkan nama Chitra Dewi itu sendiri dari pak Usmar Ismail. Entah dari mana, saya tinggal menerima saja. Waktu beliau masih hidup saya tak sempat tanya,” terangnya.

Citra Perempuan Ideal
Misbach Yusa Biran dalam Peran Pemuda dalam Kebangkitan Film Indonesia (2009: 152) menggambarkan Tiga Dara sebagai film hiburan ringan yang punya kapasitas interaksi dengan penonton. Selain dipenuhi lagu-lagu gembira karya Ismail Marzuki yang dilantunkan oleh pemain-pemain baru berwajah segar, film ini juga dianggap berhasil menampilkan citra perempuan ideal.

Pendapat itu secara khusus dilontarkan Misbach kepada sosok Chitra Dewi yang “dianggap mewakili wanita Indonesia yang ideal, lembut dan pemalu.” Sosok Dewi yang sederhana dan pemalu ini seolah dibenarkan oleh penampakan wajah bulat Dewi yang jauh dari kesan make-up tebal, rambut yang senantiasa tersanggul rapi, dan selalu tampil dalam balutan kebaya.

Di bawah Perfini, peranan-peranan yang dimainkan Chitra Dewi memang tidak pernah jauh dari citra perempuan yang lemah lembut. Dalam Djenderal Kantjil, ia membawakan peranan ibu yang bijaksana. Sementara dalam Pak Prawiro, Dewi kembali memainkan istri yang berperangai baik. Kedua film tersebut dirilis pada 1958.

Dewi terus bekerja sama dengan Usmar Ismail sampai sekitar tahun 1960. Film terakhirnya di bawah Perfini merupakan film berlatar Revolusi Indonesia berjudul Pedjuang. Meskipun hanya mengisi peran pembantu, permainan akting Dewi sebagai perempuan melankolis yang menanti kekasihnya kembali dari medan perang ini disebut-sebut menjadi salah satu yang terbaik.

Sepanjang kariernya yang terus meroket sepanjang 1960-an, peranan yang dibawakan Dewi hampir tidak berubah. Pada 1969 Dewi mendapat peran utama dalam film Nji Ronggeng produksi Dewan Produksi Film Nasional (DPFN) yang masih tergolong perusahaan film milik negara. Krishna Sen dalam artikel “Wajah Wanita dalam Filem Indonesia: Beberapa Catatan” yang dimuat di majalah Prisma No. 7 (Juli 1981), menyebut film ini tidak ubahnya film-film Orde Baru yang gemar mengemukakan citra perempuan ideal.

“Perempuan ideal dalam film-film itu pertama-tama pasif, menderita tanpa protes, kuat perasaannya akan tetapi tidak mengungkapkannya. Semua dipendam dalam hati,” tulis Sen.

Sepanjang paruh kedua 1970-an dan 1980-an, Dewi hampir selalu memainkan peranan sebagai ibu. Pernah suatu ketika pada 1971, ia mengubah peranannya menjadi tante girang yang dimainkan dalam film Romansa. Pers pun beramai-ramai mencela aktingnya yang tidak sesuai dengan kostum yang dikenakan.

“Dalam film Romansa kita akan menjumpai keganjilan pada tokoh Tante Leila (Chitra Dewi). Karena predikat peran tante yang sudah rada seimbang dengan usia si pelakonnya ini terganggu oleh kostum rok mini setengah paha,” tulis Suara Karya (3/11/1973).



25 September 1971
SEKARANG ini banjak bintang film jang mendjelma mendjadi bukan sadja sutradara, tetapi produser dan masih turut main dalam film jang dibuatnja itu. Misalnja: Sofia WD, Sandy Suwardi, Bambang Irawan, Chitra Dewi dan lainnja lagi. Bahkan tidak djarang mereka djuga mendjadi penulis skript dan menangani skenario djuga. Almarhum Surjo Sumanto pernah merasa kuatir akan luar ini, karena bisa membawa tendensi jang akan memukul film Indonesia sendiri. Tapi toch nama Chitra Dewi akan terpadjang dalam "Penunggang Kuda dari Tjimande" sebagai pemain sampai ke produser. Bagaimana Chitra menjutradarai dirinja sendiri? Sambil tersenjum dia mendjawab: "Minta giliran suami untuk mengawasi permainan saja". Alasannja? Dia mendjawab lagi: "Menghemat, karena harus menjesuaikan dengan uang jang ada".


29 Januari 1977
SETELAH zaman Titien Sumarni, banyak penonton film menggemari Citra Dewi. Berkulit langsat, bertubuh kecil, perempuan asal Cirebon ini pertama kali ditemukan oleh Usmar Ismail almarhum. Waktu itu namanya Dewi Semaun. Semaun adalah suami Citra yang pertama. Waktu itu masih letnan satu CPM. Karena nama Dewi Semaun dirasa kurang afdol, almarhum Usmar kemudian menggantinya jadi Citra Dewi. Main pertama kali sebagai figuran dalam film Tamu Agu,lg (1955), film yang pernah terpilih sebagai film komedi terbaik untuk Asia Tenggara. Tahun 1956, Citra bersama Bambang Hermanto, Mieke Wijaya, Hasan Sanusi, Bambang Irawan dan lainnya, turut kursus bermain yang diselenggarakan Perfini. Tahun-tahun berikutnya, Citra turut bermain dalam Juara 1960, Tiga Dara, Delapan Penjuru Angin, Tiga Buronan, Jenderal Kancil, Asrama Dara, Road to Bali, Pejoang dan film lainnya yang kalau dijumlah tidak kurang dari 27 buah film. Ia gemar menonton sandiwara sejak kecil. Dan waktu di SD, Citra Dewi pernah jadi juara menari Jawa. Pendidikan resminya: SMP. Mungkin karena gemar menari inilah, Citra kemudian terlibat cinta dengan guru tari Balinya: Wayan Supartha. Putus dengan Semaun, Citra dan Supartha kemudian menikah. Tapi pernikahan inipun tampaknya tidak kekal. Meskipun pernah terpilih sebagai peragawati terbaik tahun 1961, sejak 1966, Citra jarang tampil baik di umum maupun di layar putih. Kemudian dia menikah dengan LJN Hoffman. Tahun 1972, suami isteri kemudian mendirikan PT Citra Dewi Film. Beberapa dari hasil produksinya ialah Ratna, Bercinta Dalam Gelap, Penunggang Kuda Dari Cimande, yang konon, disutradarai oleh Citra sendiri. Rupanya film-filmnya tidak mendapat pasaran bagus. "Belum bangkrut", ujar Hoffman tentang perusahaan filmnya ini, "cuma belum berproduksi saja". Suami isteri ini kini sibuk usaha lain. Jual beli rumah. Karena hal inilah, sulit juga mencari alamat di mana mereka tinggal. "Sebab kalau ada yang mau beli rumah yang kami tempati", kata Hoffman, "kami dengan senang hati akan angkat kaki ke rumah lain". Berbicara tentang isterinya yang sekarang usianya telah 43 tahun, berkata Hoffman: "Isteri saya lagi tidak mau diinterviu. Dia lagi malas dipublisir. Nanti sajalah kalau dia main film lagi". Citra, tidak kurus tidak gemuk, rambutnya yang ikal sepundak, kemudian menghilang di balik pintu.


DARAH NELAJAN1965HASMANAN
Actor
DJUARA 1960 1956 NYA ABBAS AKUP
Actor
MENDUNG TAK SELAMANYA KELABU 1982 LUKMANTORO DS
Actor
BERTJINTA DALAM GELAP 1971 CHITRA DEWI
Director
BING SLAMET MERANTAU 1962 RIDWAN NASUTION
Actor
SEKUNTUM MAWAR PUTIH 1981 MOCHTAR SOEMODIMEDJO
Actor
HABIS GELAP TERBITLAH TERANG 1959 HO AH LOKE
Actor
PEDJUANG 1960 USMAR ISMAIL
Actor
BEGADANG 1978 MAMAN FIRMANSJAH
Actor
PENDEKAR BUKIT TENGKORAK 1987 PITRAJAYA BURNAMA
Actor
TERMINAL TERAKHIR 1977 DJAMAL HARPUTRA
Actor
CINTAKU DI WAY KAMBAS 1990 IWAN WAHAB
Actor
YOAN 1977 NICO PELAMONIA
Actor
ALI BABA 1974 ISHAK SUHAYA
Actor
TERMINAL CINTA 1977 ABRAR SIREGAR
Actor
SEBENING KACA 1985 IRWINSYAH
Actor
KADARWATI 1983 SOPHAN SOPHIAAN
Actor
TJITA-TJITA AJAH 1959 WAHYU SIHOMBING
Actor
KABUT SUTRA UNGU 1979 SJUMAN DJAYA
Actor
TAMU AGUNG 1955 USMAR ISMAIL
Actor
PENGANTIN REMAJA 1991 WIM UMBOH
Actor
DELAPAN PENDJURU ANGIN 1957 USMAR ISMAIL
Actor
RATU-RATU RUMAH TANGGA 1960 SJAHRIL GANI
Actor
SI PITUNG BERAKSI KEMBALI 1981 LIE SOEN BOK
Actor
ATENG BIKIN PUSING 1977 HASMANAN
Actor
LEMBAH HIDJAU 1963 HASMANAN
Actor
TAKDIR MARINA 1986 WAHAB ABDI
Actor
SAYANGILAH DAKU 1974 MOTINGGO BOESJE
Actor
PENUNGGANG KUDA DARI TJIMANDE 1971 CHITRA DEWI
Actor Director
HOLIDAY IN BALI 1962 TONY CAYADO
Actor
RATNA 1971 HASMANAN
Actor
GANASNYA NAFSU 1976 TURINO DJUNAIDY
Actor
PENDANG ULUNG 1993 TOMMY BURNAMA
Actor
SEMUSIM LALU 1964 HASMANAN
Actor
PERJUANGAN DAN DOA 1980 MAMAN FIRMANSJAH
Actor
RUMPUT-RUMPUT YANG BERGOYANG 1983 SUSILO SWD
Actor
MENCARI CINTA 1979 BOBBY SANDY
Actor
BULAN DI ATAS KUBURAN 1973 ASRUL SANI
Actor
GARA-GARA ISTRI MUDA 1977 WAHYU SIHOMBING
Actor
SAUR SEPUH 1988 IMAM TANTOWI
Actor
SUSTER MARIA 1974 S.A. KARIM
Actor
BUNGA PUTIH 1966 HASMANAN
Actor
BUNGA ROOS 1975 FRED YOUNG
Actor
RHOMA IRAMA BERKELANA I 1978 YUNG INDRAJAYA
Actor
RHOMA IRAMA BERKELANA II 1978 YUNG INDRAJAYA
Actor
SAMIUN DAN DASIMA 1970 HASMANAN
Actor
AKU MAU HIDUP 1974 REMPO URIP
Actor
DJUMPA DIPERJALANAN 1961 WIM UMBOH
Actor
BAWALAH AKU PERGI 1982 M.T. RISYAF
Actor
PAK PRAWIRO 1958 D. DJAJAKUSUMA
Actor
SEMAU GUE 1977 ARIZAL
Actor
TIGA BURONAN 1957 NYA ABBAS AKUP
Actor
TIGA DARA 1956 USMAR ISMAIL
Actor
DUO KRIBO 1977 EDUART P. SIRAIT
Actor
TAK TERDUGA 1960 L. INATA
Actor
BOBBY 1974 FRITZ G. SCHADT
Actor
HIDUP, TJINTA DAN AIR MATA 1970 M. SHARIEFFUDIN A
Actor
BELAS KASIH 1973 BAMBANG IRAWAN
Actor
KEMELUT HIDUP 1977 ASRUL SANI
Actor
KUNANTI DJAWABMU 1964 WIM UMBOH
Actor
DARA-DARA 1971 CHITRA DEWI
Director
PRAHARA 1974 NICO PELAMONIA
Actor
2 X 24 DJAM 1967 DANU UMBARA
Actor
MELATI DIBALIK TERALI 1961 KOTOT SUKARDI
Actor
MELATI DIBALIK TERALI 1961 KOTOT SUKARDI
Actor
RIO SANG JUARA 1989 MUCHLIS RAYA
Actor
PUTRI SOLO 1974 FRED YOUNG
Actor
GADIS KAMPUS 1979 ISHAQ ISKANDAR
Actor
RAHASIA SEORANG IBU 1977 WAHYU SIHOMBING
Actor
CHICHA 1976 EDUART P. SIRAIT
Actor
DJENDRAI KANTJIL 1958 NYA ABBAS AKUP
Actor
REMAJA-REMAJA 1979 ARIZAL
Actor
AMALIA S.H. 1981 BOBBY SANDY
Actor
JURUS DEWA NAGA 1989 S.A. KARIM
Actor
BUKAN IMPIAN SEMUSIM 1981 AMI PRIJONO
Actor
ROMANSA 1970 HASMANAN
Actor
ASRAMA DARA 1958 USMAR ISMAIL
Actor
SIMPHONY YANG INDAH 1981 PITRAJAYA BURNAMA
Actor
SI RONDA MACAN BETAWI 1978 FRITZ G. SCHADT
Actor
NJI RONGGENG 1969 ALAM SURAWIDJAJA
Actor
PENGORABANAN 1974 SUSILO SWD
Actor
GITA TARUNA 1966 PITRAJAYA BURNAMA
Actor
MARIA, MARIA, MARIA 1974 HASMANAN
Actor

Minggu, 30 Januari 2011

BARANG TERLARANG / 1983

I WANT TO GET EVEN


Film ini banyak judul lainnya Violent Killer dan I Want To Get Even.

Kehidupan rumah tangga yang sederhana dan bahagia dialami oleh Irma yang bekerja sebagai kasir restoran dan juga Rudy yang bekerja sebagai supir taxi. Irma yang hamil muda menambah kebahagiann keluarga itu. Ternyata setelah menikah Irma mengetahui kalau suaminya mengidap Sex Maniac dan Irma terpaksa menerima kondisi suaminya. Komplotan penjahat yang sering menyelundupkan morpin, narkotik, senjata gelap dan obat terlarang lainnya dibawah pimpinan Cobra 2 melakukan operasinya hingga mempengaruhi moral bangsa dan anak-anak muda. Cobra 2 memiliki anak buah bernama Rony yang bertugas menyalurkan barang-barang terlarang itu dan juga mencarikan wanita untuk kepuasan Cobra 2. Pihak berwajib telah mencurigai kegiatan Roni dan komplotannya namun mereka belum memiliki bukti akurat mengenai kegiatan tersebut. Di acara pesta disco, Cobra tertarik dengan penampilan Irma dan dia ingin mendapatkannya melalui Rony. Rony dan komplotannya berhasil menculik Irma. Disebuah gudang tua tempat markas Cobra melakukan kegiatannya kehormatan Irma direnggut oleh Cobra 2 dan juga anak buahnya.

Di saat mengalami sekarat Irma diseamatkan oleh seorang tukang becak yang kemudian melaporkannya ke pihak berwajib. Namun komplotan Cobra 2 mengetahui rencana polisi yang ingin menggrebek markas mereka. Rudy yang mengetahui kejadian yang menimpa isterinya sangat marah sekali. Akibat kejadian tersebut keluarga Rudy dan Irma selalu diwarnai pertengkaran karena Rudy tidak menerima kehamilan isterinya dan menginginkan kandungannya digugurkan namun ditolak oleh Irma. Irma akhirnya diusir oleh Rudy karena tidak mau mengikuti keinginannya. Irma yang wajahnya lembam karena pukulan Rudy bertemu dengan Ratih yang mempunyai anak putri cacat akibat terjangkit penyakit kelamin dari almarhum suaminya. Rudy yang frustasi menghabiskan waktunya dengan mabuk-mabukan dan terkadang melarikan kendaraannya dengan kencang. Akhirnya Rudy mencari tukang becak yang menemukan Irma untuk mengetahui Keberadaan Rony. Tukang becak membawa Rudy ke gudang tempat dimana dia menemukan Irma. Ditempat itu Rudy mengamuk menghancurkan semua barang-barang, tukang becak menghubungi polisi. Ketika terjadi perkelahian yang tidak seimbang antara Rudy melawan Rony Cs datang bantuan polisi yang berhasil menangkap sebagian komplotan Rony dan Rony berhasil lolos. Ketika Rudy dirawat Irma datang menemui dengan diantar Ratih yang meminta pada Rudy untuk mau menerima Irma yang tengah hamil tua. Kelahiran bayi Irma melalui operasi, namun bayinya yang cacat tidak tertolong bahkan kandungan Irma pun dinyatakan rusak oleh dokter. Rudy yang tidak menerima kenyataan itu ingin menuntut balas pada para penjahat-penjahat itu. Tanpa sengaja Rudy bertemu dengan Mia, adik kandung Rony. Dan Rudy merencanakan untuk menculik dan merengut kegadisan Mia.

Mia yang mengetahui dia terkena akibat dari perbuatan kakaknya menuntut Rony, namun Rony justru menaruh dendam pada Rudy. Rony berhasil menghancurkan rumah Rudy dan menangkap serta menganiaya Rudy di gudang tua. Mia yang mencoba untuk bunuh diri berhasil digagalkan oleh Cobra, namun Cobra berhasil membius dan menggauli Mia. Rony yang ingin memberikan laporan penangkapan Rudy kaget melihat kondisi Mia yang telah digauli seenaknya oleh Cobra. Dan akhirnya terjadi perkelahian tidak seimbang antara Rony dengan anak buah Cobra. Mia yang ingin membantu kakaknya tewas tertusuk pisau anak buah Cobra. Polisi berhasil menangkap Rony dan anak buah Cobra, namun Cobra dan Tohir berhasil melarikan diri. Namun pelarian Cobra dan Tohir diketahui oleh Irma dan Rudy yang telah siap dengan senjata yang diambil dari gudang milik Cobra. Mereka berdua berhasil membunuh Cobra dan Tohir yang telah merengut kebahagiaan mereka dan mereka memutuskan untuk menyerahkan diri ke pihak berwajib.


SAYA INGIN MENDAPATKAN BAHKAN (1987) - Indonesia: Di mana semua orang tahu bagaimana bertarung, wanita itu murah dan orang jahat botak. Setidaknya dalam film mereka. Film pemerkosaan / balas dendam Indonesia ini (dari Rapi Films, penyedia hiburan utama di Indonesia) dibuka dengan seorang lelaki botak berkeringat yang mencoba memperkosa seorang wanita di tempat tidurnya. Ketika dia berkelahi kembali, dia menyerah dan menyuruh anak buahnya melemparkannya keluar dari rumah (anak buahnya menutup mata dan mengikat tangannya di belakangnya dengan potongan kain yang robek dari gaunnya dan kemudian menggulingkannya menuruni bukit!). Si botak (semua orang memanggilnya "Boss", nama yang cukup umum di film bergenre Indonesia) kemudian merokok bersama sementara wanita berpakaian minim berlatih seni bela diri di sekitarnya. Kami kemudian memotong untuknya minum dalam disko, di mana kami mengetahui bahwa nama aslinya adalah Cobra (Rengga Takengon). Dia memukul kasir Irma (Eva Arnaz), tetapi dia menolaknya, yang tidak membuat Cobra bahagia sama sekali. Film ini kemudian beralih ke Rudy (Clift Sangra), yang merupakan suami dari Irma, yang sedang hamil. Rudy memiliki masalah amarah yang besar, terutama ketika dia bersemangat secara seksual. Setiap kali dia terangsang, dia berubah menjadi kekerasan, yang bukan kabar baik bagi Irma dan bayi di perutnya, terutama karena dokternya memperingatkan Irma bahwa dia akan mengalami kehamilan yang kasar dan setiap sentakan atau tarikan yang keras dapat membahayakan bayinya. Sementara itu, Cobra meminta anak buahnya kembali ke disko dan menculik Irma (Apa ???). Mereka menembaknya dengan heroin dan menempatkannya di ranjang Cobra (Salah satu pria Cobra berkata kepadanya, "Nikmati dirimu!").

Ketika Irma berkelahi kembali, Cobra memberikannya kepada anak buahnya dan mereka memperkosanya (ketika satu pria selesai, yang lain berkata kepadanya, "Itu cepat!"). Dia melarikan diri sebelum mereka dapat membunuhnya dan dia dijemput oleh seorang pengemudi becak yang ramah dan dibawa pulang. Kami kemudian beralih ke Rudy, yang membuang Irma dari mobilnya yang kencang ketika dia mengetahui bahwa bayinya adalah produk pemerkosaan geng oleh pasukan Cobra (Dia berkata kepada Irma, tepat sebelum dia terbang keluar pintu, "Kamu dan kamu bayi akan langsung ke Neraka! "). Setelah menampar seorang pelacur, Rudy mempertanyakan pengemudi becak yang mengantar pulang Irma dan dia kemudian pergi untuk memukuli orang-orang Cobra (dalam tampilan seni bela diri yang mengerikan), tetapi sebaliknya dia malah dipukuli dengan kasar. Untungnya, polisi muncul dan menyelamatkannya, tetapi orang-orang jahat lolos. Rudy kemudian melemparkan Irma keluar dari rumah mereka ketika dia menolak untuk melakukan aborsi ("Pergi sekarang! Aku tidak pernah ingin melihat wajahmu lagi!"). Segalanya berubah menjadi Twilight Zone ketika Rudy memperkosa Mia (Nenna Rosier), saudara perempuan antek Cobra, Ronnie (Hendro Tangkilisan), sebagai balasan atas pemerkosaan Irma. Ronnie dan anak buahnya kemudian mengendarai sepeda motor mereka melewati rumah Rudy, mengikatnya, menyeretnya ke belakang sepeda motor sampai mereka tiba di tempat persembunyian Ronnie dan kemudian memukulinya hingga menjadi bubur berdarah ("Aku akan mengajarimu untuk bermain-main dengan adikku!" ). Irma mendapatkan aborsi (Kita bisa melihat janin yang berdarah dan diaborsi!) Dan Rudy membawanya kembali. Rudy kemudian pergi ke tempat persembunyian Ronnie dan membunuh beberapa orang Ronnie dengan tembakan.

Dia kemudian menuju ke rumah Cobra, di mana Ronnie, Mia, Cobra, Rudy dan polisi berkelahi habis-habisan. Irma kemudian muncul berpakaian seperti Rambo (!) Dan membunuh Cobra dengan peluncur roket yang bagus. Apa apaan?!? Sangat sulit untuk tetap mengikuti film ini karena diceritakan dengan cara yang membingungkan dan tidak linier. Sulih suara, seperti biasa, sangat lucu (Anda tidak pernah tahu apa yang akan keluar dari mulut orang, seperti ketika Cobra memperkosa Mia. Dia berkata kepadanya, "Adikmu bilang kau akan menyukainya!" yang mendengarkan di lantai bawah, melakukan fellatio dengan ibu jarinya sendiri!). Mari kita bicara tentang Cobra sejenak. Selain terlihat seperti saudara terbelakang Sid Haig, tampaknya ia menghabiskan 90% dari waktu layarnya memperkosa wanita sambil mengenakan pakaian putih. Dia juga pemerkosa yang tidak efektif, karena satu-satunya wanita yang benar-benar diperkosa adalah Mia. Ketika wanita lain melawan, dia kehilangan minat dengan cepat dan melemparkannya ke pria. Untuk sebuah film yang berhubungan dengan banyak pemerkosaan, ada sedikit ketelanjangan. Para wanita biasanya menyimpan bra dan celana dalam mereka atau difilmkan di sudut di mana objek di garis depan menutupi potongan nakal mereka. Ada beberapa ketelanjangan, tetapi hanya beberapa frame cepat dan Anda harus menekan tombol Pause jika Anda ingin mendapatkan tampilan yang baik.





Sutradara Maman Firmansjah (ESCAPE FROM HELL HOLE - 1983) tidak memiliki petunjuk sedikit pun bagaimana membangun kontinuitas atau memfilmkan adegan aksi. Garis waktu tidak ada (saya menggaruk-garuk kepala pada beberapa kesempatan, terutama dengan adegan Irma) dan penutupnya berisi pengejaran mobil paling lambat dan adegan perkelahian dengan koreografi buruk yang pernah saya lihat dalam seorang aktor Indonesia (dan itu mengatakan banyak ). Itu memang berisi ledakan tubuh yang bagus, diikuti oleh kutipan dari Alkitab! Masih sulit untuk menyalahkan film ketika karakter yang paling simpatik adalah Ronnie, seorang pengedar narkoba dan penyelundup senjata, karena dialah satu-satunya anggota pemeran pria yang tidak memperkosa siapa pun! Dia juga memberikan pidato berapi-api di akhir musim, memohon anak buahnya untuk menyerah kepada polisi dan acc