Kamis, 17 Februari 2011

GUS DUR Ketua Dewan Juri FFI 1985

10 Agustus 1985
GUS DUR 
Jadi ketua dewan juri ffi '85 BANDUNG


SEJAK Abdurrahman Wahid memangku Jabatan ketua umum, PB NU, namanya meroket terus. Berbagai organisasi dan kegiatan mendaulat pria berusia 45 tahun itu menjadi ketua. Inilah di antaranya jabatan yang dipangkunya: ketua Dewan Kesenian Jakarta, ketua Majelis Ulama Indonesia, ketua Dewan Juri Festival Film Indonesia (FFI) 1985, dan terakhir diangkat sebagai wakil ketua Amirul Hujjaj Indonesia - yang mengharuskan ia ikut ke Tanah Suci di musim haji ini. Tapi tak semua jabatan Abdurrahman itu bisa diterima para ulama sepuh. Terutama kedudukan ketua Dewan Juri FFI. 

Berbagai surat protes berdatangan ke kantor PB NU, terutama setelah Gus Dur, begitu para kiai senior memanggilnya, muncul di televisi berdampingan dengan orang-orang film mengumumkan nominasi pemenang Piala Citra, pekan lalu. "Yah, beliau 'kan belum tahu masalahnya," kata Gus Dur menanggapi para ulama yang resah itu. "Kalau sudah saya jelaskan, biasanya tak ada masalah." la tak menyebutkan nama-nama ulama yang mengirim surat protes kepadanya. Kenapa Gus Dur bersedia menjadi juri film? "Film bukan urusan orang film saja. Masyarakat juga harus memperhatikan film," katanya. Ketika ditanya sejak kapan memperhatikan film, ia cuma ketawa. "Di Mesir dulu saya sempat menonton film-film Prancis yang bagus, yang tak bakalan kita tonton di sini," cerita Abdurrahman. Lalu, menonton film Indonesia? "Kalau saya mau saja. Dan, ternyata film kita cukup bagus," katanya memuji. Ia di antaranya menyebut film karya Sjuman Djaya, Teguh Karya, Slamet Rahardjo. Tentu saja, film itu lumayan, karena yang dinilai Abdurrahman adalah film yang sudah diseleksi.

Kisah kegemaran Gus Dur menonton film di Kairo itu juga ada dalam buku biografinya yang ditulis secara epik oleh Greg Barton dalam buku Biografi Gus Dur (2016). Barton menyatakan bahwa Gus Dur semasa di Kairo gemar menonton film di Bioskop. Film yang ditontong Gus Dur adalah film-flm Perancis, Inggris dan Amerika.

Kata Barton, pada masa itu, pertengahan 1960-an, suasana Mesir di bawah kekuasaan Presiden Nasser cukup bebas. Hingga akhirnya akses untuk berbagai kesenian termasuk film menjadi mudah. Berkah kultur yang terbuka itulah Gus Dur di sana menemukan surga perfilman.


Mengutip tulisan Ahmad Suaedy dari alif.id, kisah lain yang menyatakan bahwa Gus Dur seorang penikmat film adalah cerita selama Gus Dur mencuri-curi kesempatan untuk menonton film saat di Pesantren. Di Pesantren memiliki peraturan tidak memperbolehkan santrinya untuk menonton film.


Meski begitu, Gus Dur selalu mencari-cari kesempatan untuk dapat keluar menonton film. Menonton film di zaman itu biasanya diselenggarakan melalui layar tancap atau juga disebut Misbar (jika gerimis, maka nonton filmnya bubar).


Gus Dur semasa di Pesantren tak hanya menonton film saja, tapi juga menonton wayang. Gus Dur juga kerap mencuri kesempatan untuk keluar menonton wayang. Sepertinya Gus Dur memang mencintai dunia kebudayaan-kesenian. Maka dari itu tak heran kalau beliau punya concern yang cukup besar terhadap dunia kebudayaan.


Di laman website Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dalam artikel Gus Dur di antara Seniman, juga menceritakan bahwa Gus Dur sempat menjadi juri dari Festival Film Indonesia (FFI). Nampaknya Gus Dur sudah amat dikenal oleh banyak budayawan dan seniman sebagai seorang intelektual muslim yang punya rasa kesenian yang tinggi.


Namkanya DKJ juga telah menjadi sahabat bagi Gus Dur. Di sana, pada akhir tahun 1970-an, Gus Dur sering memberikan berbagai ceramah keseinan dan kebudayaan.


Persisnya pada Juni 1975, Gus Dur menyampaikan ceramah kebudayaan dengan judul “Kebudayaan Arab dan Islam.” Konon, peserta yang datang untuk menyimak ceramah itu penuh sesak mendengarkan paparan Gus Dur.


Demikianlah berbagai kisah yang menyebutkan kalau Gus Dur adalah seorang penikmat film. Penggemar film seperti Gus Dur tak hanya sekedar menonton, tapi juga menjadikan medium film untuk memahami kebudayaan yang dihadirkan dalam film tersebut.




Gus Dur, Baju putih


KENAPA GUS DUR suka FILM & POLITIK
Bagi banyak mahasiswa Muslim Indonesia, Kairo pada 1960-an adalah kota pilihan untuk menuntut ilmu. Mereka menganggap Universitas Al-Azhar–kampus tertua di dunia yang sudah berusia ribuan tahun–sebagai daya tarik terbesar dari Kairo. Universitas ini berabad-abad lebih tua daripada Oxford, Cambridge, Sorbonne, dan universitas-universitas tua lainnya di Eropa.

Al-Azhar adalah juga pusat dari sejumlah ide yang sangat modern dari dunia Islam dan di bawah pimpinan Muhammad Abduh, salah seorang yang masyhur sebagai perintis gerakan modernisme Islam, diperkenalkan di Indonesia oleh mereka yang pernah belajar di Al-Azhar dan banyak kaum intelegensia Muslim yang terbaik di Indonesia, berasal dari beberapa generasi mahasiswa Indonesia yang pernah belajar di Al-Azhar 

Semula Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sangat bersemangat dengan studinya di Al-Azhar, tetapi dia kemudian sangat kecewa oleh karena masa keemasan Al-Azhar telah mencapai puncaknya beberapa dasawarsa sebelumnya. Pada pertengahan 1960-an itu, tingkat pertama di universitas ini tidak menawarkan banyak hal yang baru bagi seorang lulusan sejumlah pesantren Indonesia yang baik.

Menurut Gus Dur, ketika dia tiba di Al-Azhar, dia diberitahu oleh pejabat-pejabat universitas itu bahwa dia harus mengikuti kelas khusus untuk memperbaiki pengetahuan mengenai bahasa Arab. Dari studinya di Jombang pada 1960, dia telah mempunyai sertifikat yang menunjukkan bahwa dia telah lulus studi yurisprudensi Islam, teologi, dan pokok-pokok pelajaran terkait, yang semuanya memerlukan pengetahuan bahasa Arab yang sangat baik, tetapi dia tidak memiliki ijazah yang menunjukkan bahwa dia telah lulus kelas dasar bahasa Arab.

Sebagai akibatnya, dia dimasukkan ke kelas yang benar-benar pemula. Banyak dari mereka yang baru dari Afrika dan hampir tidak tahu sama sekali abjad Arab, apalagi menggunakan bahasa itu dalam percakapan.

Sebaik reaksinya, Gus Dur tidak mengikuti kelas itu. Diingatnya bahwa oleh karena sepanjang tahun 1964, dia hampir tidak masuk kelas pemula itu, dia juga artinya tidak melakukan studi formal. Sebaliknya, dia malah menyalurkan hobinya mengikuti pertandingan sepak bola yang banyak terdapat di Kairo, membaca di perpustakaan-perpustakaan yang besar, menonton film-film Prancis, dan ikut serta dalam pelbagai diskusi di kedai-kedai kopi yang sangat menarik. Bila Al-Azhar merupakan kekecewaan bagi Gus Dur, Kairo, sebaliknya, sangatlah menyenangkan. Kota ini adalah kota besar pertama yang dikunjunginya dan dia pun terpesona olehnya.

Diceritakan dengan cerkas oleh Greg Barton, penulis biografi Gus Dur, dalam bukunya Abdurrahman Wahid: Muslim democrat, Indonesian president, a view from the inside (Sydney, Australia: UNSW Press, 2002)–edisi Indonesia berjudul Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (Yogyakarta: LKiS, 2003)–bahwa ketika berada di Kairo, Gus Dur berusia dua puluh limaan dan dia merasa bebas. Meskipun Al-Azhar cukup mengecewakan baginya, secara aneh tempat itu merupakan pengalaman yang membebaskannya, oleh karena dia dapat memperoleh kebebasan untuk menghabiskan waktunya dengan caranya sendiri. Dia tidak dihalangi oleh jadwal yang ketat, atau oleh orang-orang yang mengawasinya di kota-kota kecil di Jawa.

 Di Kairo, Gus Dur mendapati bahwa dia dapat menonton film-film terbaik Prancis walaupun dia harus menunggu film-film itu diedarkan dari Eropa. Selain menikmati film-film Eropa dan Amerika Serikat, Gus Dur banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan Universitas Amerika di Kairo. Tempat ini adalah perpustakaan terbesar yang pernah dilihatnya hingga saat itu. Meskipun dia besar di rumah yang penuh dengan buku, dan keluarga serta teman-temannya memungkinkannya untuk membaca jauh lebih banyak buku daripada kebanyakan teman sebayanya, kerap kali dia harus bekeja keras untuk mendapatkan buku-buku yang benar-benar ingin dibacanya.

Kairo adalah jagat yang berbeda. Perpustakaan-perpustakaan di sana penuh dengan buku, jauh lebih banyak daripada yang pernah dilihatnya sebelum dia ke kota ini. Bila Gus Dur tidak membaca perpustakaan Universitas Amerika, dia sering berada di perpustakaan Universitas Kairo atau di Perpustakaan Prancis. Dia masih ingat bahwa ketika itu dia membaca apa saja, tanpa memilah-milih tempat. Dia juga membaca di sekeliling rumah atau di tempat menunggu bus. Bila tidak ada buku, maka potongan surat kabar atau sebuah majalah tua dapat memuaskan dahaganya akan bacaan.

Gus Dur dapat membaca dengan cepat. Bahkan ketika masih belajar di pondok pesantren di Jawa, dia masih bisa menyisihkan waktu untuk kegemarannya membaca ini. Di Kairo, berkat kebebasan yang secara relatif dimilikinya dan jadwalnya yang tidak padat sebagai hasil dari caranya yang nakal dalam menghadapi kelas-kelas yang seharusnya diikutinya, dia bisa membaca sebanyak yang diinginkannya.

Oleh karena dia bisa memperoleh bermacam-ragam buku baru, demikian kenangnya, dia merasa bahwa cita rasanya dalam membaca cepat meluas dengan adanya penemuan-penemuan baru. Menurut Mona Abbaza dalam karyanya Pendidikan Islam dan Pergeseran Orientasi: Studi Kasus Alumni Al-Azhar (Jakarta: LP3ES, 1999), Di Kairo, Gus Dur membaca hampir semua karya William Faulkner. Barangkali Faulkner menarik hatinya karena  keeksotikan Amerika yang dipaparkan oleh penulis ini dalam novel-novelnya: Daerah yang nun dari pesantren Jawa.

Gus Dur juga membaca dan menyantap novel-novel Ernest Hemingway. Semasa masih di pondok pesantren, dia telah mengembangkan cintanya akan puisi Arab, tetapi dia lebih suka sastra Eropa, terutama prosanya. Namun begitu, dia juga membaca prosa dan puisi karya Edgar Allan Poe dan puisi-puisi John Donne. Dihapalnya sebagian besar dari puisi Donne yang berjudul “No Man is an Island”. Dia juga mulai membaca karya-karya Andre Gide dan Franz Kafka, juga karya-karya Leo Tolstoy, yang sebelumnya tak bisa diperolehnya, karya-karya Alexander Pushkin, serta novelis-novelis Eropa lainnya yang telah mulai dibacanya ketika masih di Jawa.

Menurut Gus Dur, dia membawa ke Kairo buku-bukunya yang paling berharga, termasuk karya-karya Karl Marx dan Vladimir I. Lenin, yang dibacanya kembali dan kemudian didiskusikan bersama sesama mahasiswa dan kaum cendekiawan di kedai-kedai kopi di kota yang besar ini.

Baginya, Kairo adalah kota hiruk-pikuk dan sibuk dengan kehidupan sastra, pencarian pengetahuan, dan ide-ide baru. Di bawah pemerintahan Gammal Abdul Nasser, terdapat lingkungan intelektual yang penuh optimisme dan relatif terbuka (Rodenbeck, 1998).

Walaupun Gus Dur tidak belajar di universitas-universitas Eropa, sebagaimana yang sangat diinginkannya, selama dia berada di Kairo, dia berkenalan dengan pemikiran Eropa dan dia mampu bertukar pikiran dalam lingkup yang mungkin tidak dapat dilakukannya di Indonesia.

Selain itu, Gus Dur dan sahabatnya, Mustofa Bisri (Gus Mus) juga aktif dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) dan membuat majalah bagi organisasi tersebut. Dia menulis secara teratur untuk majalah ini, sebagaimana juga dia menulis untuk majalah-majalah seperti Horison dan Budaya Jaya, ketika dia masih bermukim di Jombang tiga tahun sebelumnya.

Gus Dur juga secara teratur menyampaikan pidato dalam pertemuan-pertemuan mahasiswa Indonesia dan dengan cepat terkenal sebagai pembicara dan penulis esai yang jenaka dan provokatif. Topik-topik esai yang paling disenanginya adalah politik Indonesia, masa depan Indonesia, serta Islam dan modernitas.

Bersamaan dengan semua kegiatan intelektual ini, Gus Dur bisa juga memuaskan kegemarannya yang liyan: sepak bola. Namun, sebagaimana ciri khasnya, dia terus-menerus mempelajari, menganalisis, dan membedah permainan serta kekuatan dan kelemahan tim-tim sepak bola dan strategi mereka. Dia adalah penggemar sepak bola yang benar-benar tertarik pada strategi dan permainan olah raga ini.

Di Mesir yang rakyatnya gila sepak bola, Gus Dur bisa memuaskan dahaganya menonton dan mengikuti pertandingan sepak bola. Diingatnya bahwa dia bisa dengan mudah mengikuti pertandingan-pertandingan Liga Eropa dan berbagai pertandingan regional lewat liputan surat kabar dan radio. Juga banyak pertandingan sepak bola setempat yang dapat ditontonnya.

Gus Dur mungkin saja hanya mengikuti sebagian kecil dari kelas bahasa Arabnya, tetapi dia tidak pernah melewatkan ujian-ujian akhir. Hal ihwal ini bukan karena dia sengaja belajar agar dapat lulus ujian-ujian itu. Baginya, ujian-ujian itu tidak ada gunanya. Dia sudah fasih berbahasa Arab dan mempunyai kemampuan membaca yang kuat. Juga dia menghafal peraturan-peraturan dasar tata bahasa yang harus dikuasai sebelum seseorang dapat menguasai peraturan yang pelik mengenai penulisan bahasa Arab klasik.

Ironisnya, kedai-kedai kopi penuh asap rokok–seperti yang dilukiskan begitu hidup oleh sastrawan Najib Mahfudz dalam novelnya Karnak Cafe’ (2008) itu–yang sering dikunjungi Gus Dur menjadi “sekolah” untuk menyempurnakan pengetahuan bahasa Arabnya.
Dengan mengunjungi kedai-kedai kopi tersebut, Gus Dur dapat memperbaiki sebagian besar kelemahan-kelemahannya dalam kemahiran berbahasa Arab. Ketika pejabat-pejabat universitas membaca kertas kerjanya dalam ujian, mereka sadar bahwa mereka telah salah menempatkan mahasiswa ini di kelas yang ditujukan untuk memperbaiki pengetahuan dasar bahasa Arab mahasiswa-mahasiswa asing. Akhirnya, dia pun dapat memasuki Institut Studi Islam dan bahasa Arab dari universitas ini.

Karena harus menunggu sangat lama sebelum dapat memulai studinya, Gus Dur menjadi kecewa lagi. Baginya, institut ini tidak sesuai dengan namanya. Lagi-lagi dia terpaksa harus mempelajari banyak teks klasik, yang di Jawa dikenal sebagai kitab kuning. Sebenarnya ketika belajar di Jombang dan Magelang, dia telah mempelajari teks-teks ini. Dia juga kecewa karena pendekatan yang digunakan adalah menghafal. Sekali lagi, kelas-kelas ini membosankan bagi Gus Dur dan kembalilah dia turun ke jalanan.

Padahal, apabila dia datang ke Al-Azhar untuk program pascasarjana, mungkin pengalamannya akan berbeda. Al-Azhar ketika itu masih mempunyai sarjana-sarjana agama yang terbaik di dunia dan Gus Dur mungkin tidak akan merasa bosan apabila dia mendapatkan penasihat akademik yang sesuai untuk membimbingnya dalam hal memperkaya bacaan dan melakukan riset. Namun, tentu saja program sarjana yang diikutinya memang membosankan dirinya. Seorang mahasiswa yang bersungguh-sungguh masih bisa mendapatkan keuntungan dari program sarjana di universitas Al-Azhar. Banyak mahasiswa Indonesia lainnya membuktikan perihal ini (Abaza, 1999).

Namun demikian, pendekatan yang digunakan di universitas ini tidak menarik bagi Gus Dur, khususnya karena dia lebih tertarik pada apa yang dapat diperolehnya di luar universitas ini. Al-Azhar memang murni sebuah universitas Islam dan sangat bangga akan sejarahnya nan panjang. Universitas ini tidak mau menggabungkan unsur-unsur pendidikan modern Barat dalam program pengajarannya. Sebaliknya, dengan bangga universitas ini memberikan pokok-pokok pelajaran klasik, seperti yang telah diajarkan selama berabad-abad lamanya, dengan memprioritaskan hafalan tinimbang dengan analisis (Abaza, 1999).

Karena Gus Dur mempunyai daya ingat yang kuat, hafalan tentu saja sangat tidak menarik baginya. Di benaknya, Al-Azhar nampaknya telah terbenam dalam masa lampau. Walaupun Gus Dur, merasa kecewa dengan studi formal dan prestasinya yang tidak baik di Al-Azhar, dia menarik banyak manfaat dari lingkungan sosial dan intelegensia di sana. Gus Dur akhir menyelesaikan studinya empat tahunnya di Universitas Baghdad pada pertengahan 1970-an setelah mendapatkan beasiswa dari universitas itu.

Arkian, Gus Dur memang seorang yang memiliki beragam ilmu. Dia lancar berbicara Arab dan memilih pengetahuan yang mendalam tentang kebudayaan Arab, meskipun dia tidak pernah menyelesaikan studinya di Al-Azhar disebabkan keorganisasian di kampus itu yang (baginya) buruk. Meskipun demikian, Gus Dur mengikuti kursus studi Arab dan Syariah, serta mengadakan hubungan pribadi dengan para syeikh terkenal. Dikatakannya, bahwa dia mengikuti banyak halaqah dan pada dasarnya mengambil pelajarannya di luar universitas.

Gus Dur juga menghabiskan waktunya di Perpustakaan Nasional Mesir, Darul Kutub dan perpustakaan-perpustakaan Barat lainnya di Kairo yang banyak jumlahnya, seperti pusat Amerika, pusat Prancis, dan sebagainya. Senyatanya, bahwa dia tidak terdaftar resmi di Al-Azhar memungkinnya untuk bersikap kritis terhadap para ulama yang menjadi lebih bersifat pegawai pemerintah daripada pembimbing agama, seperti yang diungkapkannya.

Kairo memberikan kesempatan besar baginya untuk menikmati kehidupan intelektual tahun 60an. “Kami mengenal dan melihat dunia lewat Kairo,” ujarnya. Timur Tengah pada masa itu dibagi antara Beirut sebagai pusat bisnis dan Kairo sebagai pusat ilmu pengetahuan, (baik agama maupun sekuler).

Hidup di Kairo selama dua tahun telah memberikan Gus Dur kebebasan dan kesempatan untuk membaca, baik kitab-kitab turats (kitab-kitab kuning klasik) maupun literatur Islam modern. Dia juga dapat mengikuti pelbagai perdebatan yang menarik yang berlangsung antara kaum sekuleris, komunis, dan para pemimpin agama tradisional.

Meskipun dia tahu bahwa Presiden Nasser melarang partai-partai politik, tapi Gus Dur memuji periode Nasser, yang mengizinkan para cendekiawan untuk mengungkapkan diri mereka secara bebas di media massa. Dia mengikuti dengan penuh perhatian perdebatan para intelektual liberal Mesir seperti Zaki Naguib Mahmud, Soheir Al-Qalamawi, dan Shawki Deif. Diakuinya, bahwa dia didorong oleh perjuangan yang tengah berlangsung antara para penulis muda pembaru dengan kelompok yang lebih tradisional dari Al-Azhar.

Gus Dur sama sekali bukan seorang alim tradisional, dan dia sangat kritis terhadap para Azhari yang tradisional, yang nampaknya tidak menghargai tulisan-tulisan jurnalistiknya. Beberapa Azhari angkatan lebih tua mengatakan bahwa Gus Dur menulis mengenai terlalu banyak persoalan yang berlainan satu sama lainnya, seperti permainan sepak bola dan soal-soal remeh-temeh lainnya, yang bernada kontroversial dan menyentil bagi ulama. Gagasan-gagasannya secara keseluruhan kemungkinan juga bertentangan dengan pemikiran tradisional dalam organisasi Nahdlatul Ulama. Dalam konteks ini, Gus Dur kala itu dapat diteroka sebagai intelektual Muslim yang mempunyai kecenderungan pengikut Nasser, dalam arti dia membela supremasi bangsa tanpa mengabaikan pentingnya peranan umat Muslim.
 27 Juli 1985
Undangan ffi
SEBAGAI aktor tiga jaman yang sampai sekarang mengandalkan hidup dari main film, Raden Mochtar, 67, ternyata tak terusik dengan kerepotan Festival Film Indonesia (FFI) yang diselenggarakan di Bandung. "Walau saya tinggal di Bandung, dalam soal perfilman, saya masuk Parfi Jakarta," katanya. Karena di Bandung tidak tercatat, sementara di Jakarta mungkin sudah dilupakan, Raden Mochtar meragukan bakal menerima undangan untuk menghadiri FFI. Tapi ia bangga karena film dokumenter produksi Jawa Barat yang ikut meramaikan FFI dimainkan keluarganya. Film yang berjudul Nilai-Nilai Luhur itu dibintangi istrinya, Sukarsih, yang juga aktris kawakan, dan dua orang cucunya. "Sampai ada yang menyebut itu film borongan Mochtar, karena main sekeluarga," katanya. Raden Mochtar sudah main film -sejak 1936. Film Pareh (1936) dan Terang Bulan paling berkesan baginya. "Tapi kedua film itu belum saya lihat," ujarnya. "Waktu itu, tidak ada preview seperti sekarang. Begitu selesai main film, saya pulang ke Tasik. Apa komentar Raden Mochtar tentang aktris film sekarang? "Beraninya minta ampun. Mungkin ingin cepat tenar sampai berani buka-buka baju segala," katanya.


31 Agustus 1985
Pesta Kaum Koruptor ?
FESTIVAL Film Indonesia bukan pesta orang film. Tapi pesta para koruptor. Dicky Zulkarnaen, aktor pembantu terbaik dalam film Pemberang dalam FFI 1973, dua pekan lalu melemparkan "bom" itu. "Pernyataan itu saya kutip dari koran daerah," katanya kepada TEMPO. Yang dimaksudkan Dicky tentu saja FFI 1985, 3-10 Agustus di Bandung. Sehabis pesta pora itulah, ia memperoleh informasi dari wartawan daerah bahwa sebenarnya dana FFI tersebut Rp 2 milyar. "Nah, kalau benar begitu, padahal menurut panitia biaya seluruhnya hanya Rp 823 juta, jadi ke mana kelebihannya?" kata suami Aktris Mieke Widjaja ini. Dari Bandung memang ada reaksi. Kata H. Karna Suwanda, sekwilda Provinsi Jawa Barat, yang ditunjuk sebagai ketua Pelaksana Daerah FFI 1985: "Saya ambil hikmahnya saja, bahwa kritik itu baik, dan saya bersyukur kerja kami diawasi masyarakat." Pihak panitia bukannya mau cuci tangan. Penjelasan atau pertanggungjawaban Panitia Daerah direncanakan diberikan di depan DPRD Provinsi Jawa Barat, Rabu pekan ini. 


Adapun tentang jumlah dana, kata Suwanda, "Kalau jumlah itu benar, datangnya dari mana?" Menurut sekwilda itu, pemungutan dana FFI Bandung sudah dijalankan sejak tahun lalu. Yakni berupa pungutan lewat karcis bioskop, penjualan stiker, serta jasa giro dan deposito. "Uang itu kami masukkan ke Bank Pembangunan Daerah, daripada menganggur," tambahnya. Sabtu pekan lalu panita mengecek jumlah pemasukandana FFI ke BPD, di peroleh angka Rp 960 juta. Menurut Suwanda, "Memang masih berlangsung pemasukan dana dari sektor lain-lain tapi jumlah akhirnya tak akan mungkin mencapai Rp 2 milyar." Sementara itu, uang Rp 960 juta sudah klop untuk pembiayaan pesta para bintang itu. Perinciannya, Rp 136 juta untuk biaya persiapan. Lalu Rp 200 juta disediakan untuk membangun sanggar seni. Sisanya, Rp 624 juta, inilah seluruh ongkos pesta itu. Yakni dari biaya perbaikan gedung PWI Bandung Rp 3,5 juta (karena dipinjam untuk pusat informasi FFI), hingga ongkos pembuatan panggung Rp 75 juta, dan biaya sekretariat Rp 85 juta. Di kertas, perhitungan itu memang klop. 

Tapi Dicky berpendapat, perincian itu berlebihan. Biaya sekretariat yang Rp 85 juta itu misalnya, "Kok, sebesar itu, padahal panitia FFI 'kan bersifat sementara," katanya. Memang, besarnya biaya tiap acara itulah yang perlu dijelaskan. Umpamanya, biaya pawai artis yang hanya beberapa jam itu, tercantum Rp 32,3 juta. Yang lebih membuat Dicky jengkel, uang itu sebenarnya dikumpulkan dari dana masyarakat. "Mestinya, FFI sudah bisa berdiri sendiri," katanya. Soal dana dari masyarakat, "Penjualan stiker itu, misalnya bukan paksaan," kata Suwanda. Adapun pungutan lewat karcis bioskop, "Saya kira wajar karena masyarakat jugalah yang menikmati karya orang film." Tapi, bila dibandingkan misalnya dengan pungutan untuk Pekan Olah Raga Nasional, pungutan untuk FFI terasa sumbang. FFI, boleh dikata, merupakan arena promosi, untuk produk (film itu), yang bisa dikategorikan komersial. Maka, ada atau tak ada korupsi, menjadi tak adil apabila pesta pora ini memungut biaya dari masyarakat. Sebab, para bintang film itu ketika main sudah dibayar, dan filmnya dijual kepada masyarakat - bukan dltontonkan dengan gratis. Sementara itu, para atlet yang bertanding di PON tak dibayar. Maka, ada suara, antara lain dari Rachmat Hidayat, ketua Parfi Jawa Barat, agar FFI dikembalikan lagi kepada orang film itu sendiri. "Sudah saatnya FFI ditangani langsung oleh Yayasan Nasional Festival Film Indonesia seperti dulu lagi, dengan sederhana, tak melibatkan banyak panitia." Yayasan Nasional Festival Film Indonesia (YFI) ketika dibentuk, 1972, memang dimaksudkan sebagai penyelenggara tetap festival film. 

Tahun berikutnya FFI hasil kerja pertama YFI terselenggarakan. Tapi ini bukan satu-satunya kegiatan untuk memilih film dan bintang film terbaik. Pihak Persatuan Wartawan Indonesia cabang Jakarta (PWI Jaya) pun menyelenggara-kan milihan sendiri. Mungkin karena dianggap menyaingi FFI 1976, inisiatif PWI Jaya dibekukan, digabungkan dengan FFI. FFI makin menjadi setengah resmi, ketika 1982 YFI, dengan sebab yang tak jelas. dibekukan. Lalu, penyelenggaraan FFI diserahkan kepada Dewan Film Nasional (DFN), lembaga yang didirikan pada 1968 dan bernaung di bawah Deppen. Karena itu, kepanitiaan lantas melibatkan banyak pihak: dari gubernur hingga aparat pemerintah daerah lainnya. Tentu saja, ini bukan semata kesalahan orang film. Seperti kata Soemardjono, ketua Komisi Bidang Idiil DFN, "FFI mewah atau sederhana merupakan naluri estetika daerah penyelenggara. Bandung tak mau kalah dengan Yogyakarta, Yogya tak mau kalah dengan Medan." Apa boleh buat, bila kemudian panitia FFI cenderung jor-joran. Bagi Subrata, Dirjen RTF, ribut-ribut ini "wajar saja". Sebab, "Semua kegiatan pasti ada catatan tercecernya." Soalnya kemudian, festival yang lebih merupakan arena promosi ini, tapi yang membebani masyarakat dengan pungutan, masihkah bisa dianggap wajar. Bambang Bujono Laporan Hasan Syukur (Bandung) & Yusroni Henridewanto (Jakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar