Tampilkan postingan dengan label M. SHARIEFFUDIN A / SHARIEFFUDIN A M. 1961-1991. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label M. SHARIEFFUDIN A / SHARIEFFUDIN A M. 1961-1991. Tampilkan semua postingan

Minggu, 30 Januari 2011

NAGA SAKTI / 1986

NAGA SAKTI


Balas dendam karena irihati.Seorang murid perguruan silat Batu Putih ditunjuk untuk menggantikan pimpinannya. Murid yang lain tidak terima. Ia mencuri keris pusaka dan membunuh sang guru. Murid yang ditunjuk sebagai pengganti pimpinan menjadi terdakwa pembunuhan dan akhirnya terbunuh juga. Karena merasa kakanya tidak bersalah, maka adiknya menyingkir untuk membalas dendam kematian kakanya. 
 


Siapa yang selalu mengira cerita seperti itu? Penemuan luar biasa lainnya. Apa yang terjadi di sini semua sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata, yang harus dilihat. Sampah Fantasi yang indah seperti sebagai buku bergambar. Perkelahian yang berlimpah, tombak berlengan satu, sihir hitam, monster naga, makhluk berlendir, bajak laut (ya bajak laut yang tepat dengan Jolly Roger), perut yang meledak, nyali terbang, anggota tubuh yang terputus, bintang-bintang yang terlempar di wajah dan bahkan payudara melihat apa yang hampir sensasi hubungan Indonesia (dalam beberapa adegan tapi hanya sebentar, tapi tetap saja). Lalu ada beberapa adegan yang sangat aneh, seperti saat Simba bertarung dengan monster naga, ia membuka mulutnya dan melihat sebutir telur hijau. Dia mengambil telur itu dan memakannya. Karena itu, dia bisa menembakkan api dari tangannya nanti. Dan dalam duel terakhir, penjahat itu menurunkan kepalanya dan melihat apa yang terjadi. Dari batang tubuh yang baru tumbuh.

Dan siapa yang bisa melupakan adegan dari JAKA SEMBUNG saat Barry Prima disalibkan, mencabut tangan dengan paku dari dinding dan dengan giginya mencabut paku. Ada pemandangan serupa di sini saat Simba disalibkan. Tapi kali ini Simba malah melempar paku ke kepala seorang penjaga.

Sayangnya ada juga sedikit tembakau hewan. Dari ular hidup, kepalanya dirobohkan, dia dikuliti dan darahnya diminum. Dan kemudian ada tikus hidup, yang dibakar (seperti dalam JOROBADO DE LA MORGUE). Banyak ide aneh dan adegan aneh sudah cukup di sebagian besar negara barat untuk 5 film. Secara keseluruhan, film yang dengan mudah dapat bersaing dengan film-film Indo yang lebih terkenal seperti JAKA SEMBUNG dan DEVIL'S SWORD dan layak untuk dirilis dengan sangat baik. Pasalnya, meski kualitas fotonya relatif bagus untuk vcd, masih banyak detail yang hilang lewat aspek rasio yang salah. Dari saya poin lengkap untuk filmnya.

TARI KEJANG MUDA-MUDI / 1985

 

Kiki dan kawan-kawan adalah penggemar tari kejang. Di manapun ada kesempatan, Kiki selalu mendemonstrasikan ketrampilannya. Kelakuan ini dibawanya kemana saja, bahkan hingga ke kamar mandi, hingga Kiki sempat mendapat teguran dari guru di sekolahnya. Ria, kakak Kiki yang juga terampil bertari kejang sama seperti Kiki, di sekolah adalah murid-murid yang pandai. Kegiatan tari kejang dianggap oleh orangtua mereka dapat merugikan masa depan. Mereka lalu terkena larangan itu. Akibatnya Ria dan Kiki murung mengakibatkan prestasi sekolahnya menurun. Untung ada ibu Lia, guru sekolah Kiki yang mengerti jiwa anak muda.

Kembali Ria dan Kiki diperbolehkan bertari kejang. Keduanya ternyata tetap berhasil dalam pelajarannya.

SERULING SAKTI / 1983



Angga (Harry Capri), orangtua dan seluruh sukunya dihancurkan oleh Maharani (Diana Suarkom) dari suku Perawan Liar, dibesarkan oleh kakeknya, Manggala (Bung Salim). Segala ilmu dan kesaktiannya diturunkan kepadanya, termasuk diantaranya aji "Menyebar Arwah Menyambung Roh". Setelah dewasa, Angga turun ke gunung untuk balas dendam. Dalam sebuah tapanya sebagai akhir dari pelajarannya, datang seorang peri bernama Bintang (Poppy Soraya), yang memberinya Seruling Sakti. Maka pertempuran bukanlah adu ketangkasan, tetapi adu kesaktian.
P.T. DIPA JAYA FILM

SENYUM UNTUK MAMA / 1980

SENYUM UNTUK MAMA


Seorang janda (Lenny Marlina) dengan tiga putrinya berjuang menegakkan hidupnya karena putri terkecilnya, Shanti (Santi Sardi)terkena leukemia. Sang ibu menjual seluruh perhiasannya saat harus membayar uang muka rumah sakit. Untuk menghibur ibunya, Shanti menciptakan sebuah lagu, "Senyum untuk Mama". Suster Anna (Alicia Djohar), sang perawat, tertarik pada bakat Shanti dan mengajak rekaman. Namun, penyakit maut itu semakin mengintip nyawa Shanti.

MARTINI / 1978

 

Lukito (Kusno Sudjarwadi) adalah seorang duda yang hidup bersama anak lelaki satu-satunya , Gatot (Faisal Riza) dan seorang pembantu Karim (Masita Sitorus). Kehidupan duda kaya itu terusik ketika memperistri Martini (Hanna Wijaya) seorang pelacur kelas tinggi yang biasa digauli oleh Gatot. Pertentangan ayah dan anak pun memuncak karena Gatot tidak setuju ayahnya kawin dengan pelacur. Situasi diperpanas oleh adanya saingan berat bisnis Lukito yang cenderung merusak. Akhirnya Lukito dan Karim dibunuh Martini dan iapun ditembak mati oleh Gatot karena dianggap sebagai sumber pembuat kekacauan di rumahnya.

OPERASI TINOMBALA / 1977

Dari peristiwa nyata.



Film Operasi Tinombala (1977) adalah film Indonesia pertama yang gambarnya diambil dengan kamera Panavision.

Film ini ingin mengungkapkan kembali peristiwa jatuhya pesawat WNA di gunung Tinombala setahun sebelumnya. Pemaparan cerita tidak lebih dari apa yang terungkap dalam harian dan majalah. Sutradara lebih menonjolkan mekanisme kerja SAR dan pemandangan di gunung. Kecemasan keluarga yang menunggu, usaha pencarian korban kurang diperhatikan. Film ini cukup baik sat itu, dan ini film berdasarkan dari kisah nyata sebuah kecelakaan pesawat. Tentu banyak orang yang ingin menontonnya.

P.T. BINA BUDAYA FILM
P.T. JATI FILM JAYA
News
23 April 1977
SAR: Biar Lambat, Asal ..

PRESIDEN Soeharto, yang menaruh perhatian khusus sejak mula, pekan lalu menyatakan kagum. Menteri Perhubungan Emil Salim memuji. Dan banyak orang menunjukkan penghargaan kepada para anggota tim SAR dalam mencari dan menolong mereka yang nyaris hilang dalam kecelakaan pesawat Twintter MNA di Gunung Tinombala. Ini adalah usaha SAR yang terbesar selama ini. Hampir sebulan lamanya, telah dikerahkan satu heli raksasa Puma dan 4 buah heli biasa dari jenis Allouette dan Bolkow. Turut serta hampir 50 orang anggota pasukan Kopasgat dan Linud yang didatangkan dari Jakarta, Bandung dan Ujung Pandang. Juga: kesatuan Kodim setempat, 40 orang yang dipimpin Pelda Mathius. Memasuki minggu ke-4 setelah kecelakaan 29 Maret itu, dari 23 orang (penumpang dan awak), tercatat 12 orang meninggal dunia, 10 orang selamat dan seorang lagi belum ditemukan. Mereka yang meninggal adalah: Husni Alatas, Harsoyo, Nyonya Kim Peng, Nyonya Chaerul Tiwi, Nyonya Teki Andaya, Nyonya Tini Angjaya, Jani Angjaya, Mety Anaya, Sumarto Kolopaking, kapten pilot Ahmad Anwar dan juru mesin Irawan. Mereka yang hidup: Hasan Tawil, Haji Saleh Midu, Han Tek Lay, Hartono, dr. Dwiwahyono, Suryadianto, Nyonya Husni Alatas, Munzir Hanafi, Sugiono serta ko pilot Masykur. Menurut berita terakhir dari Palu, seorang penumpang yang masih belum diketahui nasibnya (karena meninggalkan pesawat) adalah Teki Anaya, seorang pengusaha dari Gorontalo. Tapi toh, kerja tim SAR tak dapat dikatakan cepat.

Adanya sejumlah orang yang mati bukan karena luka, tapi karena terlalu lama tak tertolong dan kelaparan, merupakan inti tragedi kisah ini. Mungkin sadar akan kelambatan kerja SAR, keluarga Teki Andaya mencoba mempercepat pencarian. Mereka mengadakan sayembara berhadiah. Mula-mula dijanjikan hadiah Rp 500.000 bagi yang menemukan Teki dalam keadaan hidup. Pasaran melonjak cepat kemudian, jadi Rp 5 juta. Ternyata usaha ini ditangguk orang-orang yang suka duit. Tiap calon pencari diberi uang bekal rata-rata Rp 15.000, tapi di antara mereka ada yang cuma berputar-putar sedikit di hutan, lalu kembali lagi dengan laporan: "belum berhasil". Dan minta bekal lagi. Tak salah lagi: lokasi sulit, cuaca buruk dan SAR kurang peralatan. Dirjen Perhubungan Udara, Kardono, sendiri tiba-tiba berkata: "Peralatan SAR perlu mendapat perhatian, personalia harus dididik secara baik dan teliti". Mungkin suara ini tak perlu dianggap baru - meskipun tetap benar. Sejak 22 tahun yang lalu, ketika Dewan Penerbangan pertama kali terbentuk, soal SAR ini sudah jadi fikiran. Usaha ini dilanjutkan di tahun 1959 oleh beberapa orang pejabat penerbangan sipil dan militer. Sayang lama tak berkelanjutan. Tak ada biaya. Tahun 1970 lahiir pilot proyek SAR Jakarta dengan mendirikan Pusat Kordinasi Rescue yang kemudian berubah menjadi Kantor Kordinasi Rescue (PKR). Dua tahun berikutnya (1972) melalui Keputusan Presiden organisasi ini lebih disempurnakan dengan lahirnya Badan SAR Indonesia (BASARI).

Badan ini merupakan kerjasama antar departemen yang bertugas mengkordinir pencarian dan pemberian pertolongan sesuai dengan peraturan SAR internasional. Tahun 1974 sebagai badan pelaksana dari BASARI, didirikan Pusat SAR Nasional (PUSARNAS) di tingkat pusat. Untuk tingkat wilayah dibentuk Kantor Kordinasi Rescue (KKR). Pusarnas yang dipimpin Marsekal Pertama Dono Indarto bertanggungjawab kepada Meteri Perhubungan. Pembiayaan Basari, administratif maupun operasionil jadi beban anggaran Departemen Perhubungan. Sedangkan pembinaan unsur-unsur SAR menjadi tanggung jawab masing-masing departemen atau instansi yang bersangkutan. Menurut Kolonel (Pol) Tono Amboro, Komandan Komando Satuan Udara, Polri (salah satu unsur Pusarnas) hingga kecelakaan di gunung Tinombala itu terjadi Pusarnas memang baru berfungsi sebagai kordinator saja. "Belum punya pesawat satupun", katanya. Menurut Tono, tak ada salahnya bila Pusarnas memiliki pesawat sendiri. "Ada satu saja sudah lumayan, asal pesawat mutakhir dan betul-betul merupakan versi untuk SAR", tambahnya. Sementara itu menurut Letkol (U) Q. Soenarto, Kepala Bidang Operasi Pusarnas pesawat khusus SAR itu sangat mahal dan hanya dapat dibeli berdasarkan pesanan. Pesawat ini dilengkapi radar pencari yang dalam jarak 5 menit dapat melihat benda kecil. Juga dilengkapi lampu kabut dengan pilot yang harus memakai kacamata infra merah. Soenarto mengakui Pusarnas masih serba kekurangan. Selain tak punya pesawat, katanya, alat-alat komunikasi masih kurang. Juga jumlah personil sangat tak memadai. "Jumlah personil yang minimalpun kami tak punya", tutur Soenarto.

Sementara itu, menurut sumber TEMPO yang tak mau disebut namanya bila saja waktu kecelakaan Twin Otter itu terjadi Pusarnas sudah memiliki satu saja pesawat SAR plus dana dan personil yang cukup, penanggulangan musibah itu tak akan mencapai belasan hari. Meskipun kemudian Menteri Perhubungan Emil Salim memuji hasil kerja tim SAR sebagai "prestasi yang gemilang", namun saat-saat kritis bukannya tak pernah dialami. Terutarna ketika berkali-kali usaha penerjunan pasukan dan usaha lewat darat ke tempat kecelakaan gagal. Pada saat inilah baru terlintas di kepala pimpinan SAR untuk meminta bantuan dari Wanadri, itu perhimpunan pemuda pendaki gunung. Terlintas juga fikiran untuk minta bantuan US Air Force yang berpangkalan di Pilipina. Tapi niat itu belum terlaksana. Yang nongol ialah seorang pilot Amerika, John Anderson, karyawan perusahaan minyak Arco di Tarakan, yang berpengalarnan di Perang Vietnam. Ia berhasil mengapungkan Allouette-nya di atas lokasi. Koptu Dominikus dan Serda Sunardi pun -- dari Kopasgat - turun melalui tali di pucuk pohon yang terletak 20 meter di bawah lewat seutas tali. Dari pohon sekitar 50 meter itu mereka meluncur. Mereka sampai pada 100 meter dari tempat pesawat jatuh. TAPI di tempat runtuhan pesawat itu, pekerjaan masih berat. Kedua anggota Kopasgat itu harus segera bekerja membuat landasan darurat heli (helipad) untuk pertolongan selanjutnya.

Tapi gergaji yang mereka bawa tiba-tiba macet di hari pertama, sedangkan luas helipad paling tidak harus 4 x 4 meter. Mendapat laporan tentang kesulitan membangun helipad ini, SAR sempat pula merancang satu usaha yang mirip usaha gila. Sekalipun helipad tak bisa dibangun, tapi pasukan sudah bisa turun ke tempat lokasi. Tim merencanakan penurunan pasukan yang lebih banyak. Tanpa helipad para korban akan diusahakan penyelamatannya melalui kursi yang dipasang di ujung tali yang menjulur dari pesawat yang mengapung di udara. Ke kursi itulah nantinya korban akan diusung dan diikatkan, lantas dikatrol ke heli. Untunglah rencana edan ini tak sempat terjadi. Tapi heli Allouette memang sempat latihan dengan usaha penyelamatan begini. Semangat pasukan penolong memang berkobar-kobar, sampai-sampai mereka agak lalai terhadap atasan. Anak buah Mayor Mulyono yang hendak turun ke lokasi dan memberikan bantuan dalam pembuatan helipad ternyata dilarang turun oleh Letnan Jopie sebagai instruktur. Dia melihat tehnik turun lewat tambang dari anak buah Mulyono tidak sempurna. Mereka agak kesal dengan peristiwa itu. Tapi ketika Emil Salim dan Dono Indarto sedang asyiknya menikmati papaya, pisang dan jagung bakar yang disuguhkan para transmigran Ongka pada siang hari 14 April, sekitar jam 13.35 waktu setempat, tiba-tiba ada panggilan dari radio SAR I dekat tempat kecelakaan. Dono mendapat laporan bahwa Mayor Mulyono sudah mencapai tempat kecelakaan setelah berjalan dua malam. Meletakkan gagang telepon itu, Dono kemudian duduk kembali dekat Emil Salim.

Perwira tinggi yang pendiam itu mengatakan kepada Menteri Perhubungan bahwa anak buahnya itu telah berangkat tanpa setahunya. Tetapi ketidak-disiplinan ini ternyata membawa buah jua. Merekalah yang menemukan Nyonya Tiwi dan empat korban lagi yang sudah meninggal di kaki gunung Tinombala. Merekalah yang membantu para korban itu diturunkan. Mereka membungkus dan mengikatkannya pada seutas tali sepanjang 60 meter yang dijulurkan dari pesawat heli. Dalam keadaan tergantung seperti itu mayat tadi dibawa terayun-ayun sampai ke Ongka Malino. Sebelum mencecah tanah jenazah itu disambut oleh pasukan dan cepat ditampung dengan tandu. Di perkampungan ini jenazah yang dibungkus kain selimut, plastik dan karung ditabur kopi untuk menghilangkan bau, dan selanjutnya di sebuah pos dimasukkan ke dalam peti jenazah setelah karungnya diganti dengan plastik. Dan diterbangkan ke tempat tujuan. Kedatangan Emil Salim di Ongka Malino 12 April membuat arah baru bagi rencana SAR semula. Kepada para keluarga korban yang datang menemuinya berkali-kali dia mengatakan: "Akan mengusahakan sekuat mungkin jenazah dibawa turun". Hal ini terutama dia ucapkan kepada Abdul Rachman Alatas, orang tua Husni Alatas. Sebab sebelum dia datang ke Toli-Toli keluarga besar Alatas di Toli-Toli & Palu mendengar berita bahwa korban akan dikubur di tempat kecelakaan. Direktur Utama MNA, Marsekal Muda Ramli Sumardi, berpakaian tempur, dengan pistol di pinggang terbang dan menginap di lokasi. Dia mengikuti proses penyelamatan jenazah dari pesawat yang malang tersebut. Seberapa besar kecelakaan ini makan ongkos MNA, belum diketahui. Frekwensi penerbangan perintis yang 2 kali seminggu jika dulu selalu padat penumpang, sejak kecelakaan hingga sekarang tinggal sedikit. Malahan menurut seorang agen penjualan karcis, satu kali pernah hanya ditumpangi 3 orang penumpang. Orang sekarang merasa lebih aman lewat laut.

Kecuali barangkali rute pesawat terbang akan dialihkan ke arah pantai barat, sebagaimana sudah direncanakan oleh Menteri Perhubungan. Dengan risiko 8 menit lebih lama. Tentu saja pesawat harus dilengkapi sebaik-baiknya. Sebab Twin Otter MNA yang celaka itu ternyata hanya membawa Parachute Flare Red yang sudah habis waktu bulan Pebruari 1974. Alat ini dalam kecelakaan bisa dipakai sebagai aba-aba minta bantuan. Kalau gagangnya dilepas dia akan melemparkan parachute yang membawa benda bersinar merah.

MANAGER HOTEL / 1977



Harris (Fadly) manajer sebuah hotel yang banyak bermasalah seperti: skandal pencurian, pelacuran, dsb. Di samping masalah hotel, kisah sang manajer, termasuk kisah cintanya diurai secara lengkap, hingga terkesan bertele-tele.

SETETES KASIH DI PADANG GERSANG / 1981



Kisah seorang perwira dengan empat orang anak. Sang Perwira menderita sakit jantung dan istrinya sedang di rumah sakit,sementara keempat anaknya sering saling bertengkar. Sang ayah meninggal, sementara sang ibu tak bisa normal kembali. Putri tertua itu, Susi (Minati Atmanegara) telah menggugurkan kandungan pertama dari pacarnya, Joko (Ratno Timoer) direktur tempatnya dia bekerja. Joko sudah 12 tahun berumah tangga namun tidak mempunyai anak. Susi-Joko diam-diam menikah dan Susi hamil. Erika (Lenny Marlina) mendatangi Susi mengisahkan latar belakang dirinya yang dikucilkan keluarga dan hanya Joko sebagai pelindungnya. Susipun iba dan minta cerai. Saat bayi lahir Susi berusaha menguasai bayi yang sangat didambakan Joko.

Akhirnya Joko yang sangat mendambakan keturunan terguncang, dan Erika meminta kesediaan Susi untuk kembali bergabung.

YULI BUAH HATI KEKASIH MAMA / 1977

 

Yuli, gadis cilik usia delapan tahun, lincah, manis dan jadi kesayangan Mama, begitu pula Bapak dan kakaknya. Pada suatu hari mama menjemputnya pulang sekolah. Yuli kelihatan agak pucat dan lemas, dan dibawanya Yuli ke dokter langganan keluarga. Dokter menyarankan agar Yuli dibawa ke rumah sakit. Di sanalah diketahui bahwa Yuli mengidap penyakit leukemia, yang sulit ditolong. Saat kematian Yuli tiba seluruh keluarga telah siap menerima kenyataan itu.

PATGULIPAT / 1973



Patgulipat atau TST alias tahu sama tahu adalah istilah untuk persekongkolan. Arif (A. Hamid Arief) yang ingin menguasai lelang pemerintah setempat, bekerjasama dengan pejabat (Aedy Moward) dengan menyodorkan apa saja yang diinginkan terutama wanita. Arif terlibat cinta dengan sekretarisnya, Dewi (Indria Sari), sedang istri sang pejabat (Komalasari) juga main dengan pemuda-pemuda. Semua rahasia permainan itu ada di tangan para sopir mereka, Rahman dan Bogi (Masito Sitorus dan Atmonadi), yang akhirnya terbongkar. Apalagi anak sang pejabat hamil oleh pacarnya yang pernah memergoki sang pejabat dijamu di sebuah panti pijat oleh rekanannya. Mengetahui rahasia mereka juga seorang sopir taksi gelap, Benny (Mansjur Sjah), yang sering mengantar gadis panggilan langganan sang pejabat. Rahman dan Bogi yang membuka rahasia akhirnya dipecat, sementara Benny karena membantu pemilik mobil sewaannya untuk urusan bini muda, akhirnya juga gigit jari.

Mobilnya diambil oleh bini tua pemilik mobil. Para sopir itu lalu menjadi sopir bus kota.

BUNDAKU SAYANG / 1973

BUNDAKU SAYANG


Tini terpakasa menderita di bawah tekanan ibu tiri. Sering mendapat hukuman di sekolah karena tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR). Suatu hari Tini diperkenalkan kepada Herman pacar adik tirinya. Herman jatuh hati pada Tini tapi Tini menolaknya. Kemudian Herman memperkenalkan ke temannya sesama musikus yaitu Muchsin. Muchsin inilah yang dicintai dan mencintai Tini. Sewaktu keluar dari rumah sakit karena kecelakaan, Tini tidak mau kembali ke rumah karena perlakuan ibu tirinya. Kebetulan ada sebuah keluarga yang bersedia menampung Tini karena tidak mempunyai anak. Tini kemudian menjadi penyanyi terkenal berkat bimbingan Muchsin, ketika itulah datang Mira adik tirinya yang mengabarkan bahwa keadaan rumah menjadi kacau.

Bapaknya dipenjara karena korupsi sementara ibunya sakit keras. Tini mengajak bapaknya berkumpul sekeluarnya dari penjara sementara ibunya meninggal dalam perjalanan saat menuju ke rumah sakit.

MERINTIS DJALAN KE SORGA / 1972

MERINTIS DJALAN KE SORGA


Pulang mengaji, Melati (Paula Rumokoy), anak tukang becak, dikejar-kejarprmuda Edward (Faisal Riza), yang baru keluar dari gereja Katedral. Ia berusaha menghindar, tapi tertabrak mobil. Edward yang merasa bersalah, lalu menolong Melati dan menyumbangkandarahnya. Maka mereka saling jatuh cinta, tapi ada halangan agama. Melati beragama Islam, sedang Edward penganut Katolik. Kedua orangtua remaja tadi menolah, dan anak mereka juga tak membantah. Anehnya, mereka juga tak pernah membicarakan cara-cara perkawinan mereka, atau hari depan mereka. Padahal hal ini jelas merupakan dasar alasan seluruh bangunan cerita film.

Akibatnya, Melati sakit dan Edward lari dari rumah. Ayah Melati lalu mengajak anaknya pulang ke desa, sementara Edward harus rela melepasnya. \

P.T. TUTY JAYA FILM

TIADA MAAF BAGIMU /1971


 
Tante Nana (Tuty S.), yang punya dua anak, tidak jelas kemana suaminya, tapi hidupnya bebas. Sebagai pemilik klab malam, sebuah gudang dan punya hubungan dagang dengan Hongkong, maka hidupnya mewah. Nana seorang tante yang "buas". Kalau tak ada lelaki, maka sekretarisnya yang cantik (Noortje Supandi) pun bisa jadi pelampiasannya. Dino Hehanusa (Farouk Afero) adalah pria yang berhasil merebut hati sang tante dan juga harta kekayaannya, hingga Nana jatuh melarat. Akhir cerita, pengadilan bingung, siapa Hehanusa. Nana ataukah anaknya (Gatot Teguh Arifianto), yang sejak lama pergi sebagai awak kapal karena konflik dengan ibunya.

Seorang pengemis tua (Bissu) melihat sang anak yang melepaskan tembakan. Film ini membingungkan jalan ceritanya dan penokohannya.Tapi ini adalah film yang berani menampilkan adegan Lesbian pertama dalam film Indonesia.

LISA / 1971





 
Film ini disebut-sebut sebagai film horor pertama (mungkin setelah Indonesia merdeka)

Ibu tiri (Rahayu Effendi)ingin membunuh anak suaminya yang telah meninggal, demi menguasai harta suaminya dan melicinkan hubungannya dengan sopirnya, Harun (Sophan Sophiaan). Mula-mula disuruhnya Budi (Sukarno M.Noor) untuk membunuh sang anak itu, Lisa (Lenny Marlina), dengan bayaran 10 juta. Budi gagal dan lalu dibunuh oleh ibu tiri itu sendiri. Lalu disuruhnya dr. Santo (Wahid Chan) dengan bayaran sama. Oleh Santo yang ternyata baik hati, Lisa hanya dipingsankan dan upahnya digunakan untuk memelihara Lisa dan bayinya, hasil hubungan Lisa dengan Harun. Ibu tiri yang merasa telah bisa menguasai seluruh harta warisan, malah terteror bayangan Lisa. Ketakutan ini begitu hebat, hingga ketika Lisa kembali ke rumahpun, ketakutan itu tak kunjung hilang, bahkan sang ibu tiri terjun ke jurang.

P.T. TUTY JAYA FILM

LENNY MARLINA
SOPHAN SOPHIAAN
RAHAYU EFFENDI
WAHID CHAN
A. HAMID ARIEF
SUKARNO M. NOOR

HIDUP, TJINTA DAN AIR MATA / 1970



Sutradara mendapat teguran Menteri Penerangan karena adegan pornografis dalam film ini.
Yudi (Bambang Irawan) yang baru keluar penjara, terpaksa melakukan kejahatan lagi karena desakan Bono (Nico Pelamonia) dan kawan-kawannya, Yudi menyimpan hasil rampokannya di bank, sementara kawan-kawannya berfoya-foya. Pertemuannya dengan Sari (Widyawati) yang lalu jadi pacarnya, semakin memantapkan niatnya untuk insyaf. Bono dkk marah dan menculik adik Sari. Maka Yudi harus berhadapan dengan kawan-kawannya sendiri. Satu persatu tewas, termasuk Yudi.


P.T. AGORA FILM
P.T. SRI AGUNG UTAMA FILM

DIBALIK PINTU DOSA / 1970

 
 
Maya (Ida Royani) yang kelahirannya membuat ibunya bisu, berkenalan dengan Daud (Farouk Afero) di sebuah klab malam karena ajakan kakaknya, Eko (Bambang Irawan), seorang penata interior yang playboy. Maya jatuh cinta pada Daud yang lalu menghamilinya hingga Eko marah dan berkelahi. Daud menyesal dan bersedia menikahi Maya. Saking gembiranya Maya pulang dan hendak mengabarkan berita baik itu. Kebetulan saat itu sedang terjadi perkelahian Eko dan saudara tirinya, Iwan, hingga hampir bunuh-membunuh. Sang ibu (Fifi Young) terguncang kembali, hingga sembuh bisunya.

Dan Maya yang tengah menaiki tangga untuk mengabarkan berita baiknya, jatuh, kandungannya gugur dan meninggal. Kisah ini dibungkus dengan banyak adegan erotis yang justru mengaburkan jalannya cerita.

P.T. AGORA FILM

BAMBANG IRAWAN
IDA ROYANI
FIFI YOUNG
HENNY PELLUPESSY
FAROUK AFERO
AWALUDIN
IWAN TARUNA
MAYA SOPHA
ENNY KUSRINI
RINA HASSIM
ELLYA KHADAM
TANTY JOSEPHA


MIRA / 1961

 

Karena ayahnya meninggal, Yanti (Mieke Wijaya) bekerja di bar untuk membiayai sekolah adiknya, Mira (Suzanna), karena hanya itu pekerjaan yang didapat. Kemudian muncul gunjingan Yanti dengan direktur bar (Jeffry Sani), yang membuat pacar Yanti, Hendra (Ismed M. Noor), menjauhkan diri dan Mira malah jadi benci dan ingin bunuh diri. Untung niatnya bisa digagalkan dan semua masalah dengan mudah bisa diselesaikan.