Rabu, 26 Januari 2011

WISJNU MOURADHY 1953-1988

WISJNU MOURADHY


Wisjnu Moeradhy dilahirkan di Sukabumi pada 25 Oktober 1921. Pendidikannya hanya sampai di Mulo kelas 2, dan pernah mengikuti kursus jurnalistik dan Akademi Wartawan secara tertulis. Sejak kanak-kanak ia gemar pada kesenian. Kegagalannya dalam sekolah karena ia sering turut bermain pada sandiwara kampung. Di tahun 1939 ia masuk Knil Bat. Genie Troepen pioner Comp. dan dalam militer pun ia turut menggabungkan diri pada sandiwara yang khususnya untuk hiburan para militer. Kemudian di tahun 1944 yang merantau ke Banjarmasin, untuk ikut pada Sandiwara Tokio kepunyaan saudara Aruman.  Dalam beberapa bulan saja di sana, disamping menjadi pemain ia dapat merebut kedudukan regisseur , hal ini bukan karena ia pandai bermain saja tapi juga dapat mengarang cerita. Beberapa hari sesudah proklamasi Kemerdekaan Tanah Air kita, Wisjnu kembali ke Jawa.

Seperti juga pemuda-pemuda lain ia turut terjun dalam kancah perjuangan. Sebelum merantau ke Bandjarmasin, Wisjnu turut bermain pada sandiwara WARNA DELIMA, di mana sdr Endang itu, bintang film dari Wong Brothers, untuk pertama menginjakkan kakinya dalam kesenian. Keluar dari Warna Delima, sdr Wisjnu turut sandiwara BULAN PURNAMA di bawah asuhan saudara Ananta Gaharasjah. Semua ini antara tahun 1942-1944. Dalam tahun 1948 ia turut dengan rombongan Fifi Young Toneel Kunst bersama Sdr Waldy, Sofia, Rd Endang, dan banyak pemain lagi yang kini sudah menjadi bintang film. Fifi Young Toneel kunts pada waktu itu di bawah pimpinan njoo Cheong Seng dan Rd. Ariffin.

Selain menjadi pemain sandiwara panggung dan penulis cerita, Wisjnu juga pernah menjadi regiseur sandiwara radio pada tahun 1947 di Jakarta, dan yang dimainkan adalah cerita gubahannya sendiri bernama KURBAN.

Di layar putih pun Wisjnu pernah turut beraksi. Film-film-nya adalah: TJITRA (SPF) sebagai figuran atau pemain ekstra, BANTAM produksi Tan & Wong (bijrol), BENGAWAN SOLO produksi Tan & Wong (Pembantu ekstra), THE LONG MARCH atau DARAH DAN DOA produksi PERFINI (bijrol), SEKUNTUM BUNGA DI TEPI DANAU (PFN), DARI RAKYAT UNTUK RAKYAT (Film dokumenter PFN) dan MERATJUN SUKMA(PFN).

Dalam karang mengarang saudara Wisjnu lumayan juga. Disamping membuat cerita pendek dan sandiwara kini ia sedang menyiapkan skenario film GADIS MENTAWAI. Tak diterangkan pada siapa akan diberikan cerita itu bila telah siap.

Wisjnu Moeradhy sekarang bekerja pada Perusahaan Film Negara pada seksi Urusan pegawai, bukan film cerita (Studio). Hal ini sangat bertentangan dengan bakat dan cita-citanya sebagai seorang seniman. Apakah kepala-kepala film cerita studio, Dokumentasi dan Journal dari PFN tidak mengetahui hal itu? Saya kira saudara-saudara Inu Perbatasari, Rasjid Subadi dan Kotot telah mengetahui tentang bakat dan cita-cita Wisjnu. Sungguh sangat sayang bila bakat dan cita-cita sdr tersebut dipatahkan di tengah jalan. Cakap rupa atau tinggi badan bukan menjadi ukuran film. Saya kira bila Wisjnu diberikan kesempatan dalam film, permainannya akan melebihi Rd. Endang, T. Djunaedy atau A. Hamid Arief. Menurut keterangan, Wisjnu sangat gemar memainkan rol-rol jahat, detektif, lucu dan sebagai orangtua. Apa lagi sebagai Don Juan, ini memang kesukaannya (ini kenyataan , jangan gusar saudara Wisjnu, BA.). Dalam DARAH DAN DOA Wisjnu memainkannya sangat tepat sebagai seorang pengkhianat. Dalam film itu ia mendapat sukses, karena penonton sangat benci padanya. Hal ini saya perhatikan sendiri.

Lirikan mata Wisjnu sungguh sangat tajam dan sewaktu-waktu ia dapat mengubah mukanya menjadi kejam. Suaranya ialah suara laki-laki sejati (mannelijk), bukan seperti Rd. Endang atau Turino Djunaedy.

Kepada PFN saya serukan, terutama pada saudara inu  Perbatasari, Bachtiar Effendi, dan Rd. Ariffien, berilah kesempatan kepada Wisjnu untuk mengembangkan bakatnya dalam film, berdasarkan hal-hal di atas. Dari sumber yang dapat dipercaya, PFN tak lama lagi akan membuat 2 film lagi, ialah “KEMBALI Ke MASJARAKAT” dan “TIMOR KUPANG”. Kami ingin lihat apakah tulisan ini mendapat perhatian dari orang-orang PFN, tidak suka membunuh bakat dan cita-cita seseorang, terutama orang yang sudah menjadi pegawai. Bersabarlah Wisjnu, kita lihat bersama-sama.

Perlu diterangkan di sini bahwa favorite-stars (bintang-bintang kesayangan) sdr Wisjnu Moeradhy adalah Humprey Bogart dan Jean Simmons.

 


BAGI mereka yang sering mengikuti majalah pasti pernah membaca tulisan manusia Lingga tersebut. Dan dia dikenal sebagai kritikus (?????) dan di samping itu dia juga adalah seorang redaktur  (corecctor?) dari majalah Duta Suasana.
 
Nama aslinya M. SUKAMTO yang kini disingkat di belakang nama samarannya. Entah dipungut di mana nama Rd. Lingga Wisjnu tersebut. Tapi biarlah tak perlu kita gugat.

Sebagai seorang kritikus, Lingga telah banyak menelorkan tulisan-tulisan yang menghantam ke kiri – ke kanan dengan “serampang dua belas”. Tapi sangat disayangkan, dalam tiap kritikannya, belum pernah kita jumpai “opbouwend kritiek”. Tambahan pula rasanya Lingga belum pernah meneliti dirinya terlebih dahulu, apakah dia cukup kuat atau tidak mempunya kelemahan atau tidak bercacat untuk menjaga diri. Pernah Lingga menghantam Munawar Kalahan dengan mencap-nya sebagai penulisan picisan. Karena Munawar seorang penulis terhormat, dia hanya membalas dengan sajak tapi halus. Yang memalukan waktu diadakan diskusi oleh Lembaga Seni Sastera. Dengan sangat berani Ajip Rosjidi mengupas dan menelanjangi Lingga.  Ajib mengatakan Lingga tak berpendirian dan tak beraliran. Selanjutnya Ajib mengatakan bahwa Lingga bukanlah Angkatan 45 atau pengikutnya dan juga bukan Angkatan sesudahnya. Lingga adalah angkatan “Lempung”, Lingga yang kita kenal dengan tulisannya yang pernah dengan filsafat tinggi dan psikologi (? –red) dalam-dalam, waktu itu melempem, tak dapat membalas, seperti tikus kena pukul. Qua Vadis lanpiye, Mas Kamto? Berhenti saja jadi penulis. Entah kalau di belakangnya ada berdiri orang-orang kuat  yang menjadi gurunya, yang mengemudikan dirinya di balik nama Rd. Lingga Wisjnu Ms, yang megah itu.

Aku berani mengatakan terus terang “person” Sukamto bukan seorang penulis/kritikus dan yang tak percaya pada dirinya sendiri. Hal ini dapat kubuktikan, ketika aku, Lingga dan Herman Pratikto memperdebatkan sebuah krangan Lingga cerita sandiwara “Datangnya Seorang Nabi”. Waktu itu Lingga meminta padaku agar cerita tersebut dimainkan oleh IKAPSI. Setelah kami bertiga berdebat, akhirnya kusanggupkan untuk memainkan cerita tersebut dengan tanggung jawab Lingga sendiri atas isi dan titel cerita itu. Memang dasar Lingga seorang yang tak berani bertanggung jawab dia lalu mengatakan: “Biar aku minta advice dan petunjuk lebih dulu dari Gajus Siagian”.

Belakangan kudengar cerita itu jadi dimainkan oleh IKAPSI dengan kepala: “KEHANCURAN”. Dan dalam pertunjukan itu nanti aku tidak turut campur tangan.

Memang ada kalanya orang yang kena kritik Lingga jadi melempem tak bisa mengadakan “kritikan kembali”. Dalam hal yang begini Lingga cukup banyak alasan dan orang yang dikritik lebih tolol daripadanya. Tapi Lingga belum pernah memikirkan: Tiap manusia tidak khilaf dari kesalahan dan dirinya sendiri tidak selamanya benar.

Aku telah banyak juga membaca tulisan Lingga yang pedas-pedas. Beberapa orang kawanku yag pernah kena serangan Lingga, minta aku menyerang Lingga. Tapi mengingat Lingga atau jelasnya Sukamto adalah kawanku juga, tak kuhiraukan segala permintaan kawan-kawanku itu. Aku tam mau “merugikan” sesama kawan. Entah kalau Lingga mulai menyerang aku.

Kritik yang sehat dan bertanggung jawab kita harus berani meletakkan nama kita atau setidaknya nama samaran  kita pada tulisan kita tersebut. Bila kita berani mengeritik orang lain mengapa kita tidak berani bertanggung jawab atas perbuatan kita? Aku akui Lingga adalah seorang yang berani dalam mengeritik dan pada setiap tulisan dibubuhi namanya.

Sangat kusayangkan dalam menghadapi aku, lempar batu sembunyi tangan. Sungguh aku tidak mengerti  atas perbuatannya yang pengecutdan tak bertanggung jawab itu. Dia berani mengertik aku tapi mengapa tidak berani berterus terang? Apakah ini bukan suatu perbuatan yang “busuk” dan “pengecut”?  Mengapa seorang Lingga yang sudah terkenal musti takut berhadapan dengan seorang penulis “sok menjunjung diri sendiri” seperti aku? Mengapa? Apakah “Manusia Iseng” ini yakin, yang aku tidak akan menyelidiki atau tidak berbuat apa-apa atas kritikannya yang disembunyikannya itu? Setiap yang berbau busuk, walau ditutup serapi-rapinya, pasti akan berbau juga.

PEMBACA tentu ingin tahu apa yang menjadi persoalannya bukan? Bukalah kembali majalah ANEKA No. 13 Tanggal 1 Juni 1954 pada halaman IV ada tulisan “Menginterviu Bintang Film” Sudahkah pembaca meneliti tulisan tersebut? Adakah pembaca menjumpai nama penulisanya? Ini adalah tulisan Sdr RD LINGGA WISJNU MS   yang menyerang aku. “Menginterviu Bintang Film” itu, kita jumpai tulisan: Bahan YSK. Jadi teranglah Lingga adalah “penulis tolol” yang tidak percaya  pada pikirannya sendiri. Semua orang belum tahu “kebobrokan” penulis Lingga ini dan kapasitasnya sebagai “manusia sok kritik” ini baik di dalam mengeritik sesuatu atau membuat resensi film. Kalau pengetahuan kita “nol besar” mengenai film, janganlah coba-coba menulis sesuatu yang berkenaan dengan film.

Telah beberapa kali Lingga menggugat para penulis biografie bintang film , hal ini karena dia pernah gagal dalam memulai menulis biografie seorang bintang film. Yang ditulisnya adalah biografi Lies Noor dalam majalah Duta Suasana. Ngawur dan merugikan Lies Noor. Sudah tentu Lies sangat marah pada “penulis tolol” ini karena Lies belum pernah diinterviu oleh Lingga. Lies mengirim surat terbuka kepada redaksi Duta Suasana. Lingga yang juga menjadi anggota redaksi dan mengetahui kesalahannya, tidak mau memuat surat bantahan Lies Noor. Tidak bertanggung jawab, bukan? Belakangan baru diketahui, biografie Lies Nor dicaploknya dari Aneka dan Ria, yang ditulis oleh Trisnojuwono. Apakah ini bukan perbuatan busuk?

Hal ini belum seberapa. Adalagi perbuatan yang tolol dan sembrono. Pernah Lingga hampir merugikan NV Endang, karena perbuatannya yang tak pernah difikirkan akan akibatnya. Bagi para penggemar majalah Duta Suasana tentu sering  menjumpai gambar pada majalah tersebut.   Linggalah yang membuat teks-nya dengan secara sembrono dan ngawur. Lebih-lebih pada  gambar bintang-bintang film atau salah sebuah adegan film. Ibaratnya gambar WD Mochtar ditulisnya Soekarno M Noor dan adegan film “Karina” ditulisnya “Senen Raya”. Yang sangat memalukan ialah mengenai sinposis film “Sriasih”, para pemainnya ditulis: T. Djunaedi, Chaidar Djaffar, Sukarno M. Noor, BM Amin, dan Mimi Mariani. Padahal seperti kita ketahui T. Djunaedi bertindak sebagai produser dan pemainnya adalah Mimi Mariani, Nazar Dollar, Chaidir Shakti, dan Ali Yugo. Oh, di domme Rd Lingga Wisjnu MS.

Di atas ada kusebutkan Lingga hampir merugikan NV ENDANG. Ini akibat kesembronoan lingga, entah ketololannya. Seperti kebiasannya Majalah Duta Suasana pada tiap tulisan cerita pendek dibubuhi gambar adegan film atau bintang film. Kebetulan pada sebuah cerita pendek dipasangi gambar Ade Ticoalu dan Sibarani dengan teks dibawahnya sangat sembrono. Tentu saja Sibarani menjadi marah menuntut kerugian. Dalam hal ini, Direksi NV Endang dan pemimpin Redaksi Majalah Duta Suasana minta bantuanku untuk membujuk Ade agar Sibarani menjadi sabar. Untung aku tak dapat menjumpai Ade, karena kebetulan waktu itu sedang ke Makasar. Sampai sekarang aku tidak tahu lagi mengenai hal ini.

Aku tidak mengerti mengapa Direktur NV Endang masih mau memakai seorang seperti Lingga. Padahal pemimpin redaksi Majalah Duta Suasana pernah mengatakan bahwa Lingga “een nick dooner” yang tenanganya tak dapat diharapkan. Kerja ini tak bisa dan kerja itu  tak  becus.

Mengenai tulisan Lingga “Pilihan Bintang Dunia Film Skandaleus” dalam Aneka baru-baru ini, benar-benar merupakan terompet yang ditiup segelintir manusia yang belakangan ini kedengaran bertentangan faham dengan Abdul Latief. Aku kurang percaya person Lingga yang menyetujui dan tak berpendirian, berani menulis serupa itu. Dia telah dipergunakan sebagai “vogelverschrikker” di tengah sawah yang bilamana tak digerakkan oleh tangan manusia tak dapat bergerak. Apalagi untuk menghantam “big-boss” dari Persari dengan mengatakan menjalankan politik kotor. Dalam hal ini bila Bung Djamal tak bersalah dan sebagai “bussines man” pasti tidak akan membiarkan hinaan Lingga serupa itu. Tak pernah terpikir oleh Lingga akan akibat dari tabiat “vogelverschrikker”nya dan orang yang “memperbudak” Lingga dalam tulisan di atas akan tertawa lebar melihat “slave-man”nya itu bekerja baik. Keledai yang dibebani garam dan dapat beristirahat dalam ari akan merasa senang setelah mendarat karena bebannya telah cair.  Tapi apa jadinya kalau keledai itu dibebani oleh pasir-pasir? Keledai memang tak dapat berfikir lebih luas seperti kita manusia, yang mengerjakan sesuatu dengan dipikir dulu.

Dalam tulisannya itu juga Linggamengatakan caranya Dunia Film membagikan hadiah cara kampung yang memalukan, dibawa juga dihadapan pers dan para undangan di luar negeri. Adakah orang kampungan bergaul dengan pers dan orang-orang luar negeri? Dapatkah orang-orang kampungan menghidangkan hidangan seperti apa yang telah melalui kerongkongan Lingga pada malam itu. (Wisjnu Mouradhy)


Berhubung dengan tulisan Saudara Wisjnu Moeradhy dalam Majalah Aneka tanggal 1 Agustus 1954 No. 16 tahun V dan Majalah Dunia Film tanggal 1 Agustus 1954 Nomor 24 tahun III, yang pada prinsipnya sebuah pengupasan atas diri Saudara Rd Lingga Wisjnu MS, maka untuk menghindarkan kesalahpengertian, baik oleh pembaca maupun bagi si penulis sendiri terutama, serta menjaga nama baik IKAPSI perlu beberapa penjelasan tentang ini kami kemukakan – sekedar menjernihkan suasana yang sudah bercampur aduk.
 
Justru si penulis tersebut di saat IKAPSI dalam persiapan untuk menyelenggarakan Malam Seni Drama  “Kehancuran” dikeluarkan tanpa pengusutan yang lebih lanjut sehingga membawa-bawa nama IKAPSI ke persoalan yang seharusnya di luar penulisan yang sewajarnya.

Dalam tulisan tersebut Sdr. Wisjnu Moeradhy telah mencoba hendak lebih menekan “Nama” Sdr. Lingga Wisjnu MS dengan me-medium-kan IKAPSI sebagai penguat kupasan yang sudah jadi “to the person” dengan tanpa lebih mendalami kedudukan situasi yang sebenarnya.

Untuk ini baiklah kami jelaskan dengan terlepas sama sekali dari rasa simpati atau antipati perseorangan atau hal-hal yang dapat mempengaruhi penulisan yang obyektif, bahwa:
  1. Cerita sandiwara “KEHANCURAN” yang pada mulanya bertitel “DATANGNYA SEORANG NABI” gubahan Sdr. Lingga Wisjnu MS tidak pernah diterima oleh Sdr. Gajus untuk diadpisir sebagai yang dikatakan oleh Sdr Wisjnu Moeradhy , justru di hadapannya dan Sdr. Herman Pratikto, Lingga memang merencanakan untuk minta adpis tetapi tidak pernah dilaksanakan. (keterangan Sdr. Lingga Wisjnu MS dan penjelasan Sdr. Gajus Siagian).
  2. Memang kepada Sdr. Wisjnu Moeradhy (aspek anggota pengurus IKAPSI di kala itu), Sdr. Lingga pernah menawarkan cerita tersebut untuk dipanggungkan. Sedangkan kekekendoran aktivitas Wisjnu Moeradhy di dalam organisasi sama sekali tidak diketahui oleh Sdr. Lingga Wisjnu MS. Jadi bukanlah maksud dari Sdr. Lingga “to the person” menyerahkan cerita tersebut tetapi untuk IKAPSI.
  3. Kemudian cerita tersebut oleh Sdr. Lingga Wisjnu MS diserahkan kepada Sdr. Imlhas Dyz’s untuk di-regisir dan untuk diteruskan ke sidang pengarang IKAPSI tentang kemungkinan dipanggungkan.
  4. Tentang titel KEHANCURAN itu adalah penamaan yang diberikan oleh Sr. Imlhas Dyz’s yang bertindak sebagai sutradara setelah melalui proses perubahan tiga kali sejak “Datangnya Seorang Rasputin”, “Hancurnya Extremis Agama”, dan akhirnya dengan positif bertitel “Kehancuran”, peninjauan dari banyak segi dengan persetujuan pengarangnya.
  5. Untuk penyelenggaraan drama ini oleh Badan Pengurus IKAPSI , setelah cerita tersebut disetujui oleh sidang pengarang, telah diadakan rapat sambil me-reorganisir badan pengurus lama yang sudah banyak “non aktif” termasuk Sdr. Wisjnu Moeradhy sendiri yang diundang tetapi tidak datang tanpa alasan sedikitpun, tidak terpilih oleh suara-suara di dalam badan pengurus yang baru.
Jadi pernyataan Sdr. Wisjnu Moeradhy dalam tulisannya tersebut bahwa dia tidak “campur tangan” di dalam penyelenggaraan senidrama ini, seolah-olah hendak mempersempit arti IKAPSI, adalah tidak beralasan sama sekali, dan hanya suatu usaha buat melarikan diri dari kecaman-kecaman rival-tulisnya di tengah persoalan lain.

Dan IKAPSI memang tidak pernah dan tidak menyerahkan kepercayaan, mempertanggungjawabkan, atau membawa Sdr. Wisjnu Moerady turut melaksanakan Malam Seni Drama – jadi memang tidak ikut di-campur tangan-kan”

GAYA MERAYU 1980 WISJNU MOURADHY
Director
PERMATA BUNDA 1974 WISJNU MOURADHY
Director
MELINDAS KARANG KAPUR 1986 WISJNU MOURADHY
Director
KOPRAL DJONO 1954 BASUKI EFFENDI
Actor
SILUMAN DAN TASBIH SAKTI 1983 WISJNU MOURADHY
Director
TUDJUH PAHLAWAN 1963 WISJNU MOURADHY
Director
MUSAFIR KELANA 1953 S. WALDY
Actor
DURJANA PEMETIK BUNGA 1983 WISJNU MOURADHY
Director
SATU CINTA SEJUTA RASA 1988 WISJNU MOURADHY
Director
KECUBUNG SAKTI 1988 WISJNU MOURADHY
Director
KARATE SABUK HITAM 1977 WISJNU MOURADHY
Director
TENGKORAK HITAM 1978 WISJNU MOURADHY
Director
DJUBAH HITAM 1954 WISJNU MOURADHY
Actor Director
SENEN RAJA 1954 S. WALDY
Actor
GARA-GARA 1973 WISJNU MOURADHY
Director
ABUNAWAS 1953 RD DADANG ISMAIL
Actor
SEMANGAT JANTAN 1988 WISJNU MOURADHY
Director
CINTA ANNISA 1983 USMAN EFFENDY
Actor
SATRIA 1985 WISJNU MOURADHY
Director
TUJUH PRADJURIT 1962 WISJNU MOURADHY
Director
SINGA BETINA 1987 WISJNU MOURADHY
Director
MUSTIKA IBU 1976 WISJNU MOURADHY
Director

Tidak ada komentar:

Posting Komentar