UNTUK pertama kalinya, tahun 1993 tanpa Festival Film Indonesia. Dan itu bukan karena alasan di luar dunia perfilman, melainkan karena jumlah produksi film nasional tak cukup layak mendukung sebuah festival. Tapi pentingkah FFI itu? Berikut ini wawancara Leila S. Chudori dengan Garin Nugroho, 32 tahun, satu dari sedikit sutradara film yang masih mencoba berjalan optimistis. Ia pada tahun 1993 menyelesaikan sebuah film layar besar berjudul Surat untuk Bidadari. Filmnya yang pertama, Cinta dalam Sepotong Roti, mendapat penghargaan sebagai Film Terbaik Festival Film Indonesia 1991. Karya Garin, film cerita maupun film dokumenter, sering mendapat penghargaan di berbagai festival di luar negeri. Menurut Anda, mengapa sampai tak ada Festival Film Indonesia 1993? Sebagai seorang sutradara, buat saya tak ada masalah jika tak ada FFI. Tapi, sebagai seorang pengamat film dan orang film secara umum, buat saya ini memang menjadi masalah. Di masa transisi ini, pengamatan kita terhadap film sangat penting. Berapa pun jumlahnya, bagaimanapun jelek atau bagusnya film dari berbagai periode, kita harus tetap memberikan penilaian. Ini penting bukan hanya untuk mengetahui data statistik produksi, tapi juga untuk mengetahui kecenderungan perfilman kita setiap periode, setiap tahun. Kita harus bisa menangkap fenomena perfilman Indonesia, dan itu bisa dilakukan melalui FFI. Sayang, menurut saya, selama ini FFI hanya menjadi sekadar laporan bagaimana produksinya semakin tinggi, penontonnya sekian, dan lain-lain, tapi pertumbuhan yang tak sehat dalam perfilman Indonesia tak dibahas. Seharusnya, bagian-bagian yang tak sehat itu tetap dijadikan bahasan dengan pemikiran yang positif. Contohnya? Penurunan jumlah penonton itu sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 1986, tapi tak pernah diungkapkan secara resmi dalam FFI. Baru pada awal 1990-an, pers membuka keadaan ini dan mengkritik habis-habisan. Baru FFI bersikap lebih realistis, tapi terlambat. Kalau dari kualitas FFI itu sendiri? FFI tidak memperlihatkan karakter film pemenangnya. Tema penyelenggaraannya juga tak jelas, tidak memecahkan masalah apa-apa. Kita tahu Academy Awards yang memberikan piala Oscar di AS mempunyai ciri tersendiri. Film-film yang menang biasanya yang mudah berkomunikasi dengan penonton, tapi dengan nilai artistik tetap terjaga. Lain lagi Festival Film Berlin, yang memberi prioritas pada film-film yang memiliki nilai-nilai sosial dan politik, sedangkan Festival Film Cannes menekankan film-film yang berciri personal dan mutu artistik yang tinggi. Anda menyebutkan bahwa perfilman sedang dalam masa transisi? Fungsi film sudah mulai berubah, baik di Indonesia maupun di Barat. Film layar besar yang diputar di bioskop tidak lagi menjadi sentral tontonan audiovisual. Film mempunyai hubungan timbal balik dengan budaya pop lainnya, lagu, komik, dan sebagainya. Itulah sebabnya, beberapa tahun terakhir hampir semua film Hollywood berdasarkan novel-novel terkemuka. Film Indonesia yang hidup juga berdasarkan budaya pop, misalnya Saur Sepuh, yang dibuat berdasarkan sandiwara radio. Kemudian, kita sekarang memiliki berbagai ragam televisi swasta. Masyarakat Indonesia kini mengalami gejala yang dialami masyarakat AS pada tahun 1960-an. Di Indonesia kini tumbuh generasi muda yang menjadi generasi televisi. Saat ini mereka sedang asyik memilih acara-acara pilihan televisi swasta yang akan semakin bertambah. Kemudian sekarang ada hiburan audiovisual dalam bentuk piringan laser yang memungkinkan orang nonton film terbaru di rumah daripada antre karcis di bioskop. Jadi, generasi muda yang lebih suka di rumah ini masih kaget dengan pilihan yang begitu banyak di rumah. Baru sekitar 10 tahun nanti, akan muncul generasi yang bosan dengan hiburan di rumah. Itu sudah terjadi dalam masyarakat Barat. Misalnya, dibuat film serial TV Batman yang berasal dari komik, dan akhirnya dibuat film layar lebar yang lebih hitam, kompleks. Film-film drama diberi kepahitan dan kekerasan yang tak mungkin ditunjukkan lewat televisi. Di layar lebar, para pembuat film bisa lebih bereksplorasi karena teknologi yang berbeda dan kesempatan yang berbeda. Nah, nantinya generasi audiovisual yang baru ini adalah generasi yang punya kode-kode budaya yang berasal dari komik. Para pembuat film Indonesia harus bisa membaca gejala ini. Sekarang di TV baru tercipta acara yang acak-acakan, komedi, dan sinetron yang tak jelas arahnya. Tapi dengan sendirinya akan terjadi seleksi alam. Penonton akan lebih menuntut, dan ramalkan, para pencipta akan membuat komedi dan sinetron yang lebih jelas arahnya. Anda setuju dengan slogan "film Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri"? Sejarah perfilman Indonesia adalah sejarah di mana orang- orang film berusaha mendapatkan perhatian pemerintah secara politis. Sebaliknya, pemerintah Indonesia selalu memperlakukan film secara politis. Maka, FFI selalu diisi dengan slogan- slogan besar yang isinya pertempuran antara orang film dan pemerintah yang saling memanfaatkan. Tema-tema besar itu mungkin bagus hanya pada awal kemerdekaan Indonesia karena sejarah perfilman kita kan juga dimulai dengan propaganda. Tapi, setelah kita merdeka, hal-hal seperti itulah yang mematikan perfilman Indonesia karena perfilman Indonesia terlalu dibebani oleh slogan-slogan. Film hiburan dibebani oleh sesuatu yang, katanya, harus kultural edukatif. Film-film individual yang ekspresif akhirnya mati. Tema-tema seperti "film menjadi tuan rumah di negeri sendiri" bukan saja bombastis, tapi juga sebuah bumerang yang membunuh perfilman Indonesia. Jadi, apa yang harus dilakukan? Sebaiknya Indonesia membuat tema yang realistis. Seperti Singapura, yang tak punya tenaga kreatif, tak punya sineas atau sutradara seperti Indonesia atau India atau Jepang. Karena itu, mereka tak berambisi memiliki film-film Singapura yang hebat. Mereka membuat perangsangnya dulu, membangun laboratorium film. Lalu, periode berikutnya, merencanakan festival film internasional untuk mendidik apresiasi film masyarakatnya. Periode berikutnya, membebaskan sensor untuk masyarakat di atas usia 21 tahun. Artinya, kalau ada, film yang menggambarkan adegan seks pun mereka lepas untuk masyarakat yang dianggap sudah dewasa. Jadi, ada disiplin hukum untuk menonton. Saya yakin, dengan cara itu, dalam beberapa tahun Singapura akan memiliki sutradara dan aktor yang hebat. Kita ini tak mau rendah hati untuk menyadari kelemahan kita, dan memperbaikinya. Bagaimana dengan soal monopoli peredaran film? Persoalan monopoli bioskop dan peredaran film memang terjadi. Saya juga anti monopoli. Tapi, kalau pertempuran monopoli itu hanya menjadi pertempuran antara mereka yang berebut pasar, saya tidak setuju. Apakah pasar yang diperebutkan ini menjamin film Indonesia akan menjadi bagus, dan menjamin penonton akan disuguhi film asing yang bagus? Sampai sekarang, pertempuran itu tidak memberikan jawaban apa-apa. Mestinya kita menciptakan tawar-menawar yang jelas. Kenapa kita tidak tawarkan agar paling tidak satu bioskop memutar film-film yang dianggap berkelas atau film seni? Para pemilik bioskop harus tetap punya tanggung jawab, tetap punya investasi terhadap sesuatu yang kultural. Demam sinetron menguntungkan atau tidak? Yang jelas, orang film sekarang makmur dan laku keras meski kemakmuran ini semu. Akibatnya, dunia film mengalami kerepotan menarik orang film karena pembayaran di sinetron jauh lebih tinggi. Seorang sutradara yang sudah populer bisa mendapat honor Rp 3 juta untuk satu episode, yang syutingnya hanya sekitar tiga hari. Bayangkan kalau dia menyutradarai 26 episode, berapa honor yang diterimanya. Sementara itu, untuk menyutradarai film layar besar, paling-paling ia hanya mendapatkan Rp 20 juta untuk satu film, dengan masa syuting yang panjang dan lama. Tapi itu kemakmuran semu karena kepuasan bermain dan membuat sebuah film layar besar akan lebih mendalam dan mendasar dibandingkan dengan sinetron. Saya sendiri tahun depan akan membuat sinetron, tapi saya tetap akan membuat film layar besar. Apakah sinetron akan mematikan dunia perfilman? Bisa. Maka, dunia film harus mencari jawabannya, baik secara ekonomis maupun estetika. Sekarang ini tumbuh generasi baru yang, kalau pintar, bisa terampil dan profesional di bidangnya. Karena itu, kru saya saya suruh ikut syuting sinetron yang cepat menghasilkan uang. Tapi, untuk kepuasan batin, mereka ikut membuat film dokumenter di Irian atau ikut film saya. Jadi, generasi ini tahu diversifikasi pasar dan tahu lapangannya. Dan nantinya akan terjadi seleksi alam, mana yang lebih konsisten dan yang mana yang tak mampu. Apa benar masyarakat Indonesia hanya suka jenis film komedi konyol? Ini lingkaran setan. Saya kira memang sebagian masyarakat Indonesia gemar film-film seperti itu, tapi selera itu juga terbentuk karena para pemilik bioskop dan produser mau gampangan, membuat serta mengedarkan film-film seperti itu. Tapi di mana pun, di negara-negara Barat, penonton film bermutu hanya 10%, yang menengah 30%. Yang kita perlukan adalah bagaimana menaikkan penonton yang di bawah ke menengah, dan yang menengah ke atas. Memproduksi film-film untuk kelas bawah tetap perlu, tapi juga perlu menaikkan mutu teknologi, penyutradaraan, akting pemain film kelas ini meski untuk kelas bawah kan tidak berarti asal buat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar