PAGAR KAWAT BERDURI
Dalam sebuah kamp Belanda di masa revolusi fisik terdapat sejumlah pejuang yang ditawan. Hampir semua berusaha lari, tapi tidak mudah. Sementara yang lain mencoba mencari jalan untuk meloloskan diri, Parman (Sukarno M. Noor) justru bersahabat dengan Koenen (B. Ijzerdraat), salah seorang perwira Belanda. Parman mendekati Koenen dengan maksud mencari informasi. Parman mendapat informasi bahwa Herman dan Toto akan dibunuh. Mereka kemudian dibekali catut untuk memotong kawat berduri. Herman lolos, namun Toto tertembak. Kemudian Parman di jemput, sebab dialah yang mendalangi pelarian itu. Tahulah para pejuang, bahwa Parman ternyata bukanlah seorang pengkhianat.Kisahnya diangkat dari novel Trisno Yuwono. Adaptasi dari cerita pendek. Setelah film jadi, Trisnojuwono menjadikannya novel.
KEDJORA FILM
Bukan film perang murni. Melainkan drama di sebuah kamp tawanan Belanda yang isinya pejuang republik. Di sini diperlihatkan ada seorang Belanda yang simpatik (Serma Kunen). Ada pula plot pelarian yang dirancang tawanan dan bagaimana heroisme tetap bergelora meski badan telah terpenjara. Saat beredar di tahun ’60-an, film ini dikritik habis oleh PKI karena dianggap menganjurkan pandangan humanisme universal.
Film Pagar Kawat Berduri karya Asrul Sani dan Anak Perawan di Sarang Penyamun harus ditolak karena Sutan Takdir Alisjahbana. Terhadap film yang kedua memang ditolak oleh Badan Sensor. Tapi, terhadap film Pagar Kawat Berduri Bung Karno diminta menjadi ‘juri’. Bung Karno menonton dan berpendapat film Asrul Sani tidak ada masalah.
Lewat produksi Kedjora, Pagar Kawat Berduri (1961), Asrul mengangkat mengenai sejumlah pejuang yang ditawan Belanda dalam kampinan Koenen (diperankan Bernard Ijzerdraat/Suryabrata).
Salah seorang tawanan, Parman (Sukarno M Noor) justru berteman dengan Belanda kepala kamp itu, antara lain melayaninya main catur. Film ‘humanisme universal’ ini membuat Asrul terus dikecam pihak komunis, karena menampilkan penjajah Belanda yang baik hati. Pagar Kawat Berduri berdasarkan cerita karya Trisnojuwono, pengarang kenamaan kala itu mantan anggota RPKAD (Resimen Para Komando AD - kini Kopassus).
Pada 1960-an, kaum ‘kiri’ giat merayu siap saja agar masuk perangkap. Tapi, banyak yang tidak tergiur antara lain Sukarno M Noor, ayah si ‘Doel’ Rano Karno (kini wakil bupati Tangerang). Kala itu, BPS (Badan Pendukung Sukarno) yang kemudian dibubarkan oleh Bung Karno, menganut paham ini.
Ketika dunia film dipecah belah kalangan ‘kiri’, Sukarno M Noor bersama Usmar Ismail, Nisbach, Asrul Sani, bergabung dengan Lembaga Seniman dan Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi), untuk menentang kegiatan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) PKI.
Pada 1965, pengganyangan terhadap film-film Barat khususnya AS makin menjadi-jadi dengan terbentuknya Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS). Tidak tanggung-tanggung kalangan kiri ini kemudian membakar gedung pusat distribusi film Amerika yang sekarang ini letaknya di samping Bina Graha di ujung Jalan Veteran IV. Kala itu, gedung masih sederhana dan hanya satu tingkat. PAPFIAS kemudian bukan hanya melarang film-film AS, tapi juga film antek-anteknya, semua film negara Barat. Kala itu, film Italia dan Inggris juga digemari masyarakat.
Untuk membantu bioskop dari kekosongan penonton, masuklah film RR Cina, Rusia, Polandia, dan negeri-negeri komunis atau sosialis lainnya. Akibatnya bioskop-bioskop sebagian besar mati dan menjadi gudang. Karena masyarakat tidak senang menonton film-film dari negara komunis/sosialis yang isinya penuh propaganda.mr-republika.
Film ini menarik bukan saja karena konfrontasi imperialisme dan nasionalisme yang dimenangkan oleh yang terakhir. Film ini juga menarik karena konflik watak kalangan kaum republik yang berada dalam tahanan Belanda. Dan konflik ini digarap dengan baik oleh Asrul. Kita boleh menafsirkan bahwa konflik diantara para pejuang tersebut adalah sample dari konflik-konflik yang hidup di kalangan para republiken umumnya pada masa itu. Dan konflik-konflik itulah yang kemudian hari setelah pengakuan kedaulatan berkembang menjadi perpecahan di kalangan para pejuang.
Secara sinematography film ini terbaik diantara kisah-kisah revolusi lainnya. Pemain,, kerja kamera, lampu maupun penata artistik semua tampil dengan baik menciptakan suasana yang mendukung cerita. Mungkin terlalu berlebihan, tapi banyak yang bilang film ini adalah film terbaiknya Asrul.
Film ini lebih menarik lagi atas reaksi pers komunis dan golongan kiri, karena ditayangkan pada tahun 1963 saai itu adalah periode tatkala pers komunis amat gencar meyerang lawan politiknya terutama dalam bidang budaya, seperti dalam berita Bintang Timur menulis...Betapa jelasnya prinsip "Humanisme Universal" Asrul Sani pada akhirnya meletakan Koenen (tokoh tentara Belanda) ini paling atas dan menjadikan seorang "Pahlawan Kemanusiaan" karena pada akhirnya Kunen bunuh diri karena kegagalan usahanya dan jahatnya dengan prinsip "Humanisme Universal"nya Asrul Sani mengebiri patriotisme dan heroisme pejuang-pejuang revolusi...Sedangkan mereka dengan hati terbuka menonton film ini bahwa yang pahlawan bukan Kunen, melainkan Mayor Chairul . Kunen justru korban tragis dari kebodohannya mempercayai tugasnya di Indonesia sebagai missi suci. Tragisnya pula kesadarannya tentang penipuan atas dirinya oleh imperialisme justru datang dari mulut Letnan De Groot atasanya sendiri. Patriotisme pejuang justru di junjung tinggi oleh Asrul.
Film ini juga di tonton khusus oleh Bung Karno, disaat kaum kiri mengecaum untuk di larang oleh Badan Sensor dan menarik peredaran film ini dan Perawan Disarang Penyamun dari bioskop karena dinilai sarat dengan humanisme universal. Tapi badan sensor takut, maka Bung Karno menjadi juri, saat di tonton Bung Karno film ini tidak ada masalah.
Film ini sebenarnya bercerita tentang apa arti/makna dari perjuangan, baik dari sisi pejuang Indonesia yang tertawan Belanda ini, dari situ kita bisa melihat karakter dan artri/tujuan mereka berjuang, bahkan arti dari juru rawat perang yang ditawan juga bagi nilai-nilai kepahlawanannya. Dan difilm ini juga diberitahukan arti perjuangan/makna dari Belanda terhadap menjajah Indonesia. Satu kolonel berpendapat dengan kasih sayang, yang satunya beranggapan lain adalah karena karet, minyak, kopi dan uang (imperialisme/kapitalisme), bahkan dialoq mereka menarik ketika salah satu kolonel itu bilang, saya benci terhadap pejuang Indonesia, kalau mereka mati, mereka akan dianggap sebagai pahlawan, dan akan dikenang banyak orang. Tetapi kalau saya mati, saya tidak dianggap pahlawan dan orang akan membenci karena saya dibayar oleh orang (Ratu/Jendral) yang menginginkan harta di Indonesia (Imperialisme/kapitalisme).
Dalam sebuah kamp Belanda di masa revolusi fisik terdapat sejumlah pejuang yang ditawan. Hampir semua berusaha lari, tapi tidak mudah. Sementara yang lain mencoba mencari jalan untuk meloloskan diri, Parman (Sukarno M. Noor) justru bersahabat dengan Koenen (B. Ijzerdraat), salah seorang perwira Belanda. Parman mendekati Koenen dengan maksud mencari informasi. Parman mendapat informasi bahwa Herman dan Toto akan dibunuh. Mereka kemudian dibekali catut untuk memotong kawat berduri. Herman lolos, namun Toto tertembak. Kemudian Parman di jemput, sebab dialah yang mendalangi pelarian itu. Tahulah para pejuang, bahwa Parman ternyata bukanlah seorang pengkhianat.Kisahnya diangkat dari novel Trisno Yuwono. Adaptasi dari cerita pendek. Setelah film jadi, Trisnojuwono menjadikannya novel.
KEDJORA FILM
SUKARNO M. NOOR ISMED M. NOOR BERNARD IJZERDRAAT WAHAB ABDI MANSJUR SJAH |
Bukan film perang murni. Melainkan drama di sebuah kamp tawanan Belanda yang isinya pejuang republik. Di sini diperlihatkan ada seorang Belanda yang simpatik (Serma Kunen). Ada pula plot pelarian yang dirancang tawanan dan bagaimana heroisme tetap bergelora meski badan telah terpenjara. Saat beredar di tahun ’60-an, film ini dikritik habis oleh PKI karena dianggap menganjurkan pandangan humanisme universal.
Film Pagar Kawat Berduri karya Asrul Sani dan Anak Perawan di Sarang Penyamun harus ditolak karena Sutan Takdir Alisjahbana. Terhadap film yang kedua memang ditolak oleh Badan Sensor. Tapi, terhadap film Pagar Kawat Berduri Bung Karno diminta menjadi ‘juri’. Bung Karno menonton dan berpendapat film Asrul Sani tidak ada masalah.
Lewat produksi Kedjora, Pagar Kawat Berduri (1961), Asrul mengangkat mengenai sejumlah pejuang yang ditawan Belanda dalam kampinan Koenen (diperankan Bernard Ijzerdraat/Suryabrata).
Salah seorang tawanan, Parman (Sukarno M Noor) justru berteman dengan Belanda kepala kamp itu, antara lain melayaninya main catur. Film ‘humanisme universal’ ini membuat Asrul terus dikecam pihak komunis, karena menampilkan penjajah Belanda yang baik hati. Pagar Kawat Berduri berdasarkan cerita karya Trisnojuwono, pengarang kenamaan kala itu mantan anggota RPKAD (Resimen Para Komando AD - kini Kopassus).
Pada 1960-an, kaum ‘kiri’ giat merayu siap saja agar masuk perangkap. Tapi, banyak yang tidak tergiur antara lain Sukarno M Noor, ayah si ‘Doel’ Rano Karno (kini wakil bupati Tangerang). Kala itu, BPS (Badan Pendukung Sukarno) yang kemudian dibubarkan oleh Bung Karno, menganut paham ini.
Ketika dunia film dipecah belah kalangan ‘kiri’, Sukarno M Noor bersama Usmar Ismail, Nisbach, Asrul Sani, bergabung dengan Lembaga Seniman dan Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi), untuk menentang kegiatan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) PKI.
Pada 1965, pengganyangan terhadap film-film Barat khususnya AS makin menjadi-jadi dengan terbentuknya Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS). Tidak tanggung-tanggung kalangan kiri ini kemudian membakar gedung pusat distribusi film Amerika yang sekarang ini letaknya di samping Bina Graha di ujung Jalan Veteran IV. Kala itu, gedung masih sederhana dan hanya satu tingkat. PAPFIAS kemudian bukan hanya melarang film-film AS, tapi juga film antek-anteknya, semua film negara Barat. Kala itu, film Italia dan Inggris juga digemari masyarakat.
Untuk membantu bioskop dari kekosongan penonton, masuklah film RR Cina, Rusia, Polandia, dan negeri-negeri komunis atau sosialis lainnya. Akibatnya bioskop-bioskop sebagian besar mati dan menjadi gudang. Karena masyarakat tidak senang menonton film-film dari negara komunis/sosialis yang isinya penuh propaganda.mr-republika.
Film ini menarik bukan saja karena konfrontasi imperialisme dan nasionalisme yang dimenangkan oleh yang terakhir. Film ini juga menarik karena konflik watak kalangan kaum republik yang berada dalam tahanan Belanda. Dan konflik ini digarap dengan baik oleh Asrul. Kita boleh menafsirkan bahwa konflik diantara para pejuang tersebut adalah sample dari konflik-konflik yang hidup di kalangan para republiken umumnya pada masa itu. Dan konflik-konflik itulah yang kemudian hari setelah pengakuan kedaulatan berkembang menjadi perpecahan di kalangan para pejuang.
Secara sinematography film ini terbaik diantara kisah-kisah revolusi lainnya. Pemain,, kerja kamera, lampu maupun penata artistik semua tampil dengan baik menciptakan suasana yang mendukung cerita. Mungkin terlalu berlebihan, tapi banyak yang bilang film ini adalah film terbaiknya Asrul.
Film ini lebih menarik lagi atas reaksi pers komunis dan golongan kiri, karena ditayangkan pada tahun 1963 saai itu adalah periode tatkala pers komunis amat gencar meyerang lawan politiknya terutama dalam bidang budaya, seperti dalam berita Bintang Timur menulis...Betapa jelasnya prinsip "Humanisme Universal" Asrul Sani pada akhirnya meletakan Koenen (tokoh tentara Belanda) ini paling atas dan menjadikan seorang "Pahlawan Kemanusiaan" karena pada akhirnya Kunen bunuh diri karena kegagalan usahanya dan jahatnya dengan prinsip "Humanisme Universal"nya Asrul Sani mengebiri patriotisme dan heroisme pejuang-pejuang revolusi...Sedangkan mereka dengan hati terbuka menonton film ini bahwa yang pahlawan bukan Kunen, melainkan Mayor Chairul . Kunen justru korban tragis dari kebodohannya mempercayai tugasnya di Indonesia sebagai missi suci. Tragisnya pula kesadarannya tentang penipuan atas dirinya oleh imperialisme justru datang dari mulut Letnan De Groot atasanya sendiri. Patriotisme pejuang justru di junjung tinggi oleh Asrul.
Film ini juga di tonton khusus oleh Bung Karno, disaat kaum kiri mengecaum untuk di larang oleh Badan Sensor dan menarik peredaran film ini dan Perawan Disarang Penyamun dari bioskop karena dinilai sarat dengan humanisme universal. Tapi badan sensor takut, maka Bung Karno menjadi juri, saat di tonton Bung Karno film ini tidak ada masalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar