CHITRA DEWI
Bernama asli Roro Patma Dewi Tjitrohadikusumo, dilahirkan di Cirebon, 26 Januari 1934. Pendidikan terakhirnya SMA. Memulai karirnya di seni peran melalui film Tamu Agung (1955). Namanya mulai dikenal sejak membintangi film Tiga Dara arahan sutradara Usmar Ismail pada tahun 1956, dalam film drama musikal itu, ia bermain bersama Mieke Wijaya, Indriati Iskak, dan Bambang Irawan.
Lewat perusahaannya sendiri, Chitra Dewi Film Production, ia menjadi sutradara dalam film Penunggang Kuda Dari Tjimande (1971), Dara-Dara (1971), Bertjinta dalam Gelap (1971). Selain itu, ia pernah menjadi produser dalam 2 X 24 Djam (1969) dan Samiun dan Dasima (1970).
Meraih Piala Citra untuk aktris pembantu wanita pada FFI 1979, Dalam film Gara-Gara Isteri Muda (1978). Karena Pengabdiannya di dunia film, ia memperoleh Penghargaan Kesetiaan Profesi Pada tahun 1992 dari Dewan Film Nasional. Pernah mendapatkan penghargaan Lifetime Achievement Award 2007 dari Festival Film Bandung (FFB) pada tahun 2007.
Selama berkarir dalam dunia film, ia telah bermain dalam 80 film. Di era sinetron, Chitra tampil sebagai tokoh Ibu Sunarya dalam Sartika (1990), yang dibintangi Dewi Yull. Chitra juga tampil dalam sinetron Sengsara Membawa Nikmat.Chitra Dewi wafat, pada hari Selasa 28 Oktober 2008 di kediamannya Perumahan Puri Flamboyan, Rempoa, Tangerang, Banten. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman Jabang Bayi, Cirebon, Jawa Barat.
Anak Bangsawan yang Main Film
Chitra Dewi bukanlah nama aslinya. Ia terlahir dengan nama Roro Patma Dewi Tjitrohadikusumo. Dari namanya saja sudah dapat diketahui bahwa Dewi masih berdarah bangsawan.
Dewi lahir pada 26 Januari 1934 dari seorang ayah yang masih satu satu garis keturunan dengan Keprabonan Cirebon. Tidak ada satu pun di antara keluarganya yang memiliki ikatan dengan dunia perfilman Indonesia kala itu. Bahkan, menurut penuturan Dewi, keluarganya sempat memandang rendah karier bintang film.
Pada masa itu, stigma yang diterima bintang film tidak berbeda dengan apa yang diterima pemain panggung sandiwara atau anak wayang. Perempuan dianggap tidak pantas menjadikan dirinya sendiri sebagai bahan tontonan atau bahan ledekan orang banyak. Seolah tidak terpengaruh, akhirnya Dewi nekat juga menjajal profesi bintang film.
“Saya ya jadi sedih. Tetapi keadaan ini juga mendorong saya untuk membuktikan bahwa karir ini bisa dititi dengan bersih,” kata Dewi, seperti dikutip Kompas (16/12/1990).
Sejak kecil sebenarnya Dewi sudah penasaran dengan dunia film. Begitu lulus dari SMP, ia diam-diam melamar ke Perusahaan Film Nasional (Perfini) milik Usmar Ismail. Meskipun mengaku tidak memiliki pengetahuan apa-apa di bidang film, toh, nyatanya Dewi berhasil mendapatkan peran kecil di film Tamu Agung.
Nama Pemberian untuk Peran Paling Sulit
Sekitar tahun 1955, Usmar Ismail yang baru kembali dari California untuk belajar sinematografi sedang kepikiran membuat adaptasi film musikal berjudul Tiga Dara. Menurut Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia Jilid 2 (2009: 37-38), Usmar terinspirasi dari film Amerika berjudul Three Smart Girls yang ditontonnya ketika masih menjadi siswa MULO.
Seperti film-filmnya yang terdahulu, Usmar memang selalu ingin mengajak wajah-wajah baru, terutama perempuan untuk berperan dalam filmnya. Hal ini didasari rasa prihatinnya terhadap jumlah pemain film perempuan yang masih sangat sedikit kala itu.
“Biasanya dari ratusan lamaran yang diterima oleh bagian casting yang datang dari kaum hawa tidak lebih dari sepuluh. Dan dari sepuluh itu si sutradara sudah dapat mengucap syukur jika ada satu yang dapat dibawa ke depan kamera,” tulis Usmar dalam kumpulan tulisan Usmar Ismail Mengupas Film (1983: 182).
Agar dapat membuat Tiga Dara, Usmar tidak hanya membutuhkan satu perempuan, tetapi tiga untuk mengisi peranan Nunung, Nana, dan Neny. Begitu melihat Dewi, Usmar pun langsung cocok dan mengajaknya mengisi peranan sebagai Nunung. Rosihan Anwar mendeskripsikan karakter Nunung sebagai perempuan sabar yang rela mengalah untuk tidak menikah karena Nenny, salah satu adik perempuannya, justru menyukai pria yang hendak meminangnya.
Kepribadian seperti itu tampak yang dicari Usmar dalam diri Dewi. Menurutnya, sifat-sifat menarik dari seorang tokoh perempuan tidak hanya dari bentuk tubuh atau mata bundar yang cemerlang, tetapi juga pada “keseluruhan personality yang memaksa orang terpesona.”
Agar dapat memainkan karakter demikian, Dewi mengaku menemui banyak kesulitan. Ia menyebut Nunung sebagai peran paling sulit yang pernah ia mainkan dari seluruh film-filmnya. Menurut Dewi, semua itu terjadi lantaran ia tidak memiliki pengalaman menjadi gadis muda perkotaan yang kebingungan karena terlambat menikah.
“Betul kok, saya kan cuma tamatan SMP. Lagi pula waktu itu saya sudah jadi ibu muda. Sedang perannya harus menjadi seorang gadis yang bisa nyanyi dan menari. Tapi akhirnya saya bisa,” kata Dewi dalam wawancara Majalah Film (No. 83, September 1989).
Dewi memang mengaku menikah di usia yang sangat muda, yakni 16 tahun. Suaminya bernama Raden Samaun, juga berdarah ningrat. Mereka dikaruniai tiga anak laki-laki. Sayang pernikahannya ini kandas tidak lama setelah Dewi mengambil nama panggung Chitra Dewi dan menjadi terkenal berkat Tiga Dara.
Dalam wawancara Sinar Harapan (30/5/1983), Dewi mengakui nama Chitra yang tersemat di depan nama aslinya tidak datang dari buah pikirnya sendiri. Usmar Ismail lah orang yang berjasa memberikan nama panggung itu sebelum memulai Tiga Dara.
“Bahkan nama Chitra Dewi itu sendiri dari pak Usmar Ismail. Entah dari mana, saya tinggal menerima saja. Waktu beliau masih hidup saya tak sempat tanya,” terangnya.
Citra Perempuan Ideal
Misbach Yusa Biran dalam Peran Pemuda dalam Kebangkitan Film Indonesia (2009: 152) menggambarkan Tiga Dara sebagai film hiburan ringan yang punya kapasitas interaksi dengan penonton. Selain dipenuhi lagu-lagu gembira karya Ismail Marzuki yang dilantunkan oleh pemain-pemain baru berwajah segar, film ini juga dianggap berhasil menampilkan citra perempuan ideal.
Pendapat itu secara khusus dilontarkan Misbach kepada sosok Chitra Dewi yang “dianggap mewakili wanita Indonesia yang ideal, lembut dan pemalu.” Sosok Dewi yang sederhana dan pemalu ini seolah dibenarkan oleh penampakan wajah bulat Dewi yang jauh dari kesan make-up tebal, rambut yang senantiasa tersanggul rapi, dan selalu tampil dalam balutan kebaya.
Di bawah Perfini, peranan-peranan yang dimainkan Chitra Dewi memang tidak pernah jauh dari citra perempuan yang lemah lembut. Dalam Djenderal Kantjil, ia membawakan peranan ibu yang bijaksana. Sementara dalam Pak Prawiro, Dewi kembali memainkan istri yang berperangai baik. Kedua film tersebut dirilis pada 1958.
Dewi terus bekerja sama dengan Usmar Ismail sampai sekitar tahun 1960. Film terakhirnya di bawah Perfini merupakan film berlatar Revolusi Indonesia berjudul Pedjuang. Meskipun hanya mengisi peran pembantu, permainan akting Dewi sebagai perempuan melankolis yang menanti kekasihnya kembali dari medan perang ini disebut-sebut menjadi salah satu yang terbaik.
Sepanjang kariernya yang terus meroket sepanjang 1960-an, peranan yang dibawakan Dewi hampir tidak berubah. Pada 1969 Dewi mendapat peran utama dalam film Nji Ronggeng produksi Dewan Produksi Film Nasional (DPFN) yang masih tergolong perusahaan film milik negara. Krishna Sen dalam artikel “Wajah Wanita dalam Filem Indonesia: Beberapa Catatan” yang dimuat di majalah Prisma No. 7 (Juli 1981), menyebut film ini tidak ubahnya film-film Orde Baru yang gemar mengemukakan citra perempuan ideal.
“Perempuan ideal dalam film-film itu pertama-tama pasif, menderita tanpa protes, kuat perasaannya akan tetapi tidak mengungkapkannya. Semua dipendam dalam hati,” tulis Sen.
Sepanjang paruh kedua 1970-an dan 1980-an, Dewi hampir selalu memainkan peranan sebagai ibu. Pernah suatu ketika pada 1971, ia mengubah peranannya menjadi tante girang yang dimainkan dalam film Romansa. Pers pun beramai-ramai mencela aktingnya yang tidak sesuai dengan kostum yang dikenakan.
“Dalam film Romansa kita akan menjumpai keganjilan pada tokoh Tante Leila (Chitra Dewi). Karena predikat peran tante yang sudah rada seimbang dengan usia si pelakonnya ini terganggu oleh kostum rok mini setengah paha,” tulis Suara Karya (3/11/1973).
25 September 1971
SEKARANG ini banjak bintang film jang mendjelma mendjadi bukan sadja sutradara, tetapi produser dan masih turut main dalam film jang dibuatnja itu. Misalnja: Sofia WD, Sandy Suwardi, Bambang Irawan, Chitra Dewi dan lainnja lagi. Bahkan tidak djarang mereka djuga mendjadi penulis skript dan menangani skenario djuga. Almarhum Surjo Sumanto pernah merasa kuatir akan luar ini, karena bisa membawa tendensi jang akan memukul film Indonesia sendiri. Tapi toch nama Chitra Dewi akan terpadjang dalam "Penunggang Kuda dari Tjimande" sebagai pemain sampai ke produser. Bagaimana Chitra menjutradarai dirinja sendiri? Sambil tersenjum dia mendjawab: "Minta giliran suami untuk mengawasi permainan saja". Alasannja? Dia mendjawab lagi: "Menghemat, karena harus menjesuaikan dengan uang jang ada".
29 Januari 1977
SETELAH zaman Titien Sumarni, banyak penonton film menggemari Citra Dewi. Berkulit langsat, bertubuh kecil, perempuan asal Cirebon ini pertama kali ditemukan oleh Usmar Ismail almarhum. Waktu itu namanya Dewi Semaun. Semaun adalah suami Citra yang pertama. Waktu itu masih letnan satu CPM. Karena nama Dewi Semaun dirasa kurang afdol, almarhum Usmar kemudian menggantinya jadi Citra Dewi. Main pertama kali sebagai figuran dalam film Tamu Agu,lg (1955), film yang pernah terpilih sebagai film komedi terbaik untuk Asia Tenggara. Tahun 1956, Citra bersama Bambang Hermanto, Mieke Wijaya, Hasan Sanusi, Bambang Irawan dan lainnya, turut kursus bermain yang diselenggarakan Perfini. Tahun-tahun berikutnya, Citra turut bermain dalam Juara 1960, Tiga Dara, Delapan Penjuru Angin, Tiga Buronan, Jenderal Kancil, Asrama Dara, Road to Bali, Pejoang dan film lainnya yang kalau dijumlah tidak kurang dari 27 buah film. Ia gemar menonton sandiwara sejak kecil. Dan waktu di SD, Citra Dewi pernah jadi juara menari Jawa. Pendidikan resminya: SMP. Mungkin karena gemar menari inilah, Citra kemudian terlibat cinta dengan guru tari Balinya: Wayan Supartha. Putus dengan Semaun, Citra dan Supartha kemudian menikah. Tapi pernikahan inipun tampaknya tidak kekal. Meskipun pernah terpilih sebagai peragawati terbaik tahun 1961, sejak 1966, Citra jarang tampil baik di umum maupun di layar putih. Kemudian dia menikah dengan LJN Hoffman. Tahun 1972, suami isteri kemudian mendirikan PT Citra Dewi Film. Beberapa dari hasil produksinya ialah Ratna, Bercinta Dalam Gelap, Penunggang Kuda Dari Cimande, yang konon, disutradarai oleh Citra sendiri. Rupanya film-filmnya tidak mendapat pasaran bagus. "Belum bangkrut", ujar Hoffman tentang perusahaan filmnya ini, "cuma belum berproduksi saja". Suami isteri ini kini sibuk usaha lain. Jual beli rumah. Karena hal inilah, sulit juga mencari alamat di mana mereka tinggal. "Sebab kalau ada yang mau beli rumah yang kami tempati", kata Hoffman, "kami dengan senang hati akan angkat kaki ke rumah lain". Berbicara tentang isterinya yang sekarang usianya telah 43 tahun, berkata Hoffman: "Isteri saya lagi tidak mau diinterviu. Dia lagi malas dipublisir. Nanti sajalah kalau dia main film lagi". Citra, tidak kurus tidak gemuk, rambutnya yang ikal sepundak, kemudian menghilang di balik pintu.
Lewat perusahaannya sendiri, Chitra Dewi Film Production, ia menjadi sutradara dalam film Penunggang Kuda Dari Tjimande (1971), Dara-Dara (1971), Bertjinta dalam Gelap (1971). Selain itu, ia pernah menjadi produser dalam 2 X 24 Djam (1969) dan Samiun dan Dasima (1970).
Meraih Piala Citra untuk aktris pembantu wanita pada FFI 1979, Dalam film Gara-Gara Isteri Muda (1978). Karena Pengabdiannya di dunia film, ia memperoleh Penghargaan Kesetiaan Profesi Pada tahun 1992 dari Dewan Film Nasional. Pernah mendapatkan penghargaan Lifetime Achievement Award 2007 dari Festival Film Bandung (FFB) pada tahun 2007.
Selama berkarir dalam dunia film, ia telah bermain dalam 80 film. Di era sinetron, Chitra tampil sebagai tokoh Ibu Sunarya dalam Sartika (1990), yang dibintangi Dewi Yull. Chitra juga tampil dalam sinetron Sengsara Membawa Nikmat.Chitra Dewi wafat, pada hari Selasa 28 Oktober 2008 di kediamannya Perumahan Puri Flamboyan, Rempoa, Tangerang, Banten. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman Jabang Bayi, Cirebon, Jawa Barat.
Anak Bangsawan yang Main Film
Chitra Dewi bukanlah nama aslinya. Ia terlahir dengan nama Roro Patma Dewi Tjitrohadikusumo. Dari namanya saja sudah dapat diketahui bahwa Dewi masih berdarah bangsawan.
Dewi lahir pada 26 Januari 1934 dari seorang ayah yang masih satu satu garis keturunan dengan Keprabonan Cirebon. Tidak ada satu pun di antara keluarganya yang memiliki ikatan dengan dunia perfilman Indonesia kala itu. Bahkan, menurut penuturan Dewi, keluarganya sempat memandang rendah karier bintang film.
Pada masa itu, stigma yang diterima bintang film tidak berbeda dengan apa yang diterima pemain panggung sandiwara atau anak wayang. Perempuan dianggap tidak pantas menjadikan dirinya sendiri sebagai bahan tontonan atau bahan ledekan orang banyak. Seolah tidak terpengaruh, akhirnya Dewi nekat juga menjajal profesi bintang film.
“Saya ya jadi sedih. Tetapi keadaan ini juga mendorong saya untuk membuktikan bahwa karir ini bisa dititi dengan bersih,” kata Dewi, seperti dikutip Kompas (16/12/1990).
Sejak kecil sebenarnya Dewi sudah penasaran dengan dunia film. Begitu lulus dari SMP, ia diam-diam melamar ke Perusahaan Film Nasional (Perfini) milik Usmar Ismail. Meskipun mengaku tidak memiliki pengetahuan apa-apa di bidang film, toh, nyatanya Dewi berhasil mendapatkan peran kecil di film Tamu Agung.
Nama Pemberian untuk Peran Paling Sulit
Sekitar tahun 1955, Usmar Ismail yang baru kembali dari California untuk belajar sinematografi sedang kepikiran membuat adaptasi film musikal berjudul Tiga Dara. Menurut Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia Jilid 2 (2009: 37-38), Usmar terinspirasi dari film Amerika berjudul Three Smart Girls yang ditontonnya ketika masih menjadi siswa MULO.
Seperti film-filmnya yang terdahulu, Usmar memang selalu ingin mengajak wajah-wajah baru, terutama perempuan untuk berperan dalam filmnya. Hal ini didasari rasa prihatinnya terhadap jumlah pemain film perempuan yang masih sangat sedikit kala itu.
“Biasanya dari ratusan lamaran yang diterima oleh bagian casting yang datang dari kaum hawa tidak lebih dari sepuluh. Dan dari sepuluh itu si sutradara sudah dapat mengucap syukur jika ada satu yang dapat dibawa ke depan kamera,” tulis Usmar dalam kumpulan tulisan Usmar Ismail Mengupas Film (1983: 182).
Agar dapat membuat Tiga Dara, Usmar tidak hanya membutuhkan satu perempuan, tetapi tiga untuk mengisi peranan Nunung, Nana, dan Neny. Begitu melihat Dewi, Usmar pun langsung cocok dan mengajaknya mengisi peranan sebagai Nunung. Rosihan Anwar mendeskripsikan karakter Nunung sebagai perempuan sabar yang rela mengalah untuk tidak menikah karena Nenny, salah satu adik perempuannya, justru menyukai pria yang hendak meminangnya.
Kepribadian seperti itu tampak yang dicari Usmar dalam diri Dewi. Menurutnya, sifat-sifat menarik dari seorang tokoh perempuan tidak hanya dari bentuk tubuh atau mata bundar yang cemerlang, tetapi juga pada “keseluruhan personality yang memaksa orang terpesona.”
Agar dapat memainkan karakter demikian, Dewi mengaku menemui banyak kesulitan. Ia menyebut Nunung sebagai peran paling sulit yang pernah ia mainkan dari seluruh film-filmnya. Menurut Dewi, semua itu terjadi lantaran ia tidak memiliki pengalaman menjadi gadis muda perkotaan yang kebingungan karena terlambat menikah.
“Betul kok, saya kan cuma tamatan SMP. Lagi pula waktu itu saya sudah jadi ibu muda. Sedang perannya harus menjadi seorang gadis yang bisa nyanyi dan menari. Tapi akhirnya saya bisa,” kata Dewi dalam wawancara Majalah Film (No. 83, September 1989).
Dewi memang mengaku menikah di usia yang sangat muda, yakni 16 tahun. Suaminya bernama Raden Samaun, juga berdarah ningrat. Mereka dikaruniai tiga anak laki-laki. Sayang pernikahannya ini kandas tidak lama setelah Dewi mengambil nama panggung Chitra Dewi dan menjadi terkenal berkat Tiga Dara.
Dalam wawancara Sinar Harapan (30/5/1983), Dewi mengakui nama Chitra yang tersemat di depan nama aslinya tidak datang dari buah pikirnya sendiri. Usmar Ismail lah orang yang berjasa memberikan nama panggung itu sebelum memulai Tiga Dara.
“Bahkan nama Chitra Dewi itu sendiri dari pak Usmar Ismail. Entah dari mana, saya tinggal menerima saja. Waktu beliau masih hidup saya tak sempat tanya,” terangnya.
Citra Perempuan Ideal
Misbach Yusa Biran dalam Peran Pemuda dalam Kebangkitan Film Indonesia (2009: 152) menggambarkan Tiga Dara sebagai film hiburan ringan yang punya kapasitas interaksi dengan penonton. Selain dipenuhi lagu-lagu gembira karya Ismail Marzuki yang dilantunkan oleh pemain-pemain baru berwajah segar, film ini juga dianggap berhasil menampilkan citra perempuan ideal.
Pendapat itu secara khusus dilontarkan Misbach kepada sosok Chitra Dewi yang “dianggap mewakili wanita Indonesia yang ideal, lembut dan pemalu.” Sosok Dewi yang sederhana dan pemalu ini seolah dibenarkan oleh penampakan wajah bulat Dewi yang jauh dari kesan make-up tebal, rambut yang senantiasa tersanggul rapi, dan selalu tampil dalam balutan kebaya.
Di bawah Perfini, peranan-peranan yang dimainkan Chitra Dewi memang tidak pernah jauh dari citra perempuan yang lemah lembut. Dalam Djenderal Kantjil, ia membawakan peranan ibu yang bijaksana. Sementara dalam Pak Prawiro, Dewi kembali memainkan istri yang berperangai baik. Kedua film tersebut dirilis pada 1958.
Dewi terus bekerja sama dengan Usmar Ismail sampai sekitar tahun 1960. Film terakhirnya di bawah Perfini merupakan film berlatar Revolusi Indonesia berjudul Pedjuang. Meskipun hanya mengisi peran pembantu, permainan akting Dewi sebagai perempuan melankolis yang menanti kekasihnya kembali dari medan perang ini disebut-sebut menjadi salah satu yang terbaik.
Sepanjang kariernya yang terus meroket sepanjang 1960-an, peranan yang dibawakan Dewi hampir tidak berubah. Pada 1969 Dewi mendapat peran utama dalam film Nji Ronggeng produksi Dewan Produksi Film Nasional (DPFN) yang masih tergolong perusahaan film milik negara. Krishna Sen dalam artikel “Wajah Wanita dalam Filem Indonesia: Beberapa Catatan” yang dimuat di majalah Prisma No. 7 (Juli 1981), menyebut film ini tidak ubahnya film-film Orde Baru yang gemar mengemukakan citra perempuan ideal.
“Perempuan ideal dalam film-film itu pertama-tama pasif, menderita tanpa protes, kuat perasaannya akan tetapi tidak mengungkapkannya. Semua dipendam dalam hati,” tulis Sen.
Sepanjang paruh kedua 1970-an dan 1980-an, Dewi hampir selalu memainkan peranan sebagai ibu. Pernah suatu ketika pada 1971, ia mengubah peranannya menjadi tante girang yang dimainkan dalam film Romansa. Pers pun beramai-ramai mencela aktingnya yang tidak sesuai dengan kostum yang dikenakan.
“Dalam film Romansa kita akan menjumpai keganjilan pada tokoh Tante Leila (Chitra Dewi). Karena predikat peran tante yang sudah rada seimbang dengan usia si pelakonnya ini terganggu oleh kostum rok mini setengah paha,” tulis Suara Karya (3/11/1973).
25 September 1971
SEKARANG ini banjak bintang film jang mendjelma mendjadi bukan sadja sutradara, tetapi produser dan masih turut main dalam film jang dibuatnja itu. Misalnja: Sofia WD, Sandy Suwardi, Bambang Irawan, Chitra Dewi dan lainnja lagi. Bahkan tidak djarang mereka djuga mendjadi penulis skript dan menangani skenario djuga. Almarhum Surjo Sumanto pernah merasa kuatir akan luar ini, karena bisa membawa tendensi jang akan memukul film Indonesia sendiri. Tapi toch nama Chitra Dewi akan terpadjang dalam "Penunggang Kuda dari Tjimande" sebagai pemain sampai ke produser. Bagaimana Chitra menjutradarai dirinja sendiri? Sambil tersenjum dia mendjawab: "Minta giliran suami untuk mengawasi permainan saja". Alasannja? Dia mendjawab lagi: "Menghemat, karena harus menjesuaikan dengan uang jang ada".
29 Januari 1977
SETELAH zaman Titien Sumarni, banyak penonton film menggemari Citra Dewi. Berkulit langsat, bertubuh kecil, perempuan asal Cirebon ini pertama kali ditemukan oleh Usmar Ismail almarhum. Waktu itu namanya Dewi Semaun. Semaun adalah suami Citra yang pertama. Waktu itu masih letnan satu CPM. Karena nama Dewi Semaun dirasa kurang afdol, almarhum Usmar kemudian menggantinya jadi Citra Dewi. Main pertama kali sebagai figuran dalam film Tamu Agu,lg (1955), film yang pernah terpilih sebagai film komedi terbaik untuk Asia Tenggara. Tahun 1956, Citra bersama Bambang Hermanto, Mieke Wijaya, Hasan Sanusi, Bambang Irawan dan lainnya, turut kursus bermain yang diselenggarakan Perfini. Tahun-tahun berikutnya, Citra turut bermain dalam Juara 1960, Tiga Dara, Delapan Penjuru Angin, Tiga Buronan, Jenderal Kancil, Asrama Dara, Road to Bali, Pejoang dan film lainnya yang kalau dijumlah tidak kurang dari 27 buah film. Ia gemar menonton sandiwara sejak kecil. Dan waktu di SD, Citra Dewi pernah jadi juara menari Jawa. Pendidikan resminya: SMP. Mungkin karena gemar menari inilah, Citra kemudian terlibat cinta dengan guru tari Balinya: Wayan Supartha. Putus dengan Semaun, Citra dan Supartha kemudian menikah. Tapi pernikahan inipun tampaknya tidak kekal. Meskipun pernah terpilih sebagai peragawati terbaik tahun 1961, sejak 1966, Citra jarang tampil baik di umum maupun di layar putih. Kemudian dia menikah dengan LJN Hoffman. Tahun 1972, suami isteri kemudian mendirikan PT Citra Dewi Film. Beberapa dari hasil produksinya ialah Ratna, Bercinta Dalam Gelap, Penunggang Kuda Dari Cimande, yang konon, disutradarai oleh Citra sendiri. Rupanya film-filmnya tidak mendapat pasaran bagus. "Belum bangkrut", ujar Hoffman tentang perusahaan filmnya ini, "cuma belum berproduksi saja". Suami isteri ini kini sibuk usaha lain. Jual beli rumah. Karena hal inilah, sulit juga mencari alamat di mana mereka tinggal. "Sebab kalau ada yang mau beli rumah yang kami tempati", kata Hoffman, "kami dengan senang hati akan angkat kaki ke rumah lain". Berbicara tentang isterinya yang sekarang usianya telah 43 tahun, berkata Hoffman: "Isteri saya lagi tidak mau diinterviu. Dia lagi malas dipublisir. Nanti sajalah kalau dia main film lagi". Citra, tidak kurus tidak gemuk, rambutnya yang ikal sepundak, kemudian menghilang di balik pintu.
DARAH NELAJAN | 1965 | HASMANAN | Actor | |
DJUARA 1960 | 1956 | NYA ABBAS AKUP | Actor | |
MENDUNG TAK SELAMANYA KELABU | 1982 | LUKMANTORO DS | Actor | |
BERTJINTA DALAM GELAP | 1971 | CHITRA DEWI | Director | |
BING SLAMET MERANTAU | 1962 | RIDWAN NASUTION | Actor | |
SEKUNTUM MAWAR PUTIH | 1981 | MOCHTAR SOEMODIMEDJO | Actor | |
HABIS GELAP TERBITLAH TERANG | 1959 | HO AH LOKE | Actor | |
PEDJUANG | 1960 | USMAR ISMAIL | Actor | |
BEGADANG | 1978 | MAMAN FIRMANSJAH | Actor | |
PENDEKAR BUKIT TENGKORAK | 1987 | PITRAJAYA BURNAMA | Actor | |
TERMINAL TERAKHIR | 1977 | DJAMAL HARPUTRA | Actor | |
CINTAKU DI WAY KAMBAS | 1990 | IWAN WAHAB | Actor | |
YOAN | 1977 | NICO PELAMONIA | Actor | |
ALI BABA | 1974 | ISHAK SUHAYA | Actor | |
TERMINAL CINTA | 1977 | ABRAR SIREGAR | Actor | |
SEBENING KACA | 1985 | IRWINSYAH | Actor | |
KADARWATI | 1983 | SOPHAN SOPHIAAN | Actor | |
TJITA-TJITA AJAH | 1959 | WAHYU SIHOMBING | Actor | |
KABUT SUTRA UNGU | 1979 | SJUMAN DJAYA | Actor | |
TAMU AGUNG | 1955 | USMAR ISMAIL | Actor | |
PENGANTIN REMAJA | 1991 | WIM UMBOH | Actor | |
DELAPAN PENDJURU ANGIN | 1957 | USMAR ISMAIL | Actor | |
RATU-RATU RUMAH TANGGA | 1960 | SJAHRIL GANI | Actor | |
SI PITUNG BERAKSI KEMBALI | 1981 | LIE SOEN BOK | Actor | |
ATENG BIKIN PUSING | 1977 | HASMANAN | Actor | |
LEMBAH HIDJAU | 1963 | HASMANAN | Actor | |
TAKDIR MARINA | 1986 | WAHAB ABDI | Actor | |
SAYANGILAH DAKU | 1974 | MOTINGGO BOESJE | Actor | |
PENUNGGANG KUDA DARI TJIMANDE | 1971 | CHITRA DEWI | Actor Director | |
HOLIDAY IN BALI | 1962 | TONY CAYADO | Actor | |
RATNA | 1971 | HASMANAN | Actor | |
GANASNYA NAFSU | 1976 | TURINO DJUNAIDY | Actor | |
PENDANG ULUNG | 1993 | TOMMY BURNAMA | Actor | |
SEMUSIM LALU | 1964 | HASMANAN | Actor | |
PERJUANGAN DAN DOA | 1980 | MAMAN FIRMANSJAH | Actor | |
RUMPUT-RUMPUT YANG BERGOYANG | 1983 | SUSILO SWD | Actor | |
MENCARI CINTA | 1979 | BOBBY SANDY | Actor | |
BULAN DI ATAS KUBURAN | 1973 | ASRUL SANI | Actor | |
GARA-GARA ISTRI MUDA | 1977 | WAHYU SIHOMBING | Actor | |
SAUR SEPUH | 1988 | IMAM TANTOWI | Actor | |
SUSTER MARIA | 1974 | S.A. KARIM | Actor | |
BUNGA PUTIH | 1966 | HASMANAN | Actor | |
BUNGA ROOS | 1975 | FRED YOUNG | Actor | |
RHOMA IRAMA BERKELANA I | 1978 | YUNG INDRAJAYA | Actor | |
RHOMA IRAMA BERKELANA II | 1978 | YUNG INDRAJAYA | Actor | |
SAMIUN DAN DASIMA | 1970 | HASMANAN | Actor | |
AKU MAU HIDUP | 1974 | REMPO URIP | Actor | |
DJUMPA DIPERJALANAN | 1961 | WIM UMBOH | Actor | |
BAWALAH AKU PERGI | 1982 | M.T. RISYAF | Actor | |
PAK PRAWIRO | 1958 | D. DJAJAKUSUMA | Actor | |
SEMAU GUE | 1977 | ARIZAL | Actor | |
TIGA BURONAN | 1957 | NYA ABBAS AKUP | Actor | |
TIGA DARA | 1956 | USMAR ISMAIL | Actor | |
DUO KRIBO | 1977 | EDUART P. SIRAIT | Actor | |
TAK TERDUGA | 1960 | L. INATA | Actor | |
BOBBY | 1974 | FRITZ G. SCHADT | Actor | |
HIDUP, TJINTA DAN AIR MATA | 1970 | M. SHARIEFFUDIN A | Actor | |
BELAS KASIH | 1973 | BAMBANG IRAWAN | Actor | |
KEMELUT HIDUP | 1977 | ASRUL SANI | Actor | |
KUNANTI DJAWABMU | 1964 | WIM UMBOH | Actor | |
DARA-DARA | 1971 | CHITRA DEWI | Director | |
PRAHARA | 1974 | NICO PELAMONIA | Actor | |
2 X 24 DJAM | 1967 | DANU UMBARA | Actor | |
MELATI DIBALIK TERALI | 1961 | KOTOT SUKARDI | Actor | |
MELATI DIBALIK TERALI | 1961 | KOTOT SUKARDI | Actor | |
RIO SANG JUARA | 1989 | MUCHLIS RAYA | Actor | |
PUTRI SOLO | 1974 | FRED YOUNG | Actor | |
GADIS KAMPUS | 1979 | ISHAQ ISKANDAR | Actor | |
RAHASIA SEORANG IBU | 1977 | WAHYU SIHOMBING | Actor | |
CHICHA | 1976 | EDUART P. SIRAIT | Actor | |
DJENDRAI KANTJIL | 1958 | NYA ABBAS AKUP | Actor | |
REMAJA-REMAJA | 1979 | ARIZAL | Actor | |
AMALIA S.H. | 1981 | BOBBY SANDY | Actor | |
JURUS DEWA NAGA | 1989 | S.A. KARIM | Actor | |
BUKAN IMPIAN SEMUSIM | 1981 | AMI PRIJONO | Actor | |
ROMANSA | 1970 | HASMANAN | Actor | |
ASRAMA DARA | 1958 | USMAR ISMAIL | Actor | |
SIMPHONY YANG INDAH | 1981 | PITRAJAYA BURNAMA | Actor | |
SI RONDA MACAN BETAWI | 1978 | FRITZ G. SCHADT | Actor | |
NJI RONGGENG | 1969 | ALAM SURAWIDJAJA | Actor | |
PENGORABANAN | 1974 | SUSILO SWD | Actor | |
GITA TARUNA | 1966 | PITRAJAYA BURNAMA | Actor | |
MARIA, MARIA, MARIA | 1974 | HASMANAN | Actor |