Mula-mula, praktik kerja teater lebih merupakan sebuah upacara keagamaan. Misalnya, untuk memanggil kekuatan gaib, menjemput roh pelindung untuk hadir di tempat pertunjukan, atau memanggil roh baik untuk mengusir roh jahat, peringatan nenek moyang dengan mempertontonkan kegagahan/kepahlawanan serta sebagai pelengkap upacara.
Namun, seiring berkembangnya zaman, beberapa teater tradisional menjadi sebuah pertunjukan, pertunjukan wayang, misalnya. Memasuki abad ke-20 teater Indonesia mengalami perubahan sehingga muncul teater modern. Teater modern ini merupakan teater yang dipengaruhi oleh teater tradisional dan teater Barat.
Dengan adanya ekspansi naskah-naskah teater dari Barat, bentuk pertunjukan teater modern Indonesia menjadi jauh berbeda dengan teater tradisional. Perbedaan tersebut antara lain terlihat dari alur cerita, penataan panggung, cahaya dan segala macam properti yang mendukung sebuah pementasan teater.
Pada masa ini, lahirlah beberapa kelompok teater modern Indonesia, seperti Teater Populer, Teater Kecil, Teater Koma, Bengkel Teater, Studiklub Teater Bandung, Teater Payung Hitam, dan Teater Gandrik, dan masih banyak lagi.
Periodisasi Teater Modern Indonesia
Periodisasi teater modern adalah sebagai berikut:
1) Masa Perintisan (1885-1925)
– Teater Bangsawan (1885-1902)
– Teater Stamboel (1891-1906)
– Teater Opera (1906-1925)
2) Masa Kebangkitan (1925-1941)
– Teater Miss Riboet’s Oreon (1925)
– Teater Dardanela opera (1926-1934)
– Awal teater modern di Indonesia (1926)
3) Masa perkembangan (1942-1970)
– Teater zaman Jepang
– Teater tahun 1950-an
– Teater tahun 1960-an
4) Masa Teater Mutakhir (1970-1980-an)
Pada masa terakhir ini, kelompok teater di Indonesia muncul bermekaran dan menghiasi panggung-panggung teater nasional dan daerah dengan aneka genre pertunjukan, yang kemudian mulai memasuki budaya konvergensi seiring berkembangnya teknologi.
Kelompok Teater Hingga Awal Kemerdekaan
Sejarah teater modern Indonesia sebelum kemerdekaan, atau sebelum tahun 1950 dimulai pada tahun 1891. Pada masa-masa ini, kebanyakan kelompok teater Indonesia yang masih berpengaruh dengan kebudayaan Eropa, menyuguhkan pertunjukan sandiwara/opera.
Pada tahun 1891, August Maiheu mendirikan dan memimpin kelompok teaternya bernama “Komedi Stamboel” di Surabaya. Kelompok ini didukung dana oleh Yap Goam Tay dan Cassim bekas pemain Indera bangsawan.
Melalui komunitas itu, mereka memainkan pertunjukan yang mayoritas naskahnya diambil dari kisah 1001 malam, dongeng peri dari Eropa, dan cerita-cerita opera. Pada tahun 1906, komedi ini bubar dan para mantan pemainnya mendirikan rombongan-rombongan sandiwara baru seperti “Opera Bangsawan”, “Sinar Bintang Hindia”, “Komedi Opera Stamboel, dan “Opera Permata Stamboel”.
Memasuki awal tahun 1900-an, beberapa kelompok teater, yang kebanyakan masih berupa opera/komedi, pun bermunculan. Antara lain: Opera Derma (Tjoe Tee Hie) tahun 1908, Tjia Im (1911) dan Kim Ban Lian (1911), serta Tjin Ban Lian (1911).
Selain itu, ada pula Union Dhalia Opera di Jakarta yang dipimpin oleh Tengku Katam ini hingga tahun 1925. Kelompok teater ini amat terkenal di masyarakat ibukota saat itu.
Pada tahun 1925, berdiri pula Opera Miss Riboet di Jakarta. Kelompok ini dikenal juga dengan nama Miss Riboet Orion, karena opera Komedi Stambul ini sering tampil di Gedung Orion Mangga Besar. Salah tokoh terkenal dari kelompok ini adalah Miss Riboet sendiri.
Opera ini dipimpin oleh Tio Tik Djien (TD Tio), suami Miss Riboet, sedang yang perbantukan oleh Njoo Cheong Sen, yang memiliki kemampuan menyederhanakan jumlah babak yang akan ditampilkan. Opera Miss Riboet termasuk opera yang paling terkenal hingga PD II. Rombongan opera ini membuat perbedaan besar dalam fokus alur cerita di mana diantara adegan diselipi selingan musik.
Setahun berselang, di Sidoarjo, Jawa Timur, lahirlah sebuah kelompok teater bernama “Dardanella” oleh Willy Klimanov (kelahiran Penang-Malaysia berdarah Rusia) yang kemudian berganti nama menjadi A. Piedro. Kelompok ini dianggap sebagai sandiwara modern di Indonesia.
Kelompok ini juga dinilai sebagai kelompok Kesenian Indonesia pertama yang memiliki reputasi internasional dengan melakukan pementasan ke berbadai negara di ASEAN, Timur Tengah, Eropa hingga Amerika Serikat.
“Dardanella” menghasilkan banyak aktor terkemuka di Indonesia seperti: Tan Tjen Bok, Fifi Young, Astaman, Dhalia, Raden Ismail, Ali Yugo, Srimoelat, dan sebagainya. Opera ini terbantu publikasi oleh Andjar Asmara. Setelah pertunjukan keliling ke Cina, Burma, dan Eropa, masa kejayaan “Dardanella” memudar.
Piedro dan Dja mendirikan “Rombongan Bolero”, dan Fifi Young bersama Njoo Cheong Seng mendirikan rombongan sandiwara baru yang diberi nama Fifi Young’s Pagoda pada tahun 1937.
Tahun 1928, di Jakarta dibentuk “Miss Tjitjih” dari sebelumnya bernama Opera Valencia dipimpin oleh Aboe Bakar Bafaqih. Pertunjukan menggunakan bahasa Sunda.
Pada masa pendudukan Jepang, Henri L. Duarte membentuk “Tjahaja Asia” di Jakarta. Kelompok ini didirikan pada akhir Juli 1942 dengan tujuan akan turut mencoba memajukan dan mengembangkan ketinggian tari-tarian Timoer. Pada Oktober 1942, kelompok ini berganti nama menjadi Bintang Djakarta. Sebagian besar anggotanya adalah mantan anggota Dardanella seperti: Tan Tjeng Bok, Noersini, Gadoq, Lilah, dan dua badut/pelawak terkenal Soeaib dan Selamat.
Sementara di Malang, Njoo Cheong Seng dan Henri L. Duarte mendirikan “Bintang Soerabaja” pada Agustus 1942. Kelompok ini juga beranggotakan mantan anggota Dardanella, seperti: Fifi Young, Dhalia, Sally Young, Astaman, Raden Ismail, Ali Yugo, Aminah, Srimoelat, Koentjoeng, Fatimah dan Raden Soekarno. Anggota lainnya: Abdul Hadi (Eduardo Alvarez de Mendieta), Gretyani Hamzah, Bintang Soerabaja Cooperation.
Menjelang “Bintang Soerabaja” hampir runtuh, para pemainnya membentuk koperasi, yang kemudian melahirkan kelompok sandiwara ini. Kelompok ini berkeliling ke luar Jawa sampai Balikpapan dan Sulawesi.
Pada tahun 1943, di Jakarta berdirilah sebuah kelompok teater bernama “Warnasari” yang dipimpin oleh Dasaad Muchsin dan juga “Dewi Mada” (1943) yang dipimpin oleh suami istri Ferry Kok dan Dewi Mada. Pada tahun yang sama, terbentuk juga “Tjahaja Timoer” di Jakarta .
Sebelumnya kelompok ini bernama “Angkatan Moeda Matahari” yang didirikan pada tanggal 6 April 1943 yang dipimpin oleh Andjar Asmara, Kamajaya, dan Ratna Asmara. kelompok ini bertujuan sebagai tempat persemaian bibit-bibit aktor dan aktris dengan pendidikan khusus dalam persandiwaraan dan meningkatnya perfilman. Peresmian pembentukan dilakukan dengan pementasan di Gedung Komedi (Siritu Gekidjo) Pasar Baru, Jakarta.
Kemudian pada itu juga terbentuk “Persatuan Artis Film Indonesia” (Persafi) oleh Nippon Eiga Sha (Produksi Film Jepang) pada 20 Agustus 1943. Dipimpin oleh Inoe Perbatasari, kemudian berkembang menjadi perkumpulan sandiwara profesional. Para anggota diantaranya: RM Soetarto, R. Koesoemo, Moh. Mochtar, Roekiah.
Pada tahun 1943 berdiri juga RATU ASIA di Padang Panjang, Sumatra Tengah. Ada penggabungan dari kelompok “FUJI YAMA” dari Aceh, sehingga kelompok ini semakin besar. Dipimpin oleh Sjamsuddin Syafei alias DS. Rentjong. Demikian juga dibentuk “Irama Masa” (1943) yang dipimpin oleh Ali Yugo.
Pada tahun berikutnya, terbentuklah “Sandiwara Penggemar MAYA” di Jakarta (Mei 1944) oleh Usmar Ismail, Rosihan Anwar dan El Hakim (Abu Hanifah), D. Djajakoesoemo, dan Surjo Sumanto. Pembentukan kelompok ini bertujuan memajukan seni sandiwara pada khususnya, kebudayaan pada umumnya, dengan berdasarkan pada kebangsaan, kemanusiaan, dan keTuhanan.
Pertunjukan panggung mereka adalah “Taoefan di Atas Asia” karya Aboe Hanifah di Siritu Gekidjo Pasar Baru, Jakarta. Kelompok ini aktif melakukan pementasan atas karya-karya Usmar Ismail dan Aboe Hanifah.
Selain itu, berdiri pula “Warna Delima” di Jakarta (1944). Pertunjukan awal kelompok ini diadakan pada tanggal 6 Agustus 1944 di Azma Eiga Gekidjo, Sawah Besar, Jakarta, dengan pementasan bertajuk “berdjoeang Teroes”, “Sesal kemoedian tak bergoena”, “Salah Faham”, “Soeka Rela”, dan “Karena Harta”.
Pada tahun ini, juga terbentuk “GANECA” Jakarta, Tunas Muda di Bandung dan Sandiwara Penggemar KEDJORA di Palembang.
Pada tahun menjelang kemerdekaan, terbentuk perkumpulan Sandiwara Pantjawarna di Jakarta (1945). Perkumpulan ini didirikan oleh Njoo Cheong Seng sebagai pecahan dari Bintang Soerabaja. Sementara anggotanya direkrut dari Bintang Soerabaja, seperti: Fifi Young, Sally Young, Djoemala, Moesa, Pandji Anom, dan Omar Rodrigo. Pertunjukan pertama kelompok ini adalah “Djembatan Garoeda” karya Armjin Pane di Jakarta Gekidjo pada 20 April 1945.
Di luar Jawa, terbentuk “Sandiwara MR X” (1947-1948) oleh Johnny Anwar dan para pelajar Padang. Beberapa karya pementasan mereka, antara lain: Antara Dua Pulau, Mr. Zorro, Dokter Samsi, Harta Karun, Pelarian Jose Rizal, Diantara Tugas dan Kewajiban.
Pada tahun itu juga, terbentuk Bintang Timur (pertengahan tahun 1947) oleh Djamaluddin Malik dan dipimpin oleh Moesa Alamsjah dan Darusalam.
Selain itu, di Yogyakarta berdiri Himpunan Sandiwara Penggemar “RAKSI SENI“ pada Juli 1948 yang dipimpin oleh D. Suradji. Pada tahun 1950, ketua dipegang oleh AS Mouna (Amran) yang beranggotakan: Desiree, AS Mouna, Hardjomuljo, Agus Muljono, Widjaja, Alam, S. Djadi, S. Gio.
Di Yogyakarta juga berdiri beberapa kelompok teater, antara lain: Studio Artis yang dipimpin oleh Sri Murtono; Front Seniman, Yogyakarta yang dpimpin Sri Murtono dengan anggotanya AS Mouna dan Gabungan Artis Pelajar, Yogyakarta di bawah pimpinan AmrinThaib; PPPI Jogjakarta; Bunga Tjita, Yogjakarta.
Pada tahun 1950, berdiri kelompok teater “Sandiwara Srimulat” yang dipimpin oleh Teguh Slamet Rahardjo. Nama kelompok ini menggunakan nama istrinya “Srimulat”.