Kamis, 27 Januari 2011

ARINI (Masih Ada Kereta yang Akan Lewat) / 1987



Film ini mengisahkan tentang apa yang terjadi jika seorang wanita karier yang punya kedudukan tinggi berhubugan dengan seorang pemuda yang berumur sepuluh tahun lebih muda. Lebih-lebih bila pemuda itu belum punya pekerjaan dan memiliki seorang ibu yang gemar mencampuri urusan rumah tangganya. Kisah ini diadaptasi dari buku novel karanagan Mira W. dengan judul yang sama. Film ini mempunyai sekuel Arini II yang juga diadaptasi dari buku novel karangan Mira W. dengan judul Biarkan Kereta Itu Lewat, Arini.

Kisah melodrama yang agak berbelit. Arini (Widyawati) "diperosokkan" oleh sahabatnya sendiri, Ira (Joice Erna), agar mengawini pacarnya, Helmi (Sophan Sophiaan). Setelah tahu akal bulus ini, Arini minta cerai dan meninggalkan anaknya, yang kemudian ternyata mengalami gagal ginjal. Ia bersekolah ke AS.

Di sini bertemu dengan Nick (Rano Karno), mahasiswa yang ingin lepas dari keluarganya sendiri yang otoriter, konservatif, dan berantakan. Nick sangat mencintai Arini, sementara yang terakhir ini harus terlibat banyak perkara dengan bekas suami yang kemudian ternyata jadi bawahannya, sahabat, dan anaknya. Sutradara Sophan Sophian yang berasal dari latar belakang keluarga aktivis politik, selalu menggunakan kesempatan untuk mengeluarkan kritik-kritiknya mengenai masalah sosial dan politik. Hanya saja kali ini dengan cara yang lebih halus.

SUTRADARA Sophan Sophiaan pun tak bisa menjawab dengan pasti kenapa film terbarunya, Arini, Masih Ada Kereta yang Akan Lewat ditonton banyak orang. Pekan ini Arini masih bertahan di Jakarta, padahal bersaingan dengan serial James Bond, The Living Daylights. Di Bandung, Semarang, Yogya, Surabaya, dan Medan, film itu berjaya di bioskop kelas utama, mengalahkan Nagabonar. "Ada faktor X yang tak bisa diketahui," kata Sophan. "Saya lebih percaya pada faktor nasib baik." Produser Arini, Hatoek Soebroto, menampilkan tiga kekuatan film ini, "Cerita yang menarik, staf produksi dan penyutradaraan yang berbobot, dan pemain yang cocok." Menurut Hatoek, tema film tidak begitu mempengaruhi, bintang juga tidak. "Faktor lain mungkin karena shooting film di Amerika Serikat, padahal menurut cerita asli seharusnya di Jerman," kata Hatoek lagi. Mungkin, dugaannya benar, walau di balik itu kecanggihan skenario dan seorang juru kamera justru paling menentukan. Film Ketika Musim Semi Tiba, yang setting ceritanya Jepang, sengaja dipindahkan ke Itaha. Tapi yang disorot justru ruang-ruang disko, rumah makan, ruangan dalam, yang mengesankan sembarang tempat, sementara keindahan Roma terlewatkan.

Dengan dua contoh itu, toh sukar menetapkan patokan yang jelas, kenapa sebuah film nasional menjadi box office. Menurut pengamatan Jhon Tjasmadi, Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) Jakarta, empat hal penting membuat orang mendatangi gedung bioskop. Judul film, ceritanya, sutradaranya, dan terakhir bintangnya. Arini masih ditambah satu unsur pendukung: ceritanya sudah banyak diketahui, karena dibuat berdasarkan novel yang laris. Film yang bercerita tentang daerah tertentu biasanya juga laris di wilayah cerita itu. Tjasmadi, yang baru saja diangkat menjadi anggota MPR, memberi contoh film Kabayan, yang box office di Jawa Barat. Namun, faktor cerita bukan jaminan sepenuhnya. Film terbaik FFI 87 Nagabonar ternyata tak mendapat pasaran di Sumatera Utara, khususnya Medan. Kenapa? "Membuat film yang khas daerah harus tahu perasaan orang-orang setempat," kata Tjasmadi. Perasaan orang Batak kabarnya telah dilukai oleh Nagabonar. Bukan saja karena tokohnya digambarkan bego dan bekas pencopet, juga lantaran nama Bujang sahabat Nagabonar sejak dipenjara. Bujang di daerah Minang memang panggilan populer buat anak lelaki. 

Tetapi karena film ini berlogat Batak, Bujang di sana berarti (maaf) kemaluan wanita. Karena alasan lain, Nagabonar juga tak begitu laris di Surabaya.

"Bagi masyarakat Surabaya, perjuangan ala Nagabonar amat lemah. Perjuangan model Surabayan lebih tinggi mitosnya," kata R. Indiarto, Ketua GPBSI Jawa Timur, yang juga Ketua I DPP GPBSI. "Arini jauh lebih unggul, karena tergolong film drama yang halus," tuturnya. Tapi, di Surabaya belum ada yang menandingi sukses Inem Pelayan Sexy 1, yang dibintangi Jalal. Hanya di Bandung Nagabonar meledak, dengan jumlah penonton 45.183 orang. Itu di atas film laris lainnya Penyesalan Seumur Hidup (13.510 penonton). Toh sukses Arini tak tertandingi -- menggaet 64.403 penonton. "Arini, sebuah terobosan baru dalam perfilman, ceritanya cukup baik," kata Ir. Chand Parwez Servia, Ketua I GPBSI Jawa Barat. Yang tetap teratas dalam jumlah penonton memang film komedi Warkop dan film dangdut Rhoma Irama. Kekuatan film-film Warkop pada bintang dan batasan produksinya: hanya dua film setahun dan selalu diedarkan bertepatan dengan Idulfitri dan Natal. Sutradaranya tak penting, dan cerita hanya kadang-kadang saja mempengaruhi. Lain dengan film komedi karya Nya Abbas, yang digemari karena kritik sosial dan sindirannya yang berbobot. Jadi, di sini sutradara dan skenario sangat menentukan. Sekarang, cara baru untuk menambah kelarisan film adalah masuk paket Apresiasi Film Nasional (AFN), yang ditayangkan TVRI sebulan sekali. Lupus, Johny Indo, dan Segi Tiga Emas, karena masuk dalam agenda AFN siaran September lalu, menjadi laris.."

Film Segi Tiga Emas baru masuk minggu kedua sudah menggaet sebelas ribu penonton di Jakarta," kata Damo Punyabi, produsernya. Tapi bagaimana sebuah film bisa masuk paket AFN? Sandy Tyas, pengelola acara ini, menjelaskan bahwa segala sesuatunya diputuskan dalam musyawarah antara TVRI dan KFT, Parfi dan PPFI. 

Dari sini dipilih empat film masuk AFN. "Acara ini bisa saja seperti promosi tapi bukan iklan," kata Sandy Tyas. Sophan Sophiaan terang-terangan mengkritik AFN. Dengan memasukkan cuplikan film yang akan diputar, "acara ini seperti Aneka Ria Safari dan Selekta Pop untuk promosi kaset itu," katanya. Sutradara yang suka bak-blakan ini mengatakan, apresiasi yang dulunya baik itu -- karena membahas proses pembuatan film -- sekarang melenceng ke iklan terselubung. Ada sumber TEMPO yang menyebutkan, satu film dalam AFN dikenai biaya Rp 3 sampai 5 juta. Apa kata Sandy Tyas? "Tak ada permainan itu. Malah, biaya liputan yang Rp 300 sampai Rp 500 ribu itu ditanggung TVRI. Itu untuk biaya kru TVRI dan mengedit," katanya. Tak lupa ditambahkannya, "Film Arini itu penontonnya banyak, karena disiarkan dalam acara apresiasi tersebut." Putu Setia, Muchsin Lubis & Tri Budianto S. (Jakarta)
15 Agustus 1987
Kereta cinta untuk arini

ARINI, MASIH ADA KERETA YANG AKAN LEWAT 

Pemain: Widawati (pemenang Citra), Rima Melati, Rano karno, Sophan Sophiaan 
Skenario: Eddy Suhendro 
Sutradara: Sophan Sophiaan 
MISALKAN Anda seorang ibu. Dan Anda telah merelakan sebuah ginjal untuk keselamatan putri kandung Anda. Tapi ketika anak itu pulih dari sakitnya, ia berkata pada Anda, "Terima kasih, Tante." Lalu ia memeluk wanita lain, seraya berkata, "Mama, Tante itu begitu baik." Nah, setajam apa sembilu yang rasanya mengiris sanubari Anda? Sanubari Arini, ibu yang malang itu, terlatih diiris sembilu. Dan ia untuk kesekian kali hanya menangis. Kemudian, ia menghindar dari kenyataan. Ia lari jauh, jauh sekali. Sutradara membawa Arini kembali ke Amerika Serikat, menemui Nick Wenas, pemuda yang 10 tahun lebih muda. Sebuah bisikan Nick terpatri di ingatannya, "Arini, masih ada kereta yang akan lewat. Aku menunggumu." Dan Arini mengejar kereta itu. Kereta kehidupan yang baru. Inilah film garapan Sophan Sophiaan yang berkisah tentang sejumah korban kehidupan rumah tangga, dalam penyajian yang padat dan tak bertele-tele. Kisah tentang cinta -- ketulusan dan penyelewengan tanpa kesan cengeng. Tentang duka seorang wanita, tanpa mengeksploitasi tangis dan air mata. Tentang kecemburuan tanpa kekonyolan. Lalu, gambar yang bagus dan musik yang mengisi. Dibanding karya Sophan sebelumnya, misalnya Di Balik Dinding Kelabu (hanya lolos seleksi 15 film unggulan), penggarapan Arini lebih menukik, lebih matang. Awalnya adalah persahabatan antara Arini yang sangat lugu dan Ira yang ambisius dan bersuamikan lelaki kaya. Ira (diperankan Joice Erna) menjalin hubungan gelap dengah Helmy Mamahit (Sophan Sophiaan). Takut kalau hubungan itu membuat guncang rumah tangganya, Ira menjodohkan sahabatnya, Arini (Widyawati), dengan Helmy. Tanpa curiga Arini setuju, dan bulan madu pun berlangsung di Amerika Serikat, atas biaya keluarga Ira.

Pulang dari sana dan ketika sedang mengandung, Anni baru tahu, cinta Helmy palsu belaka. Helmy hanya mencintai Ira, dan perkawinan itu hanya sandiwara, agar suami Ira bisa dikibuli. Arini mengetahui sandiwara ini tanpa sengaja. Jiwanya terguncang. Ia minta cerai, segera setelah anaknya lahir -- lewat operasi. Dan ia kemudian dikirim ke AS, kuliah atas biaya perusahaan. Arini pergi tanpa beban karena mengira anaknya terlahir mati, seperti yang dikatakan Helmy. Ini digambarkan dalam kilas balik. Sophan sendiri mengawali filmnya dengan suasana indah antara Los Angeles dan San Francisco. Di atas kereta api, Arini dan Nick (Rano Karno) dipertemukan. Nick adalah anak kaya dari keluarga berantakan, yang dibesarkan bukan dengan kasih sayang, tapi dengan uang. Dan Nick berontak. Bertemu Arini, Nick seperti bertemu keteduhan: tempat mengadu merasa diperhatikan, mendapat kelembutan, dan kemudian cinta. Cuma yang terakhir ini tak berbalas segera, karena Arini lebih menganggap Nick sebagai anak. Setelah lulus, Arini pulang ke Indonesia dan langsung dipercayakan memimpin bagian marketing. Salah satu stafnya adalah Helmy -- bekas suami -- yang kini sudah resmi mengawini Ira. Tak lama bekerja di satu kantor, Arini menemukan adanya penggelapan uang yang pelakunya tiada lain, Helmy. Itu sebabnya, Arini lebih dari sekali mengusir Helmy, mengira bahwa lelaki palsu itu akan merundingkan soal penggelapan tersebut. Setelah Helmy akhirnya mendapat kesempatan untuk bicara, Arini terperanjat bukan alang kepalang. Inilah guncangan kedua, yang tidak kurang hebatnya dari yang pertama. Helmy bicara tentang Ella, yang terbaring menunggu donor ginjal. Delapan tahun Ella -- yang ternyata adalah anak Arini dari Helmy -- hidup dengan bantuan cuci darah. Ginjal cangkokan yang bisa menyelamatkan nyawa Ella hanya bisa diharapkan dari ibu kandungnya: Arini. Bukan dari Helmy, yang kedua ginjalnya sudah rusak. Bukan juga dari Ira, walau wanita ini sangat menyayangi Ella dan siap berkorban apa saja. 

Sophan menggambarkan adegan penuh keharuan ini lewat sikap tegar Arini, yang memilih yang terbaik buat Ella, bukan terbaik untuk dirinya. Sebelah ginjalnya diserahkan, "untuk menebus dosa pada anak yang sejak lahir tak pernah kuberi apa-apa. Setelah Ella sembuh, Arini toh masih harus menahan diri, untuk tidak mengatakan kenyataan yang sebenarnya dan kepahitan yang terbungkus di dalamnya. Tapi ini bukan film yang dibingkai semangat mcnghukum. Bukankah kereta kehidupan masih akan lewat? Arini bertolak ke Amerika, menjumpai Nick yang membuktikan dirinya bisa sukses kalau ada yang memberi motivasi (didapatnya dari Arini), sementara wanita ini terbangkit semangat hidupnya. "Beri aku seorang anak Nick." Di depan orang banyak? "Tidak Nick, di ranjang perkawinan kita." Rano seperti mendapatkan peran yang dicari-carinya sejak dulu, remaja yang enerjik dengan segala kenakalannya, tapi tidak kurang ajar. Peran ini yang membuat ia dinominasikan untuk Piala Citra, kesempatan yang jarang diperolehnya. Widyawati bermain bagus di sini ia memenangkan Citra sebagai pemain wanita terbaik 1987. Rima Melati juga mengesankan (sebagai ibu Nick), walau cuma tampil sekilas. Yang kurang adalah Sophan sebagai pemeran Helmy, dan ini lagi-lagi membuktikan betapa sulitnya membagi konsentrasi sebagai pemain dan sutradara sekaligus. Sebagian penonton mungkin tak puas dengan cara-cara yang digampangkan. Begitu mudah, misalnya, Arini dibujuk kawin dengan Helmy, begitu cepat Arini memaafkan Nick, hanya karena setangkai mawar, dan begitu mudahnya Nick mencari alamat Arini di Jakarta, tanpa informasi yang cukup. Editing yang ketat tak memberi kesempatan penonton untuk larut dalam berbagai emosi. Tapi, memang, tak ada pilihan lain bagi Sophan, kalau ia ingin filmnya ini, yang diangkat dari novel Mira. W, tidak kedodoran dan bertele-tele.


P.T. SANGGAR FILM
P.T. ELANG PERKASA FILM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar