Pada suatu pagi di bulan Juli tahun 1955, ruangan casting Departemen
Perfini penuh sesak dengan pemuda-pemuda yang akan menjalani casting.
Kabarnya akan dipilih enam orang dari mereka ini untuk bermain dalam
film Perfini “TAMU AGUNG”. Beberapa jam kemudian Casting Director telah
mempunyai catatan nama-nama mereka yang terpilih. Tapi masih ada suatu
keraguan yakni untuk mencatat salah seorang pemuda , yang berbadan
tinggi kurus.
Ia mempunyai tipe yang dibutuhkan sebetulnya tapi dalam testing ia
tampak sangat tidak sungguh-sungguh, gugup dan seperti tak ada hasrat
sama sekali untuk bermain film. Dan keraguan itu hilang setelah ia
sendiri menerangkan bahwa ia hanya akan coba-coba saja, dan tak ada
cita-cita untuk terus jadi pemain. Namanya tak jadi dicatat sebagai yang
terpilih, ia tak mempunyai kesungguhan……
DUA TAHUN kemudian, Akademi teater Nasional Indonesia (ATNI)
mempertunjukkan “TJAKAR MONYET”. Pemuda tinggi kurus tersebut tampak
memegang salah satu peranan dalam sandiwara arena itu. Dan dia pulalah
salah satu pemain yang mendapat pujian sangat tinggi. Peranan seorang
kakek tua yang sakit karena keisengan dan kemudian sangat menderita pula
karena kehilangan anak laki-laki satu-satunya itu dimainkan pemuda
kurus tersebut dengan sangat manisnya. Permainannya meninggalkan kesan
sangat. Sejarah pertunjukan ATNI yang kini telah sanggup menarik publik
itu dibuka oleh sandiwara di mana ia main ini.
Peranan-peranan yang kemudian dipegangnya ialah beberapa peranan
dalam sandiwara yang diselenggarakan oleh organisasi-organisasi
sandiwara amatir pemuda-pemuda kristen, yakni dalam TANDA SALIB
BETHLEHEM, kemudian sebagai Judas dalam TIGA PULUH KEPING PERAK, yakni
kisah pengkhianatan atas Jesus dari Nazareth itu di mana Judas murid
utama Bapak Jesus itu menjadi biang keladi dari pengkhianatan ini. Dan
berturut-turut pula ATNI menyerahkan peranan-peranan utama dan penting
kepadanya. Di mana ia bermain sebagai Zulkifli dalam BURUNG TJAMAR yang
disutradari oleh Drs. Asrul Sani. Dan sebagai Allan Squiere dalam
HUTAN MEMBATU karya sutradara Usmar Ismail BA. Dan kesemua peranan itu
dimainkan oleh Steve Liem dengan permainan yang menunjukkan bahwa memang
tak salah ia memilih Akademi Teater sebagai tempat untuk melanjutkan
pendidikannya.
Ya, nama pemuda yang tinggi lampai itu ialah Steve Liem atau
lengkapnya ialah Steve Liem Tjoan Hok. Seorang pemuda keturunan Tionghoa
yang pendiam yang dilahirkan hampir dua puluh empat tahun yang lalu di
Pande Gelang (Banten) pada tanggal 22 September 1935. Ialah satu-satunya
dari seluruh keluarganya yang menceburkan diri ke dalam lapangan teater
ini. Ia betul-betul tumbuh sebagai seorang pencinta teater dengan
semurni-murninya, bukan karena dorongan keluarga atau ikut-ikutan saja.
Perhatiannya mulai tertarik pada teater ialah dimulai pada waktu
kanak-kanak, ia sering turut dalam pertunjukan sandiwara yang
diselenggarakan oleh gereja. Dunia sandiwara yang dikenalnya pada masa
kanak-kanak itu memberikan bekas yang dalam padanya. Yang membuat pula
ia yakin bahwa sandiwaralah lapangannya dan itu memerlukan suatu
pendidikan yang khusus.
Pendidikan pertama yang diterimanya mengenai teater ini ialah di
Jogjakarta pada “Pendidikan Seni Drama dan Film” pimpinan Sri Murtono.
Kemudian sejak ATNI berdiri di Jakarta, maka iapun jadilah salah seorang
mahasiswanya yang paling rajin. Kini Ia telah duduk di tingkat ketiga,
tingkat terakhir. Tapi anehnya jurusan yang dipilihnya bukan jurusan
Acting, di mana ia telah memperlihatkan hasil-hasilnya melainkan untuk
jurusan directing (sutradara).
“Bermain sekarang ini, buat aku adalah hanya merupakan
latihan-latihan saja, yang tentu banyak gunanya untuk lapangan yang
kupilih itu, sebagai sutradara” katanya dalam sikapnya yang selalu
serius itu.
“Apakah lapangan teater ini akan dijadikan lapangan hidup?” tanyaku.
“Ya,” jawabnya. “Bagaimanapun juga aku harus hidup dalam dunia teater
nanti. Meskipun barangkali aku harus bekerja di lapangan yang tak aku
sukai untuk kebutuhan ekonomiku, tapi tetap hidup dalam lapangan teater
adalah tujuan yang tak bisa ditawar lagi.” Jawabnya dengan penuh
ketenangan dan keyakinan.
Dan ini, katanya lagi, menambah keterangannya: “Fragmen-fragmen
pertunjukan passe pada masa paskah dan natal, adalah suatu kehidupan
baru setiap kali aku serta, setiap tahun. Yang kemudian aku sadari
adanya unsur-unsur religi dan yang kukira itu sebabnya pengucilan gereja
kepada teater pada abad-abad pertengahan. Tapi aku tidak pernah
menyalahkan sandiwara, tidak sedikitpun, seperti orang lainpun tidak,
kecuali pendeta-pendeta. Karena ada sesuatu yang lebih indah lag dari
pengkhianatan itu yang telah kutemukan: Bahwa setiap hasil seni itu
adalah hasil kasih dan di mana ada kasih, Tuhanpun ada, karenanya kasih
kepada kehidupan adalah kasih kepada Tuhan (Tolstoy).
Aku berkali-kali menegaskan pada diriku bahwa sandiwara hanyalah
sandiwara pada orang lain dan kepada diri kita itu adalah suatu
pengucapan kehidupan nyata. Dan aku mau belajar tentang kehidupan itu
yang tak akan habis-habisnya.”
Dan sesungguhnya untuk teater ini sajalah seluruh perhatian dan
kerjanya ditumpahkannya. Ia menyelidiki dari dekat perkembangan Miss
Tjitjih, sandiwara di desa-desa. Sampai-sampai ia ikut rombongan
sandiwara rakyat yang mengadakan pertunjukan-pertunjukannya di Depok dan
Desa-desa kecil.
Kini ia menjelang menyelesaikan pelajarannya di Akademi Teater
Nasional Indonesia. Tinggal lagi melalui masa-masa pratikum-pratikum.
Dan untuk mencapai title Bachelor of Art-nya itu nanti, ia sekarang
sedang menyiapkan esai-esainya dalam soal-soal:
Ilmu Teater: a. unsur teater murni pada Miss Tjitjih, b. Perbedaan
pengucapan comedy dalam film-film Amerika, Inggris, dan Indonesia.
Teori Sutradara: a. perbedaan approach terhadap pemanggungan Burung
Tjamar tulisan Anton Chekov b. Penyelesaian posisi dengan Movement pada
Arena Stage jika dibandingkan dengan pertunjukan Panggung.
Analisa Drama: Persamaan dan perbedaan: a. Macbeth dari Shakespeare,
b. Yerma dari Garcia Lorca, dan c. Tjakar Monyet dari W.W. Jacobs
Sejarah Drama: Sejarah drama daerah (research) dan kemungkinan perkembangannya
Rythmik: Unsur irama dalam salah satu bentuk seni
Bukan suatu kerja yang hanya bisa sambil iseng-iseng saja yang harus
diselesaikannya sekarang ini. Selamat jalan terus Steve Liem.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar