Senin, 24 Januari 2011

OOM PASIKOM / 1990

 

Film Ini diangkat dari karikatur populer di koran Kompas, yang sering menampilkan polemik apa saja, bahkan untuk menyindir situasi yang ada. Penulis skenarionya Marselli, Oom Pasikom (dengan judul dalam kurung Parodi Ibukota) jelas sekali membawa kritik keras terhadap gaya hidup Jakarta dengan cara bercanda. Film yang diinsipirasi dari kartun di harian Kompas ini membawa sketsa kehidupan Jakarta dari kacamata seorang vagabond. Komentar sosial yang memperlakukan realitas sekelilingnya seperti snapshot, mirip dengan sebuah karikatur satu panel di halaman koran. 
 
Film ini dipenuhi sketsa dan sindiran terhadap gaya hidup Jakarta yang dipandang sebagai hipokrit dan tak tahu diri. Film ini tahun 1990, sedang Badut-Badut Kota tahun 1993 disutradarai Ucik Supra. Dalam kepopuleran Oom Pasikom dengan Badut-Badut Kota, tentu Om Pasikom sangat terkenal karena mengambil tokoh kartu di Kompas, semua orang sudah tahu akan tokoh karikatur koran ini dengan gaya yang khas dan juga isu yang diangkat. Sebelum menontonnya, orang juga sudah tahu apa yang akan diulas dalam film ini, tentu masalah sosial kota Jakarta yang unik. Hal ini sama dengan Badut-Badut Kota yang menampilkan sosial masyarakat Jakarta juga. 
 
Didi petet, dinilai baik dalam memainkan Om Pasikom. Kesamaan yang lain adalah sama-sama juga menampilkan orang film (pekerja film) kedalam ke dua film ini. Di Om Pasikom menampilkan Mang Udel yang tengah sibuk Shoting, Om Pasikom muncul ngebut sehingga mengganggu aktivitas shooting, sang sutradara Mang Udel marah-marah dan mulai shoting kembali sampai dia tidak tahu posisi kamera yang ditutupi oleh badanya sendiri. Dalam Badut-badut kota di tampilkan tetangga Dedy Yusuf, seorang sutradara pemenang Citra dan menghargai profesinya, tetapi ia sekarang miskin dan tidak ada job. Kalau mang udel digambarkan suhu perfilman yang tengah sibuk, di Badut-Badut kota digambarkan perfilman nasional yang sudah mati. Banyak yang bilang Om lebih menarik dan lucu, sedangkan Badut-badut masih lucu, tetapi agak menjurus ke hal-hal sexual, atau bahasa yang dipakai untuk menyindir situasi yang ada dengan bahasa sexual. Ini yang membuat sebahagian orang sedikit benci, dengan kalimat...keramas...dalam film Badut-Badut kota.

P.T. SEPAKAT BAHAGIA FILM

LENNY MARLINA
DIDI PETIT
FERRY ISKANDAR
NINIEK L KARIM
DEASY RARNASARI
RACHMAT HIDAYAT
AMI PRIJONO
PURNOMO
IDA KUSUMAH

 

Sesuai dengan judulnya, Parodi Ibukota, film ini bagai sebuah sketsa masyarakat. Oom Pasikom, sopir taksi yang sangat sayang akan mobil pribadi tuannya, juga pelit karena penghasilannya yang pas-pasan. Sebaliknya, istrinya (Lenny Marlina) terlibat pergaulan atas dan konsumtif, karena usahanya menjadi makelar barang-barang perhiasan. Lewat kacamata Oom Pasikom ini, kisah-kisah "kecil" ibukota disampaikan: arisan nyonya-nyonya, istri yang kesepian, operasi kebersihan kota yang "tak adil" buat pengusaha kecil, mahasiswi yang sedang menulis skripsi dll

Film  Ini diangkat dari karikatur populer di koran Kompas, yang sering  menampilkan polemik apa saja, bahkan untuk menyindir situasi yang ada.

Penulis skenarionya Marselli, Oom Pasikom (dengan judul dalam kurung  Parodi Ibukota) jelas sekali  membawa kritik keras terhadap gaya hidup  Jakarta dengan cara bercanda. Film yang diinsipirasi dari kartun di  harian Kompas ini membawa sketsa  kehidupan Jakarta dari kacamata  seorang vagabond.  Komentar sosial yang  memperlakukan realitas  sekelilingnya seperti snapshot, mirip dengan  sebuah karikatur satu  panel di halaman koran. Film ini dipenuhi sketsa  dan sindiran terhadap  gaya hidup Jakarta yang dipandang sebagai hipokrit  dan tak tahu diri.  Film ini tahun 1990, sedang Badut-Badut Kota tahun 1993 disutradarai  Ucik Supra. Dalam kepopuleran Oom Pasikom dengan Badut-Badut Kota, tentu  Om Pasikom sangat terkenal karena mengambil tokoh kartu di Kompas,  semua orang sudah tahu akan tokoh karikatur koran ini dengan gaya yang  khas dan juga isu yang diangkat. Sebelum menontonnya, orang juga sudah  tahu apa yang akan diulas dalam film ini, tentu masalah sosial kota  Jakarta yang unik. Hal ini sama dengan Badut-Badut Kota yang menampilkan  sosial masyarakat Jakarta juga. Didi petet, dinilai baik dalam  memainkan Om Pasikom. Kesamaan yang lain adalah sama-sama juga  menampilkan orang film (pekerja film) kedalam ke dua film ini. Di Om  Pasikom menampilkan Mang Udel yang tengah sibuk Shoting, Om Pasikom  muncul ngebut sehingga mengganggu aktivitas shooting, sang sutradara  Mang Udel marah-marah dan mulai shoting kembali sampai dia tidak tahu  posisi kamera yang ditutupi oleh badanya sendiri. Dalam Badut-badut kota  di tampilkan tetangga Dedy Yusuf, seorang sutradara pemenang Citra dan  menghargai profesinya, tetapi ia sekarang miskin dan tidak ada job.  Kalau mang udel digambarkan suhu perfilman yang tengah sibuk, di  Badut-Badut kota digambarkan perfilman nasional yang sudah mati

Banyak  yang bilang Om lebih menarik dan lucu, sedangkan Badut-badut masih  lucu, tetapi agak menjurus ke hal-hal sexual, atau bahasa yang dipakai  untuk menyindir situasi yang ada dengan bahasa sexual. Ini yang membuat  sebahagian orang sedikit benci, dengan kalimat...keramas...dalam film  Badut-Badut kota.

Sesuai  dengan judulnya, Parodi Ibukota, film ini bagai sebuah sketsa   masyarakat. Oom Pasikom, sopir taksi yang sangat sayang akan mobil   pribadi tuannya, juga pelit karena penghasilannya yang pas-pasan.   Sebaliknya, istrinya (Lenny Marlina) terlibat pergaulan atas dan   konsumtif, karena usahanya menjadi makelar barang-barang perhiasan.   Lewat kacamata Oom Pasikom ini, kisah-kisah "kecil" ibukota disampaikan:   arisan nyonya-nyonya, istri yang kesepian, operasi kebersihan kota  yang  "tak adil" buat pengusaha kecil, mahasiswi yang sedang menulis  skripsi  dll



Menyimak karya-karya GM Sudarta serasa menyimak orang Jawa (atau Timur?) menuturkan  kritik. Karya-karya kartun editorialnya (atau yang secara salah kaprah  lebih diakrabi sebagai karikatur), dengan Oom Pasikom sebagai maskotnya,  seperti memberi representasi yang melekat atas modus orang Jawa dalam  menyampaikan kritik.

Pada  sebagian besar karyanya, terasa kuat gejala eufemisme atau kramanisasi  yang bertolak dari ungkapan dalam bahasa Jawa sebagai titik pijak ketika  berolah kritik: Ngono ya ngono, ning aja ngono. Begitu ya begitu, tapi  jangan begitu. Ungkapan ini, yang telah mengental sebagai ideologi,  memberi semacam garis demarkasi bagi hadirnya sebuah kritik. Dua kata  ngono pada bagian awal mengindikasikan kemungkinan dan peluang akan  hadirnya sebuah kritik dalam pergaulan sosial kemasyarakatan. Di sini  tersirat kemampuan manusia dan atau kultur Jawa untuk mengakomodasi  datangnya kritik. Sedangkan kata ngono yang ketiga seolah menjadi kunci  pokok yang menyiratkan pentingnya etika dan moralitas dalam tiap kritik  yang muncul, tentu dengan subyektivitas khas Jawa. Artinya ada relasi  yang komplementatif atas hadirnya kritik yang berpeluk erat dengan  pentingnya aspek format, bentuk, dan kemasan kritik. Sehingga dalam  mencermati kenyataan di atas, terlihat menyeruaknya pemaknaan wacana  kritik (khas Jawa) yang bisa ditafsirkan sebagai paradoksal dan mendua.  Pentingnya kritik (seolah hanya) ada pada kemasannya.

Ideologi  kritik semacam ini kian menguat dan strategis untuk dihadirkan ketika  Oom Pasikom muncul di tengah kuku kekuasaan otoritarianisme Orde Jawa  (istilah GM Sudarta untuk Orde Baru) pimpinan Soeharto. Pemerintahan  militeristik yang cenderung antikritik waktu itu bagai mengalih-ubah  ideologi ngono ya ngono ning aja ngono secara eksploitatif menjadi  “ngritik ya ngritik ning aja ngritik” atau “protes ya protes ning aja  protes”. Situasi represif inilah yang kemudian memberi celah kemungkinan  bagi karikaturis penyuka kostum warna gelap tersebut untuk bersiasat  membangun kreativitas dengan kritik lewat karikatur di forum publicum,  yakni harian Kompas.

Siasat ini, meminjam paparan Magnis Suseno dalam Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijakan Hidup Orang Jawa (1993),  mengedepankan dua kaidah penting dalam relasi sosial manusia Jawa,  yakni “prinsip kerukunan” dan “prinsip hormat”. Kaidah pertama  menentukan bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap  sedemikian rupa agar terhindar dari konflik. Sedang kaidah kedua  menuntut agar cara berkomunikasi dan membawa diri selalu disertai sikap  hormat yang ditunjukkan terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan  kedudukannya. Keduanya merupakan kerangka normatif yang menentukan semua  interaksi dalam masyarakat Jawa. Tujuannya jelas, memelihara harmoni  atau keselarasan. Di selinap dua prinsip tersebut, “prinsip humor”  menjadi ruh penting pada tiap karya karikatur Oom Pasikom.

Artefak  dari siasat kritik ala orang Jawa eh, GM Sudarta itu terpampang dalam  pameran tunggalnya yang dikelilingkan di beberapa kota dalam setengah  tahun ini. Masing-masing di Bentara Budaya Jakarta, 4-12 Juli 2007, lalu  di Bentara Budaya Yogyakarta (4-10 Agustus). Berikutnya di Kantor  Perpustakaan Umum dan Arsip Kota Malang (21-29 Agustus), Balai Pemuda  Surabaya (8-14 September), Danes Art Veranda, Denpasar (19-28  September), Galeri Semarang (4-14 November), dan terakhir di Galeri  Soemardja Bandung (18-27 Januari 2008). Ada sekitar 250-an karikatur  yang telah disiapkan, dan tentu ini disesuaikan dengan kapasitas  masing-masing ruang (venue) tersebut. Rencana pameran keliling itu  diawali dengan peluncuran buku 40 Tahun Oom Pasikom: Peristiwa dalam  Kartun Tahun 1967-2007 di Bentara Budaya Jakarta. Ini merupakan buku  antologi karikatur ketiga GM Sudarta, dan terlengkap, setelah antologi  Indonesia 1967-1980 (1980) dan Reformasi (1999).

Kehadiran  karikatur GM Sudarta sendiri bagi harian Kompas berposisi sebagai katup  opini redaksi di samping katup lain yakni pojok Mang Usil dan tajuk  rencana. Senjatanya jelas: gambar dengan pendekatan humor. Sejak  kemunculannya pertama kali di Kompas 4 April 1967, kemudian awal  dikreasinya maskot Oom Pasikom hampir empat tahun kemudian pada 20  Februari 1971, hingga sekarang ini, antara Kompas dan karikatur Oom  Pasikom seolah menjadi paket tunggal yang integral dan mutual. Keduanya  identik. Saling menunjang dan menguatkan untuk membangun identitas  Kompas seperti yang kita kenali kini.

Lalu,  kini, apa yang bisa dibaca pada karya-karya karikatur tersebut ketika  mereka hadir berhamburan dalam kilasan waktu dan konteks budaya yang  terus merambat?

Mengingat  ruang kehadiran karikatur berada dalam forum yang menghadirkan realitas  media yang diangkut dari realitas sosial, maka sejauh ini karya  karikatur relatif banyak membopong fakta-fakta sosial budaya yang  bertebaran di masyarakat. “Realitas karikatur” adalah pantulan dari  realitas sosial budaya sebuah masyarakat tertentu. Pada titik inilah  sebenarnya karikatur dalam surat kabar yang kehadirannya rutin, intensif  dan kritis dari waktu ke waktu akan mampu menyediakan diri sebagai alat  baca alternatif atas kecenderungan dan pergeseran sebuah masyarakat. Di  dalamnya juga ada cara pandang kritis terhadap dinamika masyarakat itu.  Oleh karenanya, karya karikatur mampu pula diposisikan sebagai  alternatif perangkat historiografi visual dan/atau antropologi visual  yang bisa dibaca dari sudut berbeda.

Lihat  misalnya karikatur GM Sudarta yang dimuat Kompas pada tanggal 14  Desember 1970. Karya itu menggambarkan kasus Sum Kuning, seorang gadis  penjual telur yang diperkosa oleh beberapa anak berandal di Yogyakarta  yang diduga melibatkan anak petinggi, ningrat, dan terhormat di kota  Gudeg. Peristiwa hukum itu kian heboh karena diduga ada upaya untuk  menjadikan kasus tersebut sebagai dark number yang membuntukan solusi.  Oleh GM Sudarta, kasus ini tidak digiring masuk dalam kotak hukum,  melainkan memperluas perspektif persoalan dengan menempatkannya sebagai  upaya pemberangusan kebebasan pers yang dilakukan oleh aparat hukum.  Kala itu penyelidikan polisi tidak tuntas dan pers tidak bisa  memberitakan hal yang sebenarnya. Digambarkan di sana ada papan  bertuliskan “Peristiwa Sum Kuning” yang memiliki bayangan berbentuk  serupa palu godam dan siap jatuh menimpa sosok manusia berbaju  “kebebasan pers”.

Ada  pula karikatur menarik yang dimuat pada tanggal 31 Januari 1987.  Karikaturis asal Klaten, Jawa Tengah ini memvisualkan sosok aktris opera  sabun Australia, Rebecca Gilling, pemeran tokoh Stephanie Harper dalam  serial paling heboh waktu itu, Return to Eden yang ditayangkan oleh  TVRI. Gilling seperti “diada-adain” acara dengan diundang oleh Kedutaan  besar Australia di Jakarta dalam rangka menghadiri peringatan Hari  Nasional Australia pada tanggal 25 Januari 1987. Sebenarnya itu  peristiwa kecil dan “biasa-biasa saja”. Namun oleh GM Sudarta ditangkap  sebagai sebuah upaya kultural dalam menghangatkan hubungan RI-Australia  yang selalu penuh drama “benci tapi rindu”. Sosok Rebecca Gilling  digambarkan tertawa lepas dan menjadi mediator bagi dua orang Australia  dan Indonesia di kanan-kirinya. Di samping mereka bertiga, ada anak  kecil yang denga usil nyeletuk: “Diplomasi Return to Eden”.

Begitulah.  Dengan kepiawaian artistik yang mumpuni, sensibilitas sosial tinggi,  wawasan terus terbarui, dan kritisisme yang tajam, sosok GM Sudarta  telah menjadi dalang yang baik bagi lahirnya lakon-lakon karikatur  bernas dan intelek di harian Kompas hingga 40 tahun. Karikatur-karikatur  itu, saya kira, telah melampaui posisi dirinya tidak sekadar sebagai  karya jurnalistik ataupun karya seni rupa, namun juga menjadi karya  sosial yang tiap kepingnya menangkap lalu merekam gelagat tanda-tanda  zaman. GM Sudarta, Oom Pasikom, telah menjadi saksi bagi dinamika dan  semangat zaman yang terus bergerak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar