Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri Antara Bumi dan Langit. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri Antara Bumi dan Langit. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan

Selasa, 18 Desember 2012

GRACE (Film Pertama Ciuman bibir dan bibir )

GRACE

Ciuman bibir ketemu bibir pertama dalam film Indonesia "
S. Bono dan Grace. Film Indonesia pertama yang menampilkan adegan ciuman. Setelah terganyang gelombang protes, diadakan revisi dan diedarkan dengan judul lain, Frieda, Dr Huyung adalah prajurit Jepang keturunan Korea. Nama Jepangnya Hinatsu Eitaro, sedang nama aslinya Hue Yong. Ia mendapat tugas "menguasai" dunia sandiwara Indonesia semasa pendudukan Jepang. Setelah kemerdekaan, Huyung menyebarkan pengetahuan teater dan film pada antara lain Usmar Ismail, yang dianggap sebagai bapak perfilman nasional. Lahir tahun 1907, Huyung meninggal di Indonesia tahun 1952, setelah menyelesaikan filmnya keempat, Bunga Rumah Makan.

Dalam film Kedudukan pribumi dan Belanda bagaikan bumi dan langit. Abidin (S. Bono) adalah pribumi yang dilarang bergaul dengn Frieda, gadis Indo. Setelah dipisahkan oleh situasi, Abidin, yang telah berumahtangga, bertemu lagi dengan Frieda. Meski ada benih cinta, tapi mereka berhadapan sebagai musuh. Pertemuan itu membawa tragedi bagi Frieda.


ANTARA BUMI DAN LANGIT1950DR HUYUNG
Actor
CHAIR DE MA CHAIR, LA 2014 DENIS DERCOURT Horror Actor
GADIS OLAHRAGA 1951 DR HUYUNG
Actor
KENANGAN MASA

Minggu, 08 Januari 2012

INDUSTRI FILM DI INDONESIA DARI AWAL

INDUSTRI FILM DI INDONESIA


Loetoeng Kasaroeng, produksi Java Film Co (L. Heuveldirp) tahun 1926, dapat disebut sebagai film cerita pertama yang diproduksi Indonesia dengan menampilkan kisah legendaris Sunda yang dikenal oleh semua orang di Jawa Barat.





Film yang dibuat oleh orang asing itu, mengungkapkan secara detail isi cerita dalam bentuk gambar, dan sekalipun BISU, semua orang yang melihatnya bisa menangkap secara runtun dan mengerti dialog yang terucap walau tanpa kata. Hal ini terjadi karena para penontonnya sudah menghafal seluruh adegan cerita, sehingga semua dialog tanpa suara dalam Loetoeng Kasaroengdidengar oleh hati para penonton.



Loetoeng Kasaroeng terbilang sukses sekalipun hanya dengan 7 hari pemutaran, dari tanggal 31 Desember 1926 hingga 6 Januari 1927. Kesuksesan itu bukan karena anak-anak Bupati Bandung Wiranata Kusumah ikut membintangi film tersebut, melainkan karena kesuksesan L. Heuveldirp – yang sekalipun  orang asing, memiliki kemampuan luar biasa dalam menyuguhkan rekaman Budaya Sunda secara utuh melalui kisah Loetoeng Kasaroeng – sehingga para penontonnya terikat secara emosional, secara tumbal balik, dan larut dalam jalannya penceritaan.





Demikian juga dengan kepiawaian G. Krungers yang bertindak sebagai penata kamera. Sekalipun hanya menampilkan gambar-gambar yang monoton hitam putih, visualisasi hitam-putih itu diciptakan ke berbagai nuansa hingga ia selalu berwarna dalam imajinasi penonton.





Kesuksesan Loetoeng Kasaroeng tahun 1926 selalu dikenang sebagai sebuah awal yang cemerlang dari industri film di negeri ini. Karena itu, pada tahun 1952 dan 1983, film tersebut diproduksi ulang dengan judul yang sama. Tentu saja dengan tambahan kecanggihan peralatan yang berkembang.





Setidaknya ada dua film yang sukses dan cukup laris pada tahun ‘20-an. Selain Loetoeng Kasaroeng, sebuah lagi produksi Java Film berjudul Eulis Atjih juga tentang kisah dari Tanah Priangan. Eulis Atjih diputar di seluruh Jawa dengan mendulang uang yang lumayan banyak dan kesuksesannya berlipat ketika diekspor ke Singapura pada tahun 1927. 





Diakui pula, belum banyaknya masalah yang timbul di seputar awal kebangkitan perfilman di Indonesia sepanjang tahun ‘20-an, bukan karena industri film baru dikenal, melainkan juga karena judul-judul yang diangkat masih sangat dekat dengan irama kehidupan masyarakat, misalnya Lily van Java yang diproduksi pada tahun 1928 dan merupakan film pertama yang melibatkan Kongsi Tionghoa dalam industri film di negeri ini (South Sea Film Co.).





Ketika Lily van Java akan diproduksi Liem Goan Lian dan Tjam Tjoen Lian, sang pemilik industri menyadari, bahwa jalan cerita film yang dibuatnya menyimpang dari tradisi penceritaan dalam konteks lokal. Karena itu Lien Goan Lian merasa perlu mengajukan skenario film Lily van Java ke Film Commissie (Badan Sensor) untuk dicermati. Barulah setelah memperoleh persetujuan dari Film Commissie, Lily van Java diproduksi dan memperoleh sukses sepanjang tahun 1928.





Pada tahun 1930, mulai muncul protes terhadap film Karnadi Anemer Bangkong. Pribumi (masyarakat Indonesia) marah terhadap film itu karena memperlihatkan pribumi makan kodok. Setelah itu Film Commissie meminta lagi sebuah film untuk ganti judul karena protes orang banyak. Film Lari ke Mekkah (Meka) oleh Film Commissie diganti Menjadi Lari Ke Arab. Dari pergantian ini tampak bahwa sejak awal Badan Sensor sudah berperan dan sudah berfungsi seiring tumbuhnya industri film di Indonesia.





Sepanjang tahun ‘30-an, industri film tampaknya baru mencari bentuknya melalui judul-judul lama dari tradisi penceritaan lokal yang masih mendominasi gambar-gambar Bisu di negeri ini. Nyai Dasima, Si Ronda, Nyai Siti, Melati van Agam mendominasi judul-judul tahun 1930. Barulah setelah tahun 1931, dengan munculnya adegan suara dalam film, industri perfilman menjadi kian semarak dan judul-judul film pun mulai beraneka ragam serta penceritaan kian menjadi kaya.





Pada tahun 1934, Cino Motion Picture (The Teng Chun) memperkenalkan DOEA SILOEMAN OELAR, diangkat dari cerita klasik Cina. Sejak itulah cerita-cerita siluman sambung-menyambung pada tahun ‘30-an, yaitu Siloeman Babi (1935), Anak Siloeman Oelar Poeti(1936), Siloeman Tikoes (1936), Moesnahnya Gowa Siloeman Poetih, dan sebagainya. Film-film siloeman pada tahun 1930-an ternyata diproduksi hanya untuk memenuhi selera pasar “murahan” dan tidak memberi arti yang besar bagi perkembangan perfilman secara kualitatif.





Memang pada tahun ‘30-an tema-tema film dalam negeri (Indonesia) mulai bervariasi dibanding awal kebangkitannya pada tahun ‘20-an. Tema-tema patriot/pendekar yang bercampur mistik bermunculan. Hal itu bisa dimengerti, karena industri perfilman didominasi oleh pengusaha-pengusaha film dari kelompok masyarakat Tionghoa (Cina) yang diwakili oleh produksi film Batavia Motion Picture dari Jo Eng Sek dan Nelson wong.





Dominasi itu masih berlangsung hingga akhirnya pada tahun ‘30-an diproduksi si Ronda dari Tan’s Film (Tan Koen Youw). Karena itu, tidak mengherankan jika cerita-cerita film yang beredar di Indonesia ketika itu, banyak mengambil tema dari cerita Tiongkok (Cina) yang diadopsi langsung dari buku-buku komik. Seperti film Poi Si Giok Pa Loi Tay (1935) diambil dari Kiam Liang Koen Yoe Kang atau Anaknya Siloeman Oelar Poetri (1936) dari Java Industrial Film (The Teng Chun).





Selain mengambil tema-tema cerita dari kisah-kisah klasik Tionghoa (Cina), industri film juga mengambil dari repertoar panggung dan gambang kromong dengan mengadopsi lakon lokal seperti Sam Pek Eng Tay produksi Cino Motion Picture (The Teng Chun) tahun 1931.





Dengan munculnya kegiatan perfilman sebagai sebuah industri yang dapat menghasilkan “Oeang” pada tahun ‘30-an, industri ini dengan cepat di “keroyok” oleh para pengusaha Tionghoa (Cina) yang ada di Indonesia, Singapura, dan Malaya. Bagi mereka, film adalah sebuah mata tambang baru yang dapat menghasilkan uang. Karena itu, industri film pun mulai bermunculan, dan pengusaha-pengusaha Tionghoa yang semula bergerak di berbagai bidang usaha segera banting stir ke usaha perfilman yang lebih menjanjikan, maka muncullah:

    1.   
    2.    South Sea Film & CO (Liem Goan Lian, Tjan Tjoe Lian)
    3.   
    4.    Nancing Film Co.
    5.   
    6.    Tan’s Film (Tan Koen Youw)
    7.   
    8.    Halimoen Film (Nelson Wong)
    9.   
    10.    Batavia Motion Picture (Jo Eng Sek)
    11.   
    12.    Batavia Film Industri (Jo Kim Tjem)
    13.   
    14.    Java Industrial Film (The Teng Chun)
    15.   
    16.    Cino Motion Picturs (The Teng Chun)
    17.   
    18.    Union Film Coy (Ang Hoek Liem)
    19.   
    20.    New Java Industrial Film (The Teng Chun)
    21.   
    22.    Action Film (The Teng Chun)
    23.   
    24.    Star Film (Jo Eng Sek)
    25.   
    26.    Oriental Film (Tjan Hoek Siong)
    27.   
    28.    Majestic Film Coy (Fred Young)
    29.   
    30.    Jacarta Picture (The Teng Chun)
    31.   
    32.    Populer Film (Jo Kim Tjan), dan
    33.   
    34.    Standard Film (Touw Ting Lem).
    35.   


Barulah setelah film Het Eilan der Droomen, film Terang Boelan produksi ANIF yang disutradarai oleh Albert Balink, menyuguhkan romantika penceritaan dengan nuansa pribumi yang sangat kental, dengan bintang-bintangnya Rd. Moechtar, Roekiah, ET. Effendi, Tjitjih, Muhin dan Kartolo. Industri film tersentak untuk kembali menggunakan kekuatan/keunikan dari tema-tema lokal dengan menggarapnya dengan sepenuh hati. Terang Boelan adalah film terlaris sepanjang tahun ‘30-an dan ditayangkan selama dua bulan di Singapura pada tahun 1938 dengan penghasilan S$ 200.000.





Setelah itu, muncullah judul-judul bernuansa lokal seperti Fatimah (1938), Oh Iboe (1938), Tjiandjoer (1938), Impian di Bali (1939), dan Siti Akbari (1939). Sepanjang tahun 1940 sampai dengan 1941 mulailah muncul “action” dalam film Indonesia seperti Kedok Ketauan (1940), Kris Mataram (1940), Matjan Berbisik (1940), Pak Wongso Pendekar Boediman (1940), Rentjong Atjeh (1940),Boejoekan Iblis (1941), Elang Darat (1941), Garoeda Mas (1941), Lintah Darat (1941), Matula (1941), Pak Wongso Tersangka (1941),Poesaka Terpendam (1941), Singa Laoet (1941), Srigala Item (1941), Tengkorak Hidoep (1941), ditutup dengan munculnya filmTjioeng Wanara (1941).





Film Tjioeng Wanara merupakan film kolosal pertama yang diproduksi secara cermat, dengan menunjuk secara khusus Prof. Dr. R. Poerbotjoroko, sebagai penasihat sejarah yang mengisahkan tentang Raja Galuh.  Setelah itu, pada era pendudukan Jepang, film yang diproduksi tidak lepas dari kontrol penguasa Jepang, seperti film Berjoeang (1943), Di Desa (1943), Di Muara (1943), Djatoeh Berkait (1944), Gelombang (1944), Hoejan (1944), serta Koeli dan Romoesa (1944). Semua film itu diproduksi dalam rangka propaganda Dai Nippon di Asia.





Pada era kemerdekaan hingga tahun 1950-an, judul-judul film telah menjadi sangat romantis. Berbagai judul yang sangat indah, antara lain Air Mata Mengalir di Tjitarum  (1948), Anggrek Bulan (1948), Bengawan Solo (1949), Gadis Desa (1949), Harta Karun(1949), Menanti Kasih (1949), Saputangan (1949), Sehidup Semati (1949), dan Tjitra (1949). 





Mencapai puncak romantik pada film Antara Bumi dan Langit (1950). Film itu menuai kritik masyarakat luas, karena merupakan film Indonesia yang pertama menampilkan adegan ciuman. Gelombang protes melanda hingga kemudian direvisi dengan menghilangkan adegan ciumannya dan mengganti judulnya menjadi Frieda.  Film Antara Bumi dan Langit membuka lembaran baru dalam industri film Indonesia tahun 1950-an dan era itu dapat dianggap sebagai masa keemasan film Indonesia.





Salah satu yang sangat penting pada era 1950-an, ialah ketika Usmar Ismail mengangkat tulisan Sitor Situmorang menjadi film berjudul The Long March, yang kemudian diberi judul Darah Do’a. Film itu menjadi sangat penting, bukan semata-mata karena mengisahkan romantika perjuangan prajurit RI yang diperintahkan kembali dari Yogyakarta ke Jawa Barat, melainkan lebih dari itu, dianggap sebagai film nasional pertama karena kandungannya memuat pesan-pesan patriotisme dan nasionalisme yang mendalam.





Karena itulah, Dewan Film Indonesia, pada tanggal 11 Oktober 1962 menetapkan hari shooting pertama The Long March (30 Maret 1950) menjadi Hari Film Indonesia. Banyak bintang film yang mulai muncul pada era ‘30-an, ‘40-an, seperti Rd. Mochtar, Roekiah, Kartolo, Annie Landouw, Mas Sardi, ET. Effendi, Tan Tjeng Bok, R. Hidayat, Sofia WD, Djouhari Effendi, A. Hamid Arif, Netty Herawaty, Darussalam, S. Bono, Grace Panji Anom, dll. Para aktor dan aktris itu kemudian menemukan bentuk dan kualitas pribadinya sebagai pemain yang berkarakter, sebagai bintang film tenar yang memiliki kepribadian dan warna sendiri pada era ‘50-an, pada saat industri film nasional mencapai puncak keemasannya.





Di antara lebih dari 250 judul film yang diproduksi pada 1950-an, hanya satu adegan yang mengundang kontroversi, yaitu ketika S. Bono mencium Grace dalam film Antara Bumi dan Langit. Semua film tahun ‘50-an sangat jelas, penceritaannya mudah dimengerti, indah penceritaannya, dan senantiasa mengajak orang harus menonton agar dapat mengungkit teka-teki lakon di balik judul-judul itu, seperti Antara Bumi dan Langit (1950), Dendam Asmara (1950), Harumanis (1950), Meratap Hati (1950), Musim Melati (1950),Nusakambangan (1950), Pantai Bahagia (1950), Ratapan Ibu (1951), Antara Tertawa dan Air Mata (1951), Bunga Rumah Makan(1951), Di Tepi Bengawan Solo (1951), Hampir Malam di Yogya (1951), Air Mata Pengantin (1952), Dr. Sanusi (1952), Redrigo de Villa (1952) bekerja sama dengan LVN Studio (Filipina), Solo di Waktu Malam (1952), Aladin (1953), Belenggu Masyarakat (1953),Harimau Tjampa (1953), Lenggang Jakarta (1953), Musafir Kelana (1953), Sapu Tangan Sutra (1953), Antara Dua Sorga (1954),Jakarta Bukan Hollywood (1954), Jakarta Waktu Malam (1954), Halilintar (1954), Kopral Djono (1954), Lewat Jam Malam (1954),Dibalik Dinding (1954), Kabut Desember (1955), Tiga Dara (1956), Air Mata Ibu (1957), Seroja (1958), Tjambuk Api (1958) dan banyak lagi.





Semaraknya industri film tahun ‘50-an ditutup oleh Titian Serambut Dibelah Tudjuh (1959) produksi Murni Film dengan sutradara Asrul Sani. Dibanding tahun ‘50-an, grafik industri perfilman nasional pada tahun ’60-an, agak menurun dari segi jumlah. Film yang diproduksi hanya sekitar 178 judul. Akan tetapi, dari segi kualitas, adegan film tahun ‘60-an tampak lebih kaya nuansa. Pemain-pemain lama mencapai puncak ketenarannya, di samping aktor dan aktris baru yang mulai menanjak menapak kesuksesan.





Pada tahun 1960-an, Bambang Hermanto sebagai Aktor Terbaik di Festival Film Internasional Moskow 1961 melalui  filmperdjuangan, dianggap sebagai ikon film tahun 1960-an. Film perdjuangan didukung oleh aktris/aktor terbaik ketika itu  seperti Bambang Hermanto, Chitra Dewi, Rendra Karno, Bambang Irawan, Farida Aryani, Ismed M. Noor, Lies Noor, Soendjoto Adibroto, Pietrajaya Burnama, Mansur Syah dll. Selain itu, muncul nama-nama seperti Dicky Zoelkarnain, Ratno Timoer, Farouk Affero, Rahayu Effendi, WD. Mochtar, Rahmat Hidayat, Rima Melati, Mieke Wijaya, Rahmat Kartolo, Ami Priyono, Widyawati, Connie Suteja, Rita Zahara, Marlia Hardi, Maruli Sitompul, Hadisyam Tahax, Wahab Abdi dan banyak lagi.





Banyak dari nama-nama aktor/aktris terbaik tahun ‘60-an itu masih menguasai layar-layar perak tahun ‘70-an. Seiring dengan besarnya jumlah produksi  tahun 1970 hingga mencapai 630-an judul film dalam 10 tahun, ini berarti tidak kurang dari 52 judul film yang diproduksi setiap tahun.





Pada tahun 1961, Rita Rina Film memproduksi sebuah film berjudul KUNTILANAK. Film itu sebenarnya bukan menampakkan wujud kuntilanak, melainkan hanya suara tertawa yang menyerupai tawa kuntilanak. Barulah setelah tahun 1971, permainan hantu, berawal ketika PT Tidar Film memproduksi Beranak Dalam Kubur dengan Suzanna sebagai bintang utamanya. Kemudian, pada tahun-tahun selanjutnya, mulailah judul-judul seperti Lantai Berdarah (1971), Dendam Si Anak Haram (1972), Pemburu Mayat(1972), Ratu Ular (1972), Cincin Berdarah (1972), Mayat Cemberut (1972), Simanis Jembatan Antjol (1973), Kuntilanak (1974),Kemasukan Setan (1974), Raja Jin Penjaga Pintu Kereta (1974), Arwah Penasaran (1975) Penghuni Bangunan Tua dan banyak lagi.





Apa yang dituliskan secara beruntun di sini tentang judul-judul film dengan tema-tema mistik dan hantu, hanyalah sebagian kecil dari judul-judul mistik dan hantu yang menguasai layar-layar perak di negeri ini pada sekitar tahun ‘70-an, dan mencapai puncaknya ketika PT Tobah Indah Film memproduksi Penangkal Ilmu Teluh (1979) dan Tuyul Perempuan, (1979). Setelah itu, pada tahun 1980-an, ketika produksi film mencapai 680-an dalam 10 tahun, atau  sekitar 57 film setiap tahun, ada 70 judul film di antarannya berhantu dan penuh dengan alur-alur cerita mistik.





Pertanyaannya adalah, apakah ada hubungan antara kondisi sosial-politik-ekonomi dengan kreativitas dan keleluasaan imajinasi dalam penciptaan tema-tema film? Tentu saja jawabannya ya, dalam arti bahwa di era kekuasaan orde baru pada tahun ‘70-an-‘80-an yang sangat ketat dalam berbagai kontrol, justru mendorong kreativitas penciptaan dengan munculnya judul-judul kemanusiaan, etika, dan lakon-lakon sosial yang lebih menonjolkan sisi kemanusiaan sebagai jawaban atas situasi yang dianggap sangat terawasi. Sementara lakon-lakon mistik dan hantu-hantu, tetap gentayangan karena dianggap lebih aman.





Namun, satu hal yang penting untuk diketahui, bahwa hantu-hantu ini tidak lepas dari lakon sosial yang dapat dijelaskan dalam berbagai alasan dan pembenaran budaya. Misalnya Godaan Siluman Perempuan (PT Leuser Film, 1978), Tuyul  (PT Sinar Tekun Film), atau Kutukan Nyai Roro Kidul.





Demikian juga pada tahun 1980, hampir semua film mistik dan hantu masih bertaut dengan kehidupan masyarakat sehari-hari, dalam arti makhluk halus dan hantu-hantunya serta adegan mistik dalam lakon-lakon film nasional masih dikenal dalam kolektifmemory masyarakat. Barulah setelah Pengabdi Setan (1980), PT Rapi Film mulai mengajak secara profesional setan dan hantu-hantu sebagai bintang film dalam film Indonesia. Karena sejak itu setan dan hantu-hantu sudah diberi peran sesuai skenario manusia, sementara sebelumnya judul-judul film produksi Rapi Film sangat melankolis penuh perasaan terkadang sedikit genit misalnya Akibat Godaan (1978), Dang Ding Dong (1978), Rahasia Perawan (1978), Cubit-Cubitan (1979), Kerinduan (1979), Pelajaran Cinta (1979), Wanita Segala Zaman (1980), Anak-anak Tak Beribu (1980), dan Warna Cinta (1980).





Konteks cerita Pengabdian Setan memang konteks cerita Indonesia, tetapi hantu dan roh-roh halus yang bermain, sudah menjadi bagian dari kehidupan metropolitan. Apakah hantu dan roh-roh yang bermain di sini sudah hantu dan roh impor yang dipinjam dari alur penceritaan film impor? Kalau ini benar, maka posisi hantu-hantu Tionghoa, yang sudah mendominasi wajah perfilman Indonesia sejak tahun 1930-an, sudah habis masa kontraknya dan perannya diambil alih oleh hantu-hantu Indonesia yang kemasukan roh dan mahkluk-mahkluk halus global.





Dibanding pada tahun ‘80-an, pada era tahun ‘90-an industri perfilman mengalami penurunan, setidaknya dari jumlah produksi, hanya sekitar 453 judul film dalam 10 tahun, berarti hanya diproduksi sekitar 37-an film dalam setahun.





Sampai dengan pertengahan tahun 1990-an, tema-tema film nasional kita didominasi oleh tema-tema drama rumah tangga, sedikitaction, dan kisah-kisah pendekar. Sementara tema-tema hantu dan mistik seakan jalan di tempat. Akan tetapi, setelah tahun 1995, terjadi perubahan dalam selera penceritaan.





Dimulai dengan judul Bebas Bercinta oleh Rapi Film (1995), lakon-lakon yang menyerempet-nyerempet ke tema-tema seks mulai menghangat. Karena setelah itu, sepanjang tahun 1995 hingga memasuki tahun 2000-an, tema berbau seks tidak terbendung lagi dengan munculnya Cinta Terlarang (1995), Dibalik Pelukan Laki-laki (1995), Gairah & Dosa (1995), Gairah Malam Yang Kedua (1995),Gairah Terlarang (1995), Hangatnya Cinta (1995), Lembah Dosa (1995), Pergaulan Intim (1995), Pergaulan Metropolis (1995),Permainan Binal (1995), Pesona Gadis Sampul (1995), Rayuan Cinta (1995), dan Skandal Binal (1995).





Memang masih perlu penelitian yang cermat tentang munculnya tema-tema seks pada era tahun 1900-an, yang sesungguhnya mencapai puncaknya pada tahun 1996-1997-1998, pada era peralihan kekuasaan orde baru ke era reformasi. Bisa dibayangkan, dalam 1 tahun saja (1997) diproduksi 21 film bertema “seks”





Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam dua dasawarsa terakhir ini, era tahun 1990-an dan 2000-an, industri perfilman di Tanah Air diramaikan dengan munculnya industri sinetron untuk konsumsi televisi yang jumlahnya kian bertambah dalam 20 tahun terakhir.





Baik industri film layar lebar maupun televisi menciptakan lapangan kerja bagi sekian banyak orang. Masalah yang dihadapi sekarang menjadi sangat multidimensi. Mutu sumberdaya pemain, kualitas-kreativitas penciptaan cerita (skenario), promosi/iklan yang etis, termasuk pemilihan judul yang tepat dan yang terpenting adalah tanggung jawab moral terhadap dampak yang diakibatkan sebuah film.





Apakah ia diproduksi semata-mata hanya untuk hiburan sesaat tanpa pesan-pesan moral yang dititipkan oleh si pembuat film, karena memang sang film diciptakan hanya sebagai tontonan pelipur lara. Kalau dari awal niatnya memang hanya untuk pelipur lara demi uang, maka kita pun tidak dapat berharap banyak akan munculnya pemain-pemain/aktor-aktor yang memiliki kualitas pribadi yang tangguh. Karena untuk film yang diciptakan hanya sekadar pelipur lara yang mengikuti selera penonton seketika, kata lain dari murahan,  akhir-akhir ini mulai mendatangkan pemain-pemain asing sebagai bintang tamu dari sebuah film nasional.





Apa arti semua ini, ialah penonton kita sudah mulai jenuh dan jemu dengan wajah pemain-pemain kita yang setiap hari kelihatan di judul-judul film yang berbeda-beda dan di puluhan sinetron dengan lakon yang beraneka ragam, tetapi dengan karakter/kepribadian yang sama.

Selasa, 29 November 2011

FILM SEX, HANYA MENGIKUTI PASAR ATAU PRODUSER MENCEKOKI PENONTON?

 FILM SEX, HANYA MENGIKUTI PASAR ATAU PRODUSER MENCEKOKI PENONTON?
 

Sudah saya bilang, pornografi adalah ratting tertinggi penontonnya, artinya yang akan ditonton oleh semua orang, baik yang malu-malu ataupun yang terang terangan. Yang pasti pornografi dari jaman dulu memang sudah di sukai semua orang. Jadi jelas disini, kalau mau laku ya, bikin pornografi. Baik yang terang-terangan atau yang malu-malu dengan sejumlah alasan. Tetapi kalau mau tidak terlalu untung besar, kan bisa tanpa pornografi?

Sekarang pertanyaan saya adalah, apakah produser mau untung besar banget dengan modal kecil. Atau mau untung biasa saja? Dari pertanyaaan ini bisa diartikan serakah keuntungan atau tidak?

Jadi siapa yang sebenarnya? Kata Produser mengikuti pasar penonton? Atau kata penonton mengikuti pasar film? Ini sama saja mencari jawaban, telur dulu atau ayam?????

25 Juni 1994


Film indonesia, silakan back to basic 
SEORANG
gadis cantik melepaskan sepatunya, stokingnya, blusnya, lalu roknya yang berwarna merah. Seorang lelaki mendekatinya, menggendongnya, membawanya ke ranjang. Dan kemudian ranjang bergoyang-goyang. Pada saat lain seorang gadis desa yang belum lama di kota, hampir menjadi bulan-bulanan pemerkosaan pamannya. Ia sempat kabur. Di tengah jalan, terjadi lagi adegan "hampir" itu, oleh lima pemabuk. Untunglah, seorang lelaki mengaku fotografer free-lance menolongnya. Dan seterusnya, dan apa pun yang ingin diceritakan, adegan buka- bukaan (secara sukarela atau dipaksa), gendong-menggendong, atau tindih-menindih itulah yang disajikan. Inilah film berjudul Gaun Merah, yang pekan lalu beredar di Jakarta, juga Bali. Seperti itulah dalam satu setengah tahun belakangan ini prototip sebagian besar film Indonesia. Apa pun judulnya, adegan semacam itu yang berulang disajikan. Adapun cerita boleh dianggap tak ada. Begitulah laporan wartawan dan koresponden TEMPO di berbagai kota, yang menonton berbagai film Indonesia. Dari Gaun Merah sampai Cinta dalam Nafsu, dari Gadis Malam sampai Akibat Hamil Muda. Dan film Indonesia jenis itulah, tampaknya, yang mendapatkan penonton. Jenis yang lain, film laga (action) misalnya, asal dibumbui seks secukupnya, ditanggung mengundang penonton juga. Pun film komedi gaya Warkop, yang belakangan aroma seksnya makin semarak, laris. Tanpa bumbu seperti itu, lazimnya film itu seret. 

Menurut data PT Perfin, distributor tunggal film Indonesia, di Jakarta tahun 1993 film komedi karya Putu Wijaya, Plong, yang tak mencoba bermain-main dengan seks, hanya mendapatkan sekitar 8.400 penonton. Sedangkan film yang berbau seks, Gadis Metropolis, umpamanya, ditonton lebih dari 200.000 orang. Pada triwulan pertama tahun ini, perbandingan seperti itu masih terjadi: film komidi Si Kabayan hanya memperoleh pembeli karcis hampir 35.000. Sedangkan Gairah Malam mendapatkan penonton hampir 265.000. Tentu, ada perkecualiannya, Ramadhan dan Ramona, pemenang Citra tahun 1992, yang beredar tahun 1993, ternyata laris (lihat tabel). Tetapi lain dulu lain sekarang, film seks masa kini hadir dengan mulus, tanpa komentar ramai, tanpa protes dari masyarakat - protes secara grenengan sih masih ada. Tahun 1989, muncul protes masyarakat, bahkan juga DPR. Waktu itu film Pembalasan Ratu Laut Selatan karya Tjut Djalil dianggap vulgar karena menjadikan seks dan kekerasan sebagai menu utama. Akhirnya, Pembalasan ditarik dari peredaran. Kalau toh ada ramai-ramai soal film seks sekarang ini, bukan filmnya yang diprotes, melainkan posternya. Di Pamekasan, Madura, akhir Mei lalu, para ulama menyatakan keberatan dipasangnya poster-poster film nasional yang menurut mereka tak senonoh. Itu antara lain poster film Gadis Malam, Perempuan, dan Gaun Merah. "Kami keberatan jika poster semacam itu dipasang di muka umum," kata Hamid Manan, Ketua NU Cabang Pamekasan. Keresahan itu langsung mendapat tanggapan dari Mul- yadi, Penjabat Bupati Pamekasan. 
 
 
 
Dua hari kemudian, poster- poster pun diturunkan. Tak jelas mengapa filmnya itu sendiri tak diprotes. Mungkin filmnya masih bisa diterima oleh para kiai itu, atau kemungkinan besar para kiai memang tak menontonnya. Tapi memang, tim Laporan Utama TEMPO kali ini menyimpulkan, poster-poster film Indonesia kini lebih merangsang daripada filmnya itu sendiri. 

Lihat saja poster Cinta dalam Nafsu, yang menggambarkan seorang perempuan telentang penuh gairah. Atau iklan film ini di majalah: lelaki bermotor, memboncengkan seorang wanita asing yang mengibarkan beha putih. Harap maklum, adegan berboncengan dalam keadaan topless itu tak ada dalam filmnya -- mungkin kena gunting sensor. Tapi, tak lalu film-filmnya itu sendiri bertutur dengan gambar-gambar yang alim. Seperti sudah disinggung, film jenis ini mementingkan gambar, mengabaikan cerita. Cinta dalam Nafsu adalah cerita seorang suami, pengusaha kaya dan tampan, yang cerai dengan istrinya. Lalu, sepanjang film itu ia jatuh ke pelukan wanita yang satu pindah ke yang lain. Maka, sepanjang film pun, sekitar 70 menit, adalah adegan percumbuan ke adegan ranjang. Tapi apa salahnya menyajikan adegan seks? "Seks itu indah, dan itulah yang diungkapkan dalam film-film bermutu," kata Sutradara Slamet Rahardjo, yang film kanak-kanaknya, Langitku Rumahku, banyak dibicarakan para pengamat film meski hanya beredar singkat di Indonesia. Slamet tak menjelaskan bagaimana itu "film bermutu". Mungkin ia mengacu pada film Barat, misalnya Last Tango in Paris, yang berkisah tentang dua manusia yang mencari diri, dan caranya dengan melakukan hubungan seks. Atau The Piano, yang melukiskan hubungan seks sebagai alat berkomunikasi dan berekspresi tokoh wanitanya yang terbelenggu oleh suaminya yang tak mau memahaminya. Masalahnya, dalam hal film Indonesia belakangan ini, kata Slamet pula, "apakah adegan-adegan itu ada konteks ceritanya atau tidak, dan bagaimana cara mengungkapkannya." Sayang sekali, adegan seks dalam film kita itu, katanya, lepas dari cerita, dan dari sudut sinematografi cara pengungkapannya sangat vulgar. Sebagai wakil ketua Karyawan Film dan Televisi, yang harus menandatangani rekomendasi untuk produksi sebuah film, Slamet mengaku merasa malu melihat keadaan ini. "Seakan-akan para sutradara sudah kepepet dan kehilangan akal untuk membuat film, hingga mereka mencari jalan pintas untuk bisa menjual filmnya," katanya. Tapi Budiati Abiyoga, produser yang tampak optimistis tentang nasib film Indonesia, tak melihat soal kepepet itu. 
 
Di setiap zaman, katanya, masalah ini akan selalu muncul, karena seks adalah salah satu naluri manusia. Bentuk penampilannya dalam film tentunya disesuaikan dengan zamannya pula. Dan biasanya pula, katanya, akan selalu ada pihak yang menentangnya. Ia memberi contoh. Pada tahun 1960-an, sebuah film berjudul Bumi dan Langit karya Dokter Huyung diprotes oleh Pelajar Islam Indonesia Medan, sebelum sempat beredar. Gara-garanya, poster film itu menggambarkan adegan berciuman antara pria dan wanita. Lalu, tahun 1967, ketika film Indonesia lesu karena keran impor dibuka, muncul Bernapas dalam Lumpur yang mencoba mengatasi kelesuan dengan adegan ranjang. Film ini tercatat sebagai film terlaris masa itu. Suzanna, aktris yang membintanginya, langsung populer sebagai aktris termahal yang berani melakukan adegan ranjang dengan pakaian yang agak terbuka. Bernapas disusul film lain seperti Tante dan Seks. Garin Nugroho, sutradara Cinta dalam Sepotong Roti -- film pemenang Citra tahun 1992 -- kurang optimistis ketimbang Budiati. Menurut Garin, dulu di antara film-film seks lahir sejumlah sutradara baik dengan film yang baik. Karena itu, terjadi keseimbangan, kurang-lebih. Kini, suasana berbeda, karena terasa dunia film makin macet. Setidaknya, dari segi jumlah, dominasi film seks sangat terasa. Lalu, kenapa bisa terjadi dominasi itu? Pada ulang tahun Persatuan Produser Film Indonesia setahun silam, Ketua Komisi Sosial Budaya Dewan Film Nasional, Rosihan Anwar, mengemukakan sebuah konsep, yakni back to basic. Maksudnya, anjuran agar "para produser membuat film dengan formula menghibur, misalnya dengan tema ringan, komedi dibumbui ramuan seks," tutur Rosihan. 

Rosihan mengemukakan "konsep" itu menjawab keluhan para produser tentang lesunya perfilman nasional dua atau tiga tahun terakhir ini. "Saya juga mengimbau Badan Sensor Film untuk sedikit melonggarkan sensor mereka terhadap film nasional," kata Rosihan pula. Tak jelas, apakah Badan Sensor Film menuruti imbauan itu. Kenyataannya, dari 32 film Indonesia yang beredar di Jakarta tahun 1993, hanya tiga di antaranya yang bisa dikatakan bebas bumbu seks yang norak. Yakni, Plong karya Putu Wijaya, Ramadhan dan Ramona karya Chaerul Umam, dan Yang Muda yang Bercinta karya Syuman Jaya (ini film lama yang diputar kembali). Sedangkan sisanya adalah film silat, horor, komedi, dan drama yang menempatkan bumbu seks sebagai menu, kadang malah menu utama. Tahun ini, dari 15 film yang sudah beredar di bioskop Indonesia, tak satu pun yang bisa dianggap film "serius". Memang, ada Surat dari Bidadari dan Badut-Badut Kota, tapi sampai pekan lalu berlum beredar. Jadi, benarkah Badan Sensor Film kini banyak mengistirahatkan guntingnya? "Kami selalu kena getahnya," kata Ketua Harian BSF, Soekanto. "Banyak film Indonesia yang kami potong hingga beratus-ratus meter panjangnya," katanya. Tapi, kata Soekanto pula, memang ada kebijakan untuk melonggarkan penyensoran film Indonesia. Dan itu bukan karena imbauan Rosihan, melainkan "kebijakan lisan yang mengimbau agar kita semua mendukung film Indonesia, di awal tahun 1970-an." Maksudnya, sensor untuk film Indonesia janganlah seketat untuk film asing. Lain dari itu, Soekanto mengingatkan, BSF hanyalah filter kedua. "Filter pertama adalah Direktorat Pembinaan Film dan Rekaman Video, di bawah Departemen Penerangan. Mereka yang berwenang memberikan izin produksi," tuturnya. Maka, kalau BSF memotong adegan seks dengan giat, padahal adegan itu sudah disetujui Direktorat Pembinaan tersebut, "produsernya segera memprotes pemotongan itu." Hal itu dibenarkan oleh Narto Erawan, Direktur Pembinaan Film dan Rekaman Video Departemen Penerangan. Yang menjadi masalah, "Ketika para produser menyerahkan skenario, mereka cenderung mengembangkannya di lapangan. Apa yang tertulis di skenario lantas menjadi lain dengan filmnya," tutur Narto. Repot, memang. Mungkin hanya beberapa film, bahkan mungkin tak ada, yang persis 100% dengan skenarionya. Jadi, masih efektifkah pemeriksaan itu? Bisa jadi memang ada produser dan sutradara yang sengaja membikin skenario yang bisa disetujui, lalu dikembangkan di lapangan. Jawaban seorang produser ketika ditanya mengapa ia memproduksi film-film seks, secara tak langsung bisa ditafsirkan membenarkan pernyataan di atas. "Mau gimana lagi. 

Itu yang disenangi penonton Indonesia sekarang. Ringan, nggak usah mikir dan gambarnya enak dilihat," kata Ferry Angriawan, produser Cinta di Balik Noda. Tommy Burnama, sutradara Cinta dalam Nafsu, mengakui bahwa ia menggarap film berbau seks lantaran mengikuti kecenderungan pasar. "Itu upaya memancing selera penonton," katanya. Tapi salahkah para produser dan sutradara itu? Kata Produser Budiati Abiyoga, membuat film macam apa pun adalah hak produser. Bila iklim perfilman kita kini oleh beberapa pihak dianggap tak sehat, bukan karena film seks itu, melainkan absennya film bermutu. Dan seperti juga lagu pop, film seks pun akan sepi dari penonton, karena mereka sudah jenuh. Ketika itu, bila tak ada film Indonesia yang cukup serius, kata Salim Said, pengamat film, musim film seks yang kemudian surut itu bisa berdampak negatif: masyarakat makin kehilangan kepercayaan pada film Indonesia. Jadi, adakah nasib film Indonesia bagaikan judul sebuah film Warkop: maju kena, mundur kena? Tampaknya, perlu sedikit berkelit, lalu melihat bukan "depan" atau "belakang". Yakni melihat ke samping, adanya sineas-sineas muda serius, adanya Kine Klub, tempat selera sehat masih dipelihara. Dan jangan lupa, tetap saja ada film-film tanpa seks, misalnya Ramadhan dan Ramona, yang beredar di Jakarta Maret tahun lalu, dan mendapat lebih dari 180.000 penonton. Adapun kesimpulannya, penonton tidaklah perlu dilindungi dengan berbagai aturan. Yang dibutuhkan, beragam alternatif, bukan selera yang seragam. Leila S. Chudori dan Biro-Biro

Minggu, 27 Februari 2011

GOTOT PRAKOSA

GOTOT PRAKOSA

Nama :Gotot Prakosa
Lahir :Padang, Sumatera Barat,
10 Desember 1955

Pendidikan :
Taman Siswa Ibu Pawiyatan, Yogyakarta,Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI),Jurusan Film FFTV IKJ, Jakarta (1981),Animation Workshop, University of Phillipines (1982),
Pendidikan Pengajar Sinematografi (1984),
Pendidikan Animasi di Laussane, Swiss (1984),
IKJ Jurusan Filmologi,
S-2 Program Studi Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, UGM Jogyakarta (1992-2002)

Profesi :
Pembuat Film,
Pengajar bidang Film dan Multimedia,
Pelukis,
Penulis

Lukisan Warna,
Telur & Singkong,
Jakarta-Bandung

Penghargaan :
Festival Film Mini DKJ (1976-1981),
Experimental Work Film (1987),
Art Houses Association (Kanada),
International Film Forum Jerman,

Film Dokumenter Kantata Takwa yang dibuat bersama Erros Djarot dan Slamet Rahardjo meraih penghargaan Golden Hanoman dan Geber Award pada Jogja Netpac Asian Film Festival 2008

Filmografi :
Sepasang Tanduk (Animasi, 1975),
Impuls (Animasi, 1976),
Meta-Meta (Animasi,1977),
Dialog (Animasi, 1978),
Koen Faya Koen (Animasi, 1980),
Genesis-Genesis (Animasi, 1981),
Self Potret (Animasi, 1982),
Ular Besi (Animasi, 1983),
Kosmopolis (1982-1984),
Gamelan Series (U-Matic, 1986),
Infermental (Betamac, 1987),
Bedoyo Sokamaya (U-Matic, 1988),
Wahyu and His Works (Video-8, 1989),
Kantata Takwa (1990),
Kosmopolis II (Animasi, 1992),
Sinyo Salam (1994),
Sakura di Bumi Nusantara (Betacam, 1995)

SINYO SALAM1993GOTOT PRAKOSA
Director

Sejak kecil hingga remaja, salah satu putera pasangan Drs. Hengky Soemarso dan Penny Soedarpendah ini, memang dibesarkan dalam tradisi lingkungan Perguruan Taman Siswa, Yogyakarta. Sempat serius menekuni seni lukis di Sekolah Menengah Seni Rupa Indonesia (SSRI). Selepas dari Yogyakarta, Jakarta menjadi tujuan hidupnya, sembari terus ikut berbagi dan menimba ilmu. Setelah lebih kurang enam tahun, ia lantas melanjutkan studi ke Sekolah Film LPKJ-TIM, untuk bidang Penyutradaraan dan Animasi Eksperimental.

Perkenalannya dengan dunia animasi ini sebenarnya lahir tanpa sengaja. Pasalnya, karir pasangan hidup dari Susy Natalia ini, bermula dari kebiasaannya melukis. Kesenangannya itu kemudian ia salurkan saat mengumpulkan beberapa seluloid film milik Sjumandjaja. Selanjutnya dari seluloid bekas ini, ia mulai menggambar beberapa cerita yang membentuk sebuah story-board dan kemudian dijadikan film kreasinya. Semua itu ia lakukan selama studi di LPKJ-TIM, selain juga ikut menjadi salah satu tenaga pengajarnya sejak tahun 1978. Mendapat kesempatan khusus untuk belajar animasi di Filipina dan Singapura. Kemudian dilanjutkan ke Swiss pada tahun 1984, selama satu tahun. Di sini ia bertemu dengan dua pekerja animator handal, Robi Engler asal Swiss, dan Carl Fugun asal Austria-Jerman, dari Studio Imagination, di Kota Laussane, Swiss.

Sekitar 30 karya film pendek eksperimentalnya dibuat tahun 1970-an, sejak tahun 1991 sudah direservasi ulang oleh National Film Archive, Canberra, Australia sebagai bahan studi khusus di Monash University, dan beberapa universitas lainnya di Australia. Kemunculannya karya-karyanya di akhir tahun 1970-an cukup memberi catatan tersendiri dalam perjalanan karirnya. Mengingat di era sebelumnya, Indonesia lebih banyak dikenal dengan garapan-garapan film dokumenter yang banyak menjual eksotisme seni dan budaya. Tak heran, jika karya-karya film eksperimentalnya banyak dianggap aneh oleh beberapa pengamat film saat itu. Beberapa karya garapnya yang sempat mengemuka adalah Lukisan Warna, Telur & Singkong, dan Jakarta-Bandung. Sebagai pekerja seni, selain akrab dengan dunia produksi, Ketua Program Studi Animasi FFTV-IKJ ini, sering menjadi langganan juri untuk berbagai festival bergengsi dari kelas independen sampai komersil setingkat Festival Film Indonesia.

Kiprahnya di dunia film secara keseluruhan juga sudah diakui baik di tingkat nasional maupun mancanegara. Beberapa penghargaan itu, di antaranya datang dari ajang Festival Film Mini-DKJ (1976-1981), dan Experimental Work Film (1987), dari Art Houses Association (Kanada), serta International Film Forum Jerman.

Energi ayah dari putera semata wayang, Nur Langit Lembayung itu, seolah tak pernah habis untuk mensosialisasikan animasi. Selain masih terus keliling berbagi ilmu, ia juga masih terbilang aktif di sejumlah tim produksi sebagai sutradara. Selain itu, ia juga pernah ikut menggarap beberapa film layar lebar besutan sutradara Teguh Karya (alm), Eros Djarot, dan Slamet Rahardjo. Dari sinilah mereka kemudian sepakat mendirikan PT. Ekapraya Tata Cipta, yang digawangi oleh Eros Djarot, Slamet Rahardjo, Rahim Latif, dan Christine Hakim.

Gotot Prakosa, kerap menjadi salah satu sumber informasi yang paling sering dicari atau dijadikan narasumber seputar keberadaan perjalananan panjang animasi tanah air. Ia adalah Ketua ANIMA (Asosiasi Film Animasi Indonesia). Selain itu, sejak Mei 2006 lalu, ia juga menjadi Board Member ASIFA (Asosiasi Film Animasi Internasional) untuk wilayah Asia Tenggara.

Seiring maraknya kembali dunia perfilman tanah air beberapa tahun terakhir, jadwal mantan Ketua Komite Film Dewan Kesenian Jakarta itu, selalu disesaki dengan beragam seminar dan penjurian seputar dunia film. Dalam sebulan, ia bahkan bisa berada di beberapa tempat untuk maksud dan tujuan yang sama. Bukan tanpa alasan, jika alumni Program Sastra-Humaniora, Pasca Sarjana UGM Yogyakarta ini terlihat begitu getol menyuarakan nasib animasi tanah air di berbagai kesempatan.

Pekerja Film alumni Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta (FFTV-IKJ) ini, sudah amat mahfum dengan seluk-beluk perjalanan dunia animasi tanah air, yang baginya harus segera dicarikan solusinya. Hampir semua memanfaatkan pendekatan budaya dalam filmnya, yang berangkat dari cerita rakyat seperti legenda atau mitologi. “Harus disadari, film animasi yang beredar di televisi nasional masih dikuasai oleh pasar impor. Suatu saat nanti kondisi ini harus berubah, mengingat jumlah SDM kita yang besar dan pasar yang belum tergarap. Mungkin kita harus belajar dari Jepang dan juga harus berbuat hal yang sama,” katanya. “Film-film impor ini bisa bertahan karena memiliki modal dan tenaga besar yang sabar menaklukkan waktu dalam sebuah sistem industri hiburan. Seperti halnya Jepang yang kini sudah melampaui Amerika,” tambahnya.”

Film Pendek dan Karya Animasi oleh Gotot Prakosa
Adegan kelompok dari 'Meta Ekologi' dengan anak-anak setempat menyaksikan acara pertunjukan dipentaskan di halaman Institut Seni Jakarta

Sembilan film pendek - awalnya diproduksi pada film 16mm, beberapa di antaranya animasi - dan dua video pendek, semua oleh Gotot Prakosa, disuplai pada satu video kompilasi dengan waktu pemutaran sekitar 105 menit.

Gotot Prakosa adalah pembuat film pendek eksperimental terkemuka di Indonesia. Sebagian besar koleksi di sini adalah pekerjaan yang dilakukan antara 1974 dan 1987 pada saat ia masih seorang siswa dan guru muda di Fakultas Sinematografi di Institut Seni Jakarta. Karya-karya tersebut berkisar dari animasi yang dihasilkan dengan menggambar langsung pada film (Meta-meta dan Impulse), atau dengan memotret gambar (Koen Faya Koen, dan A = Absolute, Z = Zen) atau benda-benda seperti buah dan telur (Dialog dan Genesis-Genesis) ), ke jenis "dokumenter" yang lebih teratur (Jalur, perjalanan cepat ke Bandung) ke "sinematisasi" seni pertunjukan (Meta-ekologi) yang mendalam dan halus, berdasarkan peristiwa kinerja tahun 1979 dengan nama yang sama dengan pertunjukan terkemuka di Indonesia artis, Sardono W. Kusuma, atau Vancouver-Borobodur, sebuah video, juga dilakukan dengan Sardono, kali ini di Vancouver di stan Indonesia di International Expo pada tahun 1986). Sebagian besar dari karya-karya ini memiliki kualitas eksperimen yang muda dan tidak sopan. Terkadang mereka relatif abstrak dan minimalis dan mengejutkan singkat. Sebagian besar bermain di sepanjang spektrum yang mencakup rasa tajam akan kekhasan budaya Indonesia dan kesadaran akan gaya dan suara internasional modern yang menarik.
Catatan tentang Film

Catatan dalam koma terbalik telah disediakan oleh Gotot Prakosa.

Meta Meta ('Gambar') (awalnya dilukis di atas film 16mm, warna, 3 mnt, 1975-6) "Gambar-gambar kekuatan kehidupan membuncah. Ini adalah film yang menggambarkan mimpi visual yang saya miliki ketika saya baru 12 tahun "Saya membuat film ini dengan cara yang sama seperti saya melukis."

Impuls (awalnya dilukis pada film 16mm, warna, 2 mnt.) Animasi abstrak eksperimental awal, dibuat dengan menggambar langsung ke film 16mm

Dialog (aslinya 16mm; warna; 3 mnt) Karya eksperimental awal, dibuat dengan menjiwai buah dalam mangkuk. Berbagai macam dialog - menggunakan bahasa tubuh - terjadi di antara buah.

Jalur ('Lane') (awalnya dibuat pada film 16mm, berwarna, 11 menit, 1977) "Perjalanan dari Jakarta ke Bandung. Film ini adalah ekspresi dari perjalanan, seolah-olah itu adalah meditasi, sebuah perjalanan di mana Anda mengabaikan semua yang ada di sekitar Anda. "

Non KB ('Keluarga Berencana') (Animasi, awalnya diambil pada 16mm, warna, 2 mnt, 1979) "Huruf KB merujuk pada istilah resmi` Keluarga Berencana ', yaitu `Keluarga Berencana'. Ini adalah" Non KB "Film. Visi spontan tentang pengenalan keluarga berencana."

Koen Faya Koen (Animasi, aslinya diambil pada 16mm, warna, 3 menit, 1979) "Koen Faya Koen!" adalah tangisan dalam bahasa Arab yang digunakan oleh pesulap jalanan Jakarta (dengan isyarat permohonan) ketika ia pergi untuk menyulap sesuatu. Koen Faya Koen adalah film ironis tentang penciptaan dunia, di mana Tuhan adalah semacam pesulap jalanan.

Salah satu peserta dalam 'Meta Ekologi'

Meta Ekologi (Awalnya dibuat pada film 16mm di Institut Kesenian Jakarta, B. & W., 14 mnt, 1979). Disutradarai oleh Gotot Prakosa dan berdasarkan pada acara pertunjukan yang dikembangkan oleh Sardono W. Kusuma. "Film ini merupakan tanggapan terhadap upaya untuk berdialog dengan ekologi bumi dan air. Kemanusiaan mengungkapkan perasaannya melalui tubuhnya dengan berusaha untuk menjadi satu dengan alam semesta. Ini seperti petani yang bekerja di tanah, ditutupi dengan lumpur. Suatu proses poeticisation. " Salah satu film paling luar biasa yang pernah dibuat di Indonesia.

Genesis, Genesis (Animation, aslinya dibuat pada 16mm, color, 12 min., 1981) "Sebuah film yang terinspirasi oleh mitologi kehidupan manusia dari bagian Indonesia, yang berbicara tentang kelas dan karakter". (Telur yang dicat, apel dan pawai ubi jalar dalam formasi mirip militer di lanskap pegunungan.)

A = Absolute, Z = Zen (Animasi, aslinya diambil pada film 16mm, warna, 4 mnt, 1983) Memulai setiap bagian dengan mudra baru (isyarat tangan) dari Sang Buddha, "seri penglihatan oleh Borobodur Buddha ini terkait ke Buddhisme Zen Jepang, sebagai serangkaian refleksi atas sifat masyarakat konsumeris ".

Vancouver-Borobodur (Video dengan koreografi dan pertunjukan oleh Sardono W. Kusuma, 1986, 20 menit.) Videografi oleh Gotot Prakosa di Vancouver di the Indonesian Expo). Dipotret pada pita rendah U-matic, kualitas teknis dari kaset ini bervariasi.

Wahyoe dan Karyanya (Video, 20 mnt., 1989, Videographer: Gotot Prakosa). "Bali sering menyimpan misteri, dan mungkin salah satu dari misteri ini adalah eksotisme Bali. Tapi bagi orang Bali, mungkin eksotisme itu adalah para turis itu sendiri. Wahyoe dibesarkan di Bali, tetapi dia telah tersentuh oleh nilai-nilai Barat. Meskipun dia telah bepergian di Amerika dan Eropa, dia masih memilih Bali, tinggal di sana sebagai pelukis modern, dan memiliki wanita kulit putih yang berbeda sebagai mitranya. Sebuah potret sisi lain kehidupan di Bali. " Dipotret pada pita rendah U-matic, kualitas teknis dari kaset ini bervariasi.

Kamis, 24 Februari 2011

RAAM PUNJABI, MENGHIBUR DENGAN SAMPAH?

08 Januari 2001
Raam Punjabi: 
"Tiket Utama untuk Sinetron Adalah Wajah Cantik"
 

Dia banyak di kecam orang dan juga banyak yang memaki-makinya. Dulu saat film masih bagus, dia juga yang mengambil sikap dengan membuat film horor dan sex, sampai saat ini. Ketika film hancur (dihancurkan olehnya/ tanpa dfisadari atau sadar/dengan tayangan yang murahan) dia banting stir ke sinetron yang masih lahan baru, disana dia berbisnis, dan lama-kelamaan menjadi sampah juga. Sehingga banyak juga orang yang mengecam sampah buatannya di TV-TV. Apa'pun namanya menghibur atau di hibur atau uang...yang pasti adalah sampah. Ketika ladang bisnis sudah panen banyak, dia lari ke tempat yang lain dan mengotorinya dengan sampah, hingga saat orang lain membangun perfilman atas kepercayaan penonton, dia kembali lagi ke film dan lagi-lagi membuat sampah. Inilah contoh pembisnis film yang selalu untung dan ingin untung tanpa memikirkan dampak apa pun yang diperbuatnya. Dan tidak sedikit orang seperti dia, pebisnis film yang selalu mengatakan menghibur/penontonnya dengan sampah.

DIA dijuluki Raja Sinetron. Suka atau tidak, produksi Multivision Plus, rumah produksi yang didirikannya 11 tahun silam, berkibar-kibar di hampir setiap stasiun televisi. Suka atau tidak, sinetron produksinya selalu mencapai rating dua digit alias banyak penontonnya. Tentu para penonton Indonesia sudah mafhum bahwa produksi Multivision punya karakter yang bisa dikenal secara sekilas: pemakaian bintang-bintang cantik dan tampan (yang belum tentu memiliki kemampuan akting), tema cerita yang berkisar pada drama cinta rumah tangga, karakter yang selalu hitam-putih secara ekstrem (menantu yang jahat atau ibu tiri yang sadistis), lokasi yang memaparkan kemewahan versus kemiskinan yang ekstrem, dan durasi penayangan yang berkepanjangan karena disukai pemirsanya. Di antara para kritikus film, sinetron, dan para sineas lainnya, sinetron produksi Raam sudah jelas karakternya: sebuah industri. Tapi, Raam tahan banting atas caci-maki dan kritikan yang meluncur. Lahir di Surabaya, 57 tahun silam, Raam Jethmal Punjabi mengaku sinema sebagai dunianya sejak ia berusia delapan tahun karena ia gemar keluar-masuk gedung bioskop di Surabaya. "Sejak kecil saya memang bercita-cita menjadi produser film," kata Raam. Berawal sebagai importir film, Raam berhasil mewujudkan impiannya lewat PT Panorama Film, pada 1971, yang memproduksi film Cinta dengan memasang pasangan idola kala itu, Sophan Sophian dan Widyawati. Geliat bisnisnya pun tak terbendung. Selama 17 tahun ia memproduksi 100 judul film layar lebar. 

Pada dasawarsa 1980, dengan bendera Parkit Film, Raam sukses mengeksploitasi komedi slapstik trio Warkop DKI (Dono, Kasino, Indro), yang biasa didampingi gadis cantik bertubuh seksi. Ketika perfilman Indonesia luluh-lantak, di akhir 1989, Raam banting setir masuk ke bisnis sinetron dengan investasi Rp 250 juta. Kini rumah produksinya sudah menghasilkan 9.000 jam sinetron (dia lupa jumlah judul dan jumlah episodenya). Saat ini saja, tak kurang dari 12 judul sinetron produksi Multivision Plus setiap pekan mengalami kejar tayang di lima stasiun televisi. Akibatnya, ban berjalan produksi sinetronnya dari hari ke hari mengalir dari satu episode ke episode berikutnya. Inilah industri kerajaan Multivision Plus. Sejak itu, sinetron Melayu mengisi ruang keluarga penonton televisi Indonesia, dari kekonyolan komedi Warkop DKI hingga soap opera ala Aaron Spelling, atau telenovela Amerika Latin. Sebutlah sinetron Tersanjung atau Bella Vista, yang semuanya berada pada "rating" puncak dengan cerita yang mengharu-biru. Tak aneh bahwa Raam Punjabi dicap sebagai produser sinetron penjual mimpi dengan artis berwajah molek, aktor berparas elok, dan kehidupan nyaman kelas atas. Tapi, sesekali ia mengejutkan publik dengan sinetron Bukan Perempuan Biasa, yang diarahkan Jajang Pamoentjak berdasarkan skenario Arifin C. Noer. Untuk serial semacam ini, ia mengaku memberi semacam keistimewaan. Misalnya, ia tak ikut campur dalam "mengoreksi" naskah dan tak menuntut kontrak eksklusif pada Christine Hakim karena, "Dia bintang legendaris, dan saya merasa terhormat bekerja sama dengannya." Tahun ini, ia mengulang kejutan itu dengan memproduksi sinetron Tiga Perempuan, dengan pelakon serius Christine Hakim dan sutradara Maruli Ara. Selama dua setengah jam, Leila Chudori, Irfan Budiman, Dwi Arjanto, dan Andari Karina Anom dari TEMPO mengorek sepak terjang Raam Punjabi menguasai pentas mimpi di layar kaca Indonesia. Wawancara itu sesekali disela dengan protes kecil Raam, yang mempertanyakan, "Kenapa TEMPO hanya mau mengulas Tiga Perempuan? Bukankah produksi saya yang lain bagus? I'll tell you, 'Doa Membawa Berkah' will be a smashing hit," tuturnya, mencoba meyakinkan. Saat berbagai sinetronnya dikritik oleh tim TEMPO, sang Raja Sinetron mendengarkan dengan saksama, meski tetap tak setuju dengan ulasan kami. Berikut ini petikannya.

Kontrak di Multivision Plus sangat mengikat. Benarkah para pekerja yang sudah dikontrak Multivision tak boleh main dengan rumah produksi lain? Memang, biasanya kami mengadakan kontrak yang tiga tahun pertama harus eksklusif. Artinya, sang artis hanya main di sinetron produksi Multivision Plus. Tetapi, biasanya sebelum satu tahun mereka sudah terkenal. Mereka boleh membintangi iklan karena mereka tahu bahwa di sinilah potensi mereka. Jika mereka terlibat dalam pembuatan iklan, kami yang menyesuaikan waktu mereka. Setelah tiga tahun, kami menyerahkan kepada setiap artis. Ada juga pemain yang nakal saat kontrak masih berlangsung. Katanya tak mengerti isi kontrak, khilaf. Kalau untuk pertama kali terjadi, saya bisa mengerti. Tetapi kalau peristiwanya sampai dua-tiga kali, berarti itu sudah berniat untuk melanggar. Apakah pemain seperti Christine Hakim tak menggunakan sistem kontrak eksklusif? Christine itu legenda, itu mesti diakui. Dia punya visi ke depan yang jelas. Karena itu, jika bekerja dengannya, saya tak memikirkan proyek saya ini untung atau tidak. Saya bisa bekerja sama dengannya saja saya sudah merasa sangat beruntung. Seberapa penting faktor aktor dan aktris dalam sebuah sinetron? Sebetulnya yang menciptakan sistem bintang (star system) itu saya. Serial pertama saya, Gara-Gara, memasang Lydia Kandou, yang semula dikenal sebagai bintang layar lebar. Serial itu adalah serial komedi yang mencapai hingga 200 episode selama enam tahun. Pada Pelangi di Hatiku, ada Desy Ratnasari, Rano Karno, dan Ria Irawan. Kemudian pada Bella Vista ada Roy Marten dan Venna Melinda. Semua menganggap serial itu laku karena ada bintangnya. Bagi saya tidak. Tonton saja serial Bidadari, yang dibintangi Ayu Azhari. Dia kan bintang terkenal. Tapi, kalau tokoh perinya bukan diperankan Ayu Azhari, no problem. Banyak yang bilang sinetron kita seragam dan itu-itu saja. Bagaimana seleksi awal cerita sinetron produksi Anda? Ada yang diambil dari novel? Saya baru sekali mengambil cerita dari novel. Biasanya kami membuat cerita sendiri. Saya tahu ada pro-kontra dari cerita saya di masyarakat. Tetapi saya kira 90 persen pemirsa televisi kita menyukai produk Multivision Plus. 

Misalnya, Anda tanya ke penjaga pintu itu apakah semalam menonton Tersanjung. Kalau dia menonton, berarti dia mewakili satu juta orang. Dengan lain kata, segmen penonton sinetron yang Anda buat adalah kelas menengah ke bawah? Ibu-ibu semua golongan. Bapak-bapak juga tahu tentang program kami. Mungkin karena yang main biasanya cantik. Untuk menentukan cerita itu, Anda terlibat langsung? Saya memberi kebebasan kepada siapa pun. Setelah cerita ditulis, saya justru sangat terlibat. Jarang sekali saya lepas. Kalau dialognya empat halaman, saya sudah tahu gambarnya akan bertele-tele, harus diedit. Sambil baca, saya merenungkan dan mengimajinasikan. Bagaimana dengan skenario Bukan Perempuan Biasa milik Arifin C. Noer? Saya tidak mengoreksi skenario itu. Itu spesial. Bagaimana suasana proses pembuatan sinetron Anda? Saya selalu ribut dengan sutradara, khususnya dengan sutradara Jajang C. Noer, karena dia ingin mencoba wajah yang dekat dengan lingkungan dia. Padahal, dia hanya bertanggung jawab sampai pembuatan. Sebaliknya, saya bertanggung jawab seumur hidup. Untuk saya, sebuah sinetron melibatkan banyak tenaga. Dan jika tidak ada sambutan pemirsa, itu sangat menyakitkan saya. Tapi, menurut saya, sinetron Bukan Perempuan Biasa sukses. Suksesnya karena rasa hormat pemirsa pada Jajang, Christine Hakim, atau Desy Ratnasari. Itu jadi salah satu produk kebanggaan saya. Ngomong-ngomong, sinetron Tersanjung itu panjang banget, tidak habis-habis. Sudah mencapai berapa episode? Sudah 50-an. Sudah sampai Tersanjung 2. Saya terpaksa mengganti Lulu Tobing dengan Jihan Fahira. Tapi peringkatnya malah naik, dan sekarang masih di peringkat atas, 23-25. Menurut saya, pemirsa ingin melihat tokohnya, bukan pemainnya. Hampir semua serial Multivision Plus sukses. Tetapi ada yang gagal juga, kan? Saya tidak bilang gagal, tetapi ada sinetron saya yang tak mencapai yang diharapkan. Mungkin waktu itu saingannya lebih berat, atau jam tayangnya tidak tepat. Sinetron macam Jinny Oh Jinny sama sekali tak menampilkan realitas. Apa pertimbangan Anda buat sinetron itu? Produk mana dari luar negeri yang Anda anggap ada realitasnya? Telenovela? Adakah realitasnya di Venezuela sana? Mission Impossible, Xena, James Bond, itu juga hanya pameran teknologi modern. Wartawan mengkritik sinetron tidak membumi atau menjual mimpi. Lo, mimpi tidak bisa dijual. Yang bisa dijual itu harapan. 
 
Di sinetron saya itu, yang ada adalah harapan. Lepas soal rating, Keluarga Cemara mengekspos kesederhanaan. Bagaimana Anda melihat sinetron seperti itu? Saya menghargai kesederhanaan dan kejujuran Arswendo. Saya melihat produk itu bicara realitas. Saya lihat ada penjual koran, ada tukang becak, ada tukang kue. Itu yang mereka lihat sebagai suatu entertainment. Ratingnya 7-8. Saya kira Arswendo sudah berbuat yang terbaik. Apakah bagi Anda menghibur itu identik dengan tidak realistis? Namanya juga hiburan. Hiburan itu harus beberapa tingkat lebih dari kenyataan. Enak dipandang dan enak diikuti. Tapi sinetron Bukan Perempuan Biasa kan melawan pakem produksi Anda? Saya mau bilang apa. Saya cerita apa adanya, ratingnya tidak tinggi. Apakah Anda memasukkan sinetron itu dalam kategori gagal sebagai angka 10 persen tadi? Menurut saya, tidak total. Untungnya, serial itu cuma 10 episode. Ratingnya dua digit. Sinetron Istri Pilihan saya tinggalkan ketika ratingnya 29. Begitu selesai, saya gantikan slotnya dengan Bukan Perempuan Biasa. Ratingnya langsung mencapai 23. Bagus sekali. Tetapi kemudian turun ke 19. Saya mengatakan kepada Jajang, "Kamu kira kamu sukses? Saya buka-bukaan saja. Enggak. Ini cuma fenomena pertama saja." Pernah menonton Daun di Atas Bantal? Memang mengagumkan, tetapi penontonnya kayak apa? Kenapa copy-nya sedikit? Kenapa enggak ada uangnya? Setelah sekian ribu jam membuat sinetron, apa ruginya membuat satu-dua sinetron yang semacam Bukan Perempuan Biasa? Saya tak takut rugi. Masalahnya, saya tak punya orang yang memberikan gagasan semacam itu. Jujur Prananto pernah menawarkan cerita pendek Kado Istimewa, sebuah cerita yang bagus. Begitu saya tayangkan, hancur sekali ratingnya. Bagi saya, ini seperti potong jari sendiri dengan gergaji sendiri. Apa resep sukses sinetron? Wanita cantik, kemewahan, dan ada tangisan? Enggak juga. 

Dalam sinetron Terpesona tak ada satu butir air mata pun, dan suksesnya luar biasa. Anjasmara dan Krisdayanti ketawa sampai habis. Tapi, memang harus diakui, cewek cantik dan pria tampan adalah tiket pertama untuk bisa main di sinetron. Dasar untuk menjadi bintang, obyektif saja: penampilan dan wajah. Sinetron pada masa 1980-an menampilkan peristiwa sosial yang terjadi pada waktu itu. Sekarang, terutama produk Multivision Plus, hampir sama semua sehingga tidak tergambar proses sosialnya? Enggak benar. Sekarang kita bisa menyinggung kepala negara dalam cerita kami. Kami bisa menyebut Gus Dur, kami bisa menyebut menteri korup. Tiga atau lima tahun lalu, hal ini tak mungkin ada. Nah, kita bisa melihat-lihat potret kemajuan sosial kita pada sinetron Serendah Bumi Setinggi Langit dengan skenario Jujur Prananto. Pembicaraan di DPR bisa diungkap lewat sinetron. Ada yang bilang Anda itu raja televisi atau raja sinetron seperti Aaron Spelling. Apakah Anda bercita-cita seperti itu? Enggak. Saya memang mendapat inspirasi dari dia. Tapi, asal-muasal saya adalah dari film layar lebar yang menjadi peluang mencari nafkah. Produk yang saya lihat, termasuk produk Aaron Spelling, memberi inspirasi. Yang penting, produk lokal harus ditunjang. Jangan sampai bernasib seperti layar lebar. Sinetron adalah benteng budaya, bisa membodohkan masyarakat, bisa pula mencerdaskan bangsa. Sementara ini, saya belum melihat bahwa saya ini sedang membodohkan bangsa.

Rabu, 16 Februari 2011

FFI 1974 Giliran Pemerintah

06 April 1974
FFI 1974
Giliran pemerintah

SEKTOR perfilman cukup menyimpan kebolehan buat mengisi kantong negara. Ini bukan ungkapan yang berbau impian dari kalangan orang film, sebab seperti diutarakan Sumardjono -- sehari-hari Ketua Karyawan Film & TV (KFT), "pajak tontonan merupakan sumber pendapatan pemerintah daerah yang utama". Betapa besarnya potensi yang terkanundung di sektor ini, Sumardjono menunjuk contoh "sekitar tahun 50-an. 

Amerika Serikat mengandalkan pendapatan dari sektor film, nomor dua setelah produksi baja". Di sanggar Kinoworkshop TIM -- yang sempat merangkap kantor panitia pusat FFI '74 -- Sumardjono selaku ketua panitia mencoba menghitung apa yang dapat dicapai oleh sebuah festival film di republik ini. Ini perinciannya kepada Ed Zoelverdi dari TEMPO Secara gampangan saja, tarohlah tiap bioskop yang ada di seluruh tanah air ini rata-rata dikunjungi 500 penonton. Jumlah bioskop seluruhnya 600 buah. Berarti tiap hari datang 300 ribu penonton -- ingat, berapa prosen cuma dari 120 juta penduduk'? Belum sampai 5%. Tapi marilah kita teruskan. Jika harga karcis kita ambil rata-rata hanya Rp 100, maka per-hari uang yang beredar di sektor ini meliputi Rp 30 juta. Atau untuk satu tahun, dikalikan 360, menjadi Rp 10.800.000.000. Ini masih satu jumlah yang dasar hitungannya bodoh-bodohan. Nah, uang sejumlah itu dibagi tiga: sepertiga masuk kas pemilik bioskop. Sepertiga untuk pemilik film. Sepertiga lagi pajak. 

Dengan kata lain pemerintah kebagian sedikitnya Rp 3 milyar, tapi tentunya lebih dari itu. Dipandang dari masalah kepentingan apa yang merupakan garis audience approach dari Direktorat Film Deppen: kalau festival film Indonesia ini bisa meningkatkan jumlah penonton sampai -- tarohlah -- 5% saja dari jumlah penduduk Indonesia, tak diragukan hal itu sekaligus merupakan peningkatan pemasukan pendapatan negara juga. Lalu soalnya sekarang: sektor perfilman ini ada dimungkinkan oleh adanya pembuat film plus bioskop. Pembuat film mengeluarkan modal untuk produksi, sementara pemilik bioskop mengeluarkan modal untuk ongkos eksploitasi. Jangan lupa orang film juga dikenakan pajak, selain perusahaan film tak luput dari cukai sedang bioskop juga terkena pajak perusahaan -- walaupun tak keliwat dirisaukan, sebab bukankah kewajiban warganegara? Tapi giliran pemerintah, kalau toh pemerintah dapat memandang FFI sebagai satu satu cara bisnis dalam urusan ini, tentu tak ada salahnya bila ia mengembalikan hanya 5%, saja sekali setahun kepada sektor ini untuk membiayai satu festival. Di samping kita kaji kemungkinan mengatur pengembalian dana itu, ada alasan kita gembira karena pemerintah -- dalam hal ini Direktorat Film selaku pembina perfilman nasional -- memang telah menyediakan sejumlah dana untuk penggemblengan orang-orang film di Kinoworkshop. 

Adapun pembiayaan FFI 74 di Surabaya masih dipikul bersama: sebagian dari dana SK 74, sumbangan pemilik bioskop dan pemilik film termasuk yang impor. Sementara pemerintah daerah menyediakan tambahan dari hasil pungutan pelbagai bentuk dana -- satu hal yang rasanya agak disayangkan. Sebab sebenarnya tak perlu pemerintah daerah sampai harus membebankannya pada kantong masyarakat bila diingat pajak yang sebelumnya sudah masuk kas. Satu hal yang patut dibanggakan dari Jakarta adalah ikut sertanya pemilik film plus bioskop yang menyumbangkan masing-masing Rp 2,50 dari tiap karcis yang terjual. Ini terbilang luar-biasa. Dari rangkaian penjelasan tadi dapat dilihat, kegiatan festival dari sudut kepentingan pemerintah boleh dipandang sebagai semacam bisnis. Sehingga tak usah dikuatirkan terpeleset ke dalam pengertian bennewah-mewah, karena memang tak ada sangkut-pautnya. Sedang bagi kami sendiri orang-orang film, kegiatan ini lebih merupakan patokan ujian ketrampilan. Itu pasal yang terpenting. 

Dan Sumardjono akhirnya menampilkan pandangan: bahwa "dari sudut FFI, maka produksi nasional yang ideal adalah 300 buah pertahun". Ditunjuknya, Amerika saja hanya sedikit lebih dari itu. Alasan lain: "Coba bayangkan, hari dalam setahun hanya 360. Saya kuatir penjurian harus dilakukan setahun penuh tiap hari". Dalam pada itu Nya' Abas Akup, sehari-hari sutradara, menanggapi perlunya ada semacam nominasi alias pencalonan yang jelas dan produksi per-tahun. Umpamanya"dari 100 film dipilih hanya 10 saja yang akan dinilai juri". Akup juga menunjuk pentingnya pengertian dari fihak produser sendiri dalam mengkatagorikan produksinya. "Kalau hanya film kelas B, ya cukuplah untuk konsumsi pasaran, tapi untuk masuk festival si produser supaya menentukan dari jenis kelas A". Tapi di Indonesia kategori semacam itu toh belum ada, sehingga Nya' Abas cenderung menganjurkan adanya semacam dewan pertimbangan untuk membantu menasehati para produser tentang katagori produksinya, atau sumbangan para penulis resensi, yang bisa hanya menulis film yang dipandang berhasil saja.


06 April 1974
FFI 1974
Juri dan bintang-bintang

BANYAK pembaharuan sistem penilaian yang dilakukan Dewan Juri FFI 1974 yang dipimpin Prof. Dr. Soelarko. Bukan saja cara pemberian dan pengumpulan angka digantikan dengan presedur lain, yakni pencalonan terbuka dan diskusi antar juri. Tapi yang lebih berarti bagi hasilnya ialah dalam hal memilih siapa di antara bintang-bintang film berhasil mendapatkan piala Citra. Keharusan untuk memilih aktor dan aktris terbaik dihindari yang tahu lalu nampaknya terpaksa dipatuhi karena kelaziman. 

Dengan sadar Dewan Juri 1974 tak ingin dipergunakannya julukan "aktor aktris terbaik 1973". Setidaknya ada 3 alasan pokok kenapa julukan itu dihindari. Pertama, buat memilih aktor & aktris terbaik dari suatu tahun, -- para juri harus menilai prestasi setiap aktor & aktris dalam film-filmnya selama setahun -- suatu hal yang bisa tidak adil karena tidak setiap pemain film dapat dan harus dinilai secara demikian. Ada yang main sekali dalam produksi setahun, ada yang muncul hampir di tiap produksi. Maka yang dinilai ialah akting masing-masing dalam satu film: prestasinya yang tampak dalam konteks suatu lakon. Alasan pokok kedua ialah: akting adalah sesuatu yang sering ditentukan oleh peran, dan peran ditentukan oleh lakon. Rima Melati, misalnya, tak diragukan lagi "kelenturan"-nya sebagai aktris. Tapi peran yang didapatnya dalam film seperti Ayah -- yang entah kenapa ia terima -- menjadikannya bak sekedar perhiasan yang canggung ak keruan. Kemampuan akting Farouk Afero mungkin baru nampak, bila ia diberi keiempatan buat pegang peran lain selain si jahat yang "ha-ha-ha-ha!" (dalam film Indonesia, orang jahat -- selalu ketawa keras dan/atau serem). Dan khususnya Alam Surawijaya atau Rina Hasjim, yang cukup banyak menarik perhatian. 

Meskipun Alam jauh lebih matang dari Rina, tapi keduanya mengalami nasib yang sama: peranan yang mereka pegang semuanya kurang kaya, baik dengan kemungkinan maupun dengan tantangan, untuk menampakkan diri secara lebih mengesankan. Mujur Christine Hakim -- memenangkan akting terbaik dengan pujian dalam Cinta Pertama --boleh dibilang mujur. Bintang baru yang membikin surprise ini memperoleh peran yang memberinya kesempatan dan tantangan bagi kemampuannya. Ia mendapatkan apa yang jarang sekali diperoleh oleh bintang lain dalam film-film untuk FFl 1974: selain ia cocok untuk perannya, ia tidak harus menokohi satu konsepsi tentang satu watak, melainkanseorang manusia yang lebih utuh, lebih penuh akan fluktuasi perasaan dan ekspresinya. Ia tak dibatasi oleh cetakan untuk melankolis terus, judes terus, mengalah terus --cetakan-cetakan yang biasanya siap sebelum film dimulai hingga film berakhir. Kelemahan umum cerita film Indonesia ialah bahwa peran-peran ditampilkan tidak dalam satu pola watak, melainkan hukum besi karakter. Salah satu unsur penyegar Cinta Pertama adalah kepekaan Teguh Karya buat peran wanita ini -- walaupun cerita dasarnya sebenarnya agak simplistis. Dan Mang Udel, alias Purnomo, juga mujir dalam Si Mamad. Peranannya selain cocok untuk dia, memungkinkan dia untuk dengan sedikit sekali terjebak dalam gaya "histrionik" -- hingga mungkin terasa datar -- tapi sementara itu menunjukkan perkembangan dalam situasi demi situasi. Mang Udel sendiri, yang baru pertama kali melihat Si Mamad dalam penutupan FFI 1974 di Surabaya, mengatakan bahwa ia "kecewa". "Tak sebaik yang saya sangka -- saya ternyata bermain lamban sekali", katanya. Kelambanannya bagaimanapun cocok dengan irama film ini -- bikinan Sjuman Djaja yang lulus dari sekolah sinematografi Moskow yang tak tangkas sebagaimana halnya film-film Rusia. 

Dan di situlah bisa dikatakan, bahwa akting bukanlah ternyata hanya hasil mutlak seorang aktor. Akting berada sebagai bagian dari keseluruhan film. Maka ulasan pokok ketiga dari Dewan Juri 1974 untuk tidak memakai istilah "aktor atau aktris terbaik" ialah untuk melihat prestasi seorang pemain dalam hubungannya dengan kerja bersama yang berlangsung di seluruh Dewan Juri 1974 merasa perlu karenanya buat menyebutkan nama film di mana sang bintang bermain dan mendapatkan hadiah. Bisa difahami kiranya bahwa mereka kurang merasa enak, ketika Tatiek Tito -- yang di malam pembagian piala bertindak sebagai pengantar acara -- menyebut Rano Karno (pemenang untuk akting terbaik anak-anak dalam Rio) tak menyebut pula nama filmnya. Sang pengantar acara agaknya masih berpegang pada pola tahun lalu, yang memberikan piala buat "aktor terbaik" dan bukan "akting terbaik untuk film tertentu" . Peran "Pembantu" Yang baru dalam cara penilaian Dewan Juri 1974 ialah dihapuskannya perbedaan antara "peran utama" dengan "peran pembantu". Masing-masing pemegang peranan dalam suatu film pada dasarnya diperlakukan sama untuk dinilai: tak peduli adakah ia pemegang peran yang disebut "utama" atau "pembantu" -- yang biasanya ditentukan begitu saja oleh para produser dalam daftar pemain. 

Berbeda dengan Dewan Juri 1973, Dewan Juri 1974 tak berpegang pada daftar itu, yang kebanyakan condong untuk menarnpilkan nama-nama tenar, walaupun peran mereka tak berarti. Dengan demikian penilaian dipertimbangkan berdasar mutu akting. Itu tidak berarti berat-ringannya peranan sebenarnya dalam suatu film tidak diperhitungkan -- sebab disadari bahwa berat-ringannya "tugas" si aktor ditentukan oleh beban dan tantangan "lakonnya" dalam cerita. Agaknya itulah sebabnya, para pemenang piala Citra untuk akting "dengan pujian" terdiri dari pemegang peran yang paling berat dalam masing-masing film, apa yang disebut "peran utama". Bahwa kategorisasi "utama" dengan "pembantu" dihapuskan dalam pengumuman juri, agaknya karena disadari bahwa belum ada kesepakatan tentang pengertian-pengertian itu -- setidaknya antara Dewan Juri dengan produser serta karyawan film lain. Cara itu mungkin terasa diperketat, tapi bukan tak ada tujuannva. Perfilman Indonesia kini masih terdesak oleh kecenderungan "silau bintang" -- yang meletakkan seorang aktor dalam casting sebab tenar dan menjamin uang masuk. Seorang bintang telah jadi semacam merek dagang. Ini sudah tampak akibat buruknya bagi mutu para bintang tenar sendiri. Sebab mereka hanya dihargai sebagai cuma "penglaris" -- bukan karena prestasi yang sebenarnya. Sistim penilaian 1974 dimaksudkan untuk jadi satu "kontrol" terhadap keadaan itu.


 PIALA CITRTA

SURABAYA, 31 Maret 1974, gedung "Mitra", jam 21.35. Malam Penutupan Festival Film 1974. Upacara pembagian piala Citra dan piala lainya yang seharusnya khidmat itu -- agak kacau pada mulanya, hingga terpaksa diulangi sekali lagi. Pengantar acara, Tatiek Tito, melakukan kekeliruan dalam mengumumkan jenis piala untuk pemenang editing (pemaduan gambar terbaik I dan II. Setelah Soemardjono dari Panitia Pusat "turun tangan" sendiri ke depan mikrofon menjelaskan kesalahan yang terjadi dan mohon maaf, piala-piala yang sudah terbagi dikembalikan lagi sebelum piala-piala lain diserahkan kepada yang berhak. "Sayang", klta seorang produser, "kejadian yang amat penting dalam kehidupan seorang karyawan film itu -- yang mungkin hanya sekali dalam hidupnya --harus terganggu begitu rupa". Seorang anggota panitia pusat kemudian menyesalkan kegugupan Tatiek Tito malam itu. Menurut dia, kekacauan beberapa menit malam itu disebabkan karena Tatiek Tito secara emosionil terlibat oleh hasil pengumuman Dewan Juri. 

Maklumlah karena ia merupakan salah seorang bintang yang filmnya ikut dinilai dalam Festival (dan film itu, Tokoh, tak beruntung mendapatkan piala apapun di luar dugaan). Walaupun demikian, paknya Tatiek Tito malam itu melihat sebabnya di tempat lain: karena hasil-hasil penilaian Dewan Juri baru mendadak bisa diketahui di waktu Ketna Juri, Prof.dr. Soenarko, membacakannya malam itu -- setelah seminggu lamanya dirahasiakan dengan ketat sekali. Ini mungkin menyebabkan orang-orang di luar Dewan Juri tidak cukup siap untuk menampung pelaksanaan hasil-hasil penilaian tersebut, misalnya dalam menyiapkan pengumuman pembagian piala. Goenawan Mohamad yang ikut jadi anggota Dewan Juri 1974 juga ikut kena "tugas merahasiakan" hasil-hasil keputusan. Ini agak merepotkan. TEMPO, seperti tahun lalu, minggu ini juga merencanakan menulis laporan utama tentang FFI dan hasil-hasilnya. Menurut perhitungan Editor Bur Rasuanto, laporan utama itu harus disiapkan pertengahan pekan lalu. 

Soalnya kemudian: bagaimana harus siap pekan lalu, bila hasil-hasil FFI waktu itu harus dirahasiakan? Untunglah bahwa kerahasiaan hasil-hasil Dewan Juri 1974 pada akhirnya tetap terjaga, sampai dengan Goenawan dan Ed Zulverdi pulang kembali dari Surabaya awal minggu ini setelah mengikuti FFI 1974 dari dekat. Bagi para pembaca TEMPO yang setia agaknya cukup jelas kenapa TEMPO setiap kali ada peristiwa penting dalam perfilman Indonesia selalu memunculkan laporan utama tentang itu. Rubrik Film TEMPO dengan sengaja mengutamakan pembicaraan film-film nasional, dengan sekali-sekali diselingi film-film asing yang dianggap relevant untuk publik Indonesia. Kami selalu menganggap pentingnya film nasional untuk jadi bahan perhatian, terutama bagi kalangan terpelajar yang merupakan bagian penting dari pembaca TEMPO. 

Dalam rangka itu pulalah TEMPO dalam FFI 1974 termasuk salah satu majalah yang ikut menyumbangkan piala (bagi penyutradaraan terbaik kedua, yang dimenangkan oleh Has Manan dalam Film Rio, Anakku). Tentu saja ada unsur "pengiklanan" dan promosi dalam piala-piala semacam itu. Hal ini menyebabkan kami ingin menyarankan pada Panitia buat FFI tahun depan: dengan dibatasinya jumlah piala Citra hanya untuk mereka yang prestasinya "terbaik", pembatasan mana mulai berlaku tahun ini (di tahun lalu semua pernenang dapat piala Citra), tahun depan hendaknya disiapkan piala-piala tersendiri yang tidak memungkinkan perlombaan "iklan" dalam pembagian hadiah. Sejenis piala-piala Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik umpamanya perlu diperbanyak. Mungkin namanya piala Rukiah, piala Cornel Simanjuntak, dan semacam itu -- yang sebaiknya b


06 April 1974
Dan setelah air mata: mutu dan setelah air mata : mutu

FILM Indonesia mungkin tak perlu nangis terus-menerus. Posisi dan mutunya semakin baik. Acara Festival di Surabaya akhir pekan lalu membuktikan itu. Ketua Dewan Juri Festival Film Indonesia (FFI 1974, di malam penutupan waktu membacakan penilaian umum film-film Indonesia selama setahun lalu, selain menyebutkan sejumlah kritik, juga menyebut adanya "kemajuan yang sangat menggem-birakan". Kritik yang disebutkan Prof.dr. R.M. Soelarko, sang Ketua, mungkin pedas. Serang pejabat tinggi secara pribadi mengatakan, bahwa "kritik itu mungkin benar, tapi sebaiknya tak disampaikan di malam itu". Barangkali. Tapi catatan tentang "kemajuan" itu tak boleh dilupakan kiranya. Kemajuan yang terutama jadi perhatian Dewan Juri 1974 ialah kemajuan ketrampilan teknis dan juga mutu, dan kesimpulan ini memang bukan basa-basi. 


Kemajuan lain yang tampak dalam serentetan acara 3 hari di Surabaya berbentuk sambutan yang luar biasa dari masyarakat setempat -- untuk melihat sendiri bintang-bintang film Indonesia, yang menurut sebuah poster masih disebut sebagai "artis-artis Ibukota". Sekitar hampir setengah juta manusia membanjiri jalanan di mana pawai lewat di sepanjang 5 km. "Belum pernah ada kejadian seperti itu sepanjang yang saya ingat", ujar seorang pejabat kepolisian Surabaya. Dan meskipun polisi berhasil menjaga kcamanan, Farouk Afero robek jasnya ditarik-tarik, Sofia W.D. dan beberapa bintang lain dicabut cincin mereka waktu bersalaman dengan khalayak ramai. Beberapa bintang mengeluh, atau pura-pura mengeluh, tapi umumnya gembira (kecuali mungkin yang kemudian ternyata tak mendapatkan piala). Seorang sutradara berkata "Yang menang dalam festival di Surabaya ini adalah film Indonesia secara keseluruhan". Ia mengingatkan bahwa di Surabaya posisi film Indonesia di bioskop-bioskop belumlah menggembirakan. Tapi dengan keramaian itu, meskipun yang datang nonton ada juga orang-orang dari luar Surabaya, harapan untuk lebih gembira cukup besar. Apalagi Gubernur Jawa Timur dalam percakapan dengan orang-orang film selama pesta kebun yang meriah di tempat kediaman resminya setengah menjanjikan, untuk menghaluskan bioskop-bioskop di daerahnya memutar film Indonesia dalam waktu-waktu tertentu -- hal yang juga berlaku di Jakarta. Jika film-film Indonesia memang makin menarik, dan lebih banyak diperhatikan media massa lain, nampaknya keharusan itu akan mudah menemukan alasan -- walaupun sistim distribusi film Indonesia konon masih lebih tergantung pada ujung jari para pemesan dan calo-calo daripada calon konsumen itu sendiri. FFI 1974 dengan sendirinya suatu promosi dagang juga. Tapi jelas bahwa promosi itu kini tak begitu sulit. 

Sejak di tahun 1970 Turino Djunaidy mendobrak pintu kelarisan dengan sernafas Dalam Lumpur dan kemudian tahun lalu Sandy Suwardi Hassan mengorbitkan Ratapan Anak Tiri, tampak ratapan-ratapan lama akan berhenti. Gelombang film cengeng perangsang air mata yang lagi keras dewasa ini (menggantikan gelombang erotika dan adu jotos di waktu yang lampau) ternyata berhasil menciptakan gelombang penonton yang amat besar. Sandy Suwardi, sebagai penghasil film tedaris 1973, di malam penutupan FFI 1974 dapat sebuah piala dari Panitia, sementara Faradilla Sandy (8 tahun) anaknya yang berbakat dan banyak dikerumuni peminta tandatangan, mendapatkan sebuah piala untuk akting kanak-kanak -- dengan tepukan gemuruh. Sebagian Benar Namun puncak malam itu sudah tentu bukan pemberian piala untuk film terlaris. Festival sekaligus promosi kwalitas di luar soal dagang. Sebuah Dewan Juri telah dibentuk (terdiri dari : Prof. dr. Soelarko, R.M. Soetarto, Ny. Maria Ulfah Subadio, Sri Martono, Hasyim Amir, D. Djajakusuma, Goenawan Mohamad dan Moh. Said -- yang di malam penutupan itu merupakan satu-satunya anggota yang berhalangan datang) dan bekerja selama awal dan pertengahan Maret untuk menilai 25 film cerita + 1 film dokumenter. Hasil penilaian yang tertutup rapat selama satu minggu, akhirnya malam itu dibuka dari amplop yang diacak dan dikawal polisi, untuk dibacakan oleh Ketua Dewan Juri. Beberapa keputusannya mengejutkan, mengecewakan dan menimbulkan beberapa perdebatan. Beberapa lainnya nampaknya cocok dengan dugaan dan harapan -- yang banyak tersiar di pelbagai penerbitan atau cuma secara bisik-bisik. Berikut ini adalah sederet catatan: Film Jembatan Merah yang oleh majalah POP bulan Maret ditaruh nomor satu dalam daftar pilihannya ternyata tak menang apa-apa. Memang, ini adalah karya terbagus Asrul Sani, mungkin lebih bagus dari Palupi yang memenangkan Festival Film Asia di Jakarta tahun 1970. Namun agaknya Asrul masih tetap kurang pas dalam menggarap film yang maunya puitis dan sekaligus lucu ini: seperti kecende-rungan Asrul yang selalu nampak dalam skenario, JM masih terasa sarat verbal. Ia penuh katakata di bagian-bagian yang sebenarnya bisa cukup dikemukakan dengan sugesti visuil. Contoh: menjelang film berakhir orang sudah tahu sebenarnya penyelesaian apa yang terjadi antara si pencopet (Sukarno M. Noer) dengan si pelacur bekas isterinya (Mutiara Sani), sebelum mereka berbimbingan tangan di atas Jembatan Merah, dan matahari terbit di timur, dan (seperti sudah diduga terlebih dulu) wig merah lambang kejalangan itu dilemparkan si wanita ke air kali. Sukarno tak perlu kiranya berbicara lagi. Apalagi usahanya memakai aksen Surabaya-Madura sering mengganggu, karena masih berat dengan warna aksen Medan --aksen asli Sukano yang rupanya sulit disembunyikan. 

Setidaknya keverbalan yang ini lebih sulit diabaikan daripada melupakan film A Pocketful of Miracles dari Frank Kapra (dengan Bette Davis & Glenn Ford) yang 10 tahun yang lalu disambut senang di Indonesia -- yang sebagaimana JM juga tentang si ibu miskin yang ditolong seorang bandit besar untuk bertampang "kaya" sejenak guna menghadapi calon besan yang bangsawan. Orang juga bisa melupakan pola kelucuan yang agak terasa diulang-ulangi: kecanggungan orang tak terpelajar untuk harus meniru adat orang terpelajar. Tapi tetap Jembatan Merah akhirnya termasuk kategori film yang "sayang sekali...". Lebih Datar Tokoh Wim Umboh juga tidak beruntung. Kabarnya Wim, yang tahun lalu memenangkan banyak hadiah dengan Perkawinan, sangat optimis bahwa tahun ini ia akan menang. Tokoh-nya, yang sccara komersiil tak begitu berhasil seperti film-filmnya yang lain, agaknya termasuk dalam proyek Wim buat membikin film "berat". Tapi Tokoh yang ceritanya tenntang seperti benang panjang itu terlalu tipis untuk digantungi sejumlah besar peran. Nasibnya seperti Mama (1972), meskipun problematiknya lebih bersahaja -- namun dengan hasil lebih datar pula. 

Mungkin ini disebabkan karena Fadly dokter gigi yang dieoba Wim untuk jadi bintang film dengan peran cukup berat, masih harus diinjeksi kepekaan untuk bermain kurang mekanis. Wim kali ini tak begitu berhasil mengolah bintang baru. Ini di luar hoki yang lazim ada ditangannya. Tatiek Tito --pemegang peran berat satunya lagi -- lebih baik sedikit dari Fadly, tapi juga tak mengesankan. Kecuali bibirnya. Namun kelemahan terpokok Tokoh ialah karena cerita ini tanpa konsentrasi. Sebuah "biografi" dari satu tokoh imajiner sejak sebelum perang, Tokoh kekurangan intensitas dan sekaligus kekurangan kejelasan alasan. Untuk berbicara tentang cinta & kesetiaan seorang wanita, ruangan ternyata begitu luas buat riwayat seorang pengacara. Untuk berbicara tentang hidup seorang pengacara dengan wanita-wanitanya film ini tak meyakinkan kita bahwa soal itu penting adanya. Advokat Amir Laksmana (Fadly) nampaknya seorang tokoh masyarakat: berita perkawinannya disiarkan dan sedikit dikomentari oleh radio (entah pemancar mana), dan ia begitu dipuja dari jauh oleh gadis Mana (Paula Rumokoy) yang tidak hidup di sekitarnya dan tak dikenalnya. Tapi tentang pengacara yang sukses sejak jaman "Landraad van Neder-landsche Indie" ini (seharusnya Wim lebih teliti: "Nederlandsche Indie") kita tak tahu bagaimana ia orang hebat di masyarakat. Wim mungkin mencoba seni berbicara secara implisit. 

Tapi konsekwensi sebuah cerita "biografis" ialah mengunjukkan latar yang lebih luas dari sekedar ruang rumah di mana terjadi konflik-konflik rumah-tangga. Wim memang sudah melakukannya dengan mencoba bercerita tentang perjalanan Amir Laksmana di tahun 1945. Ia mencoba menghidupkan kembali situasi Surabaya di masa akhir Jepang dan reolusi. Ia bahkan mengambil satu bagian film dokumenter pemboman Palembang oleh Jepang di tahun 1941 (satu bumbu yang cukup baru buat film Indonesia kini -- walaupun kita tak tahu apa hubungan kota Palembang dengan cerita). Tapi di babakan masa setelah kemerdekaan latar itu hilang dari film. Bahkan di bagian ini kita tak diberi lagi petunjuk-petunjuk waktu dari "biografi". Satu-satunya petunjuk ialah berkibarnya sang Merah Putih dan ucapan sang pengacara bahwa "kita sudah merdeka" sementara ia berpakaian dan berpotongan rambut model tahun 1970-an di kantornya yang mentereng. Kronologi tiba-tiba lenyap. Dan bila film ini mau bercerita tentang riwayat cinta dari masa ke masa, ternyata kronologi yang setengah-setengah itu pun tidak terpaut dengan satu psikologi. Bagian demi bagian ceritanya seperti terpisah-pisah, yang satu tak menjadi dasar bagi yang lain. Kehadiran wanita setia, yang ternyata adalah sang "pencinta agung" dalam film ini, dimainkan Tatiek, nampaknya hendak ditampilkan sebagai pengikat bagian-bagian itu. Tapi fondasi yang kokoh yang mempertautkan sang pengacara dengan sang wanita dari awal sampai akhir, tidak nampak cukup dibangun. Para protagonis -- Fadly, Tatiek dan Paula -- pada dasarnya masih protagonis dongeng: tanpa akar di suatu bumi, sementara Tokoh adalah cerita yang ingin banyak menyangkutkan diri dengan bagian sejarah Indonesia modern. Terapung-apung Yang tidak menampilkan protagonis dongeng ialah Laki-Laki Pilihan. Inilah film Niko Pelamonia yang terbaik. Tapi pengadap-tasian cerita The Godfather (dilakukan tanpa menyebut sumber) sekaligus merupakan kekuatan dan kelemahannya. Kekuatannya terletak justru dalam kepekaan dan kecermatannya menyesuaikan latar Amerika dan Sicilia tahun l920-an dengan latar Jakarta --Banten tahun 1920-an. Kelemahannya ialah karena struktur cerita Mario Puzo sangat kedodoran: The Godfather menarik bukan disebabkan oleh ketrampilan menyusun cerita, tapi karena ia menggali kehidupan satu keluarga Mafia dan kekerasannya dari dalam -- satu hal yang belum pernah dilakukan pengarang Amerika, di saat orang sedang tertarik kembali babakan sejarah kriminalitas setengah abad yang lampau. Struktur yang kurang kompak itu yang merupakan soal gawat untuk memindahkannya ke film: bagaimana meletakkan dan mengamankan fokus. 

Dalam film yang dibikin Paramount dengan Marlon Brando fokus itu ditaruhkan pada Brando. Dalam produksi Tuti Mutia Film ini fokus maunya diletakkan pada Niko Pelamonia (yang memainkan "si Babe" sendiri). Tanpa membandingkannya dengan The Godfather -- yang belum pernah ditonton para juri -- titik sentral film ini tidak terasa mempertautkan seluruh bagian-bagian film menjadi kesatuan. Prestasi akting Niko (bekas mahasiswa ATNI yang juga dikenal di pentas sepuluh tahun yang lalu) menjadi tenggelam oleh cairnya bagian-bagian lain -- yang tak ditolong oleh bintang muda Deddy Jaya, kwalitas fotografi yang kurang kedalaman, dan adegan-adegan kekerasan yang datar serta kurang segar. Suspens terapung-apung. Dugaan di beberapa kalangan bahwa Cinta Pertama Teguh Karya akan mendapat hadiah tertinggi juga ternyata tidak sepenuhnya tepat. Film ini memang diakui menyenangkan untuk dilihat. Ia dibuat dengan ketelitian dan ketrampilan yang tinggi dengan imajinasi yang cukup -- yang menyebabkan Teguh Karya dinilai menghasilkan penyutradaraan terbaik, satu hal yang sebenarnya tak mengagetkan jika diingat prestasinya dengan filmnya yang lama: Wajah Seorang Laki-Laki. Cinta memang hampir saja berada paling atas dalam penilaian juri, di samping Si Mamad dari Sjuman Djaja. Tapi film kedua Teguh Karya ini menunjukkan sedikit kelemahan dalam penceritaan. Konflik yang berakhir dengan tembak-menembak dan dua kematian agak hambar Flashback yang menjelaskan timbulnya konflik ditampilkan praktis sekaligus dengan cara begitu lengkap di bagian tengah, hingga mengesankan bahwa masa lalu hanya boleh muncul dalam satu bab tersendiri -- seperti dalam novel-novel lama. Tapi kekurangan itu memang baru dirasakan mengganggu justru karena Cinta Pertama nyaris merupakan karya film yang "sempurna" (menurut kenyataan perfilman Indonesia kini). Bahwa akhirnya film ini kemudian terletak di bawah Si Mamad, terutama agaknya karena melihat soal ketrampilan hampir merupakan perbaikan umum dalam film-film produksi 1973 dan karenanya sesuatu yang "lebih" atau "lain" diharapkan untuk menjadi karya terbaik. Komentar Sosial Dan yang "lebih" dan "lain" itu tampaknya terdapat dalam Si Mamad. 

Dari segi teknis semata-mat, film Sjuman Djaja ini tak kurang cacadnya. Orang bisa melihat bentuk huruf-huruf yang jelek dalam judul yang pretensius ("Renungkanlah..."). Orang bisa merasakan bahwa visualisasi khayalan si Mamad tentang kebahagiaan anak-anaknya, berupa adegan di Taman Ria, agak mencapekkan, kurang kaya untuk sebuah fantasi -- mungkin karena cuma fantasi seorang pegawai negeri yang miskin. Adegan ketika si Mamad menjelang mati melihat bayangannya sendiri naik ke langit juga bisa digugat: ia tersenyum melihat bayangan itu berpakaian dinas dengan kaus tangan putih, seakan-akan ia senang terlepas dari penderitaan dan puas dengan kebersihan dirinya sebagai pegawai. Tapi dalam film, bayangan itu justru menuju langit yang kelam. Dan sementara itu konsekwensi dari senyum dan rasa senang si Mamad di akhir hidupnya kurang dilukiskan sebagai segi baru dari persoalan: Adakah senyum itu bukan senyum yang aneh, karena ia meninggal dengan rasa bersalah yang belum terpupus atas pencuriannya? Adakah senyum itu bukan senyum seorang bapak yang egois sebenarnya, yang meninggalkan sejumlah anak-anak yang masih kecil dan isteri yang hamil tua? Konflik antara kejujuran sebagai sikap yang dilakukan dengan ikhlas, dengan kejujuran sebagai sikap yang dilakukan untuk sekedar memenuhi "target" yang sudah ditentukan, dalam film ini tidak ditampilkan. Konfliknya pada dasarnya satu pola dengan film-film melodrama Indonesia yang lain: antara kejujuran dan ketidakjujuran semata-mata. Dari beberapa segi memang tampak, bahwa Sjuman Djaja masih belum bebas benar untuk sungguh-sungguh membuat film yang tangguh dari godaan pola umum. Tapi masih setengah-setengah dalam mengambil risiko -- pada saat ia mau tampil dengan film yang tampaknya tak akan laris. Tapi hanya dengan itu saja pun si Mamad merupakan prestasi. 

Mesikipun pola konflik yang itu-itu juga masih terasa, tapi Sjuman telah berhasil mengemukakan satu komentar sosial dengan gugatan yang sah pada keadaan Si miskin memang jujur seperti dalam melodrama yang lain. Tapi dalam Si Mamad kejujuran itu tak mudah: kemiskinan bisa menggugurkannya. Kejujuran tak lagi cukup punya garansi. Film ini mengharukan, sebab milik si Mamad satu-satunya yang paling berharga, yakni kejujuran, ternyata bisa terlepas. Memang, dengan begitu Si Mamad bisa terasa sebagai sebuah film tanpa optimisme. Ia bisa memberi kesan sebagai sebuah apologi, di samping protes, terhadap "jaman edan". Si Mamad yang maunya tak ikut edan itu tampil sebagai suatu anakronisme: dengan pakaian pegawai jaman kolonial, dalam kantor yang mengurus arsip-arsip lama. Tapi dengan begitu film ini merupakan kesaksian tentang suatu masyarakat pada suatu waktu. Di antara film-film bagus untuk FFI 1974. inilah film yang paling berbicara tentang problim terdekat Indonesia kini. Orang tak usah teringat cerita-pendek Anton Cekov darimana konon kisah film ini berasal. Sebab kalaupun saduran, hasilnya lebih halus dari adaptasi The Godfatber jadi Laki-Laki Pilihan. Si Mamad, lebih dari yang lain-lain, menyentuhkan secara intim latar Indonesia -- yang berspeda reyot, yang kampung, yang taat, yang mimpi dan yang diam-diam menanggungkan beban perubahan nilai-nilai. Dan sesuai dengan tema FFI 1974 yang menyebut-nyebut soal "kepribadian nasional", penghargaan tertinggi pun jatuh pada si Mamad. Satu segi lain yang mungkin bisa dicatat ialah bahwa film ini lebih menegaskan lagi komitmen sosial orang-orang film, seperti yang pernah ditunjukkan Usmar Ismail, justru ketika perfilman Indonesia sedang didesak oleh komersialisme. Si Mamad muncul bukan sebagai sekedar barang perdagangan hiburan. Mang Udel Dan Si Rano Sudah tentu penolong terbesar film juman Djaja itu adalah Mang Udel alias Purnomo -- sarjana biologi yang jadi pelawak itu. 

Tanpa kemampuan aktingnya sebagai orang biasa sehar-ihari, Si Mamad mungkin berakhir jadi atau lelucon atau cerita sentimentil. Dan Mang Udel pun mendapat hadiah untuk akting pria terbaik -- satu hal yang umumnya sudah diduga oleh para kritisi, tapi mungkin cukup mengagetkan bintang-bintang. Tapi kemenangan Rano Karno untuk akting anak-anak terbaik tentunya tak mengejutkan siapapun. Anak Sukarno M. Noor yang kini lebih laris dari bapaknya ini bermain untuk sejumlah besar film yang ikut dinilai -- tanpa ada bintang kanak-kanak lain yang menonjol. Tapi dalam Rio Anakku si Rano memang praktis tanpa cela. Sutradara Has Manan menemukan bahan yang sudah hampir tinggal pakai padanya. Itu tidak berarti hasil tangan sutradara tidak ada -- satu hal yang menyebabkan film terbaik kedua setelah Cinta Pertama ini memboyong piala lebih banyak dari Si Mamad . Keunggulan film ini tak terletak dalam tema ceritanya. Tema itu masih belum berkisar jauh dari cerita-cerita filantropi yang menakjubkan, cerita si-kaya-raya yang begitu sejuk, tenteram dan mentereng tanpa dosa -- hingga kehidupan "Indonesia" dalam film ini serasa liburan di Puncak di tengah villa-villa dan buku dongeng. Juga masih ada kecenderungan mengikuti arus airmata yang lagi laris sekarang. Namun pengolahan cerita film ini -- yang mendapatkan penilaian tertinggi dari juri -- telah berhasil mensubstitusikan kekurangan itu dengan aksen puitis sekedarnya. Klimaks, terjadi pada saat Rio mati, telah dibangun dan dipersiapkan dengan baik sekali sebelumnya. Maka adegan kematian pun terasa wajar, tapi menyentuh, terkontrol, tanpa teriakan histeris seperti dalam film-film Indonesia yang lain. Yang juga istimewa ialah kctegangan yang tetap terpelihara walaupun kematian Rio sudah bisa diduga sebelumnya. 

Tapi seperti halnya dalam Cinta Pertana, dalam Rio juga cacad kecil menjadi sangat terasa justru karena keseluruhan film tersaji hampir sempurna. Cacad pertama ialah datarnya adegan terakhir, ketika Rano seolah-olah muncul kembali di depan Lenny Marlina: si Rio yang sudah almarhum itu terlalu dekat dan terlalu jelas, dengan gerak-pelan yang klise -- sedikitnya mengingatkan kita pada iklan shampoo Hi-Top di TVRI. Cacad lain ialah kurang efektifnya kamera mewujudkan perubahan Lenny menjadi melek setelah buta bertahun-tahun: peristiwa tu tak tampak begitu hebat sensasinya bagi mata dan dirinya. Di samping itu visualisasi impian si Rio digarap tanpa suasana mimpi. Dan sekedar kecerewetan akan detail: dari mana si Rio begitu mahir memainkan kecapi --walaupun ia punya bakat dan dilatih bermain musik? Betapapun, Has Manan yang nyaris menang dengan penyutradaraan terbaik (dia mendapatkan nomor kedua), telah menghasilkan sebuah film yang memperoleh serba hadiah -- dan mungkin sekaligus memperoleh banyak penonton -- dengan sebuah dongeng sederhana. Orang perlu mengawasinya untuk 20tahun depan: dia bisa di atas sekali. Kerjasamanya dengan Lenny Marlina dan Kusno Sudjarwadi (sejak Di Mana Kau Ibu?, juga dengan Rano dan Alam Surawidjaja) kali ini telah menghasilkan piala untuk akting terbaik kedua buat kedua bintang itu. Ini adalah prestasi bagus, mengingat bahwa Lenny dan terutama Kusno terlalu sering bermain untuk pelbagai film, hingga banyak kali menyebabkan mereka tak sempat menampilkan sesuatu yang lain. Kecuali dalam Rio. A M.B.I.S.I. Hadiah pertama untuk penataan visuil jatuh ke dalam film Nya' Abbas Akub, A.M.B.I.S.I. Yang menerimanya secara resmi ialah Ami Prijono, art director. Bila Cinta Pertama dalam perkara ini mantap oleh kecermatan detail, A.M.B.I.S.I. Lebih mantap dalam keberanian dan kemampuan mencipta, plus kebebasan imajinasi -- yang dalam hasi-hasil Ami terdahulu belum tampak benar. Latar yang plastis pemberi dimensi visuil lagu-lagu Kus Plus dan trio Bimbo dalam komidi musik ini -- sebagian dibikin dalam studio -- mungkin merupakan suatu langkah baru di Indonesia. Nya' Abbas nampaknya memberi Ami kesempatan penuh. Tak mengherankan: kelebihan A.M.B.I.S.I. dari film-film musik lain untuk FFI 1974 terletak dala kemampuannya buat menyajikan lagu bergerak sebagai film -- bukan cuma memamerkan suara dan wajah Penyanyi seperti acara musik TVRI. Maka wajar agaknya bila film ini 20mendapatkan Hadiah Khusus. 

Nya' Abbas, dalam kegemarannya akan yang lucu dan yang berlagu (Matt Dower, Dunia Hampir Kiamat) menunjukkan keseriusannya untuk menggarap komedi tanpa nyerocos dan gedebag-gedebug. Komedinya tak mentertawakan bentuk tubuh orang lain -- Ateng atau Ratmi Bomber -- tapi mentertawakan, dengan ikhlas kekerdilan-kekerdilan kita sendiri orang-orang biasa dalam hidup sehari-hari. Dalam perumusan para juri, film ini dinilai berusaha meningkatkan mutu film-film komedi dan musik Indonesia dewasa ini -- meskipun dicatat "dengan beberapa kekurangannya". Nya' Abbas memang berhasil menggiring Bing Slamet untuk tidak menghabiskan bakat dan pengalamannya yang kaya itu ke arah kelucuan yang konyol --mereka telah bekerja-sama dengan baik dalam Tiga Buronan belasan tahun yang lalu -- walau masih ada bagian (bentrokan Bing, Fifi Young dan Dedi Damhudi) yang masih terlalu bertingkah dalam mencari efek "grr-rr". Tapi sambil mengucap "tak-ada-gading-yang-tak...", nampaknya harus dimaklumi bahwa cacad hanya baru kelihatan setelah film jadi -- dan dinilai 20terutama oleh orang lain, dalam suatu perlombaan mutu. 

Dalam FFI 1974, 20 perlombaan itu berlangsung "dengan jarak berdekatan" seperti kata Has Manan, di mana tak ada seorang sutradara 20atau satu film yang terlalu menonjol diatas yang lain-lain, di mana yang mutunya di atas rata-rata lebih banyak dari yang di bawah. Maka bisa dimengerti jika ada ketegangan yang lebih terasa 20dibandingkan dengan tahun lalu ketika 20orang-orang film mengangkat wajah menuju Surabaya Kamis lalu. Mungkin 20 yang justru dalam hati merunduk ialah anggota juri, yang tahu bahwa dari 20berpuluh-puluh wajah bagus & jelek itu lebih banyak yang akan kecewa 20daripada yang gembira setelah keputusan diumumkan. Tapi memang tak 20 ada perlombaan yang serius yang memenangkan hampir tiap peserta. Juga 20 Festival 1974 yang berakhir di Surabaya itu.