TRAGEDI BINTARO
Salah seorang petugas PPKA, Djamhari, mencoba menghentikan laju kereta dengan menggerakkan sinyal hingga mengibarkan bendera merah. Apa hasilnya? Gagal total. Ia tertunduk sedih, berjalan kembali ke stasiun dan membunyikan semboyan genta darurat kepada penjaga perlintasan Pondok Betung. Sungguh naas, penjaga perlintasan Pondok Betung tidak menghafal semboyan genta.
Hukuman yang Dijatuhkan Akibat kecelakaan yang disebut tragedi Bintaro ini, masinis KA 225, Slamet Suradio harus mendekam di balik jeruji besi selama lima tahun. Nasib serupa dialami Adung Syafei, kondektur KA 225. Ia menerima hukuman yang lebih ringan, 2 tahun 6 bulan. Sementara itu, PPKA Stasiun Kebayoran Lama Umrihadi mendapat kurungan 10 bulan.
Bangkai Lokomotif ‘dikubur’ Dua lokomotif yaitu KA 220 dan 225 yang bertabrakan dipindah dari lokasi kejadian dan dikuburkan di Balai Yasa, Yogyakarta. Balai ini merupakan museum bagi lokomotif tua dari seluruh daerah di Pulau Jawa.
Tragedi Diangkat ke Dalam Lagu dan Film Layar Lebar Tragedi Bintaro betul-betul menyita perhatian seluruh masyarakat Indonesia. Demi mengenang tragedi tersebut, Iwan Fals, seorang musisi ternama tanah air membuat lagu berjudul 19/10 (tanggal peristiwa itu terjadi). Ebiet G Ade menciptakan lagu berjudul Masih Ada Waktu. Dua tahun berselang, peristiwa ini diangkat ke layar lebar oleh sutradara Buce Malawau, dengan judul Tragedi Bintaro. Turut dibintangi Lia Chaidir, Asrul Zulmi dan Ferry Octora.
Diangakat dari kisah nyata tragedi tabrakan 2 kereta api di wilayah Bintaro Jakarta.
Adalah Juned (Fery Octora) yang tinggal bersama dengan Minah (Roldiah Matulessy) neneknya dan keempat saudaranya di perkampungan padat Jakarta. Kedua orang tua Juned sudah pisah rumah akibat ketidak cocokan keduannya. Nenek Minah mengasuh lima orang cucu sekaligus sehingga nenek minah bekerja apa saja untuk menyambung hidup dari menjadi tukang pijat hingga tukang cuci pakaian meski kadang tidak bersih hasil cuciannya. Kedua orang tuanya meski belum bercerai akan tetapi sudah pisah. Mamanya Juned (Lia Chaidir) bekerja di konveksi yang sesekali datang kerumah nenek, sedangkan Bapaknya Efendy(Asrul Zulmy) bekerja di bengkel. Akibat keegoan kedua orangtuanya sehingga anak-anaknya menjadi korban.
Adegan dibuka dengan Juned bersama temannya menyusuri rel kereta api sambil membicarakan isu Koran Sinar Harapan yang akan dibredel. Seperti layaknya bocah, anak-anak Fendy biasa becanda dan berkelahi dengan sesama saudaranya. Mulyadi kakak Juned misalnya sering bersalah paham dengan Juned. Sementara itu Juned, meski sebagai anak kedua akan tetapi mempunyai tanggung jawab yang tinggi. Ia berjualan Koran. Sedikit demi sedikit Juned menabung hasil penjualan korannya dalam celengan.
Sementara itu, dari sekolah Mulyadi tidak boleh masuk kelas karena menunggak uang sekolah selama 4 bulan, melihat itu Juned menyuruh Mulyadi untuk meminta uang sama Bapaknya, akan tetapi Bapaknya tidak memberinya uang dengan alasan tidak punya uang, bahkan menyuruh Mulyadi untuk tidak datang-datang lagi. Juned yang cerdas akhirnya menemui Bapaknya di bengkel untuk meminta uang, akan tetapi dengan alasan belum gajihan akhirnya Juned ngambek dan lari meninggalkan Bapaknya. Bapaknya mengejarnya dan akhirnya memberinya uang, yang ternyata uang itu adalah untuk kakaknya Mulyadi yang belum membayar uang sekolah. Mengetahui itu nenek Minah menjadi kesal ke Juned, karena dianggapnya itu atas suruhan neneknya.
Adegan dibuka dengan Juned bersama temannya menyusuri rel kereta api sambil membicarakan isu Koran Sinar Harapan yang akan dibredel. Seperti layaknya bocah, anak-anak Fendy biasa becanda dan berkelahi dengan sesama saudaranya. Mulyadi kakak Juned misalnya sering bersalah paham dengan Juned. Sementara itu Juned, meski sebagai anak kedua akan tetapi mempunyai tanggung jawab yang tinggi. Ia berjualan Koran. Sedikit demi sedikit Juned menabung hasil penjualan korannya dalam celengan.
Sementara itu, dari sekolah Mulyadi tidak boleh masuk kelas karena menunggak uang sekolah selama 4 bulan, melihat itu Juned menyuruh Mulyadi untuk meminta uang sama Bapaknya, akan tetapi Bapaknya tidak memberinya uang dengan alasan tidak punya uang, bahkan menyuruh Mulyadi untuk tidak datang-datang lagi. Juned yang cerdas akhirnya menemui Bapaknya di bengkel untuk meminta uang, akan tetapi dengan alasan belum gajihan akhirnya Juned ngambek dan lari meninggalkan Bapaknya. Bapaknya mengejarnya dan akhirnya memberinya uang, yang ternyata uang itu adalah untuk kakaknya Mulyadi yang belum membayar uang sekolah. Mengetahui itu nenek Minah menjadi kesal ke Juned, karena dianggapnya itu atas suruhan neneknya.
Tragedi Bintaro bermula saat Kepala Stasiun Serpong memberangkatkan KA 225 (jurusan Rangkasbitung-Jakarta Kota) menuju Stasiun Sudimara. Sedangkan, di saat yang sama, KA 220 patas (jurusan Tanah Abang-Merak) di Stasiun Kebayoran seharusnya beristirahat sementara waktu untuk melepas KA 225.
Akan tetapi, PPKA Stasiun Kebayoran tak mau mengalah. Ia tetap memberangkatkan KA 220. PPKA Stasiun Sudimara lantas memerintahkan juru langsir agar KA 225 masuk jalur 3. Ketika akan dilangsir, masinis tidak mampu melihat semboyan yang diberikan juru langsir lantaran penuhnya lokomotif. Masinis KA 225 justru mengira petugas PPKA memberi sinyal untuk berangkat, ia pun membunyikan semboyan 35 dan melanjutkan perjalanan keretanya.
Bencana tak dapat terelakkan. Kedua kereta, patas 220 dan KA 225 bertemu di jalur tikungan S, sekitar 200 meter dari perlintasan Pondok Betung, Bintaro, Jakarta Selatan. Masing-masing masinis tidak mampu lagi mengendalikan kereta sebelum akhirnya bertabrakan dan menyebabkan kedua kereta hancur lebur. Sedikitnya, sekitar 156 penumpang meninggal dunia akibat tabrakan ini.
Setelah diselidiki lebih lanjut, kecelakaan terjadi akibat faktor human error. Berkembang pula fakta terkait kecelakaan tragis tersebut. Di antaranya adalah:
Merasa hidupnya makin susah di Jakarta, Nenek Minah mengajak cucu-cucunya untuk pindah ke desa. Nenek minah akan membawa cucu-cucunya berangkat dahulu sementara Mamanya Juned disuruh menyusul kemudian. Sementara itu di perempatan tempat Juned menjual Koran, temannya memberi tahu kalau Bapaknya sedang makan di restoran bersama seorang perempuan. Juned yang bergaya kocak, menghampiri Bapak dan langsung meminta uang, melihat itu Juned mengira kalau itu pacar Bapaknya meski dengan gaya yang kocak, akan tetapi kata-kata yang Juned lontarkan mengena di Bapaknya. Begitu sampai ke rumah nenek Minah, Juned langsung memberi tahu neneknya kalau habis ketemu Bapaknya dengan seorang cewek tanpa mengetahui kalau Mamanya berada di dalam sedang sakit. Mengetahui mamanya sakit, Juned membuka celengan dan menyuruh neneknya membawa mamanya berobat.
Malamnya Juned pergi ke kontrakkan Bapaknya untuk memberitahu kalau ia dan neneknya akan pindah kedesa sehingga tidak merepotkan Bapaknya lagi. Juned juga meminta uang ganti pada Bapaknya karena uang Juned yang ditabungan habis dipakai buat berobat mamanya, akan tetapi tidak langsung diganti. Juned berteman baik dengan Memet teman sesama penjual Koran, sehingga ia pun sering cerita tentang keadaan keluarganya.
Sekali waktu Efendy mengajak anak-anak untuk berlibur ke Dunia Fantasi dan bermain-main, akan tetapi tanpa kehadiran Juned. Begitu pulang dari Jalan-jalan Efendy membagi-bagikan hadiah pada anak-anaknya juga uang untuk nenek. Hadiah Efendy untuk Juned tidak jadi diberikan karena Juned belum pulang sehingga hadiah itu dibawa pulang kembali oleh Efendy untuk disimpan dan diberikan langsung pada Juned.
Persiapan nenek Minah untuk pulang kedesa dari hari kehari selalu dipersiapkan. Demikian juga Juned yang selalu cerita pada Memet. Menurut rencana Mama akan pulang belakangan sedangkan nenek Minah pulang duluan membawa cucunya. Anak-anak memakai hadiah yang diberikan Bapaknya untuk pulang, kecuali Juned yang hadianya belum diberikan sehingga Juned during-uringan. Mulyadi berusaha menenangkannya.
Begitu Subuh tiba, nenek Minah bersiap-siap untuk ke stasiun setelah sebelumnya berpamitan pada pak Haji pemilik kontrakan. Efendi menyusul kerumah kontrakan Nenek Minah dan hanya bertemu dengan Pak Haji karena nenek dan anak-anak sudah berangkat ke stasiun. Akhirnya dengan memacu mobilnya, Efendi menyusul ke stasiun. Sementara di Gerbong Kereta Juned masih uring-uringan karena belum dikasih hadiah sama Bapaknya. Juned menunggu-nunggu Bapaknya yang tidak datang-datang hingga akhirnya dengan setengah terpaksa Juned naik kereta.
Begitu kereta berjalan pelan, Efendi telah sampai di stasiun dan langsung mengejar dimana anak-anaknya berada untuk memberikan hadiah Juned lewat jendela. Akan tetapi kereta yang telah berjalan dan besarnya bungkusan yang diberikan tidak bisa masuk kelewat jendela, akhirnya Junedpun tidak menerima hadiah tersebut. Juned menangis karena hadiah itu tidak bisa ia terima.
Ditengah perjalanan pada km ±18.75 dari arah yang berlawanan muncul kereta lain yang sarat dengan penumpang pada rel yang sama. Akhirnya terjadilah tabrakan maut antara dua kereta yang menyebabkan timbulnya korban Jiwa. Juned yang terjepit berteriak memanggil neneknya...., sedangkan Mulyadi berusaha memanggil-manggil Bapaknya. Seluruh keluarga nenek Minah tewas dalam kecelakaan maut tersebut, hanya tersisa Juned. Tangisan dan teriakan histeris mewarnai kecelakaan maut tersebut, darah dimana-mana.
Sementara itu Efendy akhirnya mengetahui kecelakaan itu setelah ditelepon dan langsung kerumah sakit untuk melihat jasad keluarganya. Keberadaan Juned yang terjepit akhirnya dapat dikeluarkan dan di rumah sakit kedua orang tua Juned akhirnya dipersatukan olehnya. Juned menyuruh kedua orangtuanya untuk berbaikan.
Di akhir kisah, muncullah Juned yang sebenarnya direl kereta api dengan memakai penyangga kaki, karena kaki yang kiri harus diamputasi. Juned adalah salah seorang korban musibah tabrakan kereta api di Bintaro. “Sayalah Juned salah seorang korban musibah tabrakan kereta api di Bintaro, saya berterima kasih karena kisah kami sekeluarga diangkat kelayar putih lewat film ini, moga-moga ada hikmahnya bagi kita semua” demikian kata-kata Juned yang asli di akhir kisah.
Petugas Sempat Mengejar KA 225 Sebelum Kereta Bertabrakan Seharusnya KA 225 dilangsir di jalur 3. Namun karena miskomunikasi, kereta justru berjalan tanpa adanya aba-aba. Akibatnya juru langsir terkejut, ia mengejar kereta dan naik di gerbong paling belakang. Beberapa petugas PPKA ada yang mengejar menggunakan sepeda motor.
Akan tetapi, PPKA Stasiun Kebayoran tak mau mengalah. Ia tetap memberangkatkan KA 220. PPKA Stasiun Sudimara lantas memerintahkan juru langsir agar KA 225 masuk jalur 3. Ketika akan dilangsir, masinis tidak mampu melihat semboyan yang diberikan juru langsir lantaran penuhnya lokomotif. Masinis KA 225 justru mengira petugas PPKA memberi sinyal untuk berangkat, ia pun membunyikan semboyan 35 dan melanjutkan perjalanan keretanya.
Bencana tak dapat terelakkan. Kedua kereta, patas 220 dan KA 225 bertemu di jalur tikungan S, sekitar 200 meter dari perlintasan Pondok Betung, Bintaro, Jakarta Selatan. Masing-masing masinis tidak mampu lagi mengendalikan kereta sebelum akhirnya bertabrakan dan menyebabkan kedua kereta hancur lebur. Sedikitnya, sekitar 156 penumpang meninggal dunia akibat tabrakan ini.
Setelah diselidiki lebih lanjut, kecelakaan terjadi akibat faktor human error. Berkembang pula fakta terkait kecelakaan tragis tersebut. Di antaranya adalah:
Merasa hidupnya makin susah di Jakarta, Nenek Minah mengajak cucu-cucunya untuk pindah ke desa. Nenek minah akan membawa cucu-cucunya berangkat dahulu sementara Mamanya Juned disuruh menyusul kemudian. Sementara itu di perempatan tempat Juned menjual Koran, temannya memberi tahu kalau Bapaknya sedang makan di restoran bersama seorang perempuan. Juned yang bergaya kocak, menghampiri Bapak dan langsung meminta uang, melihat itu Juned mengira kalau itu pacar Bapaknya meski dengan gaya yang kocak, akan tetapi kata-kata yang Juned lontarkan mengena di Bapaknya. Begitu sampai ke rumah nenek Minah, Juned langsung memberi tahu neneknya kalau habis ketemu Bapaknya dengan seorang cewek tanpa mengetahui kalau Mamanya berada di dalam sedang sakit. Mengetahui mamanya sakit, Juned membuka celengan dan menyuruh neneknya membawa mamanya berobat.
Malamnya Juned pergi ke kontrakkan Bapaknya untuk memberitahu kalau ia dan neneknya akan pindah kedesa sehingga tidak merepotkan Bapaknya lagi. Juned juga meminta uang ganti pada Bapaknya karena uang Juned yang ditabungan habis dipakai buat berobat mamanya, akan tetapi tidak langsung diganti. Juned berteman baik dengan Memet teman sesama penjual Koran, sehingga ia pun sering cerita tentang keadaan keluarganya.
Sekali waktu Efendy mengajak anak-anak untuk berlibur ke Dunia Fantasi dan bermain-main, akan tetapi tanpa kehadiran Juned. Begitu pulang dari Jalan-jalan Efendy membagi-bagikan hadiah pada anak-anaknya juga uang untuk nenek. Hadiah Efendy untuk Juned tidak jadi diberikan karena Juned belum pulang sehingga hadiah itu dibawa pulang kembali oleh Efendy untuk disimpan dan diberikan langsung pada Juned.
Persiapan nenek Minah untuk pulang kedesa dari hari kehari selalu dipersiapkan. Demikian juga Juned yang selalu cerita pada Memet. Menurut rencana Mama akan pulang belakangan sedangkan nenek Minah pulang duluan membawa cucunya. Anak-anak memakai hadiah yang diberikan Bapaknya untuk pulang, kecuali Juned yang hadianya belum diberikan sehingga Juned during-uringan. Mulyadi berusaha menenangkannya.
Begitu Subuh tiba, nenek Minah bersiap-siap untuk ke stasiun setelah sebelumnya berpamitan pada pak Haji pemilik kontrakan. Efendi menyusul kerumah kontrakan Nenek Minah dan hanya bertemu dengan Pak Haji karena nenek dan anak-anak sudah berangkat ke stasiun. Akhirnya dengan memacu mobilnya, Efendi menyusul ke stasiun. Sementara di Gerbong Kereta Juned masih uring-uringan karena belum dikasih hadiah sama Bapaknya. Juned menunggu-nunggu Bapaknya yang tidak datang-datang hingga akhirnya dengan setengah terpaksa Juned naik kereta.
Begitu kereta berjalan pelan, Efendi telah sampai di stasiun dan langsung mengejar dimana anak-anaknya berada untuk memberikan hadiah Juned lewat jendela. Akan tetapi kereta yang telah berjalan dan besarnya bungkusan yang diberikan tidak bisa masuk kelewat jendela, akhirnya Junedpun tidak menerima hadiah tersebut. Juned menangis karena hadiah itu tidak bisa ia terima.
Ditengah perjalanan pada km ±18.75 dari arah yang berlawanan muncul kereta lain yang sarat dengan penumpang pada rel yang sama. Akhirnya terjadilah tabrakan maut antara dua kereta yang menyebabkan timbulnya korban Jiwa. Juned yang terjepit berteriak memanggil neneknya...., sedangkan Mulyadi berusaha memanggil-manggil Bapaknya. Seluruh keluarga nenek Minah tewas dalam kecelakaan maut tersebut, hanya tersisa Juned. Tangisan dan teriakan histeris mewarnai kecelakaan maut tersebut, darah dimana-mana.
Sementara itu Efendy akhirnya mengetahui kecelakaan itu setelah ditelepon dan langsung kerumah sakit untuk melihat jasad keluarganya. Keberadaan Juned yang terjepit akhirnya dapat dikeluarkan dan di rumah sakit kedua orang tua Juned akhirnya dipersatukan olehnya. Juned menyuruh kedua orangtuanya untuk berbaikan.
Di akhir kisah, muncullah Juned yang sebenarnya direl kereta api dengan memakai penyangga kaki, karena kaki yang kiri harus diamputasi. Juned adalah salah seorang korban musibah tabrakan kereta api di Bintaro. “Sayalah Juned salah seorang korban musibah tabrakan kereta api di Bintaro, saya berterima kasih karena kisah kami sekeluarga diangkat kelayar putih lewat film ini, moga-moga ada hikmahnya bagi kita semua” demikian kata-kata Juned yang asli di akhir kisah.
Petugas Sempat Mengejar KA 225 Sebelum Kereta Bertabrakan Seharusnya KA 225 dilangsir di jalur 3. Namun karena miskomunikasi, kereta justru berjalan tanpa adanya aba-aba. Akibatnya juru langsir terkejut, ia mengejar kereta dan naik di gerbong paling belakang. Beberapa petugas PPKA ada yang mengejar menggunakan sepeda motor.
Salah seorang petugas PPKA, Djamhari, mencoba menghentikan laju kereta dengan menggerakkan sinyal hingga mengibarkan bendera merah. Apa hasilnya? Gagal total. Ia tertunduk sedih, berjalan kembali ke stasiun dan membunyikan semboyan genta darurat kepada penjaga perlintasan Pondok Betung. Sungguh naas, penjaga perlintasan Pondok Betung tidak menghafal semboyan genta.
Hukuman yang Dijatuhkan Akibat kecelakaan yang disebut tragedi Bintaro ini, masinis KA 225, Slamet Suradio harus mendekam di balik jeruji besi selama lima tahun. Nasib serupa dialami Adung Syafei, kondektur KA 225. Ia menerima hukuman yang lebih ringan, 2 tahun 6 bulan. Sementara itu, PPKA Stasiun Kebayoran Lama Umrihadi mendapat kurungan 10 bulan.
Bangkai Lokomotif ‘dikubur’ Dua lokomotif yaitu KA 220 dan 225 yang bertabrakan dipindah dari lokasi kejadian dan dikuburkan di Balai Yasa, Yogyakarta. Balai ini merupakan museum bagi lokomotif tua dari seluruh daerah di Pulau Jawa.
Tragedi Diangkat ke Dalam Lagu dan Film Layar Lebar Tragedi Bintaro betul-betul menyita perhatian seluruh masyarakat Indonesia. Demi mengenang tragedi tersebut, Iwan Fals, seorang musisi ternama tanah air membuat lagu berjudul 19/10 (tanggal peristiwa itu terjadi). Ebiet G Ade menciptakan lagu berjudul Masih Ada Waktu. Dua tahun berselang, peristiwa ini diangkat ke layar lebar oleh sutradara Buce Malawau, dengan judul Tragedi Bintaro. Turut dibintangi Lia Chaidir, Asrul Zulmi dan Ferry Octora.