Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri BERNAFAS DALAM LUMPUR. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri BERNAFAS DALAM LUMPUR. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 Februari 2011

KRISIS X / 1975

KRISIS X
 

Ada keinginan sutradara untuk membeberkan keboborakan moral dalam masyarakat, tapi yang muncul adalah pameran keboborakan itu. Dua orang yang sedang bermesra di suatu tempat tiba-tiba diberondong tembakan. Dengan tenang si pelaku meninggalkan tempat kejadian dan mencari sasaran berikutnya. Begitulah pula yang terjadi pada dua pemuda berandal yang sedang memperkosa penjual jamu atau seorang bapak sedang memadu kasih dengan isteri orang. Ada pembunuh berdarah dingin yang seolah ingin menegakkan moral, meski kelakuannya sendiri tidak bermoral. Sementara itu polisi sedang berusaha menggulung sebuah sindikat narkotik. Begitu juga si pembunuh misterius itu. Terjadi pertempuran segitiga. Sindikat narkotik maupun kelompok penegak moral tadi dilumpuhkan. Komandan polisi yang melakukan operasi terkejut ketika melihat bahwa yang membunuh tadi adalah adiknya sendiri.
 
 
07 Februari 1976
Film itu dilarang sensor, dan ...
10 Januari yang lalu. Ketua Badan Sensor Film (BSF) menulis surat hepada Turino Junaidy, Direktur P.T. Sarinande Film di Jakarta. "Dengan ini kami beritahukan bahwa BSF dalam sidang plenonya hari ini untuk menilai film Krisis X yang diproduksi oleh Saudara telah memutuskan untuk melarang film tersebut dipertunjukkan kepada umum . . . ", begitu Soemarmo memulai suratnya. Bukan tanpa alasan keputusan tersebut. Ini alasan di balik keputusan itu: 'Film ini dapat memberi pengaruh negatif terhadap masyarakat dari segi: a. keamanan dan ketertiban masyarakat yang menyangkut penggunaan senjata api dan pembunuhan secara sewenang-wenang oleh anak-anak muda, dan kritik-kritik yang dapat merangsang timbulnya gejolak sosial b. moral yang menyangkut penggambaran adegan-adegan dan dialog yang menyinggung perasaan susila dan kesopanan Timur". Dan film itu hanya bisa diizinkan beredar kalau pemiliknya mau melakukan revisi. 'Kalau film asing sih, kita tolak saja, beres. Tapi ini modal dalan negeri, kasian kan?", begitu seorang anggota BSF memberi komentar. Turino jelas tidak langsung menerima begitu saja putusan orang-orang yang berkumpul dan bersidang di bioskop kecil jalan Agussalim itu. 

Dua puluh empat jam setelah menerima surat dari ketua LSF, Soemarmo, Turino pun mengirimkan balasannya. Jauh lebih panjang dari surat yang harus dijawabnya, pemilik Sarinande Film dan memulai suratnya dengan janji memberi kehormatan kepada surat Soemarmo untuk diberi "bingkai dan disimpan di sinematek Pusat Perfilman Nasional sebagai suatu peristiwa penting dalam sejarah film Indonesia". Tidak lupa Turino juga berkisah tentang kehidupannya sebagai orang film selama 17 tahun terakhir dan "selama itu alhamdulillah film-film yang saya buat belum pernah dijatuhi hukuman mati seperti sekarang" Sudah harus dipastikan bahwa lewat surat yang lumayan panjangnya itu Turino akan mencoba membela filmnya. Sebab dengan menerima begitu saja keputusan BSF berarti sejumlah uang harus ia keluarkan untuk revisi. "Saya kira adegan-adegan yang ada dalam Krisis X itu belum seberapa kalau dibandingkan dengan adegan-adegan yang ada dalam film Barat", kata Turino. Bahkan menurut Turino, adegan-adegan yang ia tampilkan dulu (1970) dalam film Bernafsu Dalam Lumpur lebih berani dari pada dalam film terbaru yang lagi naas itu. Tanya Turino: "Kenapa Bernafas Dalam Lumpur bisa lolos dan Krisis X tidak?". Jawab A. Karim, anggota BSF: "Film ini terlalu obral senjata api, dan ini menunjukkan betapa mudahnya orang main hakim sendiri". Sembari berkata demikian, Karim yang menjadi anggota BSF sejak belasan tahun silam, tidak lupa pula memuji tema pilihan Turino itu. "Sayangnya tema yang baik terasa hanya menyelimuti keseluruhan film, sehingga tidak ada keseimbangan antara isi dan penyampaiannya", tambah Karim pula. Kebobrokan Turino Junaidy bukan tidak punya jawaban terhadap argumentasi Karim. 

Tapi debat yang timbul dari jawaban itu akhirnya toh sama saja dengan debat-debat yang dulu berputar di sekitar keputusan BSF untuk juga melarang peredaran (sebelum direvisi) film-film Manusia Tera*hir, Akhir Cinta Di Atas Bukit dan Mimpi Sedih. Si pembuat film merasa menggambarkan kebobrokan dalam masyarakat, BSF berkesimpulan bahwa penggambaran itu tidak proporsionil terlalu dilebih-lebihkan. Karena itu lebih baik kita dengar alasan Turino membuat film yang kabarnya cukup "berani" itu. "Melihat gejala-gejala yang akan melumpuhkan kembali industri film nasional, saya menjadi cemas, lebih cemas dari pada di tahun 1970", tulis Turino dalam suratnya. Seperti sudah bisa diduga, yang menjadi sumber kecemasn tokoh kita ini adalah film-film impor itu. "Sekarang film-film demikian diperbolehkan masuk ke negeri ini, dan film-film itu umumnya dibuat oleh orang-orang yang berkesusilaan Timur seperti Hongkong, Pilipina, Jepang, Korea dan Taiwan ...". Sembari merenung dan mereka-reka kemungkinan bersaing dengan film impor yang terus membanjiri pasaran Indonesia, Turino tiba pada pertanyaan ini: "Mampukah film-film komedi konyol dan percintaan cengeng merebut selera penonton yang tlah rusak, dirusakkan oleh film-film luar negeri?" Pertanyaan Turino lewat surat ini mengejutkan seorang anggota BSF. "Lho, apa Turino mengira bahwa film yang kita loloskan di sini semua film-film sex bunuh-bunuhan serta segala macam kekasaran?" Menurut anggota yang segan namanya masuk koran itu, kesalahan terbesar yang dilakukan Turino bersumber pada seleranya sendiri yang cuma sanggup berkelahi dengan film murah yang masuk kemari dan pura-pura tidak tahu danya sejumlah film bermutu yang juga beredar di Indonesia. "Kok yang dijadikan ukuran yang konyol-konyol dari Hongkong, kenapa tidak film-film Perancis yang halus dengan ongkos pembuatan yang juga tidak mahal" Debat macam ini bisa tidak habis sampai tua. Yang jelas Turino risau lantaran koceknya -- dan katakanlah juga kehendaknya bekerja -- terancam. 

Tapi sebelum semuanya terlanjur, kabarnya peringatan halus sudah pula sampai ke kantor PT Sarinande. Ini komentar Haji Djohardin, Direktur Pembinaan Film Deppen: "Kalau Sarinande mau mendengarkan saran kami dengan meninjau kembali soal porno dan adegan yang menyinggung pemerintahan, saya kira BSF akan meloloskannya". Alasannya, pak? "Yah, karena adegan yang demikian itu belum cocok dengan kondisi masyarakat kita", jawab Djohardin. Turino boleh mengungkapkan segala perjuangannya dalam dunia film selama 17 tahun dan bahwa "perusahaan milik pribumi 100 persen ini tidak memiliki modal kuat, seluruhnya sudah tertanam dalam film Krisis X", tapi kalau itu dinilai oleh yang berkuasa sebagai "belum cocok dengan kondisi masyarakat", yah, apa boleh buat. Dan Turino pun tahu diri, karena itu film yang sudah ia revisi kini dikembalikannya lagi ke BSF. "Kalau ini juga gagal, terpaksa saya mulai dari bawah lagi", pasrah Turino. Harap dicatat bahwa kata "dari bawah" di sini tidak lalu berarti mulai kumpul uang dari sana-sini. Sebab selain bonafide, Sarinande adalah satu-satunya perusahaan film Indonesia yang mempunyai peralatan paling lengkap, dan lantaran itu antara lain maka biaya produksinya selalu berhasil ditekan amat rendah.

Sabtu, 04 Juli 2020

ROEKIAH 1937-1944



Roekiah; 1917–1945, sering ditulis sebagai Miss Roekiah,
adalah aktris dan penyanyi keroncong Indonesia. Seorang putri dari pasangan pemain sandiwara, ia memulai kariernya pada usia tujuh tahun; pada tahun 1932 ia terkenal di Batavia, Hindia Belanda (kini Jakarta, Indonesia), sebagai penyanyi dan pemain sandiwara. Pada masa ini, ia bertemu dengan Kartolo, yang ia nikahi pada tahun 1934. Pasangan ini bermain dalam film Terang Boelan pada tahun 1937. Dalam film tersebut, Roekiah dan Rd Mochtar berperan sebagai sepasang kekasih.

Setelah film tersebut sukses secara komersial, Roekiah, Kartolo, dan sebagian besar pemeran dan kru Terang Boelan dikontrak oleh Tan's Film, dan pertama kali bermain dalam film Fatima yang diproduksi oleh perusahaan tersebut pada tahun 1938. Roekiah dan Mochtar kembali beradu akting dalam dua film sebelum Mochtar hengkang dari Tan's Film pada tahun 1940; melalui film-film ini, Roekiah dan Mochtar menjadi pasangan layar lebar pertama di Hindia Belanda. Pengganti Mochtar, Rd Djoemala, beradu akting dengan Roekiah dalam empat film, meskipun film-film tersebut tidak begitu sukses. Setelah Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942, Roekiah hanya bermain dalam satu film menjelang kematiannya; sebagian besar waktunya ia habiskan untuk menghibur para tentara Jepang.

Semasa hidupnya, Roekiah adalah seorang ikon mode dan kecantikan, penampilannya dalam sejumlah iklan dan lukisan kerap dibandingkan dengan Dorothy Lamour dan Janet Gaynor. Meskipun sebagian besar film-film yang ia bintangi saat ini sudah hilang, ia tetap dikatakan sebagai seorang pelopor perfilman, dan sebuah artikel tahun 1969 menyatakan bahwa "pada zamannya [Roekiah] telah mencapai suatu popularitas yang boleh dikatakan sampai sekarang belum ada bandingannya". Dari kelima anaknya dengan Kartolo, salah satunya – Rachmat Kartolo – juga berkecimpung di dunia akting.

Roekiah lahir di Bandung, Jawa Barat, Hindia Belanda, pada tahun 1917, putri dari pasangan Muhammad Ali dan Ningsih, pemain sandiwara pada rombongan Opera Poesi Indra Bangsawan Ali berasal dari Belitung, sedangkan Ningsih berdarah Sunda dan berasal dari Cianjur.[3] Selain belajar akting dari kedua orang tuanya, Roekiah juga belajar kerajinan tangan bersama para anggota rombongan lainnya. Roekiah dan kedua orang tuanya terus-terusan bepergian, sehingga Roekiah tidak mempunyai waktu untuk menempuh pendidikan formal. Pada pertengahan 1920-an, mereka bergabung dengan rombongan sandiwara lain bernama Opera Rochani.

Meskipun ditentang oleh keluarganya, Roekiah bersikeras ingin ikut serta main sandiwara, dan meminta izin pada ibunya untuk tampil di atas panggung. Ningsih setuju, dengan syarat ia hanya diperbolehkan tampil sekali. Saat berusia tujuh tahun, Roekiah tampil di panggung untuk pertama kalinya, Muhammad Ali – yang tidak mengetahui perjanjian antara istri dan putrinya – bergegas ke atas panggung dan menyuruh Roekiah agar berhenti bernyanyi. Akibatnya, Roekiah menolak makan sampai kedua orang tuanya akhirnya mengalah. Setelah itu, Roekiah tampil secara rutin bersama rombongan sandiwara.

Pada tahun 1932, saat bergabung dengan Palestina Opera di Batavia (kini Jakarta), Roekiah berhasil menjadi seorang aktris sandiwara dan penyanyi keroncong terkenal. Ia dikagumi tidak hanya karena suaranya, tetapi juga karena kecantikannya. Saat bersama Palestina Opera, ia bertemu dengan calon suaminya, Kartolo; seorang aktor, pianis, dan penulis lagu dalam rombongan. Mereka berdua menikah saat Roekiah berusia tujuh belas tahun. Pasangan baru ini mengambil cuti selama sebulan dan kemudian bergabung dengan grup Faroka untuk menjalani tur di Singapura, dan kembali ke Hindia Belanda pada tahun 1936.

Pada tahun 1937, Roekiah bermain film untuk pertama kalinya dengan berperan sebagai aktris utama dalam film Terang Boelan karya Albert Balink. Ia dan lawan mainnya, Rd Mochtar, berperan sebagai sepasang kekasih yang kawin lari agar karakter Roekiah tidak dinikahi oleh seorang penyelundup opium Kartolo juga memiliki peran kecil. Film ini sukses secara komersial, meraup lebih dari 200.000 Dolar Selat saat dirilis secara internasional sejarawan film Indonesia, Misbach Yusa Biran, menyebut Roekiah sebagai "dinamit" yang menyebabkan kesuksesan film.

Setelah kesuksesan Terang Boelan, Algemeen Nederlandsch Indisch Filmsyndicaat yang memproduksi film tersebut memutuskan untuk berhenti memproduksi film fiksi. Menurut wartawan W. Imong, akibat tidak memiliki pekerjaan dan depresi setelah kematian ibunya, Roekiah "suka diam-diam, bermenung-menung sebagai seorang yang mengandung sakit jiwa". Untuk mengalihkan perhatian istrinya, Kartolo mengumpulkan para pemeran Terang Boelan lainnya dan mendirikan Terang Boelan Troupe. Grup ini menggelar tur ke Singapura dan akhirnya berhasil membuat Roekiah melupakan kesedihannya. Setelah rombongan ini kembali ke Hindia Belanda, sebagian besar pemeran bergabung dengan Tan's Film termasuk Roekiah dan Kartolo; pasangan ini juga bergabung dengan grup musik keroncong Lief Java.

Bersama Tan's Film, para pemeran Terang Boelan bermain dalam film sukses Fatima pada tahun 1938, yang dibintangi oleh Roekiah dan Rd Mochtar. Dalam film ini, Roekiah memainkan peran utama – seorang gadis muda yang menolak rayuan seorang pemimpin geng karena jatuh cinta pada seorang nelayan (Rd Mochtar). Fatima secara teliti mengikuti pola produksi yang diterapkan pada Terang Boelan. Akting Roekiah dalam film ini dipuji secara luas. Salah seorang pengulas dari Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië menulis bahwa "pemeranan Roekiah yang sederhana mengenai ketidakadilan dalam pernikahan adat Melayu bahkan telah memikat para penonton Eropa", sedangkan pengulas lainnya dari Bataviaasch Nieuwsblad menyatakan bahwa penampilan Roekiah diapresiasi oleh semua orang.

Fatima sukses besar secara komersial; dengan anggaran 7.000 gulden, film ini berhasil meraup 200.000 gulden. Setelah kesuksesan film ini, Tan's terus memasangkan Roekiah dan Rd Mochtar dalam film-filmnya. Mereka berdua menjadi pasangan selebriti layar lebar pertama di Hindia Belanda, dan dijuluki dengan Charles Farrell–Janet Gaynor Indonesia. Kepopuleran Roekiah-Rd Mochtar sebagai pasangan layar lebar menyebabkan studio-studio lainnya mengikuti jejak Tan's dengan membentuk pasangan romantis ciptaan mereka sendiri. The Teng Chun misalnya, memasangkan Mohamad Mochtar dan Hadidjah dalam film Alang-Alang pada tahun 1939.

Untuk mempertahankan bintang baru mereka, Tan's Film menghabiskan uang dalam jumlah besar. Roekiah dan Kartolo menerima gaji bulanan sebesar 150 dan 50 gulden masing-masingnya, dua kali lebih besar dari honor yang mereka terima saat bermain Terang Boelan. Mereka berdua juga diberi sebuah rumah di Tanah Rendah, Batavia. Roekiah dan Kartolo terus bermain dalam film-film produksi Tan's; Kartolo sering diberi peran-peran kecil dan komedi, sedangkan Roekiah menyanyikan lagu-lagu yang ditulis oleh suaminya. Pada tahun 1939, mereka bermain film bersama, dengan Rd Mochtar berperan sebagai pasangan Roekiah, yakni dalam film Gagak Item yang terinspirasi dari cerita Zorro. Meskipun tidak sesukses film-film sebelumnya, film ini masih menguntungkan. Seorang pengulas dari Bataviaasch Nieuwsblad memuji akting Roekiah yang "bersungguh-sungguh".

Film terakhir Roekiah bersama Rd Mochtar adalah Siti Akbari, yang dirilis pada tahun 1940. Cerita film ini kemungkinan terinspirasi dari syair berjudul sama karya Lie Kim Hok, dan menampilkan Roekiah sebagai pemeran utama. Filmnya sendiri mengisahkan mengenai seorang istri teraniaya yang tetap setia kepada suaminya meskipun ia telah berselingkuh. Siti Akbari diterima dengan baik, memperoleh pendapatan sebesar 1.000 gulden pada malam pertama pemutarannya di Surabaya, meskipun pada akhirnya tidak berhasil meraup keuntungan yang setara dengan Terang Boelan atau Fatima.

Ditengah-tengah perselisihan mengenai upah, Rd Mochtar keluar dari Tan's Film dan bergabung dengan pesaingnya, Populair Films, pada tahun 1940. Oleh sebab itu, Tan's mulai mencari pasangan baru untuk Roekiah. Kartolo meminta seorang kenalannya, pengusaha jahitan bernama Ismail Djoemala, untuk menjadi lawan main baru bagi Roekiah. Meskipun Djoemala tidak pernah berakting sebelumnya, ia telah bernyanyi bersama grup Malay Pemoeda pada tahun 1929. Setelah Kartolo memintanya enam kali, Djoemala akhirnya setuju. Perusahaan menganggap bahwa Djoemala yang rupawan dan berperawakan tinggi adalah pengganti yang cocok dan mempekerjakannya dengan nama panggung Djoemala.

Roekiah dan Djoemala pertama kali beradu akting dalam film Sorga Ka Toedjoe pada akhir 1940. Dalam film ini, Roekiah berperan sebagai seorang gadis muda yang dengan bantuan kekasihnya mampu mempersatukan kembali bibinya yang buta (Annie Landouw) dengan suaminya (Kartolo) setelah bertahun-tahun berpisah Seperti film-film sebelumnya, film ini juga sukses secara komersial dengan ulasan yang positif. Soerabaijasch Handelsblad berpendapat bahwa Djoemala berakting sebaik, jika tidak lebih baik dari Rd Mochtar. Ulasan lainnya di Singapore Free Press menulis bahwa "Roekiah memainkan peran pahlawan wanita dalam cara yang paling terpuji". Bulan April tahun berikutnya, Tan's merilis Roekihati, dibintangi oleh Roekiah yang berperan sebagai gadis muda yang pergi ke kota demi mencari uang untuk keluarganya yang melarat, dan akhirnya menikah. Penampilannya dalam film ini dipuji oleh Bataviaasch Nieuwsblad, yang menulis bahwa ia berhasil dengan baik memerankan peran yang sulit.

Pada tahun 1941, Roekiah dan Djoemala menyelesaikan Poesaka Terpendam, film aksi yang mengisahkan mengenai dua kelompok – ahli waris yang sah (termasuk Roekiah) dan segerombolan penjahat – yang berlomba menemukan harta karun terpendam di Banten. Roekiah dan Djoemala terakhir kali bermain bersama dalam film Koeda Sembrani pada awal 1942. Dalam film tersebut, yang diadaptasi dari Kisah Seribu Satu Malam, Roekiah berperan sebagai Putri Shams al-Nahar yang menunggangi seekor kuda terbang.[34] Film ini masih belum rampung ketika Jepang menduduki Hindia Belanda pada bulan Maret 1942, dan baru ditayangkan pada bulan Oktober 1943.

Secara keseluruhan, Roekiah dan Djoemala telah bermain dalam empat film dalam dua tahun. Biran berpendapat hal ini membuktikan bahwa Tan's Film telah "menyia-nyiakan hartanya", karena pesaingnya memanfaatkan bintang-bintangnya untuk bermain dalam lebih banyak film; Java Industrial Film misalnya, pada tahun 1941 saja mampu memproduksi enam film yang dibintangi oleh Moh. Mochtar. Meskipun terus sukses secara komersial, film-film tersebut masih belum mampu menghasilkan keuntungan sebesar yang dihasilkan oleh film-film Roekiah sebelumnya.

Produksi film di Hindia Belanda menurun setelah pendudukan Jepang pada awal 1942; penguasa Jepang memaksa untuk menutup semua, kecuali satu, studio film. Jepang membuka studio film milik mereka sendiri di Hindia Belanda bernama Nippon Eigasha, yang ditugaskan memproduksi film-film propaganda untuk kepentingan perang. Tanpa Roekiah, Kartolo bermain dalam film satu-satunya yang diproduksi oleh studio tersebut, Berdjoang, pada tahun 1943. Setelah absen selama beberapa tahun, Roekiah juga bermain dalam film produksi Nippon dengan membintangi sebuah film pendek propaganda Jepang berjudul Ke Seberang pada tahun 1944. Meskipun demikian, Roekiah menghabiskan sebagian besar waktunya dengan berpergian ke seluruh Jawa bersama perusahaan teater untuk menghibur para tentara Jepang.

Roekiah jatuh sakit pada bulan Februari 1945, tak lama setelah merampungkan film Ke Seberang. Meskipun sedang sakit, juga keguguran, ia tidak diperbolehkan beristirahat; tentara Jepang bersikeras bahwa ia dan Kartolo harus menjalani tur ke Surabaya, Jawa Timur. Sekembalinya ke Jakarta, kondisinya semakin memburuk. Setelah menjalani pengobatan selama beberapa bulan, ia meninggal dunia tak lama setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945. Roekiah dikebumikan di Kober Hulu, Jatinegara, Jakarta. Pemakamannya dihadiri oleh sejumlah tokoh, termasuk Menteri Pendidikan Ki Hadjar Dewantara.

Roekiah berkata bahwa Kartolo adalah pasangan yang tepat baginya, mengungkapkan bahwa pernikahannya mendatangkan "banyak rezeki". Pasangan ini dikaruniai lima anak. Sepeninggal Roekiah, Kartolo membawa kelima anaknya ke kampung halamannya di Yogyakarta. Untuk menafkahi keluarga, Kartolo bekerja di Radio Republik Indonesia sejak tahun 1946. Di sana, ia melewati Revolusi Nasional Indonesia yang sedang berlangsung, konflik bersenjata dan perjuangan diplomatik antara Indonesia yang baru merdeka dengan Kerajaan Belanda yang bertujuan untuk meraih pengakuan internasional atas kemerdekaan Indonesia. Setelah Belanda melancarkan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948 dan berhasil merebut Yogyakarta, Kartolo menolak bekerja sama dengan penjajah. Tanpa adanya sumber penghasilan, ia jatuh sakit dan meninggal dunia pada tanggal 18 Januari 1949.

Salah seorang anak Roekiah dan Kartolo meninggal di Yogyakarta saat berusia sepuluh tahun. Anak yang selebihnya dibawa ke Jakarta setelah Revolusi Nasional Indonesia berakhir pada tahun 1950. Di Jakarta, mereka dirawat oleh teman dekat Kartolo bernama Adikarso. Salah seorang anak mereka, Rachmat Kartolo, kelak menjadi penyanyi dan aktor yang aktif pada tahun 1970-an, ia dikenal atas lagu-lagu seperti "Patah Hati" dan film-film seperti Matjan Kemajoran (1965) dan Bernafas dalam Lumpur (1970). Dua putra mereka yang lainnya, Jusuf dan Imam, membentuk sebuah grup musik sebelum berkarier di tempat lain. Putri mereka, Sri Wahjuni, tidak ikut berkecimpung dalam industri hiburan.

Media memandang Roekiah dengan penuh kasih, dan film-film terbarunya secara konsisten selalu menerima ulasan positif. Di puncak popularitasnya, para penggemar meniru busana yang dikenakan oleh Roekiah di film-filmnya. Roekiah muncul secara rutin dalam berbagai iklan, dan sejumlah rekaman yang berisikan suaranya tersedia di pasaran. Dalam wawancara pada tahun 1996, salah seorang penggemar mengungkapkan bahwa Roekiah adalah "idola setiap pria", sedangkan penggemar lainnya menyebut Roekiah sebagai Dorothy Lamour-nya Indonesia. Penggemar lain, yang telah menyaksikan film-filmnya lima puluh tahun sebelumnya, menyatakan:

Roekiah selalu membuat penonton terlena di bangkunya saat ia mengalunkan lagu keroncong. Ia selalu mendapatkan tepuk tangan, sebelum atau sesudah bernyanyi. Bukan hanya kalangan pribumi. Banyak Belanda yang rajin menonton pertunjukan Roekiah!

Setelah kematian Roekiah, industri perfilman Indonesia berupaya untuk mencari pengganti dirinya. Pakar film Ekky Imanjaya memberi contoh ketika sebuah film diiklankan dengan kata-kata "Roekiah? Bukan! Tetapi Sofia dalam film Indonesia baru: Air Mengalir di Tjitarum". Film-film Roekiah dulunya ditayangkan secara rutin, namun saat ini sebagian besarnya sudah hilang. Film-film Hindia Belanda direkam dalam bentuk film nitrat yang mudah terbakar, dan setelah kebakaran memusnahkan sebagian gudang Produksi Film Negara pada tahun 1952, film-film lama yang direkam dalam bentuk nitrat juga ikut musnah. JB Kristanto dari Katalog Film Indonesia menyatakan bahwa dari keseluruhan film-film Roekiah, hanya Koeda Sembrani yang masih tersimpan di Sinematek Indonesia.
 
FATIMA                             1938JOSHUA WONG
           Actor

SORGA KA TOEDJOE1940JOSHUA WONG
Actor
KESEBERANG 1944 RD ARIFFIEN
Actor
POESAKA TERPENDAM 1941

Actor
SITI AKBARI 1939 JOSHUA WONG
Actor
TERANG BOELAN 1937 ALBERT BALINK
Actor
ROEKIHATI 1940 JOSHUA WONG
Actor
KOEDA SEMBRANI 1941 WONG BERSAUDARA
Actor
GAGAK ITEM1939JOSHUA WONG
Actor
 





Sebuah film yang lengkap. Ada petualangan, ada perkelahian, ada nyanyian, ada lawakan. Masih dilengkapi lagi dengan pemandangan indah di Serang dan Priangan. Ceritanya mengenai harta yang disimpan secara rahassia. Harta itu jadi rebutan para ahli waris, dan "diramaikan" lagi oleh kawanan penjahat yang ikut memburu.



































Selasa, 18 Desember 2012

TUTY S, Boom Sex hingga Film Lesbian Pertama Indonesia

TUTY S


Lahir di Bandung. Pendidikan : Lepas SLP melanjutkan ke SKP dan Akademi Teater Nasional Indonesia. Masuk dunia film sebagai pemain tahun 1955 lewat film "Hanya Sepekan", sebagai pemain. Kemudian dilanjutkan dalam "Senyum Derita" (1955), "Korupsi" (1956), "8 Pendjuru Angin" (1957), "Se-sudah Subuh" (1958), "Detik Detik Revolusi" (1959), "Pesta Musik La Bana"(1960), "Asrama dan Wanita" (1961), "Bintang Ketjil" (1963), "Diambang Fadjar" (1964), "Minah Gadis Dusun" (1966), masih menggunakan nama Tuty Soeprapto. Tahun 1971 mendirikan perusahaan film yang bernama "Tuty Jaya Film" dengan produksi pertamanya "Tiada Maaf Bagimu" (1971). Selain sebagai produser Tuty juga sebagai pemain utama dalam film tersebut. Produksi selanjutnya adalah : "Yatim" (1973), "Jimat Benyamin" (1973), "Perawan Malam" (1974), "Si Kabayan" (1975), "Tante Sex" (1976). Tahun 1977 ia mendirikan P.T. Diah Pitaloka Film di Bandung, sedangkan P.T. Tuty Jaya Pict diserahkan kepada anaknya Gatot Teguh Arifianto. Meski telah punya perusahaan sendiri, Tuty yang awet muda itu masih juga bersedia main dalam film-film yang diproduksi oleh perusahaan lain. Pada 1978 Diah Pitaloka membikin film "Mat Peci", di mana Tuty ikut main.


Tiada Maaf Bagimu merupakan film Indonesia pertama yang berani membawakan adegan lesbian. Film itu seolah-olah menjadi awal sebuah tren. Judul lain yang membawakan tema serupa berjudul Jang Djatuh di Kaki Lelaki. Entah ada unsur kesengajaan atau tidak, keduanya dirilis pada saat yang berdekatan, yakni pertengahan 1971.

Semenjak Orde Baru resmi berkuasa pada 1968, perfilman Indonesia sempat mengalami fase yang menggembirakan. Industri yang tadinya lesu mendadak kembali berenergi. Kecenderungan tema yang semula diisi film-film pembangunan lantas lebih berorientasi kepada kisah-kisah perkotaan yang diwarnai segala bentuk eksperimen adegan semi-seks, salah satunya seks lesbian.

Adegan lesbian merupakan hal baru dalam perfilman kala itu. Akibatnya, Tiada Maaf Bagimu harus melalui jalan terjal ketika harus berhadapan dengan gunting sensor Orde Baru yang terkenal tajam tetapi juga labil saat menghadapi adegan ranjang. Lain halnya dengan Jang Djatuh di Kaki Lelaki yang lolos kriteria sensor tetapi sempat dicekal di luar negeri.

Tiada Maaf Bagimu merupakan film pertama yang diproduksi perusahaan Tuty Jaya Pictures milik aktris Tuty Suprapto. Perusahaan itu baru dibentuk sekitar Februari 1971, bertepatan dengan hari ulang tahun Tuty yang ke-35.

Tuty Suprapto memang punya sikap apresiasi tersendiri terhadap adegan erotis dalam film Indonesia sepanjang 1970-an. Jauh sebelum era boom seks dimulai, Tuty sudah memulai tren adegan telanjang bulat (hanya berbalut kain tipis) dalam film Dibalik Pintu Dosa (1970) buatan rumah produksi Agora Film.

Terguran pemerintah terhadap Dibalik Pintu Dosa akibat adegan erotis yang berlebihan tampaknya tidak cukup untuk menggertak Tuty. Produksi film perdananya malah disulap menjadi film lesbian atas bantuan penulis Motinggo Boesje yang piawai mengolah cerita panas. Motinggo Boesje pulalah yang bertanggung jawab di balik kadar erotis Dibalik Pintu Dosa.
Dibalik Pintu Dosa dan Tiada Maaf Bagimu menjadi dua dari tiga film yang ditegur langsung oleh Badan Sensor Film (BSF) pada Juli 1971. Tak hanya ditegur, Ketua Badan Sensor R.M. Sutarto juga memanggil pihak yang berwewenang di balik layar.

Sebagai direktur Tuty Jaya Pictures, mau tak mau Tuty harus hadir. Dia menghadap Sutarto sekitar awal Juli 1971. Kepada Sutarto, Tuty meyakinkan bahwa tokoh yang dibawakannya dalam Tiada Maaf Bagimu membawa pembelajaran tentang keretakan hubungan keluarga.

“Meskipun anak itu hidup mewah, mereka pada tidak betah, berantakan, sementara ibunjapun tidak keruan,” kata Tuty, seperti dikutip Tempo.

Sutarto tampaknya bukan orang yang lembek dalam perkara seks. Orang lama dalam kepengurusan Perusahaan Film Negara (PFN) sejak era Sukarno itu tidak berhasil diyakinkan Tuty. Bahkan dikabarkan, Tuty hampir menangis karena adegan ciuman lidah dalam filmnya dipotong habis oleh sensor.


Film Jang Djatuh di Kaki Lelaki punya kisah lain lagi saat harus berhadapan dengan reaksi masyarakat film. Seniman-seniman berduyun-duyun memuji film lesbian kedua itu karena digarap dengan mempertimbangkan teori psikologi tentang perilaku sadisme dan lesbianisme. Pujian ini salah satunya dilayangkan Asrul Sani, penulis sekaligus sutradara film, sebagaimana diwartakan dalam Ekspres (15/9/1972).

Ketimbang film lesbian pendahulunya, film garapan sutradara muda Nico Pelamonia itu cenderung lebih miskin berita miring. Nico memang mengungkapkan bahwa filmnya tidak porno sehingga tidak ada yang perlu diperkarakan.

“Saja tidak ingin membuat film porno. Djalan lain mengkomersilkan film ini masih ada jaitu membuat film itu dengan se-baik2-nja. Bahan-bahan itu keluar dari kreatifitas seorang sutradara,” tutur Nico seperti dikutip Purnama (25/7/1971).

Kumpulan ulasan film yang dikumpulkan Kristanto sejalan dengan klaim Nico itu. Jika dibandingkan dengan film serupa di tahun yang sama, Jang Djatuh di Kaki Lelaki berhasil digarap dengan cukup halus.

Kisahnya dihidupkan di sekitar konflik cinta segitiga perempuan-perempuan yang menjadi lesbian akibat ulah sadis dan pengalaman traumatis berhubungan intim dengan para lelaki. Tampaknya kepiawaian Sjuman Djaya mengadaptasi tulisan Abdullah Harahap menjadi naskah film berperan besar dalam keberhasilan cerita ini.


Kendati dipuji di dalam negeri, Jang Djatuh di Kaki Lelaki tidak mendapat reaksi serupa di luar negeri. Majalah Ekspres kembali melaporkan bahwa film produksi perusahaan milik aktris dan pengusaha Tuty Mutia tersebut dilarang beredar di Singapura, meskipun sudah disensor sebanyak 10% dari keseluruhan film.

Menurut sumber yang sama, unsur lesbianisme secara moral bertentangan dengan tata hidup masyarakat Melayu yang berlaku di Singapura pada 1970-an. Aparat sensor Singapura menganggap serangkaian dialog yang terjadi di antara para perempuan lesbian dalam film tersebut terdengar agak sugestif.

Lain halnya dengan badan sensor di Singapura, BSF menganggap adaptasi tema lesbianisme ke dalam media film cukup beralasan. Ketua BSF Sutarto menyambut baik selama tema lesbianisme yang diutarakan secara konsisten bertutur tentang keadaan aktual masyarakat. Dia mengungkapkan kejadian serupa memang kerap terjadi di Jakarta pada dasawarsa 1970-an dengan berbagai latar belakang masalah.

“Mungkin karena sang suami impoten. Atau kesibukan sang suami jang tidak sempat bergaul dengan isterinja. Jang mengakibatkan si-isteri megadakan hubungan sex sedjenisnya. Si-isteri melakukan hubungan sedjenis, karena mentjegah adanya kehamilan atau tidak menginginkan keguguran,” kata Sutarto dalam wawancara dengan Ekspres.


ASMARA DAN WANITA                           1961 REMPO URIP                    Actor
IBU DAN PUTRI                            1955 HA VAN WU
        Actor

DIAMBANG FADJAR1964PITRAJAYA BURNAMA
Actor
DARAH NELAJAN 1965 HASMANAN
Actor
SENJUM DERITA 1955 SIDIK PRAMOMO
Actor
TEROR TENGAH MALAM 1972 WILLY WILIANTO
Actor
ANAKKU SAJANG 1957 LILIK SUDJIO
Actor
RAMADHAN DAN RAMONA 1992 CHAERUL UMAM
Actor
KAMAR 13 1961 BASUKI EFFENDI
Actor
BERNAFAS DALAM LUMPUR 1970 TURINO DJUNAIDY
Actor
PERAWAN MALAM 1974 BAY ISBAHI
Actor
BENGAWAN SOLO 1971 WILLY WILIANTO
Actor
BINTANG KETJIL 1963 WIM UMBOH
Actor
ANTARA SURGA DAN NERAKA 1976 RATNO TIMOER
Actor
DELAPAN PENDJURU ANGIN 1957 USMAR ISMAIL
Actor
SANTY 1961 M. SHARIEFFUDIN A
Actor
RATU ULAR 1972 LILIK SUDJIO
Actor
KORUPSI 1956 RD ARIFFIEN
Actor
KINI KAU KEMBALI 1966 DANU UMBARA
Actor
ISTRI DULU ISTRI SEKARANG 1978 NAWI ISMAIL
Actor
MISTRI RONGGENG JAIPONG 1982 MARDALI SYARIEF
Actor
SAYANG SAYANGKU SAYANG 1978 BAY ISBAHI
Actor
DUKUN BERANAK 1977 BAY ISBAHI
Actor
TRAGEDI TANTE SEX 1976 BAY ISBAHI
Actor
PERMATA BIRU 1984 WIM UMBOH
Actor
APA JANG KAUTANGISI 1965 WIM UMBOH
Actor
PESTA MUSIK LA BANA 1960 MISBACH JUSA BIRAN
Actor
CINTA SEMALAM 1983 I.M. CHANDRA ADI
Actor
TIADA MAAF BAGIMU 1971 M. SHARIEFFUDIN A
Actor
WAJAH TIGA PEREMPUAN 1976 NICO PELAMONIA
Actor
PENGAKUAN SEORANG PEREMPUAN 1926 TURINO DJUNAIDY
Actor
GADIS PANGGILAN 1976 RATNO TIMOER
Actor
GADIS SIMPANAN 1976 WILLY WILIANTO
Actor
SI KABAYAN 1975 BAY ISBAHI
Actor
DAN BUNGA-BUNGA BERGUGURAN 1970 WIM UMBOH
Actor
PEREMPUAN 1973 PITRAJAYA BURNAMA
Actor
PEREMPUAN HISTRIS 1976 RATNO TIMOER
Actor
DETIK-DETIK REVOLUSI 1959 ALAM SURAWIDJAJA
Actor
PRAHARA 1974 NICO PELAMONIA
Actor
SESUDAH SUBUH 1958 DJOKO LELONO
Actor
DUEL 1970 PITRAJAYA BURNAMA
Actor
TANTANGAN 1969 PITRAJAYA BURNAMA
Actor
GAUN HITAM 1977 ALI SHAHAB
Actor
PEGAWAI NEGERI 1956 RD ARIFFIEN
Actor
JIMAT BENYAMIN 1973 BAY ISBAHI
Actor
DJUDJUR MUDJUR 1963 MANG TOPO
Actor
GENERASI BARU 1963 AHMADI HAMID
Actor
ROMANSA 1970 HASMANAN
Actor
ENAK BENAR JADI JUTAWAN 1982 NAWI ISMAIL
Actor
MINAH GADIS DUSUN 1966 S. WALDY
Actor
MAT PECI 1978 WILLY WILIANTO
Actor

Sabtu, 29 Januari 2011

HENKY SOLAIMAN /HENGKY SULAIMAN



Nama : Ong Han Kie
Pendidikan :ATNI Yogyakarta
Profesi :Aktor, Sutradara, Produser
Lahir Sabtu, 30 Agustus 1941 di Bandung. Pendidikan : SMA dan Akademi Teknik Nasional (tidak tamat). Sebelum terjun ke dunia film, Henky Solaiman seorang manajer agen tunggal sebuah perusahan swasta. Dengan latar belakang pendidikan kursus Elementer Sinematrografi, mula-mula aktif dalam pementasan Teater Populer sebagai pemain. Pertama kali terjun di film dalam Wadjah Seorang Laki Laki (1971), film pertama garapan Teguh Karya, sebagai pimpinan unit. Menjadi asisten sutradara dalam Ranjang Pengantin (1974) dan pemimpin produksi/produser dalam Jangan Menangis Mama (1977). Mulai 1989 jadi sutradara, menggarap Hidup Semakin Panas, dan Kabayan Mencari Jodoh (1994). Di sinetron muncul dalam Keluarga Van Danoe, Saling Silang, Tetanggaku Idolaku, Satu Rumah Seratus Perkara (1997), dll.

Di film-filmnya ia jarang sekali tampil sebagai peran utama. Di era 1980-an Ia mempercayai filmnya yang kebanyakan dimainkan oleh Meriam Bellina. Henky belajar di Akademi Theater Nasional Indonesia di Yogyakarta yang kini telah bubar. Di sini ia berjumpa dengan teman-temannya yang kelak menjadi rekan kerjanya seperti Teguh Karya, Wahab Abdi, Pietradjaja Burnama, dll. Ketika Teater Populer HI dibentuk, Henky pun ikut terlibat aktif di dalamnya. Setelah Teguh Karya dan banyak seniman teater lainnya mulai terjun ke dunia layar perak, Henky pun beralih dari dunia teater.
 
Belajar berteater di Akademi Teater Nasional (ATNI) Yogyakarta yang saat ini telah bubar. Disana ia berjumpa dengan teman-temannya yang kelak menjadi rekan kerjanya, seperti Teguh Karya, Wahab Abdi dan Pietrajaya Burnama. Tahun 1968 Henky aktif dalam pementasan teater populer sebagai pemain, penata usaha dan pemasaran.

Ketika pertama kali Teguh Karya menangani pembuatan film, ia diikutsertakan dengan jabatan pimpinan unit. Setelah itu, Hengky mulai mengikuti jejak seniman teater lainnya untuk beralih ke layar perak.

Pada tahun 1974 menjadi pembantu sutradara, kemudian tahun 1977 menjadi pimpinan produksi. Sebelum terjun ke dunia film, Henky Solaiman adalah seorang manajer agen tunggal sebuah perusahaan swasta.

Dengan latar belakang pendidikan kursus Elementer Sinematografi. Pertama kali terjun di film dalam film Wadjah Seorang Laki-laki (1971), film pertama garapan Teguh Karya. Kemudian menjadi asisten sutradara dalam film Ranjang Pengantin (1974) dan menjadi pemimpin produksi sekaligus produser film Jangan Menangis Mama (1977).

Mulai tahun 1989 ia menjadi sutradara dan menggarap film Hidup Semakin Panas, dan Si Kabayan Mencari Jodoh (1994). Meskipun banyak film yang dibintanginya namun jarang sekali ian mrndapat peran utama.

TAK INGIN SENDIRI1985IDA FARIDA
Actor
DOEA TANDA MATA 1984 TEGUH KARYA
Actor
SORGA DUNIA DI PINTU NEKA 1983 HENKY SOLAIMAN
Director
TANDES 1984 HENKY SOLAIMAN
Director
TAKSI 1990 ARIFIN C. NOER
Actor
RAMADHAN DAN RAMONA 1992 CHAERUL UMAM
Actor
JANGAN KIRIMI AKU BUNGA 1986 WAHAB ABDI
Actor
JANGAN BILANG SIAPA-SIAPA 1990 CHAERUL UMAM
Actor
PELANGI DI BALIK AWAN 1984 HENKY SOLAIMAN
Actor Director
BERNAFAS DALAM LUMPUR 1991 TURINO DJUNAIDY
Actor
SENJATA RAHASIA NONA 1983 HENKY SOLAIMAN
Director
HARGA SEBUAH KEJUJURAN 1988 HENKY SOLAIMAN
Actor Director
KAWIN LARI 1974 TEGUH KARYA
Actor
PENGANTIN REMAJA 1991 WIM UMBOH
Actor
KEMBANG KERTAS 1984 SLAMET RAHARDJO
Actor
BILUR-BILUR PENYESALAN 1987 NASRI CHEPPY
Actor
NERACA KASIH 1982 HENKY SOLAIMAN
Director
KEMBALI LAGI 1993 SANDY SUWARDI HASSAN
Actor
KEPINGIN SIH KEPINGIN 1990 HENKY SOLAIMAN
Actor Director
SOEGIJA 2012 GARIN NUGROHO Drama Actor
KECIL-KECIL JADI PENGANTIN 1987 HENKY SOLAIMAN
Director
RATAPAN ANAK TIRI III 1990 SANDY SUWARDI HASSAN
Actor
KEJARLAH DAKU KAU KUTANGKAP 1985 CHAERUL UMAM
Actor
BERCINTA DALAM MIMPI 1989 NASRI CHEPPY
Actor
KE UJUNG DUNIA 1983 HASMANAN
Actor
SUAMIKU SAYANG 1990 HENKY SOLAIMAN
Director
REMBULAN DAN MATAHARI 1979 SLAMET RAHARDJO
Actor
CINTA PERTAMA 1974 TEGUH KARYA
Actor
LUPA ATURAN MAIN 1990 TJUT DJALIL
Actor
AKU BENCI KAMU 1987 WIM UMBOH
Actor
TITIK-TITIK NODA 1984 HENKY SOLAIMAN
Actor Director
GADIS PENAKLUK 1980 EDUART P. SIRAIT
Actor
YANG KUKUH YANG RUNTUH 1985 WAHAB ABDI
Actor
SI KABAYAN DAN ANAK JIN 1991 HENKY SOLAIMAN
Director
HIDUP SEMAKIN PANAS 1989 HENKY SOLAIMAN
Actor Director
USIA 18 1980 TEGUH KARYA
Actor
HATIKU BUKAN PUALAM 1985 NASRI CHEPPY
Actor
SEJAK CINTA DICIPTAKAN 1990 ADISOERYA ABDY
Actor
ROMANTIKA 1985 HENKY SOLAIMAN
Actor Director
TALI MERAH PERKAWINAN 1981 HENKY SOLAIMAN
Director
LUPUS IV 1990 ACHIEL NASRUN
Actor
LUPUS 1987 ACHIEL NASRUN
Actor
SANG PEMBELA 1990 DENNY HW
Actor

Rabu, 16 Februari 2011

FFI 1991 Giliran wajah baru

16 November 1991
FFI 1991, JAKARTA
Para unggulan dan para mbalelo


Sabtu pekan ini puncak acara Festival Film Indonesia. Wajah baru mendominasi unggulan. Wajah lama absen, bahkan membuat acara tersendiri untuk menghindari pesta FFI. SEPERTI yang diduga, para sineas muda merajai unggulan Festival Film Indonesia (FFI) tahun ini. Buce Malawau, Garin Nugroho, Labbes Widar, Ucik Supra, dan Imam Tantowi masuk dalam pengumuman nominasi FFI sebagai calon-calon peraih Sutradara Terbaik. Mereka masing-masing mewakili film Potret, Cinta dalam Sepotong Roti, Lagu untuk Seruni, Rebo dan Robby, dan Soerabaia 45. 

Unggulan penulis skenario pun didominasi wajah baru seperti Dimas Haring (Langit Kembali Biru), Fanny Hazar dan Firman Triyadi (Lagu untuk Seruni), Ucik Supra (Rebo dan Robby). Dua wajah lama di bidang ini adalah Imam Tantowi (Soerabaia 45) dan Buce Malawau (Potret). Sederet wajah muda juga mendominasi nominasi Pemeran Utama Wanita dan Pria. Untuk Pemeran Utama Wanita, yang akan bersaing adalah Lidya Kandou (Boneka dari Indiana), Paramitha Rusady (Bos Carmad), Dian Nitami (Perwira dan Ksatria), Sonia Carrascalao (Langit) dan Nia Zulkarnaen (Lagu). Lidya, yang tahun lalu gagal merebut Citra lewat Cas Cis Cus, kini dipastikan meraih piala itu lewat Boneka. Sonia dan Nia belum merupakan saingan Lidya. Bahkan aneh, dua artis belia tadi bisa menggugurkan Meriam Bellina yang bermain jauh lebih bagus lewat Taksi Juga dan Bernafas Dalam Lumpur, atau Nani Somanegara dalam Potret. Di kubu pria nampaknya terjadi pertarungan seru antara Rachmat Hidajat (Potret), Didi Petet (Boneka), Tio Pakusadewo (Lagu), Mathias Mucchus (Cintaku di Way Kambas), dan Dede Yusuf (Perwira). Tiga nama di depan punya peluang sama karena penampilannya lebih utuh dan matang. Yang mengejutkan adalah masuknya film Langit dalam susunan nominasi film terbaik. Karya Dimas Haring ini memang bertema menarik, percintaan yang dilatarbelakangi politik saat integrasi Tim-Tim ke Indonesia. Tapi segi filmisnya kurang. 

Film ini bersaing dengan Cinta, Lagu, Potret, dan Soerabaia. Kenapa FFI kali ini didominasi wajah-wajah baru? Tentu saja, karena "wajah lama" lagi absen berkarya akibat iklim yang tak sehat dalam dunia perfilman nasional. Bahkan, jika wajah muda itu akan berpesta Sabtu pekan ini di Taman Mini Indonesia Indah dalam acara puncak FFI, senior mereka memilih tidur-tiduran di rumah atau gerak jalan. Roy Marten, misalnya. Dengan kelompoknya, Studi Club Bintang (SCB) -- didirikan Roy bersama Deddy Mizwar, Mangara Siahaan, August Melasz, Cok Simbara -mengkoordinasi acara untuk mengikuti gerak jalan Mojokerto-Surabaya di hari yang sama. Puluhan artis akan dibawanya ke Surabaya mencarter gerbong khusus kereta api. "Saya tidak memusuhi FFI, biar bagaimana itu adalah lambang prestasi perfilman. Kami di SCB hanya ingin mengikuti lomba gerak jalan untuk menghormati Hari Pahlawan," ujar Roy Marten kepada TEMPO. Lha, kenapa harus persis pada acara puncak FFI? "Kami sudah mendaftarkan diri sejak dulu pada Panitia Nostalgia 10 November 1945. Justru acara FFI yang awalnya tanggal 12 November diundur jadi tanggal 16 November. 

Dan kami nggak bisa membatalkan acara ini, dong," kata Roy Marten, berkilah. Hal ini dibenarkan oleh Ketua Umum Pantap (Panitia Tetap) FFI Johan Tjasmadi. "Saya anggap ini soal teknis. Memang kami yang mengundurkan acara puncak FFI menjadi tanggal 16 November, supaya pas malam Minggu," kata Johan. Namun, tentu saja ini bukan soal teknis belaka. Bagaimanapun, Roy Marten dkk. punya keluhan tertentu terhadap Pantap FFI yang masa tugasnya masih berlangsung hingga tahun depan itu. "Sudah beberapa kali saya dan kawan-kawan tidak diundang. Dan saya juga merasa orang film dijadikan obyek, bukan subyek dalam acara ini," kata Roy. Sampai Sabtu pekan lalu, menurut Roy Marten, sudah ada 46 artis film dan sinetron yang kepingin ikut gerak jalan itu. "Kami sampai harus menyetopnya, karena soal dana," katanya. Mangara Siahaan, yang menjabat sebagai humas SCB mengatakan seandainya ada yang ingin mengundurkan diri karena diundang untuk membacakan nominasi atau bahkan karena terpilih sebagai unggulan, "itu hak mereka." Ully Artha yang namanya tiba-tiba muncul sebagai unggulan Pemeran Pembantu Wanita nampaknya akan mengundurkan diri dari acara gerak jalan itu. "Saya memang diajak ikut gerak jalan, dan saya berminat. Saya nggak kepikir bahwa harinya bentrok," kata Ully. Kelompok lainnya yang pasti juga absen di FFI kali ini adalah Sophan Sophiaan, Eros Djarot dan Slamet Rahardjo -orang menyebutnya kelompok KFT (Karyawan Film dan Televisi) karena mereka pengurus KFT. 

Di belakang mereka juga ada sederet artis. "Saya sudah lama tidak mau terlibat ataupun aktif di FFI," kata Sophan Sophiaan, aktor dan sutradara yang tahun ini terpilih sebagai Unggulan Pemeran Pembantu Pria Terbaik dalam film Yang Tercinta. "Ketua Umum Pantap FFI saya anggap tidak punya perhatian mendalam terhadap film Indonesia," katanya tegas. Sedangkan menurut Eros Djarot, kejadian ini memang menunjukkan semacam mosi tidak percaya kepada kepemimpinan Pantap FFI, bukan kepada lembaga FFI. "Saya menganggap kepemimpinan Pantap FFl sangat subyektif. Pokoknya, kalau dalam pantap berikutnya masih ada orang yang sebenarnya bukan orang film itu, akan saya boikot total. Artinya, film-film kami tidak akan kami ikutkan dalam FFI. Buat apa?" kata Eros. Ketua Umum Pantap FFI Johan Tjasmadi memang dulu dikenal sebagai pengusaha bioskop. Leila S. Chudori


 09 November 1991
Sutradara muda menunggu nominasi
Akhir pekan ini, juri FFI akan mengumumkan film dan aktor serta aktris yang masuk nominasi. Beberapa sutradara muda lahir dan memberi alternatif. PANGGUNG Festival Film Indonesia (FFI) akan dibuka lagi. Di tengah derasnya serangan film-film Hollywood, dan munculnya belasan cineplex baru yang menopang pemutaran film asing itu, pesta orang-orang film Indonesia yang setahun sekali ini harus tetap diadakan. Dari 70 film yang diproduksi tahun ini, ada 19 film pilihan. Akhir pekan ini para juri akan mengumumkan film dan pemain yang berhasil masuk nominasi. Pekerjaan juri FFI tahun ini, yang diketuai Asrul Sani, tidak terlalu mudah. Bukan karena film-filmnya bagus, melainkan justru karena tidak ada film yang mencuat. Ada beberapa yang layak disorot, misalnya, Potret, Cinta dalam Sepotong Roti, Lagu untuk Seruni, Boneka dari Indiana, dan ZigZag. Yang menarik, meski sutradara senior macam Teguh Karya, Arifin C. Noer, atau Slamet Rahardjo absen, lahir sutradara baru. Mereka adalah Garin Nugroho (Cinta dalam Sepotong Roti), Labbes Widar (Lagu untuk Seruni), Dimas Haring (Langit Kembali Biru), dan Ucik Supra (Rebo dan Robby). Adakah sesuatu yang baru dari mereka? "Ya, mereka semua punya kelebihan masing-masing," kata Teguh Karya. Teguh melihat suatu fenomena baru dari kecenderungan para sutradara baru ini. "Memang belum bisa dikatakan bahwa suatu aliran baru telah lahir, tapi saya melihat adanya alternatif baru dalam berbagai hal, baik dalam visi maupun cara kerja," tambahnya. Ia menunjuk bagaimana film Potret, yang gagasannya dikerjakan secara keroyokan. Ia juga memuji pengarahan akting di dalam sebagian film karya sutradara baru itu. 

Tanpa ingin menyebutkan film-film mana yang dianggapnya terbaik, Teguh mengatakan bahwa pilihan tema dari para sutradara baru ini pun banyak yang menarik. Garin Nugroho, sutradara Cinta dalam Sepotong Roti, adalah salah satu sosok yang menjanjikan. Sebagai sutradara yang menawarkan alternatif baru dalam memvisualisasikan gagasannya, Garin bak sebuah intan yang perlu diasah. Mungkin karena Garin terlalu mementingkan bagaimana membahasakan idenya ke dalam gambar, lulusan Institut Kesenian Jakarta ini tak berkonsentrasi untuk menundukkan aktor-aktornya. Karya pertama Labbes Widar, Lagu untuk Seruni, juga memiliki beberapa persoalan. Sama seperti rekan sealmamaternya, Garin Nugroho, Labbes pun menyodorkan persoalan pasangan muda. Garin memfokuskan masalah hubungan seks, sedangkan Labbes lebih menekankan persoalan "pertandingan" menundukkan ego antara pasangan Febi (Nia Zulkarnaen) dan Arya (Tio Pakusadewo). Febi ingin mementingkan kariernya sebagai penyanyi dan rela berpisah dengan anak dan suaminya, sementara Arya -sang pencipta lagu -akhirnya harus belajar mengurus putrinya yang masih kecil sementara perlahan wanita lain memasuki kehidupannya. Tidak adil membandingkan film ini dengan Kramer vs Kramer meski ada persamaan tema. Yang kuat dari film ini adalah akting hampir semua pemainnya sangat wajar. Agaknya, selain karena menggunakan suara langsung, Labbes sebagai sutradara dan Adi Kurdi sebagai pengarah dialog sangat berperan dalam hal ini. "Orang biasa menyangka kalau belum melotot atau berteriak namanya belum akting, tapi akting Tio (Pakusadewo) di dalam film ini sangat alamiah," puji Teguh Karya. 

Almarhum Nya' Abbas Akup, yang dikenal sebagai "empu" filmfilm komedi situasi, agaknya mencoba menguras sisa-sisa tenaga akhirnya dalam pembuatan Boneka dari Indiana. Film ini bukan saja sindiran halus kepada orang-orang kaya yang tak lelahnya memburu uang, melainkan terutama kisah seorang suami yang mulanya hanya bisa mengangguk seperti boneka, tapi kemudian berhasil membebaskan diri. Secara keseluruhan film ini sangat segar dan komunikatif. Didi Petet dan Lidya Kandouw bisa saja meraih peluang nominasi melalui film ini. Ziz Zag arahan Putu Wijaya memang bukan sebuah karya akbar. Meski demikian, ia menjadi menarik karena Putu membicarakan persoalan yang sangat dekat dengan kita, yakni mencari identitas. Ini adalah sebuah proses yang akan terjadi secara terus-menerus, bukan hanya pada anak-anak muda macam Egi ( Jeffrey Waworuntu), Silvi (Dian Nitami), dan Nanang (Cok Simbara), tapi juga kepada orang-orang tua macam ayah Egi (Zainal Abidin). Film yang mengajak kita merenung ini memang penuh dengan adegan dan peristiwa yang tumpang tindih yang menjadi kekuatan film ini, tapi sekaligus melelahkan. Film yang terasa paling utuh adalah karya Buce Malawau yang berjudul Potret. Buce selama ini dianggap "murid" Teguh Karya meski ia sendiri tak pernah secara resmi berguru pada "suhu perfilman Indonesia" itu. Potret mengisahkan masa tua Herman Kawilarang (Rachmat Hidajat) di rumah jompo dan ingin kembali kepada anak-istrinya yang dahulu ditinggalkan. Memang Potret akan mengingatkan kepada film Ayahku karya Agus Elias karena sama-sama membicarakan penolakan anak tertua terhadap ayah. Namun, film Potret lebih menunjukkan berbagai dimensi kemanusiaan. Siapa pun yang rajin menonton film-film Teguh Karya akan langsung mengenali pengaruh sentuhan artistik dan visualisasi Teguh itu. Film ini mempunyai peluang besar untuk meraih banyak piala Citra, terutama untuk Rachmat Hidajat, Ully Artha, dan Gusti Randa. Adapun Film Langit Kembali Biru karya Dimas Haring yang terlalu sarat dengan misi atau Taksi Juga arahan Ismail Soebardjo yang terasa nyinyir (meski akting Ayu Azhari memberi peluang untuk nominasi) rasanya belum bisa dikategorikan sejajar dengan lima film tadi. Leila S. Chudori

23 November 1991
Citra dalam sepotong-sepotong
Piala Citra hasil FFI tahun ini terbagi-bagi di banyak film. Wajah baru menggembirakan. Tapi puncak festival sepi, lebih meriah di Mojokerto. "TAK ada film yang bulat. Tak ada yang utuh. Tak ada unsurunsur sektoral yang saling mendukung," inilah komentar Asrul Sani, ketua juri film cerita panjang Festival Film Indonesia (FFI) 1991. Asrul mengatakan hal itu beberapa saat setelah FFI ditutup, Sabtu malam pekan lalu, di TMII Jakarta. Dengan gambaran seperti itu, juri harus memilih film terbaik -pemerintah kabarnya tak suka kalau tak ada film terbaik sebagaimana FFI 1984 di Yogyakarta. Cinta dalam Sepotong Roti, karya sineas muda Garin Nugroho, akhirnya ditetapkan sebagai film terbaik tahun ini. Namun, sebagai sutradara, Garin dinilai belum berhasil. "Garin belum matang, di tengah-tengah film, ia kehabisan napas. Film itu akan jadi lebih bagus kalau diperas menjadi satu jam," kata Asrul. Kelebihan Sepotong Roti adalah "ia memberikan penafsiran relevansi sosial yang baru". Salim Said, kritikus film yang juga anggota juri FFI, melihat bahwa yang terpenting dalam FFI ini: telah lahir sebuah film yang betul-betul sinematis, artinya tidak menekankan diri pada cerita, tetapi cara bercerita dengan gambar. Yang dimaksud Salim tentulah film Garin ini pula, yang juga menyabet Citra untuk fotografi (Soleh Rosselani), artistik (Sapto Busono), musik (Dwiki Darmawan), dan penyunting gambar (Ade Prajadisastra). Lalu, siapa sutradara terbaik? Imam Tantowi tampil lewat Soerabaia '45. "Sebagai sutradara, dia kuasai mediumnya. Dia bisa mengutarakan, dengan alat sinematik, apa yang ingin dia utarakan. Dia tidak ragu," kata Asrul. Pakar perfilman ini memuji adegan pertempuran yang dibuat Tantowi. Hanya saja, "sebagian besar kelemahan film ini karena skenario." Citra untuk skenario terbaik dipegang Dimas Haring dan Dias Cimenes untuk film Langit Kembali Biru. Pasangan ini juga memperoleh Citra untuk penulis cerita asli terbaik dalam film yang sama. Langit bercerita tentang masa pergolakan di Timor Timur menjelang integrasi ke wilayah RI. Untuk aktris terbaik muncul wajah lama yang sudah kenyang dengan nominasi. Pemeran utama wanita terbaik diraih Lydia Kandou lewat Boneka dari Indiana. Gelar pemeran pembantu wanita terbaik disabet Rina Hassim lewat Zig Zag. Kedua aktris ini tak hadir di puncak FFI. 

Untuk aktor ada wajah lama dan baru. Yang lama, Rachmat Hidayat untuk permainannya di film Boss Carmad. Wajah baru, Tio Pakusadewo, lewat film Lagu untuk Seruni. Film terakhir ini juga mendapat Citra untuk penata suara terbaik atas nama Hartanto. Dengan tersebarnya kekuatan pada beberapa film, kata Asrul, pertarungan para juri untuk menentukan pemenang menjadi sangat ketat. "Pokoknya, tahun ini paling sulit," katanya. Yang menggembirakan lainnya adalah munculnya anak-anak muda, baik sutradara maupun pemain. "Mereka sekarang sudah siap dan mereka punya kemauan," kata Asrul. Jika ada yang "tidak menyenangkan" dalam FFI kali ini tentulah karena semakin sedikitnya artis yang terlibat. Pada puncak FFI, suasana itu terasa sekali. Banyak artis yang "tiduran di rumah" selain ada yang ber-"FFI di Mojokerto". Siti Nurbaiti dan Dwi S. Irawanto


 23 November 1991

FFI Mojokerto
LUAPAN massa membludak di Mojokerto, begitu rombongan artis dari Jakarta tiba, Sabtu sore pekan lalu. Rombongan ini, yang tergabung dalam Studi Club Bintang (SCB), mengikuti gerak jalan Mojokerto-Surabaya yang diselenggarakan menyambut Hari Pahlawan. Sayang, karena massa yang tidak terkendali dan bisa mengacaukan seluruh acara, panitia mengambil keputusan: rombongan artis diangkut dengan empat minicab terbuka, setelah mereka berjalan hanya sepuluh meter dari garis start. Dengan komandan Agust Melaz, 45 bintang (artis dan sutradara film) berbaris rapi. Di depan, ada Doyok dan Camelia Malik. Di belakangnya, Eva Arnas, Deddy Mizwar, Roy Marten, El Manik, Jojon, Kiki Fatmala -pokoknya, semuanya orang beken. Begitu bendera start dikibarkan, masyarakat meneriakkan nama-nama itu. Lalu mereka berebut ingin menyalami -dan inilah awal kekacauan. Petugas keamanan langsung menghentikan barisan dan berteriak, "Demi keselamatan, kami harap para artis untuk naik ke kendaraan." Dengan terpaksa, bintang-bintang itu naik ke mobil terbuka dan acara pun berubah menjadi pawai artis. "Mer- deka, merdeka ....," teriak Deddy Mizwar membalas yel-yel massa. "FFI malah tidak semeriah ini," komentar Cahyono, bintang yang juga pelawak. "Ini kegiatan ke luar SCB yang pertama," kata Agust Melaz. Ia menolak tuduhan bahwa kelompok SCB sengaja melakukan boikot terhadap FFI di Jakarta. "Masa, kami diuber-uber karena tidak menghadiri FFI. Ini kan hak kami." SCB, yang baru berusia empat bulan, lahir karena keprihatinan sejumlah insan film terhadap tiga masalah utama: film Indonesia terdesak film asing di negeri sendiri, produksi film nasional menurun, dan film nasional berbobot sangat minoritas. Memang, film Indonesia terdesak ke pinggiran karena tumbuhnya sinepleks-sinepleks di kota yang menjadi pusat film impor. Belakangan, sinepleks malah berdiri pula di pinggiran, sehingga film nasional semakin jauh ke pelosok. Lewat SCB ini, mereka ingin membantu memecahkan permasalahan film nasional. Kelik M. Nugroho (Surabaya)