Selasa, 08 Februari 2011

BOENGA ROOS DARI TJIKEMBANG / 1931

BOENGA ROOS DARI TJIKEMBANG

CINO MOTION PICTURES  

 
Pada awal dekade tahun 1930-an , film dengan teknologi bersuara sudah menjadi tren global, meski pun film bisu tetap masih dibuat.

Film bersuara adalah film dengan teknologi suara yang tersinkronisasi, yakni suara yang dicocokkan dengan gambar. Dan jangan langsung membayangkan sama dengan teknologi film zaman sekarang. Caranya adalah dengan memutar rekaman suara para artis film yang bersangkutan di belakang layar yang menirukan dialog dalam film. Demikian pula untuk menciptakan efek suara pada film, biasanya diputarlah rekaman musik instrumen  piano.

Sebagai karya perdana film bersuara  , Boenga Roos dari Tjikembang saat itu wajar mendapat kritik dari Andjar Asmara, seorang wartawan dan penulis naskah sandiwara, karena pembuatan teknologi suara yang menurutnya masih buruk.

O ya, film Boenga Roos dari Tjikembang pernah di-remake tahun 1975 oleh pasangan sutradara Fred Young dan Rempo Urip dengan judul  Bunga Roos dari Cikembang yang dibintangi oleh Yatie Octavia, Awang Darmawan, Deby Cynthia Dewi, Tuty Permanasari, Wendarto SA, Kusno Sudjarwadi, Chitra Dewi, S. Poniman.

Ceritanya sama dengan Boenga Roos dari Tjikembang. Hanya sedikit perubahan, antara lain nama-nama tokoh seperti Oh Ay Cheng menjadi Wiranata dan Guwat Nio menjadi Salmah. Yang jelas berubah jauh tentu saja teknologi suaranya yang sudah menggunakan teknologi film tahun 1970-an.

Film ini The Teng Chun bertindak sebagai sutradara dan kamera. Cerita ini dikarang oleh Kwee Tek Hoay dan pernah dipentaskan Union Dalia Opera pada 1927, meskipun cuma ringkasan cerita saja, yaitu tentang Indo-Tiongha. Dan film ini diberitakan oleh pengarangnya film Cina buatan Java ini adalah karya Indo-Tiongha.

Persiapan film ini yang paling berat adalah mencari pemain wanita orang Tiongha, karena profesi ini belum ada. Sedangkan di Tiongkok sendiri hal ini sudah lumrah. Film ini juga adalah bisnis orang Cina lagi ramai-ramainya ke Film. Mencontoh suksesnya membuat dan berbisnis film dari Sanghai. Maka dengan memakai pemain dari Union Dalia Opera diharapkan memudahkan hal ini, apalagi mereka sering mementaskan cerita ini di panggung. Dan juga memborong beberapa pemuda B.M.A perkumpulan musik. Tapi masalahnya adalah pemain wanita orang Tiongkoknya. Sehingga pencarian ini muncul di koran, supaya dapat memanaskan orang cina untuk terjun dalam Film. Karena dalam main atau bikin dan bisnis film dapat menaikan martabat orang Cina dalam hal kemajuan zaman. Maka media Cina juga mewartakan kabar gembira ini bahwa sudah mulai muncul perusahan film orang cina di Semarang, Batavia dan Surabaya.

Perusahaan Cina pertama yang berdiri adalah The South Sea Film Co. milik beberapa pengusaha cina di Batavia. Dalam koran Panorama diberitakan ini adalah Kongsi Pembikin film Tiongha. Beberapa pejabat dalam perusahaan ini ada yang sudah belajar di Sanghai mengenai industri film.

Ceritanya:
Oh Ay Ceng, pegawai perkebunan, terpaksa melepaskan Marsiti, kekasihnya yang setia, demi mengikuti kehendak ayahnya untuk kawin dengan Gwat Nio, putri pemilik perkebunan tempatnya bekerja. Marsiti sendiri mendorong Ay Ceng untuk patuh pada kehendak orangtua. Marsiti pergi dan meninggal. Ayah Gwat Nio membuka rahasia bahwa Marsiti itu adalah anaknya dari seorang piaraannya. Dari perkawinan Ay Cheng-Gwat Nio lahir Hoey Eng alias Lily yang tumbuh jadi gadis elok. Ia dipertunangkan dengan Sim Bian Koen, anak pemilik perkebunan Tjikembang. Sesaat sebelum perkawinan berlangsung, Lily meninggal. Bian Koen sangat masygul dan akan pergi ke Kanton untuk jadi tentara. Niat ini dihalangi Ay Cheng agar bisa menghadiri peringatan kematian Lily. Suatu hari menjelang keberangkatan ke Tiongkok, Bian Koen mengunjungi perkebunan Tjikembang dan sampai di pemakaman pribumi. Tiba-tiba ia berhadapan dengan "Lily". Terbukalah rahasia. Yang nampak oleh Bian Koen itu bukanlah Lily, tapi Roosminah, putri Marsiti dengan Ay Cheng. Roosminah akhirnya dipersunting Bian Koen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar