Tampilkan postingan dengan label WASDARI / 1977. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label WASDARI / 1977. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 05 Februari 2011

WASDARI / 1977

WASDARI

Produksi PT Bola Dunia Film



Film dilarang meski baru pada tahap penulisan skenario. Departemen Penerangan menilai film yang skenarionya ditulis Yasso Winarto dan disutradarai Nico Pelamonia itu bisa merongrong kewibawaan pemerintah, karena memojokkan pejabat-pejabat pemerintah. "Jika ditonton orang luar negeri," kata Sunaryo St. Direktur Bina Film Departemen Penerangan waktu itu, "mereka akan mendapat kesan negara kita ini bobrok."

Betulkah soalnya hanya "wasdri" ?

Surat penolakan dirjen rtf, dep. penerangan terhadap izin produksi film wasdri membuat heboh. sejumlah orang film dan seniman bidang lain melakukan protes dengan mendatangi dirjen rtf dan dpr.

Gara-gara jang ditimbulkan oleh tindakan sensor pihak-pihak resmi terhadap fim-fim seperti The Long March, Antara Bumi Dan Langit dan lain-lain, antara lain menimbulkan kegelisahan di kalangan Perfini jang lalu membikin film fiktifnya jang pertama, Dosa Tak Berampun, sebuah saduran dari lakon sandiwara Djepang, Ajahku Pulang.

Pada hakekatnya ini adalah exodus pertama, lari dari pokok-pokok tjerita jang aktuil jang disebabkan oleh guntingan sensor yang makin tajam.

Usmar Ismail, "Sari Soal Dalam Film Indonesia", Star News 25 September 1954.
***
LEBIH seperempat abad setelah almarhum Usmar Ismail direpotkan oleh 'pihak-pihak resmi,' perfilman Indonesia ternyata masih harus mengalami nasib yang sama Kasus Wasdri yang di bulan Juli yang lalu menjadi bahan pembicaraan, kini tampil sebagai masalah film yang menghebohkan. Niat sekelompok orang film mengangkat kisah Wasdri ke layar putih ditolak oleh yang berkuasa. Alas an? Merongrong kewibawaan Pemerintah - jawab drs Sunaryo St. Direktur Bina Film Departemen Penerangan. Seakan-akan semua jaksa atau instansi pemerintah itu berbuat salah dan sewenang-wenang. Seakan-akan rakyat kecil selalu ditindas oleh penguasa, demikian Sunaryo kepada Syarief Hidayat dari TEMPO.

Kehebohan bermula pada surat penolakan bernomor 3081/Dir-DPF-II/ 1977, tertanggal 18 Nopember 1977, ditandatangani drs. Sunaryo St. Mula-mula persoalan memang akan diseIesalkan secara sederhana: pangganttan judul dan revisi beberapa baglan skenario. Tapl karena sang penulis skenario Yasso Winarto dan Sutradara Nico Pelamonia keberatan, pihak Deppen pun bersikeras. Dan para seniman berkumpul lalu melahirkan protes.

Setelah berdebat sengit selama berjam di sebuah warung dalam kompleks Taman Ismail Marzuki, 3 Desember lalu, pernyataan Melawan Pemasungan Kreativitas ditandatangani oleh sejumlah orang film dan seniman bidang-bidang lain. Lewat koran dan berita dari mulut ke mulut, para seniman dengan segera menyatakan solidaritas. Kemudian ternyata masalah tidak bisa dilokalisir lagi cuma pada kasus film Wasdri.

Selain kasus film Atheis yang juga pernah dilarang pembuatannya oleh pihak Deppen (hingga kini di beberapa daerah tidak boleh diputar), kasus film Siulan Rahasia juga ikut diprotes para seniman itu. Dalam film terakhir ini yang menjadi soal bagi oeppen adalah ikutnya Pak Kasur sebagai pemain, sedang ia dianggap masih dalam keadaan "karantina": pernab jadi anggota PGRI non-vaksentral.

Tidak ketinggalan Oma Irama ikut protes: 3 buah lagunya dilarang beredar (lihai Musik). Sejumlah dramawan, termasuk W.S Rendra, juga protes karena pementasan mereka dilarang di beberapa kota. Pelarangan pameran lukisan 'Seni Kepribadian Apa' di Yogya pada bulan Agustus 1977 juga diprotes.

Di Deppen, para seniman yang melakukan protes diterima Dirjen RTF drs Sumadi Sudah tentu terjadi tarik urat leher di sana. Ucapan Sumadi yang menyebut skenario Wastri sebagai "tidak sesuai dengan kejadian aslinya", dinilai "amat gegabah" oleh W.S. Rendra. "Lho, lalu kenapa ada film yang memadu unsur dokumentar dengan fiksi'?"

Rendra kemudian bertanya: "Kalau pemaduan dokumenter dan fiksi dianggap jelek, apakah memang ada larangan memuat film jelek?" Tentu saja Sumadi tidak bisa menjawab pertanyaan ini. Sebab jika larangan itu ada, bisa dipastikan dalam setahun mungkin cuma 2 atau 3 film Indonesia yang bisa lahir.

Ketika masih belum bertemu dengan para seniman, di Bina Craha Sumadi menyatakan kekhawatirannya bahwa para seniman yang melakukan protes itu belum membaca skenario Wasdri. "Itu tidak penting lagi, dibaca atau tidak. Protes ini tidak cuma menyangkut soal Wasdri, tapi menyangkut masalah kreativitas secara umum," begitu Arifin C. Noer menanggapi Sumadi.
Nampaknya bisa dipastikan: juga para anggota Akademi Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta tidak banyak yang sempat membaca skenario Yasso Winarto itu. Tapi dalam pernyataan bersama kedua lembaga tersebut, pelarangan terhadap skenario film Wasdri dinilai sebagai "akan merugikan perkembangan bangsa ini dalam jangka panjang."

Juga tertulis: "Soal adanya kreativitas bagi bangsa Indonesia adalah soal hidup mati. Biarpun bangsa ini pada suatu saat dilumpuhkan tubuhnya, tapi selama api kreativitas menyala dengan baik, biar dalam keadaan bagaimanapun bangsa ini akan tetap bangkit kembali."

Di Deppen, ketakutan akan "matinya kreativitas" sebagai yang dicanangkan para seniman itu ditanggapi dengan tenang oleh drs Sunaryo. Katanya: "Pelarangan itu tidak mematikan kreativitas. Saya bahkan selalu menganjurkan mereka untuk berkreasi, kreasi yang baik. Tapi tentang Wasdri, itu kan memojokkan pejabat-pejabat pemerintah. Ayo coba, bagaimana kalau film ini sampai ditonton orang luar negeri. Tentu mereka mendapat kesan negara kita ini bobrok. Dan akibatnya akan mengganggu politik luar negeri kita, bukan'?"

Barangkali untuk betul-betul menjaga wajah Indonesia di mata orang luar negeri itulah, proses perizinan pembuatan film di Indonesia dibuat seketat mungkin. "Sebuah film yang akan diproduksi, harus mengajukan izin dengan melampirkan skenario sebanyak ] 0 k)pi," begitu Sunaryo memulai cerita. Skenario itu kemudian dibagi-bagikan kepada berhagai bagian dalam tubuh Dirbin Film untuk diteliti. "Kalau ada di antara pejahat itu mempunyai keberatan, dilakukan diskusi, keputusan bisa berupa penolakan, dikembalikan untuk diperbaiki, sekedar diberi catatan atau diterima sepenuhnya."

Kita kan sudah punya Badan Sensor Film (BSF). Kenapa skenario disensor pula?
Sunaryo: Istilahnya bukan sensor, tapi penelitian. Ini sudah dilakukan sejak masa Sjuman Djaja jadi direktur di sini. Jadi saya cuma meneruskan tradisi yang dinmulai Sjuman.
Ada beberapa macam sensor yang harus dilewati sebuah film Indonesia sebelum sampai beredar?

Sunaryo: Sensor cuma satu, yaitu BSF. Tapi penelitian ada beberapa macam. Penelitian skenario, penelitian rush copy. Di tiap daerah ada Bafida (Badan Perfilman Daerah) yang juga meneliti setiap film yang akan beredar di daerahnya. Bafida hanya bisa menerima atau menolak scbuah film. Memotollg seperti BSF tidak bisa.

Drs. Sjuman Djaja, bekas Direktur Film Deppen dan salah-seorang sutradara serta enulis skenario terpenting di Indonesia dewasa ini, tidak menyangkal mengeluarkan peraturan itu dulu. "Tapi pemeriksaan yang saya lakukan adalah dalam rangka mencari skenario yang baik untuk diberi subsidi." Tambah Sjuman: "Kini yang dipakai para birokrat Deppen bukan pci-aturan yang saya bikin. Kalau mcreka pakai, seharusnya mereka memberi subsidi kepada skenario yang mereka anggap baik."

Tragisnya, kebijaksanaan Deppen telah pula mempersulit diri Sjuman sendiri. Film Athlis hampir saja tidak dapat izin produksi, sedang Si Mamad diberi anjuran: "agar tidak terlalu menonjolkan kemiskinan pegawai negeri," begitu cerita Maulana, seorang pembantu dekat Sjuman.

Apakah pengaruh kasus Wasdri terhadap perkembangan perfilman nasional?
Sjuman: Terang tidak sehat. Terbukti, skenario yang banyak diloloskan adalah kisah tentang orang yang terdiri dari daging melulu, sama sekali tidak punya dimensi. Ksus pelarangan ini membuktikan bahwa Deppen tidak mentolerir film yang membumi di Indonesia, film yang berwajah Indonesia. Akibatnya lahirlah film-film yang menerawang antara wajah-wajah Hongkong, Taiwan, Jepang, Korea dan India. Wajah tiruan yang bahkan lebih jelek.

Menurut anda, bagaimana supaya pemeriksaan skenario bisa lebih baik hasilnya?
Sjuman: Komisi itu bubarkan saja. Itu kalau kita ingin membuat film yang berwajah Indonesia. Biarkan saja para seniman yang menilai skenario, bukan para birokrat itu. Skenario tidak akan pernah bisa diperiksa oleh opas atau klerek.

Di tengah gemuruh protes para seniman seorang yang dengan tenang menyedot pipanya tidak banyak memberi komentar. Dia itulah Yasso Winarto, penulis skenario yang dilarang. Lahir di Sragen 23 Agustus 1942, Winarto yang lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada dan ayah 2 orang anak ini, yang wajahnya kebetulan mirip dengan Wasdri, mengaku telah melakukan penelitian selama 2 bulan sebelum menulis skenarionya. Memulai kegiatan keseniannya sebagai penulis sajak dan cerpen ketika masih di sekolah menengah, Yasso belajar alm dari Sjuman Djaja. Sibuk menyiapkan film pertamanya sebagai sutradara, Yasso cuma angkat suara jika ditanya,

Bagaimana tanggapan anda terhadap pelarangan itu?
Yasso: Sumadi itu tidak tahu membaca skenario. Sumadi bahkan mengajari kita mengenai teori kesenian. Baiknya dia sajalah yang buat film.

Anda bersedia berkompromi dengan saran-saran Deppen itu?
Yasso. Saya dan Nico Pelamonia sudah bertekad untuk tidak menguhah skenario itu sedikit pun. Kalau pemerintahmu bikin cerita Wasdri lain, silakan saja. Toh Deppen punya Perusahaan Film Negara (PFN).

JUGA tidak banyak bicara - di tengah keriuhan debat para seniman - adalah Nico Pelamonia, sang sutradara. "Cerita itu sendiri amat menyentuh hati saya," kata Nico putera Pieter Pelamonia. Lahir di Arnbon tanggal 16 Maret 1941, Nic kemudian dikenal sebagai aktor - lewat pendidikan di ATNI - dan karyawan TV untuk kemuadian jadi sutradara.

Filmnya yang anat terkenal adala Anjing-Anjing Geladak, sebuah film yang secara realistis dan keras menggambarkan pergulatan hidup di kalangan bawah Kota Jakarta. "Saya selalu ingin bikin film macam Anjing-Anjig Geladak itu, bung," katanya kepada Salim Said dari TEMPO. Sikap Nico sendiri akibat larangan Deppen: untuk sementara tetap "menanti saat".

Ada kecurigaan pembikinan film Wadsri hanya berdasar alasan komersiil.
Nico: Kalau cuma cari uang. Saya dengan cepat buat bikin film mengenai perempuan yang kerjanya ngangkang. Dan Deppen dalam 3 hari bisa kasih izin. Tapi Wasdri merupakan personifikasi rakyat kecil yang tertindas.

Tapi benarkah Wasdri pernah dipasung?
Pemasungan Wasdri dalam skenario hanya sebagai simbolisme dari beberapa orang tak berdosa yang banyak "dipasung" oleh masyarakat.

Yang juga terus menanti saat memulai pekerjaan adalah Suryadi, produser pelaksana PT Bola Dunia Film yang akan memproduksi Wasdri. Mengaku telah mengeluarkan 7 juta rupiah untuk persiapan, Suryadi yang kelahiran Cepu 26 Januari 1943 itu cuma bisa menyayangkan Pemerintah. "Film ini sebenarnya tidak cuma komersiil, tapi juga mengungkap problem sosial yang hidup di tengah-tengah kita. Masak kita terus cuma boleh bikin film cinta-cintaan remaja dan kekerasan," Suryadi menjelaskan kepada Eddy Herwanto dari TEMPO.

Tapi bagaimana kalau Deppen tetap menolak? "Yah, kita bisa apa? Nrimo sajalah. Dan kita mulai dengan film lain."
Lain Suryadi, yang mewakili pemilik modal, lain pula para seniman yang berjihad. Tidak puas berdiskusi dengan Sumadi, para seniman mendatangi DPR pekan silam. Di sana mereka diterima Adam Malik. W.S Rendra secara berapiapi membacakan petisi rekan-rekannya. Sudah itu mengungkapkan kegiatan kawan-kawannya yang telah menghubungi berbagai kalangan.
Dengan tangkas dan dingin Adam Malik memotong: "Kalau berjuang, jangan semua senjata dikeluarkan. Nanti sekali pukul kan habis." Adam berjanji membawa soal petisi itu ke komisi yang bersankutan.

Lantas tanpa dminta, secara spontan datang dukungan dari Persatuan Advokat Indonesia (Peradin). "DPP Peradin turut memprotes penolakan pemberian izin produksi film Wasdri tersebut." Begitu antara lain pernyataan Peradin yang ditandatangani oleh Tasrif SH dan Sunarto SH. Kepada TEMPO, Tasrif menjelaskan: "Kasus Wasdri itu patut difilmkan, sebab ia pernah merupakan kasus yang mencemarkan kehidupan hukum di Indonesia."

Anggota Peradin yang telah membaca Rkenario karya Yasso tersebut, Abdurrahman Saleh SH, yang juga seorang pembela dari LBH, menjelaskan kepada Eddy Herwanto: "Lucu kalau skenario seperti itu dilarang. Seolah olah pejabat itu seperti malaikat, dengan darah seperti air zam-am. Saya malah berpendapat bahwa kalau penulisnya seorang yang bergerak di pengadilan, pasti skenarionya lebih mengerikan."

Barangkali lebih mengerikan krona fakta-fakta dl sekitar itu memang mengerikan". Tapi itu berarti fakta yang umum. Bagaimana tentang fakta sakitar Wasdri sendiri ? Berlainan dengan Abdurrahman, Dirjen Radio Film dan TV drs. Sumadi berkeberatan dengan beberapa adegan yang duniannya tidak tepat dengan kejadian. Misalnya: Wasdri diberi minum air kencing ibunya. Atau Wasdri dipasung atas perintah Lurah. Itu tak pernah terjadi.

Lebih dari itu ada adegan seorang polisi menembak anak kecil (hal. 43 dari skenario), yang kalau tidak salah (syukur alhamdu lillah) belum pernah terjadi di Indonesia. Untunglah polisi itu kemudian diceritakan sangat menyesal.

Skenario itu sendiri tak bisa dikatakan bagus. Sebagai cerita yang berangkat dari fakta yang baru saja terjadi dan menyangkut orang-orang yang masih hidup, memang tak salah bila orang menuntut kepersisan fakta, agar tidak kacau. Kecuali bila tidak menyebut nama asli, seperti misalnya dikatakan harian Kompas. Tapi yang penting, betul adakah 'pemasangan kreativitas' itu?

Secara konsepsionil mungkin tidak. Rendra, yang tempo hari tidak boleh mentas di Yogya, toh bisa tampil di TIM atau Istora, dan sekarang malah di kotanya sendiri. Tak ada konsep apapun: lebih banyak tergantung selera penjabat dan lebih-lebih para "birokrat kecil". Sensor skenario hanyalah satu bagian kecil dari dunia perfilman. Yasso sendiri, untuk kasus Wasdn, pada mulanya hanya berdiam diri mungkin karena produsernya biasa berkompromi dengan Deppen kalau saja tidak ada yang mengkili-kili.

Tak bisa diingkari: film memang masih hanya soal media massa, bukan atau belum soal "seni". Kecuali bila bisa dilahirkan film yang bebas dari tekanan cukong, produser broker. Sensor terhadap skenario dan lain-lain dari pihak resmi memang mengganggu, tapi berjustalah orang film alau cuma di situ kebebasan sutradara dan skenario dibatasi. Bahkan seperti yang di waktu lalu dikelola oleh Dewan Produksi Film Nasional, pihak resmi justru bersedia memberi peluang bagi orang film untuk kasih unjuk kreativitas mereka kalau ada.

Dan lagi pula, "pemasungan kreativitas" yang kini dihebohkan para seniman sebenarnya secara relatif tidak sanggup mematikan tekad kreatif mereka yang mencipta, bila dibandingkan dengan di zaman demokrasi terpimpin. Atau, bila dibandingkan dengan sempitnya peluang dan banyaknya kesewenang-wenangan di luar kesenian dewasa ini.

Misalnya, kesewenang-wenangan di bidang hukum -- yang barangkali menyebabkan Peradin sampai-sampai ikut bicara dalam soal ini. Atau di bidang politik, di mana banyak orang masih nampak takut untuk berbicara yang sebenarnya, biarpun sesuai dengan aturan permainan.
Tapi kalau para seniman mau ramai-ramai, yah, siapa tahu ada juga gunanya.....