Kamis, 24 Februari 2011

RAAM PUNJABI, MENGHIBUR DENGAN SAMPAH?

08 Januari 2001
Raam Punjabi: 
"Tiket Utama untuk Sinetron Adalah Wajah Cantik"
 

Dia banyak di kecam orang dan juga banyak yang memaki-makinya. Dulu saat film masih bagus, dia juga yang mengambil sikap dengan membuat film horor dan sex, sampai saat ini. Ketika film hancur (dihancurkan olehnya/ tanpa dfisadari atau sadar/dengan tayangan yang murahan) dia banting stir ke sinetron yang masih lahan baru, disana dia berbisnis, dan lama-kelamaan menjadi sampah juga. Sehingga banyak juga orang yang mengecam sampah buatannya di TV-TV. Apa'pun namanya menghibur atau di hibur atau uang...yang pasti adalah sampah. Ketika ladang bisnis sudah panen banyak, dia lari ke tempat yang lain dan mengotorinya dengan sampah, hingga saat orang lain membangun perfilman atas kepercayaan penonton, dia kembali lagi ke film dan lagi-lagi membuat sampah. Inilah contoh pembisnis film yang selalu untung dan ingin untung tanpa memikirkan dampak apa pun yang diperbuatnya. Dan tidak sedikit orang seperti dia, pebisnis film yang selalu mengatakan menghibur/penontonnya dengan sampah.

DIA dijuluki Raja Sinetron. Suka atau tidak, produksi Multivision Plus, rumah produksi yang didirikannya 11 tahun silam, berkibar-kibar di hampir setiap stasiun televisi. Suka atau tidak, sinetron produksinya selalu mencapai rating dua digit alias banyak penontonnya. Tentu para penonton Indonesia sudah mafhum bahwa produksi Multivision punya karakter yang bisa dikenal secara sekilas: pemakaian bintang-bintang cantik dan tampan (yang belum tentu memiliki kemampuan akting), tema cerita yang berkisar pada drama cinta rumah tangga, karakter yang selalu hitam-putih secara ekstrem (menantu yang jahat atau ibu tiri yang sadistis), lokasi yang memaparkan kemewahan versus kemiskinan yang ekstrem, dan durasi penayangan yang berkepanjangan karena disukai pemirsanya. Di antara para kritikus film, sinetron, dan para sineas lainnya, sinetron produksi Raam sudah jelas karakternya: sebuah industri. Tapi, Raam tahan banting atas caci-maki dan kritikan yang meluncur. Lahir di Surabaya, 57 tahun silam, Raam Jethmal Punjabi mengaku sinema sebagai dunianya sejak ia berusia delapan tahun karena ia gemar keluar-masuk gedung bioskop di Surabaya. "Sejak kecil saya memang bercita-cita menjadi produser film," kata Raam. Berawal sebagai importir film, Raam berhasil mewujudkan impiannya lewat PT Panorama Film, pada 1971, yang memproduksi film Cinta dengan memasang pasangan idola kala itu, Sophan Sophian dan Widyawati. Geliat bisnisnya pun tak terbendung. Selama 17 tahun ia memproduksi 100 judul film layar lebar. 

Pada dasawarsa 1980, dengan bendera Parkit Film, Raam sukses mengeksploitasi komedi slapstik trio Warkop DKI (Dono, Kasino, Indro), yang biasa didampingi gadis cantik bertubuh seksi. Ketika perfilman Indonesia luluh-lantak, di akhir 1989, Raam banting setir masuk ke bisnis sinetron dengan investasi Rp 250 juta. Kini rumah produksinya sudah menghasilkan 9.000 jam sinetron (dia lupa jumlah judul dan jumlah episodenya). Saat ini saja, tak kurang dari 12 judul sinetron produksi Multivision Plus setiap pekan mengalami kejar tayang di lima stasiun televisi. Akibatnya, ban berjalan produksi sinetronnya dari hari ke hari mengalir dari satu episode ke episode berikutnya. Inilah industri kerajaan Multivision Plus. Sejak itu, sinetron Melayu mengisi ruang keluarga penonton televisi Indonesia, dari kekonyolan komedi Warkop DKI hingga soap opera ala Aaron Spelling, atau telenovela Amerika Latin. Sebutlah sinetron Tersanjung atau Bella Vista, yang semuanya berada pada "rating" puncak dengan cerita yang mengharu-biru. Tak aneh bahwa Raam Punjabi dicap sebagai produser sinetron penjual mimpi dengan artis berwajah molek, aktor berparas elok, dan kehidupan nyaman kelas atas. Tapi, sesekali ia mengejutkan publik dengan sinetron Bukan Perempuan Biasa, yang diarahkan Jajang Pamoentjak berdasarkan skenario Arifin C. Noer. Untuk serial semacam ini, ia mengaku memberi semacam keistimewaan. Misalnya, ia tak ikut campur dalam "mengoreksi" naskah dan tak menuntut kontrak eksklusif pada Christine Hakim karena, "Dia bintang legendaris, dan saya merasa terhormat bekerja sama dengannya." Tahun ini, ia mengulang kejutan itu dengan memproduksi sinetron Tiga Perempuan, dengan pelakon serius Christine Hakim dan sutradara Maruli Ara. Selama dua setengah jam, Leila Chudori, Irfan Budiman, Dwi Arjanto, dan Andari Karina Anom dari TEMPO mengorek sepak terjang Raam Punjabi menguasai pentas mimpi di layar kaca Indonesia. Wawancara itu sesekali disela dengan protes kecil Raam, yang mempertanyakan, "Kenapa TEMPO hanya mau mengulas Tiga Perempuan? Bukankah produksi saya yang lain bagus? I'll tell you, 'Doa Membawa Berkah' will be a smashing hit," tuturnya, mencoba meyakinkan. Saat berbagai sinetronnya dikritik oleh tim TEMPO, sang Raja Sinetron mendengarkan dengan saksama, meski tetap tak setuju dengan ulasan kami. Berikut ini petikannya.

Kontrak di Multivision Plus sangat mengikat. Benarkah para pekerja yang sudah dikontrak Multivision tak boleh main dengan rumah produksi lain? Memang, biasanya kami mengadakan kontrak yang tiga tahun pertama harus eksklusif. Artinya, sang artis hanya main di sinetron produksi Multivision Plus. Tetapi, biasanya sebelum satu tahun mereka sudah terkenal. Mereka boleh membintangi iklan karena mereka tahu bahwa di sinilah potensi mereka. Jika mereka terlibat dalam pembuatan iklan, kami yang menyesuaikan waktu mereka. Setelah tiga tahun, kami menyerahkan kepada setiap artis. Ada juga pemain yang nakal saat kontrak masih berlangsung. Katanya tak mengerti isi kontrak, khilaf. Kalau untuk pertama kali terjadi, saya bisa mengerti. Tetapi kalau peristiwanya sampai dua-tiga kali, berarti itu sudah berniat untuk melanggar. Apakah pemain seperti Christine Hakim tak menggunakan sistem kontrak eksklusif? Christine itu legenda, itu mesti diakui. Dia punya visi ke depan yang jelas. Karena itu, jika bekerja dengannya, saya tak memikirkan proyek saya ini untung atau tidak. Saya bisa bekerja sama dengannya saja saya sudah merasa sangat beruntung. Seberapa penting faktor aktor dan aktris dalam sebuah sinetron? Sebetulnya yang menciptakan sistem bintang (star system) itu saya. Serial pertama saya, Gara-Gara, memasang Lydia Kandou, yang semula dikenal sebagai bintang layar lebar. Serial itu adalah serial komedi yang mencapai hingga 200 episode selama enam tahun. Pada Pelangi di Hatiku, ada Desy Ratnasari, Rano Karno, dan Ria Irawan. Kemudian pada Bella Vista ada Roy Marten dan Venna Melinda. Semua menganggap serial itu laku karena ada bintangnya. Bagi saya tidak. Tonton saja serial Bidadari, yang dibintangi Ayu Azhari. Dia kan bintang terkenal. Tapi, kalau tokoh perinya bukan diperankan Ayu Azhari, no problem. Banyak yang bilang sinetron kita seragam dan itu-itu saja. Bagaimana seleksi awal cerita sinetron produksi Anda? Ada yang diambil dari novel? Saya baru sekali mengambil cerita dari novel. Biasanya kami membuat cerita sendiri. Saya tahu ada pro-kontra dari cerita saya di masyarakat. Tetapi saya kira 90 persen pemirsa televisi kita menyukai produk Multivision Plus. 

Misalnya, Anda tanya ke penjaga pintu itu apakah semalam menonton Tersanjung. Kalau dia menonton, berarti dia mewakili satu juta orang. Dengan lain kata, segmen penonton sinetron yang Anda buat adalah kelas menengah ke bawah? Ibu-ibu semua golongan. Bapak-bapak juga tahu tentang program kami. Mungkin karena yang main biasanya cantik. Untuk menentukan cerita itu, Anda terlibat langsung? Saya memberi kebebasan kepada siapa pun. Setelah cerita ditulis, saya justru sangat terlibat. Jarang sekali saya lepas. Kalau dialognya empat halaman, saya sudah tahu gambarnya akan bertele-tele, harus diedit. Sambil baca, saya merenungkan dan mengimajinasikan. Bagaimana dengan skenario Bukan Perempuan Biasa milik Arifin C. Noer? Saya tidak mengoreksi skenario itu. Itu spesial. Bagaimana suasana proses pembuatan sinetron Anda? Saya selalu ribut dengan sutradara, khususnya dengan sutradara Jajang C. Noer, karena dia ingin mencoba wajah yang dekat dengan lingkungan dia. Padahal, dia hanya bertanggung jawab sampai pembuatan. Sebaliknya, saya bertanggung jawab seumur hidup. Untuk saya, sebuah sinetron melibatkan banyak tenaga. Dan jika tidak ada sambutan pemirsa, itu sangat menyakitkan saya. Tapi, menurut saya, sinetron Bukan Perempuan Biasa sukses. Suksesnya karena rasa hormat pemirsa pada Jajang, Christine Hakim, atau Desy Ratnasari. Itu jadi salah satu produk kebanggaan saya. Ngomong-ngomong, sinetron Tersanjung itu panjang banget, tidak habis-habis. Sudah mencapai berapa episode? Sudah 50-an. Sudah sampai Tersanjung 2. Saya terpaksa mengganti Lulu Tobing dengan Jihan Fahira. Tapi peringkatnya malah naik, dan sekarang masih di peringkat atas, 23-25. Menurut saya, pemirsa ingin melihat tokohnya, bukan pemainnya. Hampir semua serial Multivision Plus sukses. Tetapi ada yang gagal juga, kan? Saya tidak bilang gagal, tetapi ada sinetron saya yang tak mencapai yang diharapkan. Mungkin waktu itu saingannya lebih berat, atau jam tayangnya tidak tepat. Sinetron macam Jinny Oh Jinny sama sekali tak menampilkan realitas. Apa pertimbangan Anda buat sinetron itu? Produk mana dari luar negeri yang Anda anggap ada realitasnya? Telenovela? Adakah realitasnya di Venezuela sana? Mission Impossible, Xena, James Bond, itu juga hanya pameran teknologi modern. Wartawan mengkritik sinetron tidak membumi atau menjual mimpi. Lo, mimpi tidak bisa dijual. Yang bisa dijual itu harapan. 
 
Di sinetron saya itu, yang ada adalah harapan. Lepas soal rating, Keluarga Cemara mengekspos kesederhanaan. Bagaimana Anda melihat sinetron seperti itu? Saya menghargai kesederhanaan dan kejujuran Arswendo. Saya melihat produk itu bicara realitas. Saya lihat ada penjual koran, ada tukang becak, ada tukang kue. Itu yang mereka lihat sebagai suatu entertainment. Ratingnya 7-8. Saya kira Arswendo sudah berbuat yang terbaik. Apakah bagi Anda menghibur itu identik dengan tidak realistis? Namanya juga hiburan. Hiburan itu harus beberapa tingkat lebih dari kenyataan. Enak dipandang dan enak diikuti. Tapi sinetron Bukan Perempuan Biasa kan melawan pakem produksi Anda? Saya mau bilang apa. Saya cerita apa adanya, ratingnya tidak tinggi. Apakah Anda memasukkan sinetron itu dalam kategori gagal sebagai angka 10 persen tadi? Menurut saya, tidak total. Untungnya, serial itu cuma 10 episode. Ratingnya dua digit. Sinetron Istri Pilihan saya tinggalkan ketika ratingnya 29. Begitu selesai, saya gantikan slotnya dengan Bukan Perempuan Biasa. Ratingnya langsung mencapai 23. Bagus sekali. Tetapi kemudian turun ke 19. Saya mengatakan kepada Jajang, "Kamu kira kamu sukses? Saya buka-bukaan saja. Enggak. Ini cuma fenomena pertama saja." Pernah menonton Daun di Atas Bantal? Memang mengagumkan, tetapi penontonnya kayak apa? Kenapa copy-nya sedikit? Kenapa enggak ada uangnya? Setelah sekian ribu jam membuat sinetron, apa ruginya membuat satu-dua sinetron yang semacam Bukan Perempuan Biasa? Saya tak takut rugi. Masalahnya, saya tak punya orang yang memberikan gagasan semacam itu. Jujur Prananto pernah menawarkan cerita pendek Kado Istimewa, sebuah cerita yang bagus. Begitu saya tayangkan, hancur sekali ratingnya. Bagi saya, ini seperti potong jari sendiri dengan gergaji sendiri. Apa resep sukses sinetron? Wanita cantik, kemewahan, dan ada tangisan? Enggak juga. 

Dalam sinetron Terpesona tak ada satu butir air mata pun, dan suksesnya luar biasa. Anjasmara dan Krisdayanti ketawa sampai habis. Tapi, memang harus diakui, cewek cantik dan pria tampan adalah tiket pertama untuk bisa main di sinetron. Dasar untuk menjadi bintang, obyektif saja: penampilan dan wajah. Sinetron pada masa 1980-an menampilkan peristiwa sosial yang terjadi pada waktu itu. Sekarang, terutama produk Multivision Plus, hampir sama semua sehingga tidak tergambar proses sosialnya? Enggak benar. Sekarang kita bisa menyinggung kepala negara dalam cerita kami. Kami bisa menyebut Gus Dur, kami bisa menyebut menteri korup. Tiga atau lima tahun lalu, hal ini tak mungkin ada. Nah, kita bisa melihat-lihat potret kemajuan sosial kita pada sinetron Serendah Bumi Setinggi Langit dengan skenario Jujur Prananto. Pembicaraan di DPR bisa diungkap lewat sinetron. Ada yang bilang Anda itu raja televisi atau raja sinetron seperti Aaron Spelling. Apakah Anda bercita-cita seperti itu? Enggak. Saya memang mendapat inspirasi dari dia. Tapi, asal-muasal saya adalah dari film layar lebar yang menjadi peluang mencari nafkah. Produk yang saya lihat, termasuk produk Aaron Spelling, memberi inspirasi. Yang penting, produk lokal harus ditunjang. Jangan sampai bernasib seperti layar lebar. Sinetron adalah benteng budaya, bisa membodohkan masyarakat, bisa pula mencerdaskan bangsa. Sementara ini, saya belum melihat bahwa saya ini sedang membodohkan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar