LESBUMI (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia)
VS
LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat)
Ini terjadi Dimana saja, dimana Politik dan ideologi bangsa tidak lepas dari kontrol mereka kuga pada seni dan Budaya. Ketika sebuah pemerintahan runtuh dan digantikan dengan ideologi baru, maka ideologi lama akan dihilangkan secepat mungkin sebelum menjalar rela. Kenapa Politik terlalu mengontrol seni dan budaya, karena seni dan budaya adalah akar sebuah masyarakat dan kebebasan expresi, sehingga ditakutkan akan mempengaruhi sosialnya. Kadang politik sangat memerlukan budaya dan sebi untuk propaganda, kadang seni dan budaya berdiri sendiri dengan kebebasannya. Tapi enggak mungkin juga sehingga polenik ini sulit di pahami dan selesaikan.
Yang paling sulit adalah adanya intrik dalam politik sehingga sedikit saja isu bisa menghancurkan semuanya disaat pemerintah sedang paraniot.
DiIndonesia juga terjadi saat Isu PKI yang dilambangkan sebagai Merah dan NU lebih kepada Putih (hijau), seharusnya mereka bisa menjadi merah putih atau hijau. Dan Soekarno berusaha ingin menyatukan hal itu menjadi NASAKOM, tetapi kepentingan Amerika dan Barat lain, mereka tidak suka itu sehingga terjadi banyak intrik, kebohongan fitnah dan segalannya, sehingga terjadi pertumpahan darah yang banyak, hanya semata-mata karena kekayaan/dan uang.
Posisi LESBUMI (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) Di Tengah Polemik Kebudayaan Indonesia mulai menemukan bentuknya. Di tahun 1920-an para tokoh nasional waktu itu telah merancang 'design' bagaimana Negara harus diformulasikan mulai dari urusan pendidikan, perekonomian hingga urusan kebudayaan .
Pada tahun-tahun tersebut tokoh-tokoh nasional mulai memperdebatkan sistem pemerintahan, hingga muncul sistem 'demokrasi terpimpin' oleh presiden Soekarno. Demokrasi terpimpin adalah sebuah demokrasi yang seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpinnya saja. PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Soekarno dengan hangat dan anggapan bahwa PKI mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara nasionalisme, agama (Islam) dan komunisme yang dinamakan NASAKOM.
Khusus soal kebudayaan Soekarno memberi perhatian khusus dengan pidatonya pada 17 Agustus 1959 yang isinya menyemangati pemuda-pemudi untuk tidak hanya mengusir penjajah dalam bentuk imperalisme politik, imperalisme ekonomi tetapi juga imperalisme budaya. Berikut kutipannya:
"Saudara-saudara melihat, bahwa dus tidak benar, kalau dikira bahwa kita hanja mengiichtiarkan "sandang pangan" sadja. Demikian pula tidak benar, kalau orang mengira, bahwa karena fasal 3 program cabinet berbunji "melandjutkan perdjoangan menentang imperialisme ekonomi dan imperialisme politik", maka kalau tidak akan mengambil pusing akan mengambil pusing hal imperialisme-imperialisme lain, misalnja imperialisme kebudajaan. Saja telah memberi instruksi kepada menteri-muda Pendidikan, pengadjaran dan kebudajaan untuk mengambil tindakan-tindakan dibidang kebudajaan ini, untuk melindungi kebudajaan nasional dan mendjamin berkembangnja kebudajaan nasional.
Era "Demokrasi Terpimpin", yaitu kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, cadangan devisa menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
Di tengah-tengah kondisi tersebut NU sebagai organisasi yang mengurusi pendidikan dan sosial keagamaan tidak tinggal diam dengan caranya sendiri, NU ikut mewarnai sejarah perkembangan untuk Indonesia Raya. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Greg Fealy adalah satu kajian "organisation-historic" mengenai NU, terutama mengenai keterlibatan NU dalam "mimbar" politik praktis yang dimainkan oleh elite-elite NU itu sendiri. Mulai dari latar belakang sejarah NU, pemikiran politik keagamaannya, penarikan diri NU dari Masyumi tahun pada tahun 1952, perjuangan meraih kekuasaan (1953-1955), kemenangan dan pemulihan nama baik (1955-1956), politik akomodasi (1957-1962), militansi, konflik, dan kompromi (1963-1967).
Perjumpaan NU dengan kebudayaan di Indonesia ada sesuatu yang unik, dalam lintasan sejarah di mana tahapan tersebut dapat dirunut sejak awal NU berdiri pada 1926 sebagai organisasi pendidikan dan sosial-keagamaan. Perjumpaan itu terus berlangsung secara intensif dan terus-menerus seiring dengan perubahan NU yang menjadi gerakan politik pada 1952 hingga mencapai mementumnya pada 1960-an. Politik dengan mengambil domain 'seni dan kebudayaan', NU mendirikan Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) merupakan lembaga kebudayaan yang berafiliasi dengan politik seperti partai Nahdlatul Ulama (NU) saat organisasi itu menjadi partai politik pada tahun 1952. Di tahun-tahun tersebut sebuah lembaga kebudayaan tidak afdhol kalau tidak berafiliasi dengan partai politik. Sebagaimana Lekra (PKI), LKN (PNI), Lesbumi (NU) juga ambil bagian.
Hiruk pikuk politik saat itu sangat mempengaruhi 'seni dan kebudayaan di tanah air'polemik kebudayaan, Surat kepercayaan gelanggang hingga munculnya manifes kebudayaan disamping manivesto politik dengan konsep Nasakomnya Soekarno. khususnya di Jakarta, dari mulai
Lesbumi dianggap sebagai penanda kemodernan di tubuh NU. Modern di sini jika dilihat dari kacamata NU melalui Lesbumi yang sama sekali baru terhadap perkembangan seni-budaya. Jika dilihat dari para pendapat tokohnya, seperti, Djamaluddin Malik, Usman Ismail, dan Asrul Sani. Inilah bentuk apresiatif NU terhadap modernitas, terutama menyangkut relasi agama dan politik dalam konteks 'kemusliman' melalui pendefinisian ulang terhadap seni-budaya 'Islam'. Kemudian, mengapa Lesbumi seakan-akan lenyap dari wacana perbincangan sejarah seni-budaya dan politik di Indonesia. Inilah sebenarnya yang dijawab dalam buku ini, yaitu polemik kebudayaan Lesbumi yang terjadi pada kurun waktu 1950-1960.
Tiga serangkai tokoh Lesbumi Djamaluddin Malik, Usmar Ismail, dan Asrul Sani. Mulai menata kembali format seni dan budaya ala NU yang berpegang erat pada ahlussunah wal jama'ah. Sehingga dengan cara membentuk sendiri sentrum budaya NU (Lesbumi) dapat memoderasi di tengah-tengah ketegangan aliran seni budaya yang berhaluan 'realisme sosialis versus humanisme universal'.
Dua aliran yang bersitegang 'perang pena' tersebut, Lekra (PKI) memenangi seni sastra dan seni lukis dibanding LKN (PNI) walaupun partai terakhir ini adalah milik pemerintah (Soekarnois). Sementara, Lesbumi (NU) mengambil segment seni perfilman dan sandiwara, disamping kesenian tradisional ala NU (bordah dan tilawatil qur'an).
Pertanyaan mengapa Lekra (PKI) mengambil segment seni sastra dan seni lukis karena dalam urusan sinematografi tokoh-tokoh Lekra (PKI) tidak menguasai. Suatu ketika pernah seorang produser Lesbumi Munir Abu Sudjak berkenan memberikan akses kepada orang Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) untuk mendistribusikan film tapi akhirnya di sabotase dengan menggunting bagian film. Sebenarnya Asrul Sani sudah mengingatkan Abu Sudjak untuk tidak bekerjasama dengan Lekra (PKI) namun tidak dihiraukan. Hingga akhirnya Lesbumi rugi besar karena peristiwa itu.
Djamaluddin Malik, Usmar Ismail, Asrul Sani dan sebagainya (Lesbumi) berhasil menciptakan film yang digandrungi masyarakat pada saat itu seperti 'Pagar Kawat Berduri', 'Tauhid', dan sebagainya.
Memang jika karya-karya bapak Asrul Sani sangat begitu baik sebagai seorang penulis sekenario. Namun pak asrul sendiri pernah menyatakan kalau film-film Usmar pernah berbau Hollywood, hingga Usmar pun harus mengkompromikan idealismenya dalam film 'Tiga Dara'. Namun, bagaimanapun karya para pejuang-pejuang dalam bidang kebudayaan patut dihormati karena saat itu Indonesia memang membutuhkan Kebudayaan anak Indonesia yang benar-benar muncul dan lahir dari ide kreatif anak bangsa.
PKI dengan semangat menggebu-ngebu melarang masuknya kebudayaan bangsa Amerika. karena Amerika yang Liberal Kapitalis tidak sesuai dengan ide semangat bangsa yang anti Kapitalis (sosialis-komunis).
Lekra melakukan itu demi menyelamatkan kebudayaan bangsa. Mungkin caranya yang salah. Masuknya kebudayaan memang tak dapat dibendung melainkan kita yang harus pintar-pintar memproteksi diri terhadap pengaruh dari luar dengan memfilter kebudayaan yang masuk. Apa yang dicita-citakan oleh Lekra untuk membangun kebudayaan rakyat sebagai kebudayaan bangsa adalah hal yang wajar karena itu didukung rasa nasionalisme, kecintaannya kepada bangsa Indonesia. Tetapi Lesbumi tetap berkhidmat pada perjuangannya dalam memperjuangkan NU dan aswaja-nya melalui domain kebudayaan.
by: Taufiq attamzirien
Lesbumi, Ikon Modernitas NU
Peresensi: A Qorib Hidayatullah
LESBUMI: Strategi Politik Kebudayaan
Beragam judul buku bermunculan guna merekam gerak avonturus NU menjelang satu abad. Nur Khalik Ridwan, misalnya, beberapa bulan silam ia bikin buku yang berjudul NU dan Neoliberalisme: Tantangan dan Harapan Menjelang Satu Abad (Februari 2008). Nur Khalik merupakan penulis prolifik intelektual muda NU yang berijtihad literasi kreatif karena prihatin akan tempaan nasib yang dialami organisasinya ke depan. Dalam bukunya, Nur Khalik membaca gejala amuk neoliberalisme yang ditengarai gampang meremuk-redamkan masa depan warga NU. Pendeknya, Nur Khalik melacak tantangan NU di masa mendatang. Berbeda dengan Nur Khalik, penulis buku ini, Choirotun Chisaan, malah bernostalgia hendak meraih ikon berharga NU yang kini lambat laun ditengarai terancam lenyap. Ikon itu adalah Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) yang konon dielu-elukan sebagai penanda kemodernan di tubuh NU. Sejak menarik diri dari Partai Masyumi pada 1952, Partai NU berupaya memodernisasi dirinya. Hal ini dibuktikan bahwa di tubuh Partai NU pun memiliki perhatian pada bidang pendidikan, dakwah, sosial, ekonomi, pertanian, perempuan, pemuda, dan buruh. Sehingga pada gilirannya, Partai NU mulai merangsek ke bidang lainnya, yaitu Lesbumi.
Lesbumi, Ikon Modernitas NU
Peresensi: A Qorib Hidayatullah
LESBUMI: Strategi Politik Kebudayaan
Beragam judul buku bermunculan guna merekam gerak avonturus NU menjelang satu abad. Nur Khalik Ridwan, misalnya, beberapa bulan silam ia bikin buku yang berjudul NU dan Neoliberalisme: Tantangan dan Harapan Menjelang Satu Abad (Februari 2008). Nur Khalik merupakan penulis prolifik intelektual muda NU yang berijtihad literasi kreatif karena prihatin akan tempaan nasib yang dialami organisasinya ke depan. Dalam bukunya, Nur Khalik membaca gejala amuk neoliberalisme yang ditengarai gampang meremuk-redamkan masa depan warga NU. Pendeknya, Nur Khalik melacak tantangan NU di masa mendatang. Berbeda dengan Nur Khalik, penulis buku ini, Choirotun Chisaan, malah bernostalgia hendak meraih ikon berharga NU yang kini lambat laun ditengarai terancam lenyap. Ikon itu adalah Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) yang konon dielu-elukan sebagai penanda kemodernan di tubuh NU. Sejak menarik diri dari Partai Masyumi pada 1952, Partai NU berupaya memodernisasi dirinya. Hal ini dibuktikan bahwa di tubuh Partai NU pun memiliki perhatian pada bidang pendidikan, dakwah, sosial, ekonomi, pertanian, perempuan, pemuda, dan buruh. Sehingga pada gilirannya, Partai NU mulai merangsek ke bidang lainnya, yaitu Lesbumi.
Lesbumi dibentuk pada 1962. Berbagai macam artis, pelukis, bintang film, pemain panggung, dan sastrawan terhimpun di lembaga ini. Tak ayal, Lesbumi pun beranggotakan ulama yang memiliki dasar seni yang cukup baik.
Kehadiran Lesbumi tak semulus yang diharapkan. Lembaga ini mengundang polemik dengan munculnya anggapan bahwa Lesbumi sebagai penggerogot martabat NU (hlm. 117). Ekses gerak kesenian Lesbumi berimplikasi memicu keresahan di kalangan ulama. Ulama berbeda perspektif (ikhtilaf) dalam menyikapi ihwal kesenian modern yang diusung Lesbumi. Misalnya, sikap ulama Pasuruan yang mengharamkan drama, sementara ulama Jogjakarta membolehkannya.
Kendati demikian, kesan kuat tampilnya Lesbumi di tubuh NU menjadikan penanda kemodernan penting, di mana seni budaya merupakan bidang fokus perhatian baru bagi NU. Bahkan, pengurus Ranting NU Telogosari, Pasuruan, Jatim, lewat sebuah surat yang dilayangkan ke PBNU (PP Lesbumi) tertanggal 1 Maret 1963, menghendaki agar PP Lesbumi memberi tuntunan untuk melaksanakan kesenian dalam Islam selain kesenian diba', hadrah, jam'iyatul qurra', dan pencak (hlm. 119). Mereka menginginkan agar bentuk kesenian modern, seperti gambus, drama, teater, dll, diberikan tuntunannya karena mereka tidak ingin ketinggalan zaman.
Di samping itu, Lesbumi sebagai ikon modernitas NU tentu tak luput dari siapa yang berperan dan terlibat aktif mengurusi lembaga ini. Pengurus-pengurus Lesbumi memiliki latar belakang berbeda dibanding warga NU kebanyakan. Bila berkomitmen merujuk AD dan ART NU menyangkut keanggotaan --baik sebelum NU menjadi partai politik (1926) maupun sesudahnya (1952)-- bisa dimahfumi bahwa seniman dan budayawan leluasa bergabung dengan Partai NU. Dengan begitu, seniman-budayawan dapat dikategorikan sebagai anggota ''bukan guru agama'' (ulama).
Citra Lesbumi memodernkan NU tak lepas dari personifikasi dari ketiga tokoh pendirinya: Djamaluddin Malik (1917-1970), Usmar Ismail (1921-1971), dan Asrul Sani (1927-2004).
Lewat Lesbumilah NU mengekplorasi wujud relasi antara agama, seni, dan politik. Sebagai organisasi kebudayaan di bawah naungan NU, Lesbumi telah melakukan kompromi politik dan agama dalam konteks ''kemusliman'' melalui upaya pendefinisian seni-budaya ''Islam''.
Seperti hasil musyawarah besar yang diselenggarakan empat bulan pasca Lesbumi dibentuk, ialah merumuskan tiga hal pokok yang menjadi pedoman bagi kaum seni Lesbumi. Ketiga hal pokok itu meliputi penafsiran tentang kebudayaan Islam, seni Islam, dan seniman dan budayawan Islam. Tiga komponen asasi itu mencerminkan prinsip yang dianut kaum Lesbumi dengan menjadikan seni untuk mengabdi kepada Tuhan. Inilah titik penting yang membedakan Lesbumi dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) PKI.
Pendapat ekstrim mengemukakan bahwa muasal Lesbumi muncul terkait dengan faktor ekstern kedekatan hubungan antara Lekra dengan PKI. Dus, kelahiran Lesbumi merupakan bagian dari pola umum reaksi Lekra-PKI. Tujuannya ialah pendefinisian ''agama'' (Islam) sebagai unsur mutlak dalam nation-building yang sedang dijalankan oleh pemerintah Indonesia, khususnya di bidang kebudayaan.
Kemunculan Lesbumi juga tak bisa dilepaskan dari momen politik dan momen budaya sekaligus. Lesbumi berkait-kelindan dengan momen politik munculnya Manifesto Politik pada 1959 oleh Presiden Soekarno (hlm. 133). Saat itu, lagi gencar-gencarnya pengarusutamaan Nasakom dalam tata kehidupan sosio-budaya dan politik Indonesia, serta perkembangan Lekra yang makin menampakkan kedekatannya dengan PKI.
Pada saat yang bersamaan, Lesbumi juga tak dapat dilepaskan dari momen budaya. Lesbumi dijadikan payung pemenuhan kebutuhan akan pendampingan pada kelompok-kelompok seni budaya di lingkungan nahdhiyyin dan modernisasi seni-budaya. Hingga pada akhirnya, dengan latar belakang momen politik dan momen budaya itulah Lesbumi lahir dan berkembang.
Pada sejarah zamannya, seni-budaya pesantren merupakan basis kultural Lesbumi, sehingga pesantren menemukan ruang sosio-kulturalnya dalam pentas budaya nasional. Kalau tidak berlebihan, kehadiran Lesbumi bisa dikatakan menjadi pendobrak fenomena seni-budaya pesantren yang lazim dipandang tradisional, kolot, kearab-araban, dan tak sejalan dengan modernitas.
Choirotun Chisaan lewat bukunya ini --di mana sebelumnya merupakan penelitian tesis S2-nya di Program Magister Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Jogjakarta-- meneroka mengapa Lesbumi lenyap dari perbincangan sejarah seni-budaya dan politik di Indonesia.
Buku ini memiliki data yang cukup matang. Seperti pengakuan penulis di dalam bukunya ini, riset pustaka tentang Lesbumi dilakukan hingga perpustakaan ARI dan NUS Singapura. Buku semacam ini tergolong langka hingga layak diapresiasi dengan membacanya. (*)
POLEMIK KEBUDAYAAN LESBUMI
19/05/2008
Judul: Lesbumi Strategi Politik Kebudayaan Penulis: Choirotun Chisaan Penerbit: LKiS, Yogyakarta
19/05/2008
Judul: Lesbumi Strategi Politik Kebudayaan Penulis: Choirotun Chisaan Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: 1 (Maret) 2008
Tebal: 247+XVI Halaman
Peresensi: Matroni
Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) merupakan lembaga kebudayaan yang berafiliasi dengan politik seperti partai Nahdlatul Ulama (NU) saat organisasi itu menjadi partai politik pada 1960-an. Ketika NU memutuskan menjadi partai politik tersendiri, sangat baik, agar NU mempunyai peran di politik. Lahirnya Lesbumi dari rahim NU menunjukkan langkah maju dari NU, yang berarti berani mengambil perjuangan seni budaya sebagai bagian dari tanggung jawabnya meski di dalamnya banyak ‘duri’ yang belum selesai disapu atau dipertanyakan. Ketika pertentangan politik semakin panas, semua kegiatan lembaga kebudayaan, antara pro dan kontra komunis, lebih berbau politik. Justru mereka yang tidak tergabung dalam lembaga kebudayaan yang memiliki sikap budaya yang jelas, seperti Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Menarik untuk direnungkan bahwa karya seni-budaya lembaga-lembaga seni budaya itu dipublikasikan melalui media massa masing-masing partai politik. Publikasi itu seringkali memicu “polemik” politik dalam wilayah kebudayaan. Pendapat umum mengatakan bahwa perdebatan mengenai seni-budaya di Indonesia yang dinilai cukup sengit pada masa itu, justru ditemukan pada tataran aliran, seperti perdebatan mengenai realisme sosialis dan humanisme universal. Antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) satu pihak dan para pencetus Manikebu di pihak lain.
Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) merupakan lembaga kebudayaan yang berafiliasi dengan politik seperti partai Nahdlatul Ulama (NU) saat organisasi itu menjadi partai politik pada 1960-an. Ketika NU memutuskan menjadi partai politik tersendiri, sangat baik, agar NU mempunyai peran di politik. Lahirnya Lesbumi dari rahim NU menunjukkan langkah maju dari NU, yang berarti berani mengambil perjuangan seni budaya sebagai bagian dari tanggung jawabnya meski di dalamnya banyak ‘duri’ yang belum selesai disapu atau dipertanyakan. Ketika pertentangan politik semakin panas, semua kegiatan lembaga kebudayaan, antara pro dan kontra komunis, lebih berbau politik. Justru mereka yang tidak tergabung dalam lembaga kebudayaan yang memiliki sikap budaya yang jelas, seperti Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Menarik untuk direnungkan bahwa karya seni-budaya lembaga-lembaga seni budaya itu dipublikasikan melalui media massa masing-masing partai politik. Publikasi itu seringkali memicu “polemik” politik dalam wilayah kebudayaan. Pendapat umum mengatakan bahwa perdebatan mengenai seni-budaya di Indonesia yang dinilai cukup sengit pada masa itu, justru ditemukan pada tataran aliran, seperti perdebatan mengenai realisme sosialis dan humanisme universal. Antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) satu pihak dan para pencetus Manikebu di pihak lain.
Kenyataan itu sangat menarik, sebab, di satu sisi, Lesbumi merupakan unsur penting dalam paham Nasionalisme, Agama dan Komunisme (Nasakom), di samping Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Setidaknya, Lesbumi memiliki orientasi politik yang hampir sama dan senada dengan unsur-unsur yang ada dalam Nasakom, seperti LKN (PNI), atau Lekra (PKI).
Di satu sisi, secara kultural aktivis-aktivis Lesbumi, Asrul Sani, dan Usmar Ismail, pernah menjadi pemrakarsa utama, surat kepercayaan gelanggang yang muncul pada 1950. Surat kepercayaan gelanggang yang menjadi tongkat estafet sastrawan-seniman yang menamakan diri “Angkatan 45” inilah yang kemudian dipandang cikal-bakal paham humanisme-universal dalam kebudayaan Indonesia yang kemudian muncul sebagai “pewarna” dalam Manikebu.
Namun, di balik itu semua, ada wajah baru yang ingin diperdengarkan oleh Lesbumi di tengah riuhnya pertarungan aliran berkesenian pada masa-masa tersebut. Wajah lain itu akan tampak pada surat kepercayaan yang lahir pada 1966, surat yang juga diprakarsai Asrul Sani.
Karakter utama yang membedakan Lesbumi dari Lekra dan Manikebu adalah kentalnya warna “relijius” dalam produksi ekstrim antara kubu Lekra dan Manikebu.
Pada titik ini, sebenarnya Lesbumi memberikan alternatif baru dalam berkesenian dengan memberikan tempat bagi unsur keagamaan (Islam) setara dengan kebudayaan melalui sebuah “kontestasi” seni-budaya ketimbang sebuah “pertarungan” politik. Sikap “tengah-tengah” (moderat) nampaknya coba diterima Lesbumi senada dengan garis ideologi Ahlussunnah wal Jamaah yang menjadi landasan politik keagamaan NU, organisasi induknya.
Lesbumi dianggap sebagai penanda kemodernan di tubuh NU. Modern di sini jika dilihat dari kacamata NU melalui Lesbumi yang sama sekali baru terhadap perkembangan seni-budaya. Jika dilihat dari para pendapat tokohnya, seperti, Djamaluddin Malik, Usman Ismail, dan Asrul Sani. Inilah bentuk apresiatif NU terhadap modernitas, terutama menyangkut relasi agama dan politik dalam konteks “kemusliman” melalui pendefinisian ulang terhadap seni-budaya “Islam”. Kemudian, mengapa Lesbumi seakan-akan lenyap dari wacana perbincangan sejarah seni-budaya dan politik di Indonesia. Inilah sebenarnya yang dijawab dalam buku ini, yaitu polemik kebudayaan Lesbumi yang terjadi pada kurun waktu 1950-1960.
Lahirnya Lesbumi tidak hanya counter-responses terhadap kedekatan Lekra dengan PKI yang dianggap selama ini diyakini banyak pihak. Lesbumi lahir justru harus dilihat dari dua sisi “momen historis” yang melingkupinya. Momen politik dan momen budaya. Momen politik adalah lahirnya Manifesto Politik pada 1959 oleh presiden Soekarno dan ideologisasi Nasakom dalam tata kehidupan sosial-politik. Sedangkan momen budaya adalah kebutuhan akan modernisasi seni-budaya. Dari sinilah diperlukan pemaknaan ulang “agama” dalam konteks Indonesia yang sedang dalam proses nation-building, khususnya di bidang kebudayaan.
Lalu, di mana letak posisi seni-budaya pesantren yang tidak lain merupakan basis kultural Lesbumi NU, dalam konteks kebudayaan nasional? Dalam pandangan para tokoh Lesbumi, seni-budaya pesantren akan menemukan ruang tersendiri sosio-kulturalnya dalam pentas budaya nasional jika ia diapresiasi menggunakan bahasa kebudayaan, karena suatu fenomena yang sebelumnya tidak ditemukan termasuk seni-budaya dipandang tradisional, kolot, ke-Arab-Arab-an, dan tidak sejalan dengan modernitas.
Polemik Lesbumi dalam perjumpaan dengan kebudayaan di Indonesia ada sesuatu yang unik, dalam lintasan sejarah di mana tahapan tersebut dapat dirunut sejak awal NU berdiri pada 1926 sebagai organisasi pendidikan dan sosial-keagamaan. Perjumpaan itu terus berlangsung secara intensif dan terus-menerus seiring dengan perubahan NU yang menjadi gerakan politik pada 1952 hingga mencapai mementumnya pada 1960-an.
Pada tahap ini, perjumpaan NU dengan gerakan kebudayaan di Indonesia mengalami proses formalisasi dan pelembagaan melalui pendirian Lesbumi.
Dalam catatan di atas Lesbumi mencari bentuk relasi agama seni dan politik, di mana sejak menarik diri dari Partai Masyumi, Partai NU terus berupaya memodernisasi dirinya. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, di awal penarikan diri, NU telah memiliki badan-badan otonom yang mencerminkan perhatiannya pada masalah pendidikan, dakwah, sosial, ekonomi, pertanian, perempuan, pemuda, dan buruh.
Lesbumi adalah salah satu bentuk yang menghimpun berbagai macam pelukis, bintang film, pemain pentas, dan sastrawan, di samping juga ulama yang memiliki latar belakang seni yang cukup baik. Inilah yang dianggap tidak menjaga martabat NU.
Seiring dengan perubahan kebudayaan pada 1950-1960 terjadi peristiwa penting yang menonjol dalam memandang kelahiran Lesbumi.
Pertama, dikeluarkannya Manifesto Politik pada 1959 oleh Soekarno. Kedua, pengarusumutan Nasakom dalam tata kehidupan sosio-budaya dan politik Indonesia pada awal 1960-an. Ketiga, perkembangan Lekra pada 1950. Organisasi kebudayaan semakin mendekatkan diri dalam hubungan dengan PKI, baik secara kelembagaan maupun ideologis. Keempat, faktor eksternal tersebut yang melingkupi proses kelahiran Lesbumi. Pada satu sisi, kelahirannya memperhatikan momen politik kerena faktor-faktor eksternal yang melingkupi.
Di samping faktor eksternal, ada juga faktor internal. Pertama, kebutuhan akan pendampingan terhadap kelompok seni-budaya di lingkungan Nahdliyin. Kedua, kebutuhan akan modernisasi seni-budaya. Dengan mempertimbangkan faktor eskternal dan internal, sebagaimana dikemukakan di atas, momen historis kelahiran Lesbumi dipengaruhi dan tidak bisa dilepaskan begitu saja dari momen politik dan momen budaya.
Dalam konteks politik-kebudayaan Indonesia, kelahiran Lesbumi merupakan condition sine qua non bagi jalannya revolusi Indonesia yang menganut gagasan Nasakom Soekarno. Tapi, dalam spektrum yang luas, keniscayaan Lesbumi disebabkan, menurut Asrul, sebagai sebuah tantangan yang datang dari berbagai arah yang mengitari kaum muslimin.
Peresensi adalah Direktur Eksekutif Pustaka Monrea Banni dan Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta
LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat)
Singkatnya perkumpulan para seniman dengan satu visi tentang kerakyatan, kecintaan profesi mereka dalam seni sehingga apa jadinya kalau kumpulan seniman ini masuk dalam politik. Ini yang dikonotasikan Lekra - PKI mungkin Lekra-Golkar mungkin Lekra-PAN dan mungkin sejumlah partai yang banyak itu. Dan sekarang ini para seniman sudah terkotak-kotak lagi dalam partai yang banyak, hampir semua partai sekarang ini mempunyai tokoh/pemuka/dept.bidang kebudaya-nya.
Pramoedya Ananta Toer yang mengelola ruang budaya “Lentera”. Lentera yang secara simbolistis merupakan penerang, justeru mengungkap jejak dan jasa para penulis sejak zaman pergerakan nasional seperti Tirto Adisurjo dan Mas Marco serta R.A. Kartini. Dan dari sana pula, saya bersama para penulis muda, mengenal alamat Jalan Ciduran 19. Sebuah Gedung yang terdiri dari beberapa kamar sebagai kantor Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Salah sebuah organisasi kebudayaan zaman Orde Lama, selain organisasi-organisasi lainnya seperti Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) dan Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi).
Lekra yang didirikan pada tanggal 17 Agustus 1950 itu, merupakah salah sebuah organisasi pekerja kebudayaan yang terbesar dalam sejarah Indonesia. Berkembang pesat dengan amat mencolok, terutama sejak 1956, dengan Sekretaris Umumnya Joebaar Ajoeb. Dan terdiri dari beberapa lembaga kesenian. Seperti Lembaga Sastra, dengan tokoh-tokohnya Pramoedya Ananta Toer, S. Rukiah, Utuy Tatang Sontani, Rivai Apin, Sobron Aidit, HR Bandaharo, Agam Wispi, SW Kuntjahyo, S. Anantaguna, Sugiarti Siswadi dan lainnya lagi. Lembaga Seni Rupa, dengan tokoh tokoh pelukisnya seperti Affandi, S. Sudjojono, Basuki Resobowo dan lainnya lagi. Lembaga Seni Film, dengan tokoh-tokohnya seperti Tan Sing Hwat dan Basuki Effendi. Lembaga Seni Drama dengan tokohnya Dahlia Ajoeb. Lembaga Seni Musik dengan tokohnya Soedarnoto dan Subronto K Atmodjo. Lembaga Seni Tari dan sebagainya lagi.
Dari barisan para tokoh kebudayaan, sastrawan dan ragam macam seniman tersebut di atas, nampak adanya yang tergolong Angkatan Pujangga Baru, Angkatan ’45 dan Angkatan ’50. Akan tetapi layak dijelaskan, bahwa sebagai suatu gerakan kebudayaan rakyat Indonesia, Lekra bukanlah gerakan elit belaka, melainkan merupakan gerakan yang berakar luas. Bukan hanya terdiri dari kaum pelopor atau tokoh-tokoh kenamaan, melainkan juga mereka yang tidak atau belum atau kurang terkenal atau pendatang baru. Asal saja semuanya aktif di bidangnya masing-masing. Berdasarkan kemauan dan kemampuannya masing-masing pula. Dan sudah barang tentu, atas kesadaran sebagai pekerja kebudayaan yang engage, yang memihak kepada rakyat dan bangsa Indonesia dengan segala aspirasi kemerdekaannya, dengan semangat Revolusi Agustus ’45-nya.
Oleh karena itulah, semula berangkat dari Jalan Hayam Wuruk Bintang Timur sampai ke Jalan Cidurian Lekra, saya masuk ke dalam salah sebuah lembaganya, yakni Lembaga Sastra Indonesia pimpinan Pramoedya Ananta Toer dan Bakri Siregar serta Rivai Apin. Dalam mana, pada Sidang Pleno Lembaga Sastra Indonesia itu, tahun 1963 di Gedung Pemuda Surabaya, saya hadir dan duduk sebagai salah seorang anggotanya – di samping 50 sastrawan anggota pleno lainnya dari seluruh Indonesia. PERTEMUAN KEMBALI
Dalam pertemuan itu, intinya JJ Kusni menegaskan bahwa di situ ia tidak mewakili Lekra, meski ia orang Lekra. Apalagi, di antara hadirin Martin Aleida dengan berang mengatakan bahwa JJ Kusni sebagai sastrawan di jajaran Lekra tidaklah ada apa-apanya, menyitir pernyataan SMS Saut Sitomorang yang disebut juga oleh Martin sore itu. JJ Kusni yang doktor sejarah, dianggap Martin tidak pas bicara tentang sejarah Lekra; meski doktor sejarah, keberadaannya secara subyektif mengurangi keobyektifan sudut pandang menyeluruh tentang Lekra. Penegasan Kusni bahwa ia hanya mewakili dirinya sendiri, memuncakkan sandiwara sore itu dengan kekuatan pribadi: minimal ada seorang JJ Kusni dan seorang Taufiq Ismail yang 'bersalaman bahkan berangkulan' untuk sebuah peramaian total (istilah Taufiq) atau rekonsiliasi (istilah Ikra).
Di sisi Taufiq Ismail, tak pernah reda (tampak sekali dari caranya bicara dan dari statement-statemennya yang tertuang dalam makalah yang dibacakan pada sore hari itu) dendam kesumatnya terhadap ideologi komunis yang dengan nyata dikaitkan dengan keberadaan Lekra dan tentu saja JJ Kusni yang dianggap orang mewakili Lekra pada acara dialog yang diselenggarakan oleh Teater Utan Kayu, Rabu minggu ini. Dendam Taufiq dengan memojokkan komunisme ditambah dengan pernyataan-pernyataabn tentang Ada sebuah jalinan antara Jakarta dengan benua darat kala itu. Entah apa yang menyebabkan jalinan itu begitu terasa. Dendam sang penyair terhadap lawan politiknya mengedepankan kebangkitan dari kubur para pendiri paham yang keras berkokoh pada keyakinan. Bahkan dari dalam kubur di London dan Moskow dibangkitkannya mereka, Karl Marx dan Lenin, dengan rantai panjang yang disulurkan dari kegelapan masa silam yang membelenggu pengikutnya hingga masa kini.
Namun dengan lihainya, Taufiq malah menunjukkan dan mengatakan betapa dendam itu dimiliki oleh para pengikut Marx dan Lenin, dan dia sedih karenanya. Tidak seperti yang dilakoni Malaysia yang menghapuskan diskriminasi partai komunia malaysia dan Afrika Selatan yang mampu menyelenggarakan rekonsiliasi nasional, Taufiq menyesali, mengapa Indonesia negerinya ini tidak mampu lepas dari denam itu. Yang anehnya, Taufiq mengatakan, dendam ini adalah pada kaum kiri. Dan dia menggempur dengan pernyataan mestinya kaum ini mau melupakan dendam itu dan sedia menciptakan perdamaian total dengan kelompoknya.
Taufiq yang bukan korban kebiadaban pembantaian berjuta-juta orang PKI dan yang dianggap kelompoknya, malah minta para 'orang kalah' dalam pertarungan di bawah Orde Baru itu untuk melupakan dendam dan mau berdamai dalam perdamaian total. Namun tampak betul, semua sikapnya dan emosi nada bicara, sekali lagi sangat tampak justru dialah yang dendam. Sebuah dendam yang sangat aneh bagi sebagian besar orang yang hadir sore itu. "Bukankah Taufiq bukan orang yang kalah dan menderita dan terampas hak-hak azasinya selama puluhan tahun seperti halnya orang-orang Lekra? Apa alasan utama Taufiq harus menunjukkan rasa dendam dengan menunjukkan tangan ke orang-orang itu?"
Seorang anak muda yang duduk di dekat para pembicara terhormat itu pun menyeletuk, "Taufiq pendendam!" Angin dendam macam itu pun menjadi nyawa-nyawa yang telah binasa namun bergentayangan mencari kebenaran. Seorang hadirin pun menanggapi presentasi dua orang plus seorang moderator yang menurut penyelenggara malah menjadi pembicara ke tiga itu. "Rekonsiliasi yang ditawarkan merupakan hal yang sangat terlambat," katanya, "Sebab hal itu sudah dilakukan sejak lama." Putu Oka Sukanta, orang itu, pun menceritakan kisah terlunta-luntanya ia menegakkan harkat dan mengadakan perdamaian dengan berbagai kalangan yang dulu menganiayanya. Bahkan, penganiayaan itu pun baru berkurang tahun lalu, soal kepemilikan KTP seumur hidup bagi orang seumurnya yang baru didapat setahun silam.
Ikranagara selaku moderator pun mengatakan rekonsiliasi sebetulnya sudah berlangsung bertahun-tahun silam, seperti terjadi di Taman Ismail Marzuki (TIM) di mana para seniman bebas untuk berkarya bersama tanpa memandang dia aliran kiri atau kanan; Lekrais ataupun Manikebuis. Beberapa penanggap pun menyatakan hal senada soal perdamaian total atau rekonsiliasi itu. Di antaranya memintakan untuk rekonsiliasi tentulah pihak-pihak yang berdamai mempunyai kesamaan kedudukan secara hukum. Sungguh aneh bilamana dalam rekonsiliasi satu pihak, Lekra, masih saja dirampas hak-haknya setidaknya hak secara hukum dihapuskan dari cap bersalah dan terlarang, sebagaimana sampai sekarang belum dihapusnya Tap MPRS No XXV tahun 1966 tentang pembubaran, pelarangan dan penumpasan PKI dan ormas-ormasnya, termasuk Lekra yang dicap juga sebagai underbouw PKI.
Memang, rekonsiliasi, sudah bertahun-tahun diminta oleh 'kaum kiri' yang hak-hak azasinya dibumihanguskan, dengan jalur sosial, budaya dan hukum dengan asas keadilan dan menempatkan segala sesuatu pada porsinya, dan hampir terlaksana pada era Presiden Gus Dur, namun kemudian lenyap tak berbekas jejaknya. Kali ini, rekonsiliasi seolah-olah diprakarsai Taufiq Ismail. Caranya dengan menuntut kaum kiri menghilangkan dendam, tanpa pengakuan bersalah dan minta maaf atas tindakan pembantaian berjuta-juta kaum kalah di NKRI ini.
Taufiq Ismail menginginkan perdamaian total versinya yang lebih dari rekonsiliasi, adalah perdamaian tanpa mengaudit laksana perusahaan. Tentu saja dalam hal ini tidak ada audit di sisi Lekra, dan di sisi lain tidak ada audit pula bagi Manikebu. Beberapa hadirin yang mengutarakan pendapatnya tampak sepakat tentang ketidakadilan dalam tawaran perdamaian macam ini. Sungguh aneh bila yang berkuasa menuntut perdamaian bagi sang pesakitan dan terhukum tanpa ada saling mendudukkan perkara. Padahal yang disebutkan sebagai contoh Taufiq adalah rekonsiliasi nasional di Afrika Selatan, di mana sejatinya sebelum rekonsiliasi nasional Pemerintah telah lebih dulu mengadakan pengadilan secara hukum. Contoh yang dianggapTaufiq paling dekat, Partai Komunis Malaya yang menurutnya melakukan perdamaian nasional tanpa prasyarat apapun dengan pemerintah Malaysia, juga penuh latar belakang dan alasan-alasan tersendiri. Di buku yang ditulis oleh JJ Kusni, terjawab segala kejanggalan tawaran Taufiq ini, termasuk soal perdamaian di negeri jiran ini.
Memang, di buku JJ Kusni yang kemudian saya baca, tampak dengan rendah hati JJ Kusni memberikan jawaban mendalam dan berprinsip terhadap pernyataan-pernyataan Taufiq yang sejatinya pernyataan-pernyataan permukaan dan tendensius. Posisi-posisi Kusni sebagai orang yang bergaul pertama kali di kalangan seniman Jogjakarta adalah dengan seniman yang kemudian menjadi Manikebuis namun hati nuraninya lebih terpanggil ajaran Lekra, membawa Kusni menjadi bagian tak terpisahkan dengan Lekra teristimewa dia adalah orang pertama di Lekra Jogjakarta pada masanya, bersama saksi-saksi hidup di antara teman-temannya termasuk Putu Oka Sukanta yang kemudian menjadi korban kekuasaan sebagai tapol selama belasan tahun di Pulau Buru.
Para pelaku sejarah yang sore itu tersihir oleh undangan M Guntur Romli yang melabel acara sebagai rekonsiliasi tampaknya merasa terkecoh dengan kenyataan apa yang terjadi selama diskusi. Di sisi Taufiq Ismail, ia tetap tanpa basa-basi melakukan penindasan intelektual terhadap ideologi komunis yang sudah dibumihanguskan penguasa, sementara selama tiga puluh dua tahun ia menjadi bagian integral dari kekuasaan Soeharto, hingga setelah reformasi ini pun tak juga ia terketuk hatinya untuk berkata secara lebih moderat seperti yang diungkapkan Goenawan Mohamad yang secara tiba-tiba nongol dari tempat tersembunyi dan ikut berbicara di akhir acara. Tak juga, Taufiq, seperti Ikranagara ---yang juga penandatangan Manikebu sebagaimana Taufiq dan Goenawan---- menyisakan sebuah pencarian baru guna menjembatani Indonesia menuju masa depan dengan masalah kekinian yang diberi tawaran Ikra mesti menggunakan ideologi posmoderen.
Taufiq masih anti komunis, dan menuntut kaum yang memahami dan meyakini Marxisme-Leninisme ini membuang jauh-jauh ideologinya untuk berjabat tangan dengan kelompoknya --- entah kelompok yang mana--- dalam suatu perdamaian total. Lantaran, dianggapnya komunisme sudah gagal total sejak kelahiran Republik Proletariat pertama Uni Soviet pada 1917 hingga keruntuhannya 1991. Dia pun menyalahkan komunisme tak mampu menjawab tantangan jaman guna menyejahterakan dan memanusiakan manusia. Sedangkan ia pun tak memberi jalannya, kalau pun jalannya adalah keyakinannya, kita pun melihat apakah memang betul ideologinya mampu menjawab apa yang komunisme tak mampu ---menurut Taufiq--- menjawab tantangan jaman itu.
Pendeknya, sore itu, Taufiq adalah seorang anti komunis yang menganggap JJ Kusni dan Lekra adalah komunis. JJ Kusni mengakui Lekra bukan PKI, dengan demikian kekomunisannya pun dipertanyakan, meski secara teori JJ Kusni mengaku Marxis dan dari bacaan di bukunya tersirat varian Marxis yang macam apakah dia. Ikranagara di awal pembicaraan jelas-jelas mengaku tak tahu menahu apa-apa soal pertentangan Lekra Manikebu itu lantaran saat parahara dulu itu ia masih SMP, dan tahu kemudian dari berbagai macam bacaan dan pergaulan. dari perbincangan mereka di sini, sesungguhnya tidak ada apa-apanya bagi Lekra dan Manikebu yang jelas-jelas dinyatakan keduanya tidak mereka wakili. Mereka hanya mewakili diri sendiri.
Setidaknya tampak gambaran, Taufiq adalah pendandatangan Manikebu yang belum berubah, jauh ketinggalan di banding para rekannya seperti Goenawan Mohamad, Arief Budiman, apalagi Sanento Yuliman almarhum yang mengaku betul-betul menyesal telah ikut menandatangani Manikebu setelah tahu ada militer di belakangnya, hal yang membuat WS Rendra tidak mau hadir dalam acara penandatangan Manifes itu. JJ Kusni adalah anggota Lekra dan pengurus Lekra Daerah yang keyakinanannya terhadap Marxisme mengalami perkembangan sesuai dengan varian yang ada. Ikranagara merupakan cerminan pencarian lebih moderen dari modernisme. Masing-masing mewakili dirinya sendiri, syukur-syukur ada banyak orang yang seperti mereka. Kebetulan, ketiganya sepakat untuk berjabat tangan bahkan berangkulan, terserah siapapun memaknai.
Yang juga perlu diperhatikan lagi sore hari itu adalah begitu banyak mahasiswa dan mahasiswi ---yang di kemudian waktu diketahui berasal dari salah satu universitas negeri di Jakarta--- yang dengan tekun menyimak dan mencatat segenap 'cerita' sastrawan mereka. Sedangkan bagi yang sudah tahu duduk perkara semua hal ini, semakin mengokohkan betapa kosongnya jargon-jargon dendam tanpa pembelajaran itu bila dilepas dari apa dan siapa dan bagaimana di balik semua itu.
Selebihnya, pembacaan terhadap buku JJ Kusni akan menjawab sejauh mana keyakinan terhadap perjuangan untuk anti penindasan dan anti penghisapan dapat mewujudkan cita-cita bersama dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang pada saat perjuangan dan pendiriannya segala kelompok tak peduli golongannya bahu membahu membebaskan bangsa dan negeri ini dari penindasan dan penghisapan kolonial dengan kolonialisme saat itu yang akan terus menyilih rupa dalam berbagai wujud, sesudah itu, kini dan entah kapan lagi. Mestinya, perbedaan ideologi itu tak menyebabkan pertikaian; namun dalam front bersama, kesemua ideologi mampu duduk bersama menghadapi tantangan bersama macam ini. (yonathanrahardjo)
Seniman Berpartai Bukan Makhluk Suci
Orde Baru longsor. Zaman baru datang. Seniman dan artis pun berbondong-bondong masuk dunia politik. Apa bedanya dengan Lekra-PKI?
PRAMOEDYA Ananta Toer yang sudah tua, agak pekak, memakai surjan, kemeja tradisional Jawa berwarna abu-abu. Ia tampak segar. "Tapi, ia tak mau pakai dasi," kata Maemunah, istri yang dicintai Pramoedya, seperti disyiarkan Radio Nederland, Jumat pekan silam. Padahal, novelis Indonesia tersohor, dan kini menjadi anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD), muncul di New York, jantung kapitalisme dunia. Bekas anggota Lekra, mantel kebudayaan bekas Partai Komunis Indonesia (PKI), itu menjadi tamu bergengsi dari Asia Society, New York, seraya memperkenalkan edisi Inggris novelnya yang bertajuk Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.
Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Goenawan Mohamad (GM), tampil pula memaparkan apresiasinya terhadap Pram, nama akrab Pramoedya. Agar tahu saja, GM dulu adalah salah seorang pendiri Manifesto Kebudayaan, yang diganyang oleh Pram dan kawan-kawannya di Lekra pada masa Orde Lama.
Sementara itu, di Jakarta, sastrawan Ikranagara tengah menulis cerita pendek di rumahnya di kawasan Tebet, Sabtu malam, pekan silam. Seperti Pram, Ikra --begitu seniman asal Singaraja, Bali, ini dipanggil-- kepada Ari Sutanti dari Gamma mengaku bahwa ia malah duduk sebagai Ketua Departemen Kebudayaan Partai Amanat Nasional (PAN) yang dipimpin Amien Rais. Ikra pun pada masa Orde Lama adalah pendukung Manifesto Kebudayaan. Bahkan, sejumlah koleksi buku seninya, seperti karangan H.B. Yassin, Mochtar Lubis, Chairil Anwar, dan Boris Pasternak, digeledah dan dirampas orang-orang Lekra dari rumah orangtuanya di Singaraja, di penghujung akan runtuhnya Orde Lama.
Zaman memang telah berubah. PKI telah lama ditenggelamkan sejarah. Bahkan, Orde Baru pun telah terkubur. Ketika zaman baru datang, era reformasi, sistem multipartai muncul. Para seniman dan artis yang dulu berduyun-duyun dikooptasi Golongan Karya (Golkar) kini bebas menentukan pilihan. Bahkan, itu tadi: Pram, yang dulu tak ikut memilih, kini boleh masuk PRD dipimpin Budiman Sudjatmiko, yang masih dalam penjara.
Tengoklah, sejumlah artis kini berani jadi anggota partai nonpartai Golkar. Ada Wanda Hamidah, model dan artis sinetron, yang masuk PAN. Mieke Wijaya, pemeran Bu Broto dalam sinetron seri Losmen jadi Ketua Departemen Seni & Budaya Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Penyanyi Hetty Koes Endang masuk Partai kebangkitan Bangsa (PKB). Meskipun, artis Yoseano Waas, Renny Djajoesman, dan penyanyi dangdut Machica Mochtar tetap saja bertahan di Partai Golkar (Lihat: "Di Zaman Baru Mereka Tak Cuma Goyang Pinggul"). Dan, sejumlah seniman maupun artis lainnya yang terlalu panjang untuk disebutkan satu per satu.
Nah, misalkan Pram, Ikra, Yoseano dan Mieke nanti jadi calon anggota legislatif, dan berhasil menjadi anggota DPR, sekaligus anggota MPR, maka orang semacam mereka semakin bulat menjadi seniman partai. Tapi tentu saja mereka berbeda dengan para seniman yang terpilih menjadi utusan golongan mewakili seniman, budayawan, cendekiawan, dan ilmuwan sebanyak sembilan orang di MPR. Seperti diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kamis pekan lalu, ada sembilan golongan, seperti agama, LSM, pemuda, mahasiswa, seniman, etnik minoritas, penyandang cacat, pegawai negeri, veteran, dan ekonomi lemah, ditetapkan sebagai utusan golongan, semuanya berjumlah 65 orang.
Utusan golongan budayawan dan seniman ini penting, karena selama ini banyak seniman yang alergi kepada proses politik yang mengakibatkan aspirasi mereka tak terwakili. Sebutlah, dramawan kondang Rendra selama ini selalu independen, dan "berumah di atas angin". "Sekarang kita ingin seniman yang berpikiran merdeka dan tidak boleh ada kaitannya dengan partai politik," kata Andi Alfian Malarangeng, anggota KPU, Sabtu pekan lalu, kepada Taufik Rinaldi dari Gamma. Nah, makin jelaslah di masa depan akan ada dua kategori seniman dalam terminologi politik. Yakni, seniman partai, semacam Ikra dan Pram, dan golongan seniman versi KPU tersebut.
Tapi, kepala Andi jadi pusing bila ditanya siapa seniman dan budayawan yang berhak menjadi utusan golongan di MPR. Organisasi mana pula yang berhak memutuskannya. "Kita tidak tahu, belum dirumuskan," kata Andi. Tapi kemudian, Andi bertutur kira-kira begini: KPU akan mengusulkan organisasi seniman yang dipertimbangkan untuk menyusun wakilnya di MPR, lalu KPU akan membahasnya. Wah, tetap saja masih kabur.
Pertanyaan bertubi-tubi pun terdengar dari Dr. Salim Said, bekas Ketua Dewan Kesenian Jakarta. Bila pemerintah yang menentukannya, itu kan sama saja dengan Orde Baru? Bila dewan kesenian yang menetapkannya, apakah otoritas institusi itu diakui semua seniman? Bila sesama seniman yang menetapkannya, apa pula kriterianya? Apakah harus seniman yang punya adikarya, adiluhung? Bila itu parameternya, apakah seniman macam itu "qualified" untuk urusan politik di MPR? "Jangan-jangan pula seniman bersangkutan tak tertarik," kata Salim kepada Gamma.
Salim bahkan menyoal di zaman baru ketika sudah ada 48 partai, apakah konsep utusan golongan itu masih relevan? Memang, sistem perutusan golongan ini sudah ada sejak 1950-an di masa demokrasi parlementer. Tapi, implementasinya hingga sekarang tak pernah betul. "Ingat, di zaman Orde Baru, jangankan utusan golongan, utusan partai pun mestilah yang disenangi pemerintah," kata Salim. Anggota MPR ini malah menuding konsep dasar utusan golongan itu adalah akal-akalan pemerintah untuk mengecilkan peranan partai.
Harry Roesli, seniman eksentrik dari Bandung, ini pun tak merasa terkejut. "Dari dulu juga sudah ada," katanya kepada Paulus Winarto dari Gamma. Yang penting, orangnya harus representatif. Percuma pula bila seorang seniman tapi tak membawa aspirasi seniman. Seorang yang bukan seniman malah bisa lebih bagus bila dapat menyalurkan aspirasi seniman. "Cuma kalau orangnya kayak Edi Sud (pimpinan artis Safari, Red.), yang programnya tak jelas, ya percuma belaka," kata Harry.
Terlepas dari kritik Salim yang logis itu, munculnya fenomena seniman partai ini mengingatkan publik kepada debut Lekra, yang dulu menjadi "onderbow" PKI. Tentu saja bukan atas ideologi komunisnya. Melainkan bagaimana kelak para seniman partai ini beroperasi sebagai orang partai maupun berkreatif sebagai seniman. Apakah paradigma Lekra akan terulang, atau ada wacana baru yang membedakannya?
Seperti meluas diketahui, konsep seni Lekra dulu tak lepas dari ajaran leninisme. Kita simak lagi tulisan Lenin di Harian Novaya Zhizn (Hidup Baru) edisi Nomor 12 Tahun 1905. Antara lain, Lenin menulis, "Sastra (atau seni) harus menjadi bagian dari perjuangan kepentingan proletar, menjadi gir dan sekrup dari mesin raksasa sosial demokrat yang digerakkan oleh kaum buruh". Artinya, Lekra adalah organisasi revolusioner yang memoblisasi rakyat dalam perjuangan partai komunis untuk merebut kekuasaan sebagaimana diajarkan oleh Lenin dan diperkeras oleh Stalin.
Ikra tentu menampik jika dirinya seakan berada pada sudut pandang yang dianggapnya sudah kuno itu. Ia mengaku terjun ke PAN, bermula ketika GM dan Amien Rais datang ke Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta dan mengajak sejumlah seniman untuk berkiprah di partai, menyusul lengsernya Soeharto. "Waktu itu, GM dan Amien menyebut akan mendirikan partai yang berlandas kepada moral yang religius," kata Ikra. Setelah berpikir beberapa hari, Ikra pun oke dan bergabung ke PAN. Meski belakangan GM tak ikut, karena merasa sebagai wartawan Tempo ia harus tetap independen.
Memang berbeda dengan masa Orde Baru, ruang publik, seperti partai, legislatif, dan eksekutif, hanya dikuasai Golkar, militer, dan birokrat. "Tapi juga tunduk pada elite yang dikangkangi Soeharto," kata Ikra. Maka, ketika zaman baru datang, Ikra pun bertekad terjun ke politik agar masyarakat madani bisa menggantikan Golkar, militer, dan kaum birokrat. "Tak seperti di zaman Orde Lama ketika seniman cuma alat partai, dan seniman di zaman Orde Baru tak boleh berpolitik," kata Ikra.
Ikra bukannya tak menyadari seniman tetap bisa berpolitik secara independen, seperti Rendra dan Nano Riantiarno, yang secara substansial melakukan koreksi kepada kekuasaan lewat kreatif seni. "Tapi, cara itu terbukti tidak efektif," kata Ikra. Ikra bercerita, "Waktu dulu Rendra dan Nano dilarang pentas, kita ramai-ramai ke DPR, tapi cuma ditampung saja tanpa realisasi," kata calon anggota legislatif nomor satu PAN untuk Banyuwangi di DPR itu. Artinya, bika Ikra di DPR, ia bisa memperjuangkan sejenis undang-undang yang melarang penguasa melarang pertunjukan kesenian.
Apa bedanya PAN dengan PKI dengan Lekra-nya? Semasih menjadi Mara (Majelis Amanat Rakyat), sebelum jadi PAN, rupanya GM dan Tuti Herati ikut merancang cetak biru partai itu. Baik menyusun program yang menyentuh kesenian maupun untuk memenangkan pemilihan umum. Malah, di dalam pemenangan pemilu PAN, Ikra dan sejumlah seniman ikut terlibat. "Beda dengan dulu (masa Lekra) seniman malah dikendalikan," katanya.
Suara senada terdengar dari Yoseano Waas, anggota DPR dari Golkar. Seniman yang sudah membintangi 102 film itu --dan sudah 30 tahun berkecimpung di politik-- menganggap seorang seniman terjun ke politik adalah hak asasi manusia. "Yang penting, ia harus menyadari kapan ia tampil sebagai seniman dan kapan sebagai aktivis partai," kata artis, yang tak setuju bila seni hanya dianggap hiburan, itu kepada Rojes Saragih dari Gamma. Artinya, sebagai seniman, ia tetap independen. Ia pun merasa tak dieksploitasi Golkar belaka. Tapi juga menyumbang pikiran kepada Golkar.
Tak semua seniman seperti Yoseano dan Ikra. Tak sedikit pula yang memilih tetap berada di luar partai, seperti Rendra, Nano, maupun Ratna Sarumpaet. Ratna yang dicekal dan kondang karena pementasan drama Marsinah yang ditulisnya lebih memilih sebagai pengontrol kekuasaan agar tak menindas rakyat lewat kreativitas seninya. Lagi, sulit bagi ia melihat ada partai yang betul-betul dipercayainya untuk membela rakyat yang selama ini dibelanya. "Ini bukan soal sombong," kata Ratna yang pernah dituduh melakukan makar, gara-gara menjadi Koordinator Siaga (Solidaritas Indonesia untuk Amien Rais dan Megawati) beberapa waktu lalu.
Begitu pun Ratna tak keberatan jika ada sejumlah seniman memilih partai tertentu, sepanjang bukan karena duit. Tapi, ia kesal ada artis yang berpartai karena duit. Misalnya, Renny Djajoesman yang bilang "hidup mati demi Golkar". "Hal itu masih karena uang, mereka dimanjakan Golkar, mungkin semacam utang budi, dan mungkin mereka masih yakin Golkar akan menang," kata Ratna. Padahal, apa yang diperbuat Golkar selama ini, kata Ratna, sudah menyalahi sesuatu yang semestinya diperjuangkan seniman. "Jangan kontradiktiflah," katanya kepada Yesi Maryam dari Gamma.
Artis dan seniman yang bergonta-ganti partai pun dinilai Ratna tak apa apa. "Bisa saja, itu malah sehat, asal ada alasan riil yang logis, yang bukan karena uang," katanya. Ratna pun sebal terhadap para artis yang merasa dibesarkan Golkar. Ia memberi contoh para penyanyi dangdut yang justru "show" mereka diramaikan rakyat. Kaset mereka dibeli rakyat. "Rakyatlah yang membuat mereka populer, mestinya mereka harus membela rakyat," kata Ratna. Jadi, bila kini mereka masih di Golkar, menurut Ratna, itu tidak "fair" terhadap rakyat. Diakuinya, hal itu tak menimpa semua seniman. "Tapi, artis dangdut dan artis sinetron, bila tanpa rakyat, kan tak sukses," katanya.
Cara berpikir bahwa produser dan pihak televisi partikelirlah yang berjasa kepada para artis dangdut, pop, dan sinetron segera dikoreksi Ratna. "Coba ketika 'rating' acara mereka tinggi hingga semakin laris, bukankah karena acara mereka ditonton rakyat. Jadi bela rakyat, dong, sekarang," kata Ratna, dengan emosi berkobar-kobar.
Meski tak meledak-ledak, Nano Riantiarno yang baru rampung mementaskan drama Opera Ikan Asing--sebuah kritik kontekstual kepada dunia perbankan yang amburadul-- juga memilih tak berpartai. "Saya memilih dunia panggung teater sebagai medium berpolitik tanpa politik praktis," katanya kepada Rika Condessy dari Gamma. "Saya melihat apa yang terjadi di sekeliling, saya serap, dan saya sajikan ke panggung, dengan harapan akan mengilhami pemegang keputusan dalam memimpin negara dan publik," katanya.
Lagi pula, Nano memandang partai itu "bisa hidup dan mati". Sedangkan, karya seni lebih abadi. Belum lagi soal tragedi partai yang pada suatu musim bisa dipuja-puji, tapi lain musim dihujat dan dicaci maki. Tapi, yang paling melarang langkahnya masuk ke sebuah partai adalah ada satu garis yang mengatur orang hanya berbuat demi partai saja. "Sedangkan, inti kesenian adalah berbuat untuk kemanusiaan," kata Nano.
Toh, bila sejumlah seniman masuk sebuah partai, Nano bisa menghormatinya sebagai sebuah pilihan hidup. "Kita hormatilah pilihan mereka, dan mudah-mudahan pilihan saya pun dihormati," katanya. Padahal, agar tahu saja, mertua Nano, ayah Ratna Riantiarno, Abdul Madjid, adalah salah seorang deklarator PDI, dan kini sudah pindah ke PDI Perjuangan.
Sekarang, dengar pula komentar komposer kontemporer dari Bandung ini seperti bunyi musiknya yang berdentam-dentum. Dialah Harry Roesli, yang malah pernah dalam suatu acara televisi, bilang akan mendirikan PAP (Partai Anti Partai) dengan lambang 48 partai. "Multipartai itu pembusukan. Entah oleh siapa, mungkin seorang superior, coba bila 48 kue itu menjadi busuk semua, kita cuma bisa bingung," katanya. Maka itu, Harry tak mau membuat partai baru, meskipun ia punya pasukan sebanyak 36.000 anak jalanan. "Dulu tiga saja kita bingung," katanya.
Bila Harry tak mau memasuki satu partai tertentu, tak lain karena trauma ditambah krisis kepercayaan terhadap partai yang ada. "Saya tak bisa percaya begitu ada partai yang bilang partainya berubah. Ibarat pelacur yang tiba-tiba mengaku dirinya sudah berubah," kata Harry. Lagi pula, sudah terlalu banyak partai yang semua mengaku reformis. "Wah, reformasi telah kehilangan makna dan wibawa," tambah Harry.
Harry tak setuju bila dianggap seniman yang tak berpartai sama dengan "macam ompong". Karena, menurutnya, dalam menyampaikan kritik, seniman tak harus membuat solusi. Solusi itu justru harus dibikin oleh mereka yang mampu. Seniman toh bukan manusia super yang tahu segala soal. "Tapi, bila jadi anggota DPR, kita jadi terkurung tak bisa mengkritik," kata Harry, yang berbeda pandang dengan Ikra. Celakanya, seniman dan artis yang masuk partai, apakah partainya jelek atau bagus, harus dibela mati-matian. "Mana bisa independen," kata Harry.
Barangkali, komentar dari Ignas Kleden, budayawan dan penulis esai, ini menarik direnungkan. (Lihat: "Ibarat Pelukis Bermain Sepak Bola"). Seniman berpolitik itu ibarat seorang pelukis yang juga pemain sepak bola. Artinya, peran ganda itu bisa saja. Tak harus menyetop satu di antaranya. Ignas mengingatkan, toh seniman itu bukan mahluk suci, yang hanya berkutat dengan sajak, partitur, cat, dan sebagainya. "Bila dosen, dan sopir boleh berpolitik, kenapa seniman tidak?" kata Salim. Yang penting, jangan distorsi. Ibarat seorang mahaguru jangan memaksa mahasiswanya memilih partainya. Di atas kertas memang mudah.
Bersihar Lubis dan A. Latief Siregar
Merahnya HR (Harian Ra'jat), Merahnya Lekra
"Njoto memanfaatkan Harian Rakjat sebagai senjata agitasi dan propaganda partai. Namun ia menyelamatkan film Hemingway dari daftar haram, dan menolak memerahkan seluruh Lekra".
SUNGGUHPUN Harian Rakjat (HR) lekat dengan nama Njoto, ia bukan pendiri corong resmi Partai Komunis Indonesia tersebut. Pendirinya Siauw Giok Tjhan (1914-1981), wartawan majalah Liberty dan Pemuda. Ia anggota Konstituante, pendiri Baperki, organisasi massa warga keturunan Tionghoa yang kemudian dilarang pasca-G30S.
Pertama kali terbit pada 31 Januari 1951 dengan nama Suara Rakjat, Harian Rakjat memiliki jargon nyaring: ”Untuk rakjat hanja ada satu harian, Harian Rakjat.” Giok Tjhan memimpin Harian Rakjat dua tahun pertama, kemudian digantikan Njoto hingga akhir hayat.
Di tangan Njoto, yang kemudian diangkat sebagai Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda, HR dengan oplah yang diklaim sebesar 60 ribu eksemplar adalah pendukung kebijakan partai. Harian Rakjat tak ubahnya pamflet; tak ada edisi yang muncul tanpa kata ”rakjat” dan dukungan pada Manifesto Politik Soekarno. Bahasa yang digunakan, seperti dibahas penulis Lekra, Busjari Latif, dalam artikelnya di Harian Rakjat, adalah bahasa yang ”hemat, lintjah, dan terus terang sesuai kerangka Marxisme/Leninisme.”
Dalam buku kecil Pers dan Massa, kumpulan pidato Njoto saat ulang tahun Harian Rakjat 1956-1958, Njoto membandingkan surat kabar itu dengan Pravda, koran partai komunis Uni Soviet. Harian Rakjat disebutnya memiliki keunggulan utama, yakni para ”korespondennja jang lahir dari tengah-tengah massa”. Artinya, setiap buruh, setiap pelajar, dan setiap orang bisa jadi koresponden.
Dalam periode 1950-an itu Harian Rakjat memberikan ruang luas bagi karya seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang didirikan Njoto dan dua petinggi PKI D.N. Aidit dan A.S. Dharta serta seorang tokoh Murba, M.S. Ashar. Lekra lahir pada tahun yang sama dengan Harian Rakjat, ketika dirasakan gemuruh semangat revolusi mulai mengendur. ”Bahwa Rakjat adalah satu-satunja pentjipta kebudajaan dan bahwa pembangunan kebudajaan Indonesia-baru hanja dapat dilakukan oleh Rakjat,” begitu tertulis dalam Mukadimah Lekra.
Njoto, yang biasa menulis esai dan puisi, berdansa waltz dan foxtrot, serta meniup saksofon, sangat piawai memainkan peran utama di dua entitas kiri itu. Di Harian Rakjat, salah satu tugasnya sebagai pemimpin redaksi adalah menulis editorial koran. Menurut Martin Aleida, wartawan Harian Rakjat yang selamat dari pembantaian dan pemenjaraan, kadang ia menulis di kantor, meski sering menitipkannya lewat kurir. Njoto juga sering membantu merumuskan sudut pandang (angle) bagi artikel Harian Rakjat.
Sedangkan di Lekra, menurut Sabar Anantaguna, teman sekolah Njoto di Jember yang kemudian menjadi pengurus Lekra pusat, Njoto tahu bagaimana melayani seniman yang tak mau diatur dan dikomando. Dia sering hadir dalam rapat Lekra, meski tak banyak bicara. Kalau setuju, kata Anantaguna, Njoto diam. Kalau kurang setuju, Njoto baru angkat bicara dan selalu bilang, ”Apa itu sudah yakin? Coba dipikir lagi,” Anantaguna menirukan Njoto.
Njoto pun hati-hati menjaga keseimbangan ideologis di kalangan seniman. Meski ia pendukung Manifestasi Politik sejati Njoto melahirkan prinsip ”politik sebagai panglima” dan giat memobilisasi perlawanan terhadap para seniman non komunis pendukung humanisme universal Njoto tak setuju dengan upaya memerahkan Lekra sepenuhnya, seperti yang diinginkan rekan-rekannya di Politbiro. Anggota Lekra tidak semuanya komunis, dan ia ingin mempertahankannya begitu.
”Manikebu (akronim ejekan untuk Manifesto Kebudayaan) adalah sebuah konsep pemikiran. Konsep tidak bisa ditiadakan oleh tanda tangan di atas kertas,” kata Joesoef Isak, menirukan Njoto, sahabatnya. Ketika kemudian Soekarno melarang Manifesto Kebudayaan, Njoto tidak bersorak seperti kebanyakan pendukung komunis yang mengucap syukur.
Dalam ingatan Martin, Njoto pula yang menghapus nama Ernest Hemingway yang ia kenal personal dan film The Old Man and The Sea dari daftar film Amerika yang haram ditonton. Demikian kuat karisma Njoto hingga ada lelucon sendiri. Di kalangan penghuni Jalan Cidurian 19, rumah Oey Hay Djoen, kantor pusat Lekra, bila Njoto datang, para penghuni berdiri. ”Kalau Aidit yang datang, mereka tak mau melakukannya,” kata Martin.
Iwan Simatupang, sastrawan antikomunis asal Sibolga, pernah mencemaskan pengaruh Njoto yang dianggapnya lebih berbahaya daripada Lukman atau Aidit—karena kuatnya inteligensi orang yang disebutnya ”sok intelek dan sok filosofis” itu. Menurut dia, seniman besar seperti Rivai Apin, Basuki Resobowo, dan Henk Ngantung menjadi simpatisan komunis karena pengaruh Njoto.
l l l
Masa-masa keemasan Njoto sebagai pemimpin agitasi dan propaganda melemah ketika konflik ideologis antara Njoto dan Aidit memuncak. Saat itu PKI sudah mengklaim punya anggota lebih dari tiga juta. Setelah MPRS menabalkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, Njoto didaulat sebagai menteri. Kedekatannya dengan Soekarno Njoto adalah penulis pidatonya—mengancam posisinya di partai (baca ”Njoto dan Soekarnoisme” Red). Puncaknya pada 1964, seperti keterangan Joesoef Isak, ketika Njoto diskors dari seluruh jabatannya di partai, termasuk posisi Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda. Penggantinya, Oloan Hutapea, loyalis Aidit.
Konflik Njoto dan Aidit merembet sampai ke Harian Rakjat. Martin ingat, bulan-bulan terakhir menjelang G30S, Njoto sudah tak aktif lagi memimpin. Tapi konflik internal Harian Rakjat memanas. Mereka yang dari Sumatera dimusuhi awak redaksi yang berlatar belakang Pemuda Rakyat karena dianggap anak emas Njoto. ”Padahal karena kami lebih biasa berbahasa Melayu. Selain itu, Pemuda Rakyat tak begitu senang kepada seniman Lekra yang tak bisa diatur. Pemuda Rakyat lebih militan,” katanya.
Tapi demikian lekatnya Harian Rakjat dengan sosok Njoto, Aidit tak berupaya mencopotnya. Partai membuat harian umum baru, Kebudajaan Baru. Menurut Martin, koran baru ini muncul hanya 1-2 bulan menjelang G30S, sehingga tak banyak petinggi partai yang mengetahui. Pemimpin redaksinya Muslimin Jasin, anggota Comite Central asal Nusa Tenggara.
Seorang pemimpin PKI di daerah yang diwawancarai Saskia Eleonora Wieringa dalam buku Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia—mengaku jadi bagian dewan redaksi Kebudajaan Baru, yang dibuat untuk menandingi Harian Rakjat. ”Malam sebelum kup kami mengadakan rapat redaksi. Aidit datang dan mengatakan, ”Sekarang saya akan memulai sesuatu yang banyak kawan kita mungkin tidak suka. Tapi ini merupakan jalan pintas cita-cita kita,” katanya.
Sejarah mencatat, ”jalan pintas” Aiditlah yang mengubur dalam-dalam bukan cuma partai, tapi juga Lekra dan Harian Rakjat sekaligus. HR menerbitkan edisi penghabisan pada Sabtu, 2 Oktober 1965, dan Harian Rakjat Minggu (HRM) melakukannya sehari kemudian. Nomor buncit lembar seni-budaya itu memuat nama Banda Harahap sebagai pimpinan dewan redaksi, dengan penanggung jawab M. Naibaho dan beranggotakan sastrawan Zubir A.A, Amarzan Ismail Hamid, dan Bambang Sokawati Dewantara—putra bungsu Ki Hajar Dewantara. Seperti dikutip Taufiq Ismail dalam buku Prahara Budaya, ada sejumlah petunjuk di edisi itu akan situasi genting pasca-G30S, namun yang paling menarik adalah puisi ”Wong Tjilik” (yang menurut salah satu redaktur HRM, adalah karya Njoto) di pojok Tjabe Rawit, halaman tiga:
Makan tak enak, tidur tak nyenyak
Nasi dimakan serasa sekam, air diminum serasa duri
Siang jadi angan-angan, malam jadi buah mimpi, teringat celaka badan diri
Bukan salah bunda mengandung, salah anak buruk pinta
Sudahlah nasib akan digantung, jadi si laknat setan kota....
PRAHARA BUDAYA
Jika buku Prahara Budaya: Kilas Balik Offensif Lekra susunan Taufik Ismail dan
DS Moejanto bisa disebut sebagai â€Å“buku hitam Lekra, maka buku Lekra Tak Membakar Buku bisalah disebut sebagai buku putih Lekra.
Prahara Budaya diklaim Taufik Ismail sebagai â€Å“upaya meluruskan sejarah yang pernah dibengkokkan. Klaim itu dilontarkan Taufik saat peluncuran buku Prahara Budaya di Fakultas Sastra UI pada April 1995. Ketika itu, seorang mahasiswa sembari terisak bertanya: ”Apakah masih perlu juga pembalasan. Bukankah sudah cukup selama ini hukuman yang diterima mereka (maksudnya aktivis Lekra)?” (Media Indonesia, 2 Juli 1995)
Prahara Budaya dilansir pada 1995, 30 tahun setelah peristiwa 1965, rentang waktu di mana buku-buku sejarah yang beredar semua-muanya berisi stigma dan kampanye hitam terhadap PKI, Lekra dan semua hal yang tersangkut dengan keduanya. Tidak ada yang diluruskan oleh Taufik Ismail karena Prahara Budaya isinya segendang-sepenarian dengan isi buku-buku sejarah yang beredar selama 30 tahun sebelum Prahara Budaya diterbitkan.
Yang pasti, buku Prahara Budaya justru makin menghitam-hitamkan wajah Lekra yang sudah coreng-moreng dengan hitam jelaga yang dicipratkan secara laten oleh Orde Baru.
Sementara buku Lekra Tak Membakar Buku pantas disebut sebagai buku putih Lekra bukan semata karena sampul buku ini memang berwarna putih. Istilah buku putih biasanya digunakan untuk menjelaskan sikap resmi suatu lembaga (termasuk pemerintah) terhadap suatu isu atau topik tertentu, biasanya terkait dengan sesuatu yang kontroversial dan penuh silang sengkarut.
Bukan, buku ini bukan pernyataan/sikap resmi Lekra secara organisasi karena Lekra sudah tewas jauh sebelum buku ini terbit tanpa sempat membuat wasiat apalagi pleidoi. Buku ini bisa disebut sebagai buku putih (dengan tanda petik) karena seluruh isinya disusun berdasar riset terhadap lembar/rubrik kebudayaan Harian Rakyat yang memang seluruhnya digawangi oleh para aktivis Lekra.
Pembaca yang sudah mengkhatamkan Prahara Budaya dan belakangan membaca Lekra Tak Membakar Buku niscaya akan menemukan banyak sekali hal yang tak diungkapkan duet Taufik Ismail-DS Moejanto. Nyaris dalam segala aspeknya, Lekra tak punya wajah yang mulus di mata Prahara Budaya. Hanya ada Lekra yang berwajah hitam, bopeng-bopeng moralnya, penaka monster yang buas, seperti memedi yang pantas dijauhi oleh anak-anak.
Mari kita lihat beberapa kontras antara Prahara Budaya (selanjutnya ditulis PB) dengan Lekra Tak Membakar Buku (selanjutnya ditulis LTMB) dalam hal menggambarkan Lekra.
PB mencoba menegaskan kalau Lekra itu identik dengan PKI. Diksi menegaskan sengaja saya pakai karena apa yang dinyatakan PB hanya mengekor klaim resmi Orde Baru bahwa Lekra memang identik dengan PKI. Penegasan itu sudah muncul sedari sampul PB yang memasang anak judul: Kilas Balik Offensif Lekra/PKI. Pilihan menggunakan tanda hubung punya implikasi linguistik yang tidak sederhana karena tanda bisa dibaca atau dan sekaligus bermakna bahwa dua entitas yang dipisah oleh tanda itu sama persis atau bahkan identik (bandingkan dengan versi resmi Orde Baru yang juga menyebutkan G 30S/PKI).
PKI pernah ditulis dengan cara itu oleh Soe Hok Gie dalam studinya tentang Peristiwa Madiun 1948. Gie menulis PKI/FDR (Front Demokratik Rakyat). Tapi cukup jelas, FDR yang terdiri dari sejumlah partai-partai kiri pada waktu itu secara resmi memang mengabungkan diri kepada PKI yang waktu itu baru saja diambil alih oleh Musso yang baru kembali dari Sovyet.
Sementara LTMB menggunakan tanda untuk menggambarkan hubungan antara Lekra dan PKI. Tanda digunakan oleh penyusun LTMB untuk menggambarkan bagaimana PKI dan Lekra beriringan dalam sejumlah hal tapi keduanya tak kembar identik. PKI dan Lekra memang sepaham dalam banyak soal, seperti dalam isu anti-kapitalisme dan imperialisme.
Tapi, keduanya tidak identik atau Lekra tak pernah secara resmi menginduk dengan PKI. LTMB tidak mengatakan bahwa Lekra dan PKI sama sekali tak ada hubungannya. Hubungan antara Lekra dan PKI memang nyata-nyata ada. Tapi menyebut Lekra sebagai kembar identik dengan PKI atau onderbouw resmi PKI (macam Pemuda Anshor bagi NU atau Gerakan Pemuda Kabah bagi PPP) tak pernah bisa dibuktikan kebenarannya. Lekra tak pernah bisa di-PKI-kan, karena itulah PKI membuat Konferensi Seni dan Sastra Revolusioner (KSSR) yang merupakan wadah resmi seniman dan budayawan PKI. (LTMB, hlm. 52-58)
â€Å“Lekra tak pernah menjadi underbow PKI. Lekra adalah organisasi merdeka yang tak masuk dalam kendali komando PKI Walau tak bisa dipungkiri bahwa banyak pekerja budaya komunis yang menjadi anggota Lekra di pucuk-pucuk pimpinannya (LTMB, hlm. 61). …Menyebut Lekra bersih sama sekali dari pengaruh PKI adalah kesalahan fatal, tetapi menyebutnya menginduk kepada PKI juga keliru. Lebih tepat hubungan itu adalah hubungan kekeluargaan ideologi (LTMB, hlm. 63)
Frase â€Å“kekeluargaan ideologi yang digunakan LTMB untuk menggambarkan hubungan Lekra dan PKI ini senapas dengan frase sealiran politik yang digunakan Keith Foulcher dalam buku Social Commitment in Litterature and the Arts atau frase â€Å“keluarga komunis yang digunakan oleh Saskia Wieringa dalam buku Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia sewaktu menjelaskan hubungan antara PKI dan Gerwani yang juga gagal secara resmi di-PKI-kan. Istilah Keluarga Komunis oleh Antariksa dalam buku Tuan Tanah Kawin Muda: Hubungan Seni Rupa-Lekra disebut sebagai penggambaran yang lebih pas bagi hubungan-hubungan lentur daripada hubungan formal-organisatoris yang bisa diperintah semaunya.
LTMB sudah menjelaskan hal itu dalam bab Mukaddimah juga pada bab-bab selanjutnya secara lebih detail. Bisa dimengerti jika pembabaran tersebut sudah dimulai sejak bagian pembuka karena perkara tersebut memang merupakan titik yang krusial dan mendasar sebab dari situlah semua kampanye dan stigmatisasi Lekra identik dengan PKI berpangkal.
Dari hubungan Lekra dan PKI yang digarismiringkan oleh PB itulah maka Taufik Ismail dan DS Moejanto menyusun misalnya bagian kelima PB yang diupayakan untuk mencitrakan betapa para penyair Lekra memang menghamba pada Lenin dan Komunisme dan bahkan dianggap sudah tahu peristiwa 1 Oktober 1965. PB menyebut puisi penyair Mawie yang berjudul Kutunggu Bumi Memerah Darah yang dimuat pada 21 Maret 1965 pada lembar budaya Lentera di harian Bintang Timur sebagai bukti (saya kutipkan langsung dari PB, hlm 219) â€Å“karena rupanya dia sudah tahu sebelumnya. Maksudnya, penyair Mawie dianggap sudah tahu bahwa akan terjadi pertumpahan darah pada 1 Oktober 1965.
Saya kira itu tuduhan yang berlebihan karena bahkan tidak semua petinggi PKI tahu akan ada peristiwa 1 Oktober 1965. Argumen yang menyebut bahwa PKI adalah dalang peristiwa tersebut rata-rata menyebut peran Biro Khusus PKI yang merupakan organ non-struktural PKI dan dibentuk Aidit tanpa melalui rapat resmi. Jika Biro Khusus yang (kabarnya) merancang penculikan dan pembunuhan para jenderal saja tak diketahui petinggi PKI lainnya, apa lagi seorang penyair macam Mawie atau anggota Lekra lainnya yang secara organisatoris memang tak pernah menjadi organ resmi PKI.
Ini propaganda, saya kira, karena terlalu berlebihan menyebut Mawie tahu akan terjadi pertumpahan darah pada 1 Oktober 1965, apalagi PB tidak pernah menjelaskan argumen atas tuduhannya itu dalam sebiji kalimat pun. Dengan memvonis penyair Mawie sudah tahu peristiwa 1 Oktober 1965 jauh-jauh hari sebelumnya, kita dikesankan untuk percaya bahwa mereka semua memang terlibat, atau setidaknya, tahu.
PB tidak pernah (mungkin disengaja) menjelaskan bahwa puisi dengan nuansa â€Å“merah-darah tidak ada hubungannya dengan peristiwa 1 Oktober karena para penyair yang bersimpati dengan Lekra sudah terbiasa menggunakan metafora macam itu bertahun-tahun jauh sebelum 1965. Itu bisa dibaca dari puisi Njoto berjudul Merah Kesumba yang diterbitkan pada Maret 1961 atau puisi Roemandung berjudul Darah Merah di Wadjah Duka yang ditulis di Pematangsiantar pada April 1958 dan diterbitkan Harian Rakjat pada 7 Juli 1962. Dua puisi itu bisa dibaca ulang pada buku Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra 1950–1965 yang juga disusun oleh penyusun LTMB.
Hal lain yang tampak kontras antara PB dan LMTB adalah dalam soal kerja-kerja dan proses kesenimanan orang-orang Lekra. Secara sistematis, PB coba membangun kesan bahwa Lekra tak lebih dari serombongan seniman dan penulis yang kerjaannya cuma berpolemik, menghasut, menghujat dan mengganyang lawan-lawannya, terutama orang-orang dari kubu Manikebu (Taufik Ismail termasuk di dalamnya).
Kartun-kartun buatan orang-orang Lekra yang bernada ofensif dan gahar ditebarkan sedemikian rupa di banyak halaman PB untuk membangun kesan betapa kasarnya cara orang-orang Lekra dalam menyerang lawan-lawan ideologisnya. PB tak pernah menjelaskan bagaimana penghayatan ideologis atas karya-karya rupa itu digodok dan diperjuangkan lewat perdebatan sengit di sidang-sidang kongres Lekra yang berkeringat (lihat bab Senirupa dalam LTMB).
Dengan meyakinkan dan disertai klipingan berita-berita, LTMB menampilkan wajah Lekra sebagai sekumpulan seniman yang punya metode kerja kreatif yang amat serius dan metodologis. Lekra punya asas kerja yang disebut.
Angka satu di depan adalah arti bahwa perjuangan Lekra menempatkan politik sebagai panglima. Kemudian 5 di tengah adalah dasar kerja dan perjuangan Lekra: meluas dan meninggi, tinggi mutu idiologi dan tinggi mutu artistik atau 2 mutu, tradisi baik dan kekinian revolusioner, kreativitas individual dan kearfian massa, realisme sosial dan romantik revolusioner. Untuk melakukan lima hal itu dibutuhkan metode: turun ke bawah alias turba.
Maka jangan heran jika pada masanya para seniman Lekra dikirim ke kampung-kampung untuk mempelajari kehidupan rakyat. Mereka bukan hanya meneliti dan mengumpulkan bahan, tetapi tinggal bersama rakyat, makan dengan rakyat dengan makanan yang sama jenisnya. Pendeknya berkumpul hari demi hari bersama rakyat di pelosok-pelosok kampung. Ya, betul-betul hari demi hari karena mereka melakukan turba bukan sehari dua hari, tapi sampai berbulan-bulan lamanya, macam mahasiswa KKN kira-kira. Dan itu dilakukan secara massif, sistematis dan terorganisir. Tidak ada satu pun gerakan kebudayaan (sekali lagi gerakan, bukan perorangan) dalam sejarah Indonesia yang pernah melakukan hal ihwal demikian dengan begitu terorganisir.
Puncaknya, LTMB juga memaparkan betapa dalam hal isu-isu bacaan atau benda-benda cabul Lekra sebenarnya tidak lebih buruk atau tidak lebih baik dari Taufik Ismail, kreator utama PB. Kita tahu, Taufik Ismail merupakan juru kampanye paling utama dari gerakan anti sastra cabul, sastra syahwat, sastra kelamin, sastra lendir atau apalah sebutannya. Taufik Ismail menciptakan istilah Gerakan Syahwat Merdeka untuk menyerang segala hal yang mengutarakan kecabulan, ketidaksenonohan, atau perkelaminan, baik dalam sastra maupun film.
Hanya membaca PB, kita akan kehilangan kesempatan untuk menyadari bahwa PKI-Lekra amat getol mengampanyekan anti buku-buku cabul, majalah-majalah cabul, film-film cabul, sastra cabul hingga pakaian-pakaian cabul—kurang lebih sama dengan yang dilakukan oleh Taufik Ismail.
Pada bab Buku LTMB di halaman 475-476 kita baca informasi ihwal Wakil CC PKI Njoto yang pada 29 Desember 1954 naik mimbar di gedung bioskop Radjekwesi Bodjonegoro, Jawa Timur. Njoto tak mengepit berlembar-lembar kertas pidato, sebagaimana Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail lakukan di Taman Ismail Marzuki ketika berpidato ihwal Gerakan Syahwat Merdeka (GSM). Njoto, malam itu, berbicara mengenai sikap PKI atas demoralisasi masyarakat, khususnya bagi anak-anak pelajar. Njoto bilang: PKI menjokong setiap usaha jang akan memberantas demoralisasi, tidak sadja dikalangan peladjar, tetapi dikalangan manapun. Sekarang ini, tidak sedikit orang jang suka meremehkan pengaruh jg ditimbulkan oleh film2 tjabul, buku2 tjabul dan musik tjabul. Ibu2 dan bapak2, djuga guru2, lebih daripada saja tentu tahu betapa merusaknja barang2 tjabul itu bagi watak dan sifat anak2 kita.
Lekra cabang Jogja pernah membuat program melakukan sweeping atas pemakai baju-baju norak nekolim atau you-can-see. Bagi PKI dan eksponen Lekra, pakaian-pakaian cabul semacam you-can-see dan bikini, film cabul, sastra cabul, maupun majalah cabul bukan soal sepele. Ia adalah bagian dari arus revolusi kebudayaan yang mesti dibersihkan dari perikehidupan masyarakat.
Dan mereka konsisten dengan sikap penentangan itu. Ada sekira sepuluh tahun rentang antara pidato Njoto dan tindakan Panglima Daerah Angkatan Kepolisian X Jawa Timur di Surabaya, Drs Soemarsono, yang menyerukan bahwa disamping terhadap lagu2 ngak-ngik-ngok sebangsa the beatle, rok n roll, AKRI akan mengambil tindakan tegas terhadap mode2 pakaian jang berbau nekolim.
Pada 8 Juli 1961, Harian Rakjat bersikap keras terhadap film-film Amerika yang dianggap dipenuhi adegan mesum, seks dan mengajarkan kekerasan. Tulisan yang secara jelas menerangkan sikap mereka dalam hal tulisan dan tayangan seks dan kekerasan itu terpajang manis dalam judul Hanja Menghendaki Sex dan Kekerasan. (untuk melihat detail sikap Lekra atas film Amerika silakan baca LTMB, bab Filmhlm 254-270).
Majalah-majalah yang dianggap cabul seperti Playboy dirazia yang dalam bahasa kartun Harian Rakjat edisi 8 Agustus 1965 merupakan sampah-sampah berbau Amerika yang sepantasnya dibuang (bandingkan dengan beberapa Ormas yang mengatasnamakan Islam yang juga menyerbu kantor Playboy edisi Indonesia beberapa waktu silam).
Jika Taufik Ismail dan DS Moejanto menggunakan tanda hubung (PKI/Lekra) untuk menjelaskan keterkaitan antara PKI dan Lekra dalam segala aspeknya, bolehlah saya bilang bahwa tanda hubung yang sama bisa digunakan untuk menjelaskan hubungan dan semangat yang sama antara Taufik Ismail dan Lekra (Taufik Ismail/Lekra) dalam soal isu tulisan atau barang-barang cabul.
Kerja dan sikap Lekra semacam itu tak pernah diberi tempat dalam satu halaman pun buku PB yang disusun oleh Taufik Ismail dan DS Moejanto. PB tak pernah menjelaskan bahwa sebagai sebuah gerakan kebudayaan dan kesenimanan Lekra punya identitas, azas dan ideologi, hingga metode kerja yang sistematis dan didaktik. Dalam hal metode kerja yang membuat seniman-seniman Lekra turun ke pelosok-pelosok secara terorganisir dan massif (bukan atas inisiatif individual), Lekra bahkan tak punya padanannya dalam sejarah kebudayaan di Indonesia, bahkan jika dibandingkan dengan Manikebu sekali pun.
Membaca buku LTMB membuat kita setidaknya bisa mengerti dan tahu bahwa sebagai sebuah gerakan, Lekra bukan hanya bisa menyerang lawan-lawannya dengan kata-kata yang tajam dan kasar, tapi juga telah menghasilkan ribuan puisi dan prosa. Ribuan puisi dan prosa orang-orang Lekra adalah sumbangsih kebudayaan yang pantas untuk diberi tempat dan dikaji. Pemberangusan Lekra telah membuat ribuan puisi dan prosa orang-orang Lekra itu lenyap dan membuat karya-karya itu kehilangan peluang untuk dikaji dan dibaca sebanyak orang-orang mengkaji dan membaca karya-karya orang-orang Manikebu.
Untuk itulah, buku LTMB ini akan lebih lengkap jika dibaca satu paket dengan buku Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra 1950-1965 yang mengumpulkan sekira 450 judul puisi dari 111 penyair Lekra dan buku Laporan dari Bawah: Sehimpunan Cerita Pendek Lekra 1950-1965 yang menampilkan 100 cerita pendek yang ditulis oleh eksponen budaya Lekra untuk memberitahu bagaimana gaya realisme sosialis ditemukan diadaptasi dan dipraktikkan di lapangan kesusastraan Indonesia. Dua buku terakhir ini juga disusun oleh orang yang sama dengan yang menulis buku LTMB.
Buku LTMB memang tidak berpretensi untuk menjelaskan secara utuh sepakterjang Lekra. Buku ini hanya mencoba menampilkan seperti apa wajah Lekra berikut kiprah kebudayaan dan kesenimanannya seperti yang terpapar dalam lembar kebudayaan Harian Rakyat yang disebut Jenderal Achmad Yani pada 1964 sebagai koran yang dapat dibariskan didepan sebagai harian jang dinamis progresif dan revolusioner dapatlah selalu menggugah semangat Rakjat untuk tetap tjinta dan setia kepada tjita2 dan tudjuan pokok Revolusi Indonesia (LTMB, hlm. 80).
Lekra dalam LTMB ditampilkan apa adanya. Tak ada klaim meluruskan sejarah seperti yang diusung Taufik Ismail dan DS Moejanto saat menyusun PB. Yang ada hanya menampilkan banyak hal yang selama ini tak pernah dihadirkan dalam buku sejarah resmi yang diajarkan di sekolah-sekolah dan entu saja tidak juga dalam PB yang secara laten memang hanya menampilkan wajah garang Lekra saja.
Anda, sidang pembaca sekalian, yang akan menentukan sendiri mana yang lebih patut untuk dipercaya!
Merahnya HR (Harian Ra'jat), Merahnya Lekra
"Njoto memanfaatkan Harian Rakjat sebagai senjata agitasi dan propaganda partai. Namun ia menyelamatkan film Hemingway dari daftar haram, dan menolak memerahkan seluruh Lekra".
SUNGGUHPUN Harian Rakjat (HR) lekat dengan nama Njoto, ia bukan pendiri corong resmi Partai Komunis Indonesia tersebut. Pendirinya Siauw Giok Tjhan (1914-1981), wartawan majalah Liberty dan Pemuda. Ia anggota Konstituante, pendiri Baperki, organisasi massa warga keturunan Tionghoa yang kemudian dilarang pasca-G30S.
Pertama kali terbit pada 31 Januari 1951 dengan nama Suara Rakjat, Harian Rakjat memiliki jargon nyaring: ”Untuk rakjat hanja ada satu harian, Harian Rakjat.” Giok Tjhan memimpin Harian Rakjat dua tahun pertama, kemudian digantikan Njoto hingga akhir hayat.
Di tangan Njoto, yang kemudian diangkat sebagai Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda, HR dengan oplah yang diklaim sebesar 60 ribu eksemplar adalah pendukung kebijakan partai. Harian Rakjat tak ubahnya pamflet; tak ada edisi yang muncul tanpa kata ”rakjat” dan dukungan pada Manifesto Politik Soekarno. Bahasa yang digunakan, seperti dibahas penulis Lekra, Busjari Latif, dalam artikelnya di Harian Rakjat, adalah bahasa yang ”hemat, lintjah, dan terus terang sesuai kerangka Marxisme/Leninisme.”
Dalam buku kecil Pers dan Massa, kumpulan pidato Njoto saat ulang tahun Harian Rakjat 1956-1958, Njoto membandingkan surat kabar itu dengan Pravda, koran partai komunis Uni Soviet. Harian Rakjat disebutnya memiliki keunggulan utama, yakni para ”korespondennja jang lahir dari tengah-tengah massa”. Artinya, setiap buruh, setiap pelajar, dan setiap orang bisa jadi koresponden.
Dalam periode 1950-an itu Harian Rakjat memberikan ruang luas bagi karya seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang didirikan Njoto dan dua petinggi PKI D.N. Aidit dan A.S. Dharta serta seorang tokoh Murba, M.S. Ashar. Lekra lahir pada tahun yang sama dengan Harian Rakjat, ketika dirasakan gemuruh semangat revolusi mulai mengendur. ”Bahwa Rakjat adalah satu-satunja pentjipta kebudajaan dan bahwa pembangunan kebudajaan Indonesia-baru hanja dapat dilakukan oleh Rakjat,” begitu tertulis dalam Mukadimah Lekra.
Njoto, yang biasa menulis esai dan puisi, berdansa waltz dan foxtrot, serta meniup saksofon, sangat piawai memainkan peran utama di dua entitas kiri itu. Di Harian Rakjat, salah satu tugasnya sebagai pemimpin redaksi adalah menulis editorial koran. Menurut Martin Aleida, wartawan Harian Rakjat yang selamat dari pembantaian dan pemenjaraan, kadang ia menulis di kantor, meski sering menitipkannya lewat kurir. Njoto juga sering membantu merumuskan sudut pandang (angle) bagi artikel Harian Rakjat.
Sedangkan di Lekra, menurut Sabar Anantaguna, teman sekolah Njoto di Jember yang kemudian menjadi pengurus Lekra pusat, Njoto tahu bagaimana melayani seniman yang tak mau diatur dan dikomando. Dia sering hadir dalam rapat Lekra, meski tak banyak bicara. Kalau setuju, kata Anantaguna, Njoto diam. Kalau kurang setuju, Njoto baru angkat bicara dan selalu bilang, ”Apa itu sudah yakin? Coba dipikir lagi,” Anantaguna menirukan Njoto.
Njoto pun hati-hati menjaga keseimbangan ideologis di kalangan seniman. Meski ia pendukung Manifestasi Politik sejati Njoto melahirkan prinsip ”politik sebagai panglima” dan giat memobilisasi perlawanan terhadap para seniman non komunis pendukung humanisme universal Njoto tak setuju dengan upaya memerahkan Lekra sepenuhnya, seperti yang diinginkan rekan-rekannya di Politbiro. Anggota Lekra tidak semuanya komunis, dan ia ingin mempertahankannya begitu.
”Manikebu (akronim ejekan untuk Manifesto Kebudayaan) adalah sebuah konsep pemikiran. Konsep tidak bisa ditiadakan oleh tanda tangan di atas kertas,” kata Joesoef Isak, menirukan Njoto, sahabatnya. Ketika kemudian Soekarno melarang Manifesto Kebudayaan, Njoto tidak bersorak seperti kebanyakan pendukung komunis yang mengucap syukur.
Dalam ingatan Martin, Njoto pula yang menghapus nama Ernest Hemingway yang ia kenal personal dan film The Old Man and The Sea dari daftar film Amerika yang haram ditonton. Demikian kuat karisma Njoto hingga ada lelucon sendiri. Di kalangan penghuni Jalan Cidurian 19, rumah Oey Hay Djoen, kantor pusat Lekra, bila Njoto datang, para penghuni berdiri. ”Kalau Aidit yang datang, mereka tak mau melakukannya,” kata Martin.
Iwan Simatupang, sastrawan antikomunis asal Sibolga, pernah mencemaskan pengaruh Njoto yang dianggapnya lebih berbahaya daripada Lukman atau Aidit—karena kuatnya inteligensi orang yang disebutnya ”sok intelek dan sok filosofis” itu. Menurut dia, seniman besar seperti Rivai Apin, Basuki Resobowo, dan Henk Ngantung menjadi simpatisan komunis karena pengaruh Njoto.
l l l
Masa-masa keemasan Njoto sebagai pemimpin agitasi dan propaganda melemah ketika konflik ideologis antara Njoto dan Aidit memuncak. Saat itu PKI sudah mengklaim punya anggota lebih dari tiga juta. Setelah MPRS menabalkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, Njoto didaulat sebagai menteri. Kedekatannya dengan Soekarno Njoto adalah penulis pidatonya—mengancam posisinya di partai (baca ”Njoto dan Soekarnoisme” Red). Puncaknya pada 1964, seperti keterangan Joesoef Isak, ketika Njoto diskors dari seluruh jabatannya di partai, termasuk posisi Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda. Penggantinya, Oloan Hutapea, loyalis Aidit.
Konflik Njoto dan Aidit merembet sampai ke Harian Rakjat. Martin ingat, bulan-bulan terakhir menjelang G30S, Njoto sudah tak aktif lagi memimpin. Tapi konflik internal Harian Rakjat memanas. Mereka yang dari Sumatera dimusuhi awak redaksi yang berlatar belakang Pemuda Rakyat karena dianggap anak emas Njoto. ”Padahal karena kami lebih biasa berbahasa Melayu. Selain itu, Pemuda Rakyat tak begitu senang kepada seniman Lekra yang tak bisa diatur. Pemuda Rakyat lebih militan,” katanya.
Tapi demikian lekatnya Harian Rakjat dengan sosok Njoto, Aidit tak berupaya mencopotnya. Partai membuat harian umum baru, Kebudajaan Baru. Menurut Martin, koran baru ini muncul hanya 1-2 bulan menjelang G30S, sehingga tak banyak petinggi partai yang mengetahui. Pemimpin redaksinya Muslimin Jasin, anggota Comite Central asal Nusa Tenggara.
Seorang pemimpin PKI di daerah yang diwawancarai Saskia Eleonora Wieringa dalam buku Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia—mengaku jadi bagian dewan redaksi Kebudajaan Baru, yang dibuat untuk menandingi Harian Rakjat. ”Malam sebelum kup kami mengadakan rapat redaksi. Aidit datang dan mengatakan, ”Sekarang saya akan memulai sesuatu yang banyak kawan kita mungkin tidak suka. Tapi ini merupakan jalan pintas cita-cita kita,” katanya.
Sejarah mencatat, ”jalan pintas” Aiditlah yang mengubur dalam-dalam bukan cuma partai, tapi juga Lekra dan Harian Rakjat sekaligus. HR menerbitkan edisi penghabisan pada Sabtu, 2 Oktober 1965, dan Harian Rakjat Minggu (HRM) melakukannya sehari kemudian. Nomor buncit lembar seni-budaya itu memuat nama Banda Harahap sebagai pimpinan dewan redaksi, dengan penanggung jawab M. Naibaho dan beranggotakan sastrawan Zubir A.A, Amarzan Ismail Hamid, dan Bambang Sokawati Dewantara—putra bungsu Ki Hajar Dewantara. Seperti dikutip Taufiq Ismail dalam buku Prahara Budaya, ada sejumlah petunjuk di edisi itu akan situasi genting pasca-G30S, namun yang paling menarik adalah puisi ”Wong Tjilik” (yang menurut salah satu redaktur HRM, adalah karya Njoto) di pojok Tjabe Rawit, halaman tiga:
Makan tak enak, tidur tak nyenyak
Nasi dimakan serasa sekam, air diminum serasa duri
Siang jadi angan-angan, malam jadi buah mimpi, teringat celaka badan diri
Bukan salah bunda mengandung, salah anak buruk pinta
Sudahlah nasib akan digantung, jadi si laknat setan kota....
PRAHARA BUDAYA
Jika buku Prahara Budaya: Kilas Balik Offensif Lekra susunan Taufik Ismail dan
DS Moejanto bisa disebut sebagai â€Å“buku hitam Lekra, maka buku Lekra Tak Membakar Buku bisalah disebut sebagai buku putih Lekra.
Prahara Budaya diklaim Taufik Ismail sebagai â€Å“upaya meluruskan sejarah yang pernah dibengkokkan. Klaim itu dilontarkan Taufik saat peluncuran buku Prahara Budaya di Fakultas Sastra UI pada April 1995. Ketika itu, seorang mahasiswa sembari terisak bertanya: ”Apakah masih perlu juga pembalasan. Bukankah sudah cukup selama ini hukuman yang diterima mereka (maksudnya aktivis Lekra)?” (Media Indonesia, 2 Juli 1995)
Prahara Budaya dilansir pada 1995, 30 tahun setelah peristiwa 1965, rentang waktu di mana buku-buku sejarah yang beredar semua-muanya berisi stigma dan kampanye hitam terhadap PKI, Lekra dan semua hal yang tersangkut dengan keduanya. Tidak ada yang diluruskan oleh Taufik Ismail karena Prahara Budaya isinya segendang-sepenarian dengan isi buku-buku sejarah yang beredar selama 30 tahun sebelum Prahara Budaya diterbitkan.
Yang pasti, buku Prahara Budaya justru makin menghitam-hitamkan wajah Lekra yang sudah coreng-moreng dengan hitam jelaga yang dicipratkan secara laten oleh Orde Baru.
Sementara buku Lekra Tak Membakar Buku pantas disebut sebagai buku putih Lekra bukan semata karena sampul buku ini memang berwarna putih. Istilah buku putih biasanya digunakan untuk menjelaskan sikap resmi suatu lembaga (termasuk pemerintah) terhadap suatu isu atau topik tertentu, biasanya terkait dengan sesuatu yang kontroversial dan penuh silang sengkarut.
Bukan, buku ini bukan pernyataan/sikap resmi Lekra secara organisasi karena Lekra sudah tewas jauh sebelum buku ini terbit tanpa sempat membuat wasiat apalagi pleidoi. Buku ini bisa disebut sebagai buku putih (dengan tanda petik) karena seluruh isinya disusun berdasar riset terhadap lembar/rubrik kebudayaan Harian Rakyat yang memang seluruhnya digawangi oleh para aktivis Lekra.
Pembaca yang sudah mengkhatamkan Prahara Budaya dan belakangan membaca Lekra Tak Membakar Buku niscaya akan menemukan banyak sekali hal yang tak diungkapkan duet Taufik Ismail-DS Moejanto. Nyaris dalam segala aspeknya, Lekra tak punya wajah yang mulus di mata Prahara Budaya. Hanya ada Lekra yang berwajah hitam, bopeng-bopeng moralnya, penaka monster yang buas, seperti memedi yang pantas dijauhi oleh anak-anak.
Mari kita lihat beberapa kontras antara Prahara Budaya (selanjutnya ditulis PB) dengan Lekra Tak Membakar Buku (selanjutnya ditulis LTMB) dalam hal menggambarkan Lekra.
PB mencoba menegaskan kalau Lekra itu identik dengan PKI. Diksi menegaskan sengaja saya pakai karena apa yang dinyatakan PB hanya mengekor klaim resmi Orde Baru bahwa Lekra memang identik dengan PKI. Penegasan itu sudah muncul sedari sampul PB yang memasang anak judul: Kilas Balik Offensif Lekra/PKI. Pilihan menggunakan tanda hubung punya implikasi linguistik yang tidak sederhana karena tanda bisa dibaca atau dan sekaligus bermakna bahwa dua entitas yang dipisah oleh tanda itu sama persis atau bahkan identik (bandingkan dengan versi resmi Orde Baru yang juga menyebutkan G 30S/PKI).
PKI pernah ditulis dengan cara itu oleh Soe Hok Gie dalam studinya tentang Peristiwa Madiun 1948. Gie menulis PKI/FDR (Front Demokratik Rakyat). Tapi cukup jelas, FDR yang terdiri dari sejumlah partai-partai kiri pada waktu itu secara resmi memang mengabungkan diri kepada PKI yang waktu itu baru saja diambil alih oleh Musso yang baru kembali dari Sovyet.
Sementara LTMB menggunakan tanda untuk menggambarkan hubungan antara Lekra dan PKI. Tanda digunakan oleh penyusun LTMB untuk menggambarkan bagaimana PKI dan Lekra beriringan dalam sejumlah hal tapi keduanya tak kembar identik. PKI dan Lekra memang sepaham dalam banyak soal, seperti dalam isu anti-kapitalisme dan imperialisme.
Tapi, keduanya tidak identik atau Lekra tak pernah secara resmi menginduk dengan PKI. LTMB tidak mengatakan bahwa Lekra dan PKI sama sekali tak ada hubungannya. Hubungan antara Lekra dan PKI memang nyata-nyata ada. Tapi menyebut Lekra sebagai kembar identik dengan PKI atau onderbouw resmi PKI (macam Pemuda Anshor bagi NU atau Gerakan Pemuda Kabah bagi PPP) tak pernah bisa dibuktikan kebenarannya. Lekra tak pernah bisa di-PKI-kan, karena itulah PKI membuat Konferensi Seni dan Sastra Revolusioner (KSSR) yang merupakan wadah resmi seniman dan budayawan PKI. (LTMB, hlm. 52-58)
â€Å“Lekra tak pernah menjadi underbow PKI. Lekra adalah organisasi merdeka yang tak masuk dalam kendali komando PKI Walau tak bisa dipungkiri bahwa banyak pekerja budaya komunis yang menjadi anggota Lekra di pucuk-pucuk pimpinannya (LTMB, hlm. 61). …Menyebut Lekra bersih sama sekali dari pengaruh PKI adalah kesalahan fatal, tetapi menyebutnya menginduk kepada PKI juga keliru. Lebih tepat hubungan itu adalah hubungan kekeluargaan ideologi (LTMB, hlm. 63)
Frase â€Å“kekeluargaan ideologi yang digunakan LTMB untuk menggambarkan hubungan Lekra dan PKI ini senapas dengan frase sealiran politik yang digunakan Keith Foulcher dalam buku Social Commitment in Litterature and the Arts atau frase â€Å“keluarga komunis yang digunakan oleh Saskia Wieringa dalam buku Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia sewaktu menjelaskan hubungan antara PKI dan Gerwani yang juga gagal secara resmi di-PKI-kan. Istilah Keluarga Komunis oleh Antariksa dalam buku Tuan Tanah Kawin Muda: Hubungan Seni Rupa-Lekra disebut sebagai penggambaran yang lebih pas bagi hubungan-hubungan lentur daripada hubungan formal-organisatoris yang bisa diperintah semaunya.
LTMB sudah menjelaskan hal itu dalam bab Mukaddimah juga pada bab-bab selanjutnya secara lebih detail. Bisa dimengerti jika pembabaran tersebut sudah dimulai sejak bagian pembuka karena perkara tersebut memang merupakan titik yang krusial dan mendasar sebab dari situlah semua kampanye dan stigmatisasi Lekra identik dengan PKI berpangkal.
Dari hubungan Lekra dan PKI yang digarismiringkan oleh PB itulah maka Taufik Ismail dan DS Moejanto menyusun misalnya bagian kelima PB yang diupayakan untuk mencitrakan betapa para penyair Lekra memang menghamba pada Lenin dan Komunisme dan bahkan dianggap sudah tahu peristiwa 1 Oktober 1965. PB menyebut puisi penyair Mawie yang berjudul Kutunggu Bumi Memerah Darah yang dimuat pada 21 Maret 1965 pada lembar budaya Lentera di harian Bintang Timur sebagai bukti (saya kutipkan langsung dari PB, hlm 219) â€Å“karena rupanya dia sudah tahu sebelumnya. Maksudnya, penyair Mawie dianggap sudah tahu bahwa akan terjadi pertumpahan darah pada 1 Oktober 1965.
Saya kira itu tuduhan yang berlebihan karena bahkan tidak semua petinggi PKI tahu akan ada peristiwa 1 Oktober 1965. Argumen yang menyebut bahwa PKI adalah dalang peristiwa tersebut rata-rata menyebut peran Biro Khusus PKI yang merupakan organ non-struktural PKI dan dibentuk Aidit tanpa melalui rapat resmi. Jika Biro Khusus yang (kabarnya) merancang penculikan dan pembunuhan para jenderal saja tak diketahui petinggi PKI lainnya, apa lagi seorang penyair macam Mawie atau anggota Lekra lainnya yang secara organisatoris memang tak pernah menjadi organ resmi PKI.
Ini propaganda, saya kira, karena terlalu berlebihan menyebut Mawie tahu akan terjadi pertumpahan darah pada 1 Oktober 1965, apalagi PB tidak pernah menjelaskan argumen atas tuduhannya itu dalam sebiji kalimat pun. Dengan memvonis penyair Mawie sudah tahu peristiwa 1 Oktober 1965 jauh-jauh hari sebelumnya, kita dikesankan untuk percaya bahwa mereka semua memang terlibat, atau setidaknya, tahu.
PB tidak pernah (mungkin disengaja) menjelaskan bahwa puisi dengan nuansa â€Å“merah-darah tidak ada hubungannya dengan peristiwa 1 Oktober karena para penyair yang bersimpati dengan Lekra sudah terbiasa menggunakan metafora macam itu bertahun-tahun jauh sebelum 1965. Itu bisa dibaca dari puisi Njoto berjudul Merah Kesumba yang diterbitkan pada Maret 1961 atau puisi Roemandung berjudul Darah Merah di Wadjah Duka yang ditulis di Pematangsiantar pada April 1958 dan diterbitkan Harian Rakjat pada 7 Juli 1962. Dua puisi itu bisa dibaca ulang pada buku Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra 1950–1965 yang juga disusun oleh penyusun LTMB.
Hal lain yang tampak kontras antara PB dan LMTB adalah dalam soal kerja-kerja dan proses kesenimanan orang-orang Lekra. Secara sistematis, PB coba membangun kesan bahwa Lekra tak lebih dari serombongan seniman dan penulis yang kerjaannya cuma berpolemik, menghasut, menghujat dan mengganyang lawan-lawannya, terutama orang-orang dari kubu Manikebu (Taufik Ismail termasuk di dalamnya).
Kartun-kartun buatan orang-orang Lekra yang bernada ofensif dan gahar ditebarkan sedemikian rupa di banyak halaman PB untuk membangun kesan betapa kasarnya cara orang-orang Lekra dalam menyerang lawan-lawan ideologisnya. PB tak pernah menjelaskan bagaimana penghayatan ideologis atas karya-karya rupa itu digodok dan diperjuangkan lewat perdebatan sengit di sidang-sidang kongres Lekra yang berkeringat (lihat bab Senirupa dalam LTMB).
Dengan meyakinkan dan disertai klipingan berita-berita, LTMB menampilkan wajah Lekra sebagai sekumpulan seniman yang punya metode kerja kreatif yang amat serius dan metodologis. Lekra punya asas kerja yang disebut.
Angka satu di depan adalah arti bahwa perjuangan Lekra menempatkan politik sebagai panglima. Kemudian 5 di tengah adalah dasar kerja dan perjuangan Lekra: meluas dan meninggi, tinggi mutu idiologi dan tinggi mutu artistik atau 2 mutu, tradisi baik dan kekinian revolusioner, kreativitas individual dan kearfian massa, realisme sosial dan romantik revolusioner. Untuk melakukan lima hal itu dibutuhkan metode: turun ke bawah alias turba.
Maka jangan heran jika pada masanya para seniman Lekra dikirim ke kampung-kampung untuk mempelajari kehidupan rakyat. Mereka bukan hanya meneliti dan mengumpulkan bahan, tetapi tinggal bersama rakyat, makan dengan rakyat dengan makanan yang sama jenisnya. Pendeknya berkumpul hari demi hari bersama rakyat di pelosok-pelosok kampung. Ya, betul-betul hari demi hari karena mereka melakukan turba bukan sehari dua hari, tapi sampai berbulan-bulan lamanya, macam mahasiswa KKN kira-kira. Dan itu dilakukan secara massif, sistematis dan terorganisir. Tidak ada satu pun gerakan kebudayaan (sekali lagi gerakan, bukan perorangan) dalam sejarah Indonesia yang pernah melakukan hal ihwal demikian dengan begitu terorganisir.
Puncaknya, LTMB juga memaparkan betapa dalam hal isu-isu bacaan atau benda-benda cabul Lekra sebenarnya tidak lebih buruk atau tidak lebih baik dari Taufik Ismail, kreator utama PB. Kita tahu, Taufik Ismail merupakan juru kampanye paling utama dari gerakan anti sastra cabul, sastra syahwat, sastra kelamin, sastra lendir atau apalah sebutannya. Taufik Ismail menciptakan istilah Gerakan Syahwat Merdeka untuk menyerang segala hal yang mengutarakan kecabulan, ketidaksenonohan, atau perkelaminan, baik dalam sastra maupun film.
Hanya membaca PB, kita akan kehilangan kesempatan untuk menyadari bahwa PKI-Lekra amat getol mengampanyekan anti buku-buku cabul, majalah-majalah cabul, film-film cabul, sastra cabul hingga pakaian-pakaian cabul—kurang lebih sama dengan yang dilakukan oleh Taufik Ismail.
Pada bab Buku LTMB di halaman 475-476 kita baca informasi ihwal Wakil CC PKI Njoto yang pada 29 Desember 1954 naik mimbar di gedung bioskop Radjekwesi Bodjonegoro, Jawa Timur. Njoto tak mengepit berlembar-lembar kertas pidato, sebagaimana Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail lakukan di Taman Ismail Marzuki ketika berpidato ihwal Gerakan Syahwat Merdeka (GSM). Njoto, malam itu, berbicara mengenai sikap PKI atas demoralisasi masyarakat, khususnya bagi anak-anak pelajar. Njoto bilang: PKI menjokong setiap usaha jang akan memberantas demoralisasi, tidak sadja dikalangan peladjar, tetapi dikalangan manapun. Sekarang ini, tidak sedikit orang jang suka meremehkan pengaruh jg ditimbulkan oleh film2 tjabul, buku2 tjabul dan musik tjabul. Ibu2 dan bapak2, djuga guru2, lebih daripada saja tentu tahu betapa merusaknja barang2 tjabul itu bagi watak dan sifat anak2 kita.
Lekra cabang Jogja pernah membuat program melakukan sweeping atas pemakai baju-baju norak nekolim atau you-can-see. Bagi PKI dan eksponen Lekra, pakaian-pakaian cabul semacam you-can-see dan bikini, film cabul, sastra cabul, maupun majalah cabul bukan soal sepele. Ia adalah bagian dari arus revolusi kebudayaan yang mesti dibersihkan dari perikehidupan masyarakat.
Dan mereka konsisten dengan sikap penentangan itu. Ada sekira sepuluh tahun rentang antara pidato Njoto dan tindakan Panglima Daerah Angkatan Kepolisian X Jawa Timur di Surabaya, Drs Soemarsono, yang menyerukan bahwa disamping terhadap lagu2 ngak-ngik-ngok sebangsa the beatle, rok n roll, AKRI akan mengambil tindakan tegas terhadap mode2 pakaian jang berbau nekolim.
Pada 8 Juli 1961, Harian Rakjat bersikap keras terhadap film-film Amerika yang dianggap dipenuhi adegan mesum, seks dan mengajarkan kekerasan. Tulisan yang secara jelas menerangkan sikap mereka dalam hal tulisan dan tayangan seks dan kekerasan itu terpajang manis dalam judul Hanja Menghendaki Sex dan Kekerasan. (untuk melihat detail sikap Lekra atas film Amerika silakan baca LTMB, bab Filmhlm 254-270).
Majalah-majalah yang dianggap cabul seperti Playboy dirazia yang dalam bahasa kartun Harian Rakjat edisi 8 Agustus 1965 merupakan sampah-sampah berbau Amerika yang sepantasnya dibuang (bandingkan dengan beberapa Ormas yang mengatasnamakan Islam yang juga menyerbu kantor Playboy edisi Indonesia beberapa waktu silam).
Jika Taufik Ismail dan DS Moejanto menggunakan tanda hubung (PKI/Lekra) untuk menjelaskan keterkaitan antara PKI dan Lekra dalam segala aspeknya, bolehlah saya bilang bahwa tanda hubung yang sama bisa digunakan untuk menjelaskan hubungan dan semangat yang sama antara Taufik Ismail dan Lekra (Taufik Ismail/Lekra) dalam soal isu tulisan atau barang-barang cabul.
Kerja dan sikap Lekra semacam itu tak pernah diberi tempat dalam satu halaman pun buku PB yang disusun oleh Taufik Ismail dan DS Moejanto. PB tak pernah menjelaskan bahwa sebagai sebuah gerakan kebudayaan dan kesenimanan Lekra punya identitas, azas dan ideologi, hingga metode kerja yang sistematis dan didaktik. Dalam hal metode kerja yang membuat seniman-seniman Lekra turun ke pelosok-pelosok secara terorganisir dan massif (bukan atas inisiatif individual), Lekra bahkan tak punya padanannya dalam sejarah kebudayaan di Indonesia, bahkan jika dibandingkan dengan Manikebu sekali pun.
Membaca buku LTMB membuat kita setidaknya bisa mengerti dan tahu bahwa sebagai sebuah gerakan, Lekra bukan hanya bisa menyerang lawan-lawannya dengan kata-kata yang tajam dan kasar, tapi juga telah menghasilkan ribuan puisi dan prosa. Ribuan puisi dan prosa orang-orang Lekra adalah sumbangsih kebudayaan yang pantas untuk diberi tempat dan dikaji. Pemberangusan Lekra telah membuat ribuan puisi dan prosa orang-orang Lekra itu lenyap dan membuat karya-karya itu kehilangan peluang untuk dikaji dan dibaca sebanyak orang-orang mengkaji dan membaca karya-karya orang-orang Manikebu.
Untuk itulah, buku LTMB ini akan lebih lengkap jika dibaca satu paket dengan buku Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra 1950-1965 yang mengumpulkan sekira 450 judul puisi dari 111 penyair Lekra dan buku Laporan dari Bawah: Sehimpunan Cerita Pendek Lekra 1950-1965 yang menampilkan 100 cerita pendek yang ditulis oleh eksponen budaya Lekra untuk memberitahu bagaimana gaya realisme sosialis ditemukan diadaptasi dan dipraktikkan di lapangan kesusastraan Indonesia. Dua buku terakhir ini juga disusun oleh orang yang sama dengan yang menulis buku LTMB.
Buku LTMB memang tidak berpretensi untuk menjelaskan secara utuh sepakterjang Lekra. Buku ini hanya mencoba menampilkan seperti apa wajah Lekra berikut kiprah kebudayaan dan kesenimanannya seperti yang terpapar dalam lembar kebudayaan Harian Rakyat yang disebut Jenderal Achmad Yani pada 1964 sebagai koran yang dapat dibariskan didepan sebagai harian jang dinamis progresif dan revolusioner dapatlah selalu menggugah semangat Rakjat untuk tetap tjinta dan setia kepada tjita2 dan tudjuan pokok Revolusi Indonesia (LTMB, hlm. 80).
Lekra dalam LTMB ditampilkan apa adanya. Tak ada klaim meluruskan sejarah seperti yang diusung Taufik Ismail dan DS Moejanto saat menyusun PB. Yang ada hanya menampilkan banyak hal yang selama ini tak pernah dihadirkan dalam buku sejarah resmi yang diajarkan di sekolah-sekolah dan entu saja tidak juga dalam PB yang secara laten memang hanya menampilkan wajah garang Lekra saja.
Anda, sidang pembaca sekalian, yang akan menentukan sendiri mana yang lebih patut untuk dipercaya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar