Senin, 13 April 2020

TEGUH KARYA DAN TEATER



Pada suatu pagi di bulan Juli tahun 1955, ruangan casting Departemen Perfini penuh sesak dengan pemuda-pemuda yang akan menjalani casting. Kabarnya akan dipilih enam orang dari mereka ini untuk bermain dalam film Perfini “TAMU AGUNG”. Beberapa jam kemudian Casting Director telah mempunyai catatan nama-nama mereka yang terpilih. Tapi masih ada suatu keraguan yakni untuk mencatat salah seorang pemuda , yang berbadan tinggi kurus.

Ia mempunyai tipe yang dibutuhkan sebetulnya tapi dalam testing ia tampak sangat tidak sungguh-sungguh, gugup  dan seperti tak ada hasrat sama sekali untuk bermain film. Dan keraguan itu hilang setelah ia sendiri menerangkan bahwa ia hanya akan coba-coba saja, dan tak ada cita-cita untuk terus jadi pemain. Namanya tak jadi dicatat sebagai yang terpilih, ia tak mempunyai kesungguhan……

DUA TAHUN kemudian, Akademi teater Nasional Indonesia (ATNI) mempertunjukkan “TJAKAR MONYET”. Pemuda tinggi kurus tersebut tampak memegang  salah satu peranan dalam sandiwara arena itu. Dan dia pulalah salah satu pemain yang mendapat pujian sangat tinggi. Peranan seorang kakek tua yang sakit karena keisengan dan kemudian sangat menderita pula karena kehilangan anak laki-laki satu-satunya itu dimainkan pemuda kurus tersebut dengan sangat manisnya. Permainannya meninggalkan kesan sangat. Sejarah pertunjukan ATNI yang kini telah sanggup menarik publik itu dibuka oleh sandiwara di mana ia main ini.

Peranan-peranan yang kemudian dipegangnya ialah beberapa peranan dalam sandiwara yang diselenggarakan oleh organisasi-organisasi sandiwara amatir pemuda-pemuda kristen, yakni dalam TANDA SALIB BETHLEHEM, kemudian sebagai Judas dalam TIGA PULUH KEPING PERAK, yakni kisah pengkhianatan atas Jesus dari Nazareth itu di mana Judas murid utama Bapak Jesus itu menjadi biang keladi dari pengkhianatan ini. Dan berturut-turut pula ATNI menyerahkan peranan-peranan utama dan penting kepadanya. Di mana ia bermain sebagai Zulkifli dalam BURUNG TJAMAR yang disutradari oleh Drs. Asrul Sani.    Dan sebagai Allan Squiere dalam HUTAN MEMBATU karya sutradara Usmar Ismail BA. Dan kesemua peranan itu dimainkan oleh Steve Liem dengan permainan yang menunjukkan bahwa memang tak salah ia memilih Akademi Teater sebagai tempat untuk melanjutkan pendidikannya.

Ya, nama pemuda yang tinggi lampai itu ialah Steve Liem atau lengkapnya ialah Steve Liem Tjoan Hok. Seorang pemuda keturunan Tionghoa yang pendiam yang dilahirkan hampir dua puluh empat tahun yang lalu di Pande Gelang (Banten) pada tanggal 22 September 1935. Ialah satu-satunya dari seluruh keluarganya yang menceburkan diri ke dalam lapangan teater ini. Ia betul-betul tumbuh sebagai seorang pencinta teater dengan semurni-murninya, bukan karena dorongan keluarga atau ikut-ikutan saja.

Perhatiannya mulai tertarik pada teater ialah dimulai pada waktu kanak-kanak, ia sering turut dalam pertunjukan sandiwara yang diselenggarakan oleh gereja. Dunia sandiwara yang dikenalnya pada masa kanak-kanak itu memberikan bekas yang dalam padanya. Yang membuat pula ia yakin bahwa sandiwaralah lapangannya dan itu memerlukan suatu pendidikan yang khusus.

Pendidikan pertama yang diterimanya mengenai teater ini ialah di Jogjakarta  pada “Pendidikan Seni Drama dan Film” pimpinan Sri Murtono. Kemudian sejak ATNI berdiri di Jakarta, maka iapun jadilah salah seorang mahasiswanya yang paling rajin. Kini Ia telah duduk di tingkat ketiga, tingkat terakhir. Tapi anehnya jurusan yang dipilihnya bukan jurusan Acting, di mana ia telah memperlihatkan hasil-hasilnya melainkan untuk jurusan directing (sutradara).

“Bermain sekarang ini, buat aku adalah hanya merupakan latihan-latihan saja, yang tentu banyak gunanya untuk lapangan yang kupilih itu, sebagai sutradara” katanya dalam sikapnya yang selalu serius itu.

“Apakah lapangan teater ini akan dijadikan lapangan hidup?” tanyaku.
“Ya,” jawabnya. “Bagaimanapun juga aku harus hidup dalam dunia teater nanti. Meskipun barangkali aku harus bekerja di lapangan yang tak aku sukai untuk kebutuhan ekonomiku, tapi tetap hidup dalam lapangan teater adalah tujuan yang tak bisa ditawar lagi.” Jawabnya dengan penuh ketenangan dan keyakinan.

Dan ini, katanya lagi, menambah keterangannya: “Fragmen-fragmen pertunjukan passe pada masa    paskah dan natal, adalah suatu kehidupan baru setiap kali aku serta, setiap tahun. Yang kemudian aku sadari adanya unsur-unsur religi dan yang kukira itu sebabnya pengucilan gereja kepada teater pada abad-abad pertengahan. Tapi aku tidak pernah menyalahkan sandiwara, tidak sedikitpun, seperti orang lainpun tidak, kecuali pendeta-pendeta. Karena ada sesuatu yang lebih indah lag dari pengkhianatan itu yang telah kutemukan: Bahwa setiap hasil seni itu adalah hasil kasih dan di mana ada kasih, Tuhanpun ada, karenanya kasih kepada kehidupan adalah kasih kepada Tuhan (Tolstoy).

Aku berkali-kali menegaskan pada diriku bahwa sandiwara hanyalah sandiwara pada orang lain dan kepada diri kita itu adalah suatu pengucapan kehidupan nyata. Dan aku mau belajar tentang kehidupan itu yang tak akan habis-habisnya.”

Dan sesungguhnya untuk teater ini sajalah seluruh perhatian dan kerjanya ditumpahkannya. Ia menyelidiki dari dekat perkembangan Miss Tjitjih, sandiwara di desa-desa. Sampai-sampai ia ikut rombongan sandiwara rakyat yang mengadakan pertunjukan-pertunjukannya di Depok dan Desa-desa kecil.

Kini ia menjelang menyelesaikan pelajarannya di Akademi Teater Nasional Indonesia. Tinggal lagi melalui masa-masa pratikum-pratikum. Dan untuk mencapai title Bachelor of Art-nya itu nanti, ia sekarang sedang menyiapkan esai-esainya dalam soal-soal:
Ilmu Teater: a. unsur teater murni pada Miss Tjitjih, b. Perbedaan pengucapan comedy dalam film-film Amerika, Inggris, dan Indonesia.

Teori Sutradara: a. perbedaan approach terhadap pemanggungan Burung Tjamar tulisan Anton Chekov b. Penyelesaian posisi dengan Movement pada Arena Stage jika dibandingkan dengan pertunjukan Panggung.

Analisa Drama: Persamaan dan perbedaan: a. Macbeth dari Shakespeare, b. Yerma dari Garcia Lorca, dan c. Tjakar Monyet dari W.W. Jacobs
Sejarah Drama: Sejarah drama daerah (research) dan kemungkinan perkembangannya
Rythmik: Unsur irama dalam salah satu bentuk seni
Bukan suatu kerja yang hanya bisa sambil iseng-iseng saja yang harus diselesaikannya sekarang ini. Selamat jalan terus Steve Liem.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar