Kamis, 09 April 2020

SI DOEL ANAK BETAWI / 1973


 
Lagi-lagi munculnya jiwa pemberontakan dalan Sjuman dan karyanya ini. Serasa Sjuman yang anak Betawi ini memperotes sosial kehidupan masyarakt Betawi di kota Metropolitan yang kebetulan menjadi Ibu kota RI. Kalau Jogjakarta menjadi ibukota RI, tentu akan lain lagi, karena karakteristik sosial masyaraktnya pun berbeda. Dalam film ini Sjuman ingin mengutarakan, mendambakan, dan sekaligus harapan terpendam anak-anak Betawi terhadap suatu hidup yang wajar di tengah kota yang terus membesar dan tetapi selalu cuma dinikmati oleh pendatang. Film ini tentang anak-anak Betawi , Si Doel Anak Betawi, yang diangkat dari karya Aman Datuk Majoindo. Kabarnya film itu menghasilkan banyak uang dan juga jadi pembicaraan anak-anak. Sukses itu nampaknya kemudian menimbulkan ilham baru bagi Sjuman untuk membuat seri lanjutannya yang berkisah mengenai si Doel dan kawan-kawannya setelah mereka sama-sama dewasa dan berada di kota metropolitan.

Sebuah film anak-anak yang boleh dikatakan berhasil. Suasana riang novel bisa teralihkan ke film. Si Doel (Rano Karno) dibesarkan oleh ibunya (Tutie Kirana) dan ayahnya (Benyamin S.), menurut gaya Betawi asli. Karena kecelakaan ayah si Doel meninggal, hingga ia hidup bersama ibunya saja. Si Doel kecil harus membantu berjualan ibunya untuk meneruskan hidup. Untung datang "bantuan" Asmad (Sjuman Jaya), pamannya yang kemudian diterima sebagai ayah. Asmad memberi kesempatan si Doel bersekolah untuk memutus lingkaran jelek kehidupan anak Betawi. Maka di akhir film, si Doel menjadi anak yang akan menjadi modern. Sjuman berhasil mengisahkan kehidupan bebas anak-anak yang harus berbenturan dengan realitas kematian bapaknya. Pesan akhir film, bisa juga dianggap sebagai pesan pribadi sutradara yang punya latar belakang Betawi juga. Ketika cerita dimulai, rumah keluarga Doel sudah tidak di Jakarta, tetapi di Cibinong. Kepindahan dari Betawi ke pinggiran itu memang tidak perlu dijelaskan lagi, sebab toh luas diketahui bahwa seorang Betawi terdesak ke pinggiran. Kendati demikian, toh Doel (Benyamin ) muncul dengan pakaian anak kota, lengkap dengan motor buatan Jepang model terkini. Cara bicaranya pun mirip anak Menteng, meski lagak lakunya tidak pas dengan Betawi Jakarta.

Di Jakarta ia ketemu dengan teman sekampungnya Sapei (Farouk Afero), Sinyo (Wahab Abdi) dan Nona alias Christine Hakim. Kecuali Christien, dua teman Doel lainnya cuma tukang catut dengan gaya yang meyakinkan. Dan Doel yang digambarkan keliwat Bloon ini akhirnya di catut oleh teman-temannya sendiri. Ini soal Bloon memang khas Benyamin. Tetapi penonton yang dulu nonton Si Doel Anak Betawi barangkali bisa bertanya, apa pasal itu Doel kecil (Rano-Karno) yang dulu lincah dan cerdas jadi amat bloon setelah lepas sekolah di Taman Siswa. Dan penonton memang terpaksa tertawa ketika bloon Doel membanggakan Taman Siswa di depan Ahmad (Ahmad Albar) anak Kwitang yang mendapat pendidikan di Perancis.


 
Sjuman mengejek Taman Siswa? Kesannya memang demikian. Tetapi pengurus Taman Siswa tidak perlu merasa berkecil hati. Sebab yang diejek dalam film ini bukan cuma mereka orang Betawi yang sok modern pun habis-habisan diejek Sjuman. Juga haji-haji pun jadi bulan-bulannanya. Digambarkan secara karikatur dalam kelicikan dan kerakusan, dalam menjual tanah mereka. Ini memang gaya Sjuman, mengejek, dalam Si Doel Anak Betawi, guru ngaji (Soekarno M.Noer) digambarkan mata duitan, adegan diperlihatkan guru ngaji ini dengan intercut kambing kawin. Difilm Si Doel Anak Modern digambarkan juga disini Haji sebagai penipu dan pembohong yang toh tetap dengan mulut komat-kamit menyebut Allah. Beberapa adegan di potong sensor, adegan dengan jejeran sepedamotor (saat itu menjadi barang mewah), dan tasbih di tangan mereka, bukan nama Allah yang mereka sebut tetapi harga tanah. Sambil memaikan tasbih mereka sepakat menyebutkan "empat Ratus tidak kurang..." serempak para Haji itu kompak untuk menyebutkan tawaran harga tanah mereka. Ejekan Sjuman Djaya ini di potong sensor karena menyerempet Islam. Tetapi bagi yang suka, akan tertawa serasa mentertawakan situasi sosial yang ada dan nyata.

Sjuman marah betul sama anak betawi yang malas sekolah, dia menginginkan semua anak betawi harus sekolah tinggi, termasuk dirinya yang anak betawi berhasil lulus sekolah gengsi perfilman dunia di Moskow dengan pedikat memuaskan. Dan dia juga marah betul sama orang Betawi yang selalu menjual tanahnya untuk naik haji, setelah naik haji, dia bingung tinggal dimana karena tanah sudah terjual. Dan Sjuman mengkritik betul karakter Betawi yang serba malas, malas sekolah, dan malas bekerja, hasilnya menjual tanah semeter demi semeter akhirnya Betawi tergusur ke pinggiran Jakarta (ini yang terjadi saat ini). Dan Pak Haji juga kena sindiran dan kemarahan Sjuman yang menjual tanah nenek moyang mereka tanpa meningkatkan penghasilan dan tanpa menjual tanah. Dan dalam masyarakt Indonesia, sangat banyak kasus ini yang terjadi, bahkan saya juga membeli tanah di Jakarta dari orang Betawi yang mengenal karakter mereka sendiri. Inilah yang digambarkan Sjuman dan yang ditakutkan Sjuman akan hari esok Betawi. Sekarang sudah terjadi apa yang dikawatirkan Sjuman. Jauh sebelumnya Sjuman sudah kawatir. Di sini juga Pak Haji mata duitan, dan ambil andil dalam mensukseskan penjualan tanah mereka juga, bahkan mereka menjadi alat bagi sang pembeli tanah untuk mensukseskan penjualan tanah orang Betawi, lalu mendapat persen dari sang pembeli tanah. Samapai saat ini juga terjadi seperti itu, baik dalah kasus ini juga kasus negara ini. Berapa Haji dan pemukau agama harus bertanggung jawab terhadap kerusakan Iman para penguasa negara ini, sehingga negara ini jadi hancul fisiknya dan moralnya. Selama ini pelajaran agama selalu di peruntukan buat masyarakat saja, bukan terhadap penguasa negara ini yang jauh-jauh dibutuhkan untuk meluruskan iman mereka.


 
Ternyata Sjuman sangat keras saat itu, dan mengingat saat itu juga Indonesia mengalami peristiwa isu PKInya yang diberantasi oleh TNI dan pemukau Agama. Sjuman yang bekas sekolah Rusia ini ternyata terlalu nekat, sehingga adegannya di potong habis oleh sensor. Tetapi banyak yang protes juga karena itu hal yang wajar dan terjadi di masyarakat, dan mereka mempertanyakan kenapa meloloskan adegan sex dari pada adegan yang nyata adanya. Tetapi bagi yang suka film Rusia, sering menampilkan dalam film Rusia seperti Haji yang digambarkan dakam film-film Sjuman, dalam film Rusia mereka menggambarkan Rabi (pendeta Yahudi), banyak film Rusia menampilkan Pendeta Yahudi ini berkeliling masuk kerumah-rumah orang yang berhutang pada mereka dan menagihnya, tasbih yang mereka bawa itu serasa mengitung jumlah hutang piutang mereka.

Penonton boleh tidak sejutu dengan Sjuman terhadap guru ngaji, tetapi di film Si Doel Anak Modern ini harus diakui sebagai film terlancar dari semua film yang pernah dihasilkan oleh Sjuman. Sebagai anak Betawi asli, Sjuman kelihatan kenal betul watak orang-orang kampungnya dan dengan cara yang rapi ia menggambarkan kekonyolan mereka. Para pemain pun memainkan peranan mereka dengan baik, dan dengan bantuan Djufri Tanissan (pengarah seni) dan Tarigan MA (kamera) sebuah tontonan ringan yang memngasyikan telah dihsilkan oleh Sjuman.

Adegan terakhir film ini Doel terbaring di ranjang rumah sakit setelah mengalami kecelakaan mobil ketika ia melarika diri Christien yang menolak lamaran Si Doel (Ini adegan luar biasa sekali, Sjuman sungguh sukses membuat ending film ini yang memuncak bertiar air mata), disamping ranjang berkerumun teman dan keluarganya, termasuk Pak Haji (Nico Pelamonia) yang juga ikut menipu uangnya yang kini sedang berdoa dan komat-kamit. Christien ternyata datang dengan perubahan sikap. Dalam keadaan kaki di Gips, Doel meloncat dari tempat tidur berlari menyambut Christien di lorong rumah sakit. Hanya beberapa saat setelah ia berjanji pada ibunya untuk tidak lagi merisaukan si gadis modern. Mereka berpelukan dan terjatuh dilantai Gusrak tertulis di layar, selesai.

Banyak penonton yang berfikir, konyolkan anak betawi? Sekali lagi ini alah sebuah film, bukan fakta. Ini hanyalah tontonan. Justru dibalut dengan komedi, orang yang dihina oleh Sjuman justru tidak merasa terhina. Film kadang menunjukan seolah mengejek, tetapi dibalik itu ada sebuah pesan yang disampaikan oleh Sjuman, salah satunya adalah, jarangnya anak Betawi yang sekolah tinggi, seringnya menjual tanah mereka dan akhirnya terpinggir. Keinginan mereka ingin tampil Modern sebagai kulit. Sama seperti cerita keinginan untuk merubah warna kulit putihnya. Tetapi film ini luar biasa sekali, sangat peka mengangkat persoalan besar di kota Jakarta.
 P.T. MATARI FILM

RANO KARNO
TINO KARNO
DEWI ROSARIA INDAH
ATIK PASONO
SUKARNO M. NOOR
FIFI YOUNG
TUTY KIRANA
BENYAMIN S
SJUMAN DJAYA
FRANK RORIMPANDEY
NANI WIDJAJA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar