Selasa, 08 Februari 2011

SJUMAN DJAYA 1971-1986

SJUMAN DJAYA

 

Sjumandjaja lahir di Jakarta 5 Agustus 1933, meninggal dunia di Jakarta, 19 Juli 1985. Pendidikan : SLA Taman Siswa, Institut Sinematografi Moscow, Rusia (lulus 1965). Selepas SLA mulai menulis cerpen, sajak dan kritik sastra. Lalu iseng-iseng main film dalam beberapa peranan kecil. Tahun 1956 cerpen, “Keroncong Kemayoran” dijadikan film oleh PT. Persari dengan judul Saodah. Lalu dia bekerja di studio tersebut di departemen penulisan yang dipimpin Asrul Sani.

Tahun 1957 dia menjadi Asisten Sutradara dalam pembuatan Anakku Sajang. Setahun kemudian dia mendapat bea siswa untuk belajar di Moscow, yang ditempuhnya sampai 1965. 

Lulus dengan film karya akhir dengan judul Bayangan, yang diangkat dari karya penulis novel Amerika Erskin Caldwell. Ia lulus dengan predikat “sangat memuaskan”, hingga dia merupakan orang ke-7 yang lulus dalam predikat tersebut dan orang non-Rusia pertama. Jadi bukan hanya sinema Rusia yang ia bawa ke Indonesia, tetapi ideologi politik Rusia saat itu juga, banyak film-film dia serasa ingin mengatakan pemberontakan atas pakem-pakem klise film Indonesia dan juga tatanan kehidupan sosial masyarakat dan negara Indonesia saat itu juga. Maka film pertama dia Lewat Jam Malam adalah penggambaran awal dari diri Sjuman. Banyak yang bilang sangat Rusia sekali. Dan seterusnya juga masih bisa dilihat hal tersebut dalam semua karya dia. Rusia yang memang melahirkan tokoh-tokoh perfilman dunia, bahkan mengambil andil bagi penciptaan tentang makna dan teori film dunia.

Bahkan Pundovkin sejarah film dunia membicarakan teori editing dia yang bahwa film memiliki dan harus ada makna. Sedangkan bentuk politik Rusia saat itu sangat mementingkan film adalah Alat propaganda. Sjuman kembali ke Indonesia tahun 1965, dan mulai membuat film pertamanya Lewat Djam Malam tahun 1971. Sedangkan di Indoensia sendiri, Jepang lah (1942-1945) yang membuka pikiran masyarakt film Indonesia bahwa Film bisa dimanfaatkan untuk apa saja, termasuk kepentingan Jepang juga (propaganda). Dan bahkan awal-awal film tentang revolusi dibuat juga untuk kepentingan hal yang sama. Semua orang membuat film romatisme revolusi, tetapi Sjuman malah membuat hal yang lain, tentang pejuang yang menikmati kemewahan dengan memakai alat negara. Sampai sekarang pun masih seperti itu kondisi Indonesia. Jiwajiwa pemberontakan ini dan juga pemberontakan atas klise film indonesia yang ditabrak oleh Sjuman, hal ini wajar saja karena dia sekolah di Rusia. Tetapi saat tahun pertama filmnya muncul 1971, Indonesia baru saja melewati masa sulitnya dengan isu PKInya, jadi banyak orang-orang yang bekas sekolah Rusia (komunis itu) termasuk film bisa mengkawatirkan bagi politik Indonesia saat itu. Wakaupun Sjuman hanya sekolah film dan sangat tepat Sjuman sekolah di Rusia, karena Rusia adalah negara yang cukup andil dalam mengembangkan teori film dunia.
 
Tetapi ideologi politik Rusia ini lah yang mengkawatirkan bagi negara-negara lain, termsuk Indonesia yang baru saja mengalami hal yang pahit dengan isu PKI itu. Tetapi kalau ideologi Rusia pada saat itu tidak menganut sistem sosialis dan komunis-nya, saya rasa Rusia tidak ambil andil dalam mengembangkan teori film dunia. Dan film Sjuman juga banyak yang membencinya bagi orang yang tersinggung atas filmnya atau ia bekas lulusan Rusia yang sangat dibenci setelah kasus PKI di Indonesia, ada juga yang senang karena sebahagian orang yang mempelajari teori film mengerti Rusia adalah negara teori film dunia juga atau orang yang memang jujur menanggapi karya Sjuman, ada juga yang mengambil jalan tengah menganggap Sjuman seperti seniman yang hanya berkreasi saja.

Kembali kepada saat pertama Sjuman pulang dari Rusia. Tapi sekembali ke Indonesia, pekerjaan yang ditanganinya adalah sebagai birokrat. Direktur Film di Departemen Penerangan. (1967-1968). Pada masa jabatannya itu Direktorat Film cukup banyak melahirkan tindakan yang penting bagi pengembangan perfilman. Antara lain diadakannya seminar penyiapan UU Perfilman (UU ini sendiri baru lahir tahun1992) dan Dewan Produksi Film Nasional (1968) yang membuat film percontohan guna mengubah orientasi para pembuat di lapangan, yang waktu itu sedang dilanda film kodian dan “kotor”. Lepas dari jabatan kantoran itu, ia mulai aktif menulis sambil sesekali main. Dari tangannya lahir sekitar 30 skenario, dua memenangkan Piala Citra, Laila Majenun (FFI 1976) dan Si Doel Anak Modern (FFI 1977). Ceritanya Kerikil-Kerikil Tajam mendapat Citra pada FFI 1985. Karir sutradaranya dimulai dalam film film Lewat Tengah Malam (1971). Di bidang ini ia menghasilkan dua Piala Citra, yakni Si Doel Anak Modern pada FFI 1977 dan Budak Nafsu pada FFI 1984. Sjuman pernah juga berperan dalam beberapa buah film sebagai pemain pembantu. Dia mendirikan perusahaan PT. Matari Film pada tahun 1973 dengan produksi pertamanya Si Doel Anak Betawi. Film ini menaikkan nama aktor (cilik) Rano Karno, dan dan ke “Betawi”an di dunia film & sinetron. Semua film yang dia sutradarai, skenario ditulisnya sendiri. Dan kecuali film pertamanya, maka semua film Sjuman dibuat oleh perusahaannya sendiri.

Sjuman adalah pekerja keras. Pada awal tahun 1980-an, Sjuman yang fisiknya memang kurang kukuh kesehatannya mulai merosot. Ia pernah tiba pada keadaan kritis, tapi bisa kembali bertahan dan bikin film lagi, dan tanggal 19 Juli 1985, Sjuman meninggal dipenghujung pembuatan Opera Jakarta.

 

Ketika produksi film Opera Jakarta belum separuh jalan, penyakit lever Sjuman Djaya kambuh. Dokter dan para produser dari Gramedia Film menyarankan agar sang sutradara beristirahat dari kegiatan syuting. Seolah tidak ada yang salah dari kesehatannya, Sjuman nekat melanjutkan pekerjaannya.

Pada hari Senin 15 Juli 1985, Sjuman berhasil menyelesaikan sekitar 90 persen dari keseluruhan film sebelum akhirnya tumbang. Sjuman pun terpaksa berpisah dari kamera dan dilarikan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo di Salemba, Jakarta Pusat. Empat hari kemudian, Sjuman tutup usia pada tanggal 19 Juli 1985, tepat hari ini 34 tahun silam.

Sejak 1978, kondisi kesehatan Sjuman memang tidak begitu baik. Dia sudah bolak-balik dirawat di rumah sakit akibat penyakit komplikasi yang dideritanya. Namun, Sjuman tidak pernah kapok dan terus bekerja menulis skenario sembari memimpin proses pengambilan gambar.

Para produser dan kru film sudah berulang kali menasehati Sjuman yang semakin membandel. Pada akhirnya, kabar duka itu tidak mengagetkan lagi buat mereka.

“Saya tidak terkejut. Sjuman Djaya sebenarnya sudah meninggal beberapa hari sebelumnya: cuma semangatnya saja yang menunda ajalnya,” kata Sutomo Gandasubrata, juru kamera film Opera Jakarta, seperti dikutip dari obituari Sjuman yang ditulis Salim Said dalam Pantulan Layar Putih (1991: 246).


Opera Jakarta menjadi film terakhir sekaligus peninggalan berharga dari Sjuman Djaya. Konon kisahnya dihidupkan berdasarkan perjalanan hidup dan kisah percintaan Sjuman dengan istri terakhirnya, Soraya Perucha.

Perucha pun berkeras agar sisa pekerjaan film Opera Jakarta dapat diselesaikan sebelum 40 hari meninggalnya Sjuman. “Sebagai bentuk hadiah,” katanya, seperti diwartakan Tempo (3/8/1985).

Dari Senen Sampai Soviet

Sebelum terjun ke dunia film, Sjuman adalah anak yang biasa-biasa saja. Keluarganya bukan keluarga seniman. Ayahnya berdarah Jawa, tetapi sangat lekat dengan budaya dan lingkungan Betawi. Sepeninggal sang ayah pada 1943, Sjuman dan ketujuh saudaranya dibesarkan seorang diri oleh sang ibu.

Setelah lulus dari Taman Madya, Sjuman menjadi lebih gemar menulis cerpen, puisi, dan main sandiwara. Kegemarannya ini membawanya bergabung ke dalam lingkaran Seniman Senen. Kebetulan teman sekolah Sjuman seperti Misbach Yusa Biran dan S.M. Ardan juga bagian dari lingkaran tersebut. Sjuman kemudian banyak mengenal begawan-begawan perfilman dari Senen seperti Usmar Ismail, Asrul Sani, dan Djamaluddin Malik.

Di tengah masa-masa perjuangan perfilman nasional menjadi tuan rumah di negeri sendiri pada dekade 1950-an, Sjuman mulai tertarik mendalami dunia film. Pada 1956, Sjuman diajak bekerja menjadi penulis cerita di perusahaan film Persari milik Djamaluddin Malik. Sjuman ditempatkan di bawah bimbingan Asrul Sani dan berhasil menelurkan dua cerita yang kemudian difilmkan dengan judul Saodah (1956).

Sjuman nampaknya belum puas hanya sekedar menulis cerita dan jadi asisten sutradara. Saat kesempatan untuk menimba ilmu tiba, Sjuman tidak berpikir dua kali untuk menerima beasiswa film pemerintah Rusia, menggantikan Misbach Yusa Biran yang urung berangkat. Sjuman baru mau menerima beasiswa itu dan berangkat ke Rusia selang satu tahun setelah masuk Persari, seperti dikisahkan oleh Misbach dalam Kenang-Kenangan Orang Bandel (2008: 105).
 
Meskipun terkenal galak lewat ucapan-ucapan dan kritiknya, tidak diragukan lagi Sjuman memang sosok yang romantis. Di sela masa studinya di Moskow, Sjuman mulai memadu kasih dengan Farida Oetoyo, seorang penari balet berdarah Indonesia. Seolah sedang meniru adegan di film-film drama Rusia, Sjuman melamar Farida di tepian Sungai Moskow yang berdekatan dengan Hotel Ukraina.

Menurut Farida dalam Saya Farida: Sebuah Autobiografi (2014: 116), sebelumnya Sjuman sudah melamarnya di bawah tangga apartemen. Tetapi, nampaknya tempat itu sama sekali tidak istimewa sehingga Sjuman ingin pindah lokasi. Sjuman dan Farida pun menikah pada Juni 1962.

Setelah rumah tangga bersama Farida kandas, Sjuman sempat menikah untuk kedua kalinya dengan aktris Tuti Kirana. Sayang, mereka tidak langgeng. Pernikahan ketiga dilalui Sjuman bersama mantan perenang nasional, Soraya Perucha, yang usianya jauh di bawah Sjuman.

Kerja Bareng Pemerintah

Tiga tahun setelah pernikahan di Moskow, Sjuman dan Farida kembali ke Indonesia. Kendati menjadi lulusan terbaik di kampusnya, Sjuman sulit mendapatkan pekerjaan karena ada embel-embel Moskow di ijazahnya.

Untungnya, kawan-kawan Sjuman sesama Seniman Senen mau membantu Sjuman. Di tambah lagi, Adam Malik, satu dari tiga serangkai pendiri Orde Baru merupakan orang yang menikahkan Sjuman dan Farida di Moskow. Sjuman jadi tidak kesulitan mendapatkan koneksi.

Jalan Sjuman menuju industri film pun kembali terbuka. Kebetulan sesaat sebelum kepulangan Sjuman dari Rusia, kelompok Seniman Senen sempat dikumpulkan Kementerian Penerangan untuk berbincang masalah perfilman. Pertemuan tersebut dilanjutkan dengan pembentukan Direktorat Pembinaan Film Departemen Penerangan (Deppen).

Pada 1966, Sjuman ditunjuk menjabat direktur film Deppen yang kemudian bertahan selama dua tahun. Pada masa jabatannya itulah lahir kebijakan perbaikan kualitas produksi film lewat pemberian dana pinjaman yang didapat dari pajak film impor. Di bawah pengawasan Sjuman, kondisi produksi dan rehabilitasi film Nasional berhasil tiba di titik yang menggembirakan.

Setelah lepas jabatannya di tahun 1968, Sjuman banyak terlibat dalam pembuatan film-film percontohan pemerintah melalui Dewan Produksi Film Nasional (DPFN). Model produksinya dilakukan dengan cara mengkolaborasikan sentuhan artistik para seniman film dengan permodalan dari pemerintah. Selama kurang lebih dua tahun, Sjuman dan sejawatnya berhasil memproduksi film Nji Ronggeng (1968) dan Apa Jang Kau Tjari Palupi? (1969) di bawah naungan DPFN.

Film Adalah Kritik Sosial

Menurut J.B. Kristanto sebagaimana ditulis dalam Kompas (20/7/1985), sineas Indonesia pada periode 1970-an hingga 1980-an kekurangan obsesi. Oleh karena itu, tidak heran jika film Indonesia kala itu acap kali gagal karena tidak jelas arah tujuan filmnya. Sjuman justru sebaliknya: dia sangat terobsesi dengan masalah-masalah sosial.

“Dialah yang paling jelas mau ngomong apa. Ini menarik, apalagi di tengah film Indonesia yang bisu, tidak tahu mau bicara apa. Sjuman juga yang secara jelas menghubungkan film dengan realitas sosial,” kata Arifin C. Noer kepada Kristanto.

Kendati berdarah Jawa, tetapi Sjuman lebih suka menyebut dirinya orang Betawi. Barangkali berkat hal itu pulalah ia gemar mengangkat tema-tema sosial orang Betawi serta segala bentuk kekerasan yang menggambarkan situasi pinggiran Kota Jakarta.

Berdasarkan catatan Salim Said, sikap idealis Sjuman paling tampak dalam Lewat Tengah Malam (1971), film pertama Sjuman setelah vakum lama lantaran tertawan oleh pekerjaan film di Deppen. Lewat Tengah Malam disebut Salim sangat menonjolkan selera Rusia, tetapi sarat akan kritik sosial khas Sjuman.

“Saat pulang dari Rusia, Sjuman menemukan masyarakat Indonesia tumbuh berbeda dengan cita-cita yang menggerakkan revolusi. Lewat karya pertamanya Sjuman ‘berontak’ dengan suatu perampokan terorganisir yang menggerogoti pembesar korup. Hasil perampokan dimanfaatkan pada usaha-usaha sosial,” tulis Salim dalam Pantulan Layar Putih (1991: 238-239).

Pada 1973, Sjuman memutuskan membangun perusahaan filmnya sendiri dengan nama Matari Artis Jaya Films. Alasannya sederhana: ia tidak ingin terikat kontrak kerja dengan para produser yang terlalu mengekang. Cita-cita Sjuman membuat film sendiri akhirnya tercapai melalui Si Doel Anak Betawi yang berhasil merajai sebagian besar bioskop rakyat di Jakarta tahun 1973.

Sjuman kemudian lebih dikenal sebagai sedikit dari seniman film Orde Baru yang memiliki kapasitas untuk menulis naskah sekaligus mengarahkan pembuatan film. Bakat menulisnya itu tidak disia-siakan Wahyu Sihombing yang kemudian mengajaknya menjadi bagian Sindikat Penulis Skrip Film. Tugas Sjuman hanya satu, yaitu memperbaiki penyakit film Indonesia yang gemar merusak cerita-cerita bagus menggunakan alur yang acak-acakan.

Sejak tahun 1971 hingga tutup usia, film dari buah penyutradaraan Sjuman Djaya terhitung ada 16 judul. Sebagian besar menjadi film peraih penghargaan Piala Citra dan sebagiannya lagi film terlaris.

Selain itu, Sjuman juga meninggalkan puluhan skenario yang kemudian dikerjakan oleh sutradara-sutradara lain. Menurut catatan Farida Oetoyo, sepanjang hidupnya Sjuman telah terlibat dalam pembuatan 53 judul film.










PERAWAN BUTA 1971 LILEK SUDJIO
Actor
OMBAKNYA LAUT MABUKNYA CINTA 1978 ABRAR SIREGAR
Actor
JANG DJATUH DIKAKI LELAKI 1971 NICO PELAMONIA
Actor
FLAMBOYANT 1972 SJUMAN DJAYA
Director
KABUT SUTRA UNGU 1979 SJUMAN DJAYA
Director
PINANGAN 1976 SJUMAN DJAYA
Director
YANG MUDA YANG BERCINTA 1977 SJUMAN DJAYA
Director
VIOLET SILK OF FOG THE 1980 SJUMAN DJAYA
Director
ATHEIS 1974 SJUMAN DJAYA
Director
KERIKIL-KERIKIL TAJAM 1984 SJUMAN DJAYA
Director
SI DOEL ANAK BETAWI 1973 SJUMAN DJAYA
Actor Director
SI DOEL ANAK MODERN 1977 SJUMAN DJAYA
Director
BUDAK NAFSU 1983 SJUMAN DJAYA
Actor Director
OPERA JAKARTA 1986 SJUMAN DJAYA
Director
R.A. KARTINI 1983 SJUMAN DJAYA
Director
ANJING-ANJING GELADAK 1972 NICO PELAMONIA
Actor
REAL THING, THE 1980 SJUMAN DJAYA
Director
LAILA MAJENUN 1975 SJUMAN DJAYA
Director
HATI SELEMBUT SALJU 1981 ISHAQ ISKANDAR
Actor
BUKAN SANDIWARA 1980 SJUMAN DJAYA
Director
LEWAT TENGAH MALAM 1971 SJUMAN DJAYA
Actor Director

Tidak ada komentar:

Posting Komentar