Rabu, 26 Januari 2011

SEMUA SAYANG KAMU / 1989



Cerita ini dari kisah nyata
Nuraini (Neno Warisman) melahirkan bayinya lebih awal dari Kartini (Uci Bing Slamet). Salahnya, dia mengambil bayi dari kamar bayi untuk disusui tanpa seizin suster. Kartini curiga, karena bayinya berambut tipis dan berdahi lebar, sementara bayi yang ada di sisinya berambut tebal. Kartini dan suaminya, Suripno (Dian Hasry), merasa yakin bahwa bayinya tertukar. Kejadian ini dilaporkan pada suster. Nuraini menolak dan berkeras bahwa bayi itu bayinya sendiri, apalagi setelah ada surat keterangan dokter. Masalah ini akhirnya sampai ke pengadilan. Dan Nuraini dinyatakan bersalah.



06 Januari 1990
Dewi dan cipluk yang lamban

DEWI-CIPLUK, SEMUA SAYANG KAMU Pemain: Neno Warisman, Iyut Bing Slamet, Eeng Saptohadi, Dyan Hasri Skenario/Sutradara: Ida Farida Produksi: PT Tobali Film KASUS bayi Dewi dan Cipluk merebut perhatian besar ma- syarakat dan tak tertandingi oleh bayi-bayi yang lain. Bayi-bayi perempuan ini lahir 28 Maret 1987 di Puskesmas Cilandak, Jakarta Selatan. Namun, sampai ulang tahunnya yang pertama, keduanya tetap menjadi berita besar di koran-koran. Keduanya tertukar di Puskesmas. Namun. Nuraini tetap tak melepaskan bayi Dewi yang sejak awal dibawanya pulang dan diakuinya sebagai anaknya sendiri. Sedangkan Kartini, yang sempat sebelas hari memelihara Cipluk dan kemudian mengembalikan bayi yang bukan dilahirkannya ini, menuntut supaya Dewi dikembalikan kepadanya.

Pengadilan, akhirnya, menyelesaikan sengketa ini. Sebenarnya, kepastian bahwa kedua bayi itu tertukar sudah positif lebih awal, ketika pihak Puskesmas mengaku teledor dan pemeriksaan tes darah menunjukkan bukti-bukti yang jelas. Masalahnya bertele-tele sampai ke pengadilan karena Nuraini, yang buta huruf, tak mau percaya pada sesuatu yang "ilmiah". Sidang pun menjadi menarik karena, sebagai terdakwa, Nuraini tak mematuhi tata krama pengadilan -- karena memang ia tidak tahu. Maka, ketika kisah nyata ini diangkat ke layar perak, dan film beredar hampir setahun setelah "heboh" itu berlalu, yang enak ditonton hanyalah tokoh Nuraini yang dalam film disebut Nurani. Apalagi, Penyanyi Neno Warisman memainkannya dengan bagus. Keceplas-ceplosan Nurani dan "kebodohannya" menjadi hidup, dan Neno berusaha menirukan dialek Betawi yang kadang pas. Selebihnya, film ini lamban dengan gambar-gambar yang miskin. Memang, serba sulit. Sutradara dihadapkan pada sikap mendua -- mungkin juga karena ada faktor lain -- yakni antara menyajikan cerita yang berdasarkan fakta dan mengaburkan kenyataan itu.

Ida Farida memirip-miripkan nama tokoh-tokoh (Nuraini menjadi Nurani, Ambam menjadi Abam, dan seterusnya) serta mengaburkan nama-nama tempat, misalnya, tempat kelahiran Dewi-Cipluk. Sikap ini membuat film menjadi tanggung. Mereka yang mengikuti secara saksama kasus Dewi-Cipluk -- lewat pemberita- an koran atau hadir di persidangan setelah melihat film ini, tentu, banyak menjumpai kejanggalan-kejanggalan. Setting keluarga Nuraini dikatrol lebih "berada", keadaan rumahnya rapi, dan sulit akhirnya untuk bisa percaya bahwa ibu itu buta huruf. Dramatisasi berlebihan. Lihatlah bagaimana obrolan ibu-ibu kaya yang ingin mengadopsi Cipluk. Adegan itu menyindir, maunya. Lalu, tangis petugas Puskesmas (dalam film disebut Rumah Bersalin) ketika harus berpisah dengan Cipluk, setelah setahun lebih diasuhnya. Tangis itu berlebihan dan jadi antiklimak, apalagi saat-saat film berakhir ketika Cipluk diambil ibunya. Mestinya ada cara lain untuk menggambarkan bagaimana keterkaitan emosi seorang perawat (yang tentu saja berpendidikan) ketika berpisah dengan Cipluk -- tanpa harus meraung-raung. Bagi mereka yang "lupa" atau sama sekali tak mengikuti kisah sebenarnya, barangkali akan bertanya-tanya apa pentingnya kisah ini difilmkan.

Cerita itu menjadi amat sederhana: dua bayi lahir di satu tempat, kedua ibunya di satu kamar, satu ibu salah mengambil bayi. Ialu tertukar dan perkara sampai ke pengadilan. Proses pembuktian bahwa bayi itu benar-benar tertukar -- misalnya test darah dan analisa-analisanya -- kurang ditampilkan. Padahal, itu penting dan bisa ditampilkan dengan teknik kilas balik. Kehadiran Dewi dan Cipluk, di awal dan akhir film, bisa saja mengharukan bagi mereka yang memang tahu bahwa itu Dewi dan Cipluk yang asli. Tapi, bagaimana dengan penonton yang tak tahu? Satu contoh kisah nyata yang tetap menarik untuk dilihat filmnya adalah Arie Hanggara -- perbandingan sengaja dibuat dalam lingkup film nasional. Tragedi kematian Arie ini juga ramai diberitakan di berbagai koran dan majalah. Ketika diangkat ke layar film, kehidupan keluarga Arie Hanggara digali kembali. Pada Dewi-Cipluk hal seperti ini tak ada. Putu Setia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar