Film Ini diangkat dari karikatur populer di koran Kompas, yang sering menampilkan polemik apa saja, bahkan untuk menyindir situasi yang ada. Penulis skenarionya Marselli, Oom Pasikom (dengan judul dalam kurung Parodi Ibukota) jelas sekali membawa kritik keras terhadap gaya hidup Jakarta dengan cara bercanda. Film yang diinsipirasi dari kartun di harian Kompas ini membawa sketsa kehidupan Jakarta dari kacamata seorang vagabond. Komentar sosial yang memperlakukan realitas sekelilingnya seperti snapshot, mirip dengan sebuah karikatur satu panel di halaman koran.
Film ini dipenuhi sketsa dan sindiran terhadap gaya hidup Jakarta yang dipandang sebagai hipokrit dan tak tahu diri. Film ini tahun 1990, sedang Badut-Badut Kota tahun 1993 disutradarai Ucik Supra. Dalam kepopuleran Oom Pasikom dengan Badut-Badut Kota, tentu Om Pasikom sangat terkenal karena mengambil tokoh kartu di Kompas, semua orang sudah tahu akan tokoh karikatur koran ini dengan gaya yang khas dan juga isu yang diangkat. Sebelum menontonnya, orang juga sudah tahu apa yang akan diulas dalam film ini, tentu masalah sosial kota Jakarta yang unik. Hal ini sama dengan Badut-Badut Kota yang menampilkan sosial masyarakat Jakarta juga.
Didi petet, dinilai baik dalam memainkan Om Pasikom. Kesamaan yang lain adalah sama-sama juga menampilkan orang film (pekerja film) kedalam ke dua film ini. Di Om Pasikom menampilkan Mang Udel yang tengah sibuk Shoting, Om Pasikom muncul ngebut sehingga mengganggu aktivitas shooting, sang sutradara Mang Udel marah-marah dan mulai shoting kembali sampai dia tidak tahu posisi kamera yang ditutupi oleh badanya sendiri. Dalam Badut-badut kota di tampilkan tetangga Dedy Yusuf, seorang sutradara pemenang Citra dan menghargai profesinya, tetapi ia sekarang miskin dan tidak ada job. Kalau mang udel digambarkan suhu perfilman yang tengah sibuk, di Badut-Badut kota digambarkan perfilman nasional yang sudah mati. Banyak yang bilang Om lebih menarik dan lucu, sedangkan Badut-badut masih lucu, tetapi agak menjurus ke hal-hal sexual, atau bahasa yang dipakai untuk menyindir situasi yang ada dengan bahasa sexual. Ini yang membuat sebahagian orang sedikit benci, dengan kalimat...keramas...dalam film Badut-Badut kota.
P.T. SEPAKAT BAHAGIA FILM |
LENNY MARLINA DIDI PETIT FERRY ISKANDAR NINIEK L KARIM DEASY RARNASARI RACHMAT HIDAYAT AMI PRIJONO PURNOMO IDA KUSUMAH |
Sesuai dengan judulnya, Parodi Ibukota, film ini bagai sebuah sketsa masyarakat. Oom Pasikom, sopir taksi yang sangat sayang akan mobil pribadi tuannya, juga pelit karena penghasilannya yang pas-pasan. Sebaliknya, istrinya (Lenny Marlina) terlibat pergaulan atas dan konsumtif, karena usahanya menjadi makelar barang-barang perhiasan. Lewat kacamata Oom Pasikom ini, kisah-kisah "kecil" ibukota disampaikan: arisan nyonya-nyonya, istri yang kesepian, operasi kebersihan kota yang "tak adil" buat pengusaha kecil, mahasiswi yang sedang menulis skripsi dll
Film Ini diangkat dari karikatur populer di koran Kompas, yang sering menampilkan polemik apa saja, bahkan untuk menyindir situasi yang ada.
Penulis skenarionya Marselli, Oom Pasikom (dengan judul dalam kurung Parodi Ibukota) jelas sekali membawa kritik keras terhadap gaya hidup Jakarta dengan cara bercanda. Film yang diinsipirasi dari kartun di harian Kompas ini membawa sketsa kehidupan Jakarta dari kacamata seorang vagabond. Komentar sosial yang memperlakukan realitas sekelilingnya seperti snapshot, mirip dengan sebuah karikatur satu panel di halaman koran. Film ini dipenuhi sketsa dan sindiran terhadap gaya hidup Jakarta yang dipandang sebagai hipokrit dan tak tahu diri. Film ini tahun 1990, sedang Badut-Badut Kota tahun 1993 disutradarai Ucik Supra. Dalam kepopuleran Oom Pasikom dengan Badut-Badut Kota, tentu Om Pasikom sangat terkenal karena mengambil tokoh kartu di Kompas, semua orang sudah tahu akan tokoh karikatur koran ini dengan gaya yang khas dan juga isu yang diangkat. Sebelum menontonnya, orang juga sudah tahu apa yang akan diulas dalam film ini, tentu masalah sosial kota Jakarta yang unik. Hal ini sama dengan Badut-Badut Kota yang menampilkan sosial masyarakat Jakarta juga. Didi petet, dinilai baik dalam memainkan Om Pasikom. Kesamaan yang lain adalah sama-sama juga menampilkan orang film (pekerja film) kedalam ke dua film ini. Di Om Pasikom menampilkan Mang Udel yang tengah sibuk Shoting, Om Pasikom muncul ngebut sehingga mengganggu aktivitas shooting, sang sutradara Mang Udel marah-marah dan mulai shoting kembali sampai dia tidak tahu posisi kamera yang ditutupi oleh badanya sendiri. Dalam Badut-badut kota di tampilkan tetangga Dedy Yusuf, seorang sutradara pemenang Citra dan menghargai profesinya, tetapi ia sekarang miskin dan tidak ada job. Kalau mang udel digambarkan suhu perfilman yang tengah sibuk, di Badut-Badut kota digambarkan perfilman nasional yang sudah mati
Banyak yang bilang Om lebih menarik dan lucu, sedangkan Badut-badut masih lucu, tetapi agak menjurus ke hal-hal sexual, atau bahasa yang dipakai untuk menyindir situasi yang ada dengan bahasa sexual. Ini yang membuat sebahagian orang sedikit benci, dengan kalimat...keramas...dalam film Badut-Badut kota.
Sesuai dengan judulnya, Parodi Ibukota, film ini bagai sebuah sketsa masyarakat. Oom Pasikom, sopir taksi yang sangat sayang akan mobil pribadi tuannya, juga pelit karena penghasilannya yang pas-pasan. Sebaliknya, istrinya (Lenny Marlina) terlibat pergaulan atas dan konsumtif, karena usahanya menjadi makelar barang-barang perhiasan. Lewat kacamata Oom Pasikom ini, kisah-kisah "kecil" ibukota disampaikan: arisan nyonya-nyonya, istri yang kesepian, operasi kebersihan kota yang "tak adil" buat pengusaha kecil, mahasiswi yang sedang menulis skripsi dll
Menyimak karya-karya GM Sudarta serasa menyimak orang Jawa (atau Timur?) menuturkan kritik. Karya-karya kartun editorialnya (atau yang secara salah kaprah lebih diakrabi sebagai karikatur), dengan Oom Pasikom sebagai maskotnya, seperti memberi representasi yang melekat atas modus orang Jawa dalam menyampaikan kritik.
Pada sebagian besar karyanya, terasa kuat gejala eufemisme atau kramanisasi yang bertolak dari ungkapan dalam bahasa Jawa sebagai titik pijak ketika berolah kritik: Ngono ya ngono, ning aja ngono. Begitu ya begitu, tapi jangan begitu. Ungkapan ini, yang telah mengental sebagai ideologi, memberi semacam garis demarkasi bagi hadirnya sebuah kritik. Dua kata ngono pada bagian awal mengindikasikan kemungkinan dan peluang akan hadirnya sebuah kritik dalam pergaulan sosial kemasyarakatan. Di sini tersirat kemampuan manusia dan atau kultur Jawa untuk mengakomodasi datangnya kritik. Sedangkan kata ngono yang ketiga seolah menjadi kunci pokok yang menyiratkan pentingnya etika dan moralitas dalam tiap kritik yang muncul, tentu dengan subyektivitas khas Jawa. Artinya ada relasi yang komplementatif atas hadirnya kritik yang berpeluk erat dengan pentingnya aspek format, bentuk, dan kemasan kritik. Sehingga dalam mencermati kenyataan di atas, terlihat menyeruaknya pemaknaan wacana kritik (khas Jawa) yang bisa ditafsirkan sebagai paradoksal dan mendua. Pentingnya kritik (seolah hanya) ada pada kemasannya.
Ideologi kritik semacam ini kian menguat dan strategis untuk dihadirkan ketika Oom Pasikom muncul di tengah kuku kekuasaan otoritarianisme Orde Jawa (istilah GM Sudarta untuk Orde Baru) pimpinan Soeharto. Pemerintahan militeristik yang cenderung antikritik waktu itu bagai mengalih-ubah ideologi ngono ya ngono ning aja ngono secara eksploitatif menjadi “ngritik ya ngritik ning aja ngritik” atau “protes ya protes ning aja protes”. Situasi represif inilah yang kemudian memberi celah kemungkinan bagi karikaturis penyuka kostum warna gelap tersebut untuk bersiasat membangun kreativitas dengan kritik lewat karikatur di forum publicum, yakni harian Kompas.
Siasat ini, meminjam paparan Magnis Suseno dalam Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijakan Hidup Orang Jawa (1993), mengedepankan dua kaidah penting dalam relasi sosial manusia Jawa, yakni “prinsip kerukunan” dan “prinsip hormat”. Kaidah pertama menentukan bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa agar terhindar dari konflik. Sedang kaidah kedua menuntut agar cara berkomunikasi dan membawa diri selalu disertai sikap hormat yang ditunjukkan terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Keduanya merupakan kerangka normatif yang menentukan semua interaksi dalam masyarakat Jawa. Tujuannya jelas, memelihara harmoni atau keselarasan. Di selinap dua prinsip tersebut, “prinsip humor” menjadi ruh penting pada tiap karya karikatur Oom Pasikom.
Artefak dari siasat kritik ala orang Jawa eh, GM Sudarta itu terpampang dalam pameran tunggalnya yang dikelilingkan di beberapa kota dalam setengah tahun ini. Masing-masing di Bentara Budaya Jakarta, 4-12 Juli 2007, lalu di Bentara Budaya Yogyakarta (4-10 Agustus). Berikutnya di Kantor Perpustakaan Umum dan Arsip Kota Malang (21-29 Agustus), Balai Pemuda Surabaya (8-14 September), Danes Art Veranda, Denpasar (19-28 September), Galeri Semarang (4-14 November), dan terakhir di Galeri Soemardja Bandung (18-27 Januari 2008). Ada sekitar 250-an karikatur yang telah disiapkan, dan tentu ini disesuaikan dengan kapasitas masing-masing ruang (venue) tersebut. Rencana pameran keliling itu diawali dengan peluncuran buku 40 Tahun Oom Pasikom: Peristiwa dalam Kartun Tahun 1967-2007 di Bentara Budaya Jakarta. Ini merupakan buku antologi karikatur ketiga GM Sudarta, dan terlengkap, setelah antologi Indonesia 1967-1980 (1980) dan Reformasi (1999).
Kehadiran karikatur GM Sudarta sendiri bagi harian Kompas berposisi sebagai katup opini redaksi di samping katup lain yakni pojok Mang Usil dan tajuk rencana. Senjatanya jelas: gambar dengan pendekatan humor. Sejak kemunculannya pertama kali di Kompas 4 April 1967, kemudian awal dikreasinya maskot Oom Pasikom hampir empat tahun kemudian pada 20 Februari 1971, hingga sekarang ini, antara Kompas dan karikatur Oom Pasikom seolah menjadi paket tunggal yang integral dan mutual. Keduanya identik. Saling menunjang dan menguatkan untuk membangun identitas Kompas seperti yang kita kenali kini.
Lalu, kini, apa yang bisa dibaca pada karya-karya karikatur tersebut ketika mereka hadir berhamburan dalam kilasan waktu dan konteks budaya yang terus merambat?
Mengingat ruang kehadiran karikatur berada dalam forum yang menghadirkan realitas media yang diangkut dari realitas sosial, maka sejauh ini karya karikatur relatif banyak membopong fakta-fakta sosial budaya yang bertebaran di masyarakat. “Realitas karikatur” adalah pantulan dari realitas sosial budaya sebuah masyarakat tertentu. Pada titik inilah sebenarnya karikatur dalam surat kabar yang kehadirannya rutin, intensif dan kritis dari waktu ke waktu akan mampu menyediakan diri sebagai alat baca alternatif atas kecenderungan dan pergeseran sebuah masyarakat. Di dalamnya juga ada cara pandang kritis terhadap dinamika masyarakat itu. Oleh karenanya, karya karikatur mampu pula diposisikan sebagai alternatif perangkat historiografi visual dan/atau antropologi visual yang bisa dibaca dari sudut berbeda.
Lihat misalnya karikatur GM Sudarta yang dimuat Kompas pada tanggal 14 Desember 1970. Karya itu menggambarkan kasus Sum Kuning, seorang gadis penjual telur yang diperkosa oleh beberapa anak berandal di Yogyakarta yang diduga melibatkan anak petinggi, ningrat, dan terhormat di kota Gudeg. Peristiwa hukum itu kian heboh karena diduga ada upaya untuk menjadikan kasus tersebut sebagai dark number yang membuntukan solusi. Oleh GM Sudarta, kasus ini tidak digiring masuk dalam kotak hukum, melainkan memperluas perspektif persoalan dengan menempatkannya sebagai upaya pemberangusan kebebasan pers yang dilakukan oleh aparat hukum. Kala itu penyelidikan polisi tidak tuntas dan pers tidak bisa memberitakan hal yang sebenarnya. Digambarkan di sana ada papan bertuliskan “Peristiwa Sum Kuning” yang memiliki bayangan berbentuk serupa palu godam dan siap jatuh menimpa sosok manusia berbaju “kebebasan pers”.
Ada pula karikatur menarik yang dimuat pada tanggal 31 Januari 1987. Karikaturis asal Klaten, Jawa Tengah ini memvisualkan sosok aktris opera sabun Australia, Rebecca Gilling, pemeran tokoh Stephanie Harper dalam serial paling heboh waktu itu, Return to Eden yang ditayangkan oleh TVRI. Gilling seperti “diada-adain” acara dengan diundang oleh Kedutaan besar Australia di Jakarta dalam rangka menghadiri peringatan Hari Nasional Australia pada tanggal 25 Januari 1987. Sebenarnya itu peristiwa kecil dan “biasa-biasa saja”. Namun oleh GM Sudarta ditangkap sebagai sebuah upaya kultural dalam menghangatkan hubungan RI-Australia yang selalu penuh drama “benci tapi rindu”. Sosok Rebecca Gilling digambarkan tertawa lepas dan menjadi mediator bagi dua orang Australia dan Indonesia di kanan-kirinya. Di samping mereka bertiga, ada anak kecil yang denga usil nyeletuk: “Diplomasi Return to Eden”.
Begitulah. Dengan kepiawaian artistik yang mumpuni, sensibilitas sosial tinggi, wawasan terus terbarui, dan kritisisme yang tajam, sosok GM Sudarta telah menjadi dalang yang baik bagi lahirnya lakon-lakon karikatur bernas dan intelek di harian Kompas hingga 40 tahun. Karikatur-karikatur itu, saya kira, telah melampaui posisi dirinya tidak sekadar sebagai karya jurnalistik ataupun karya seni rupa, namun juga menjadi karya sosial yang tiap kepingnya menangkap lalu merekam gelagat tanda-tanda zaman. GM Sudarta, Oom Pasikom, telah menjadi saksi bagi dinamika dan semangat zaman yang terus bergerak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar