Selasa, 25 Januari 2011

ARIE HANGGARA / 1985



Ini adalah kisah nyata saat itu, bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya hingga anaknya tewas. Berita ini cukup heboh dan menggemparkan kebencian masyarakat atas orang tua ini. Sehingga cerita diambil kisah nyata ini di filmkan. Film terlaris I di Jakarta, 1986, dengan 382.708 penonton, menurut data Perfin.

Tino Ridwan (Deddy Miswar) menginginkan anaknya seorang anak yang jujur dan penurut Untuk itu dia menanamkan disiplin keras. Cara ini berakibat buruk. Ketiga anaknya adalah hasil perkawinannya dengan istri pertama yang diceraikannya. Karena kehidupan ekonomi yang menghimpit, anak anak dititipkan pada orang tuanya. Setelah kehidupannya agak mapan, Tino yang hidup bersama pacarnya Santi (Joice Erna), menjemput anak anaknya. Suatu hari Santi menemukan sejumlah uang di dalm tas sekolahnya Ari. Timbul kecurigaan pada Tino, karena dia tidak pernah memberi Ari uang dalam jumlah besar. Tino berkesimpulan Ari telah mencuri uang. Padahal uang itu didapat Ari dari pemberian orang yang telah ditemukan dompetnya. Maka Tino dan Santi menghukum Ari. Di luar dugaan, hukuman yang terlalu berat bagi Ari berakibat fatal. Ari meninggal dunia. Tino sangat menyesal, tetapi terlambat. Tino dibawa ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dia ditahan dengan dakwaan menyiksa anak kandung sendiri.


News
03 Mei 1986

Melintas badai bajakan

PEMBAJAKAN film ke video kaset kian seru. Film Arie Hanggara, yang baru dua hari diputar di Jakarta, kasetnya sudah tersedia di tempat penyewaan video. Film Sebening Kaca, yang baru diputar untuk kalangan terbatas, kaset videonya juga sudah muncul. Yang luar biasa, kasus film Melintas Badai. Film ini lolos sensor 23 Maret lalu, dan oleh PT Virgo Film dijadwalkan main 2 April di Ujungpandang. Ternyata, kaset videonya sudah muncul di tempat penyewaan kaset pada 28 Maret. Tudingan yang dialamatkan ke gedung bioskop sebagai satu-satunya tempat pembajakan, dengan kasus Melintas Badai, diragukan kebenarannya. "Kemungkinan terkuat, pembajakan dilakukan di Badan Sensor Film," kata Pengacara Henry Yosodiningrat, S.H., yang mewakili 20 produser yang film-filmnya dibajak, pekan lalu. Sesuai dengan ketentuan resmi, sebuah film baru bisa dipindahkan ke video kaset setelah masa putar tiga tahun. Tapi kenyataannya tidak demikian. Bustal Nawawi dari PT Prasidi Film, Februari lalu, mencak-mencak ketika filmnya, Kejarlah Daku Kau Kutangkap, diketahui video bajakannya beredar seminggu setelah film itu diputar. "Langsung saya menghubungi pengacara, dan produser yang senasib. Tapi, waktu itu, mereka kelihatan takut," ujar Nawawi. Ketakutan para produser, konon, karena pembajak sudah merupakan sindikat. "Sekarang sudah ada alat yang disebut telecine, yang bisa memindahkan dari proyektor ke rekaman langsung. Hasil rekaman sangat bersih, coba lihat film bajakan Arie Hanggara," kata Nawawi lagi. Apakah pembajakan tak mungkin dilakukan di tempat lain?

Mengingat perjalanan film sampai ke bioskop cukup panjang, Nawawi, produser yang menghasilkan tiga film, dan semuanya dibajak, tak menolak kemungkinan itu. Ia lalu menjelaskan tahap-tahap yang ditempuh sebuah film setelah diproses di laboratorium luar negeri. Pertama kali, film itu singgah di gudang pelabuhan udara di luar negeri, kemudian bertahan di Bea Cukai Cengkareng antara tiga dan empat hari, menunggu penyelesaian surat-surat. Dari Cengkareng film dikawal ke Badan Sensor Film. Di sini menunggu penyelesaian 5 sampai 15 hari. Setelah lolos sensor, film masuk gudang produser menunggu giliran putar. "Di setiap tahap itu, bisa saja film dicuri untuk dibajak," kata Nawawi. Untuk itu Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) sudah membentuk Tim Penanggulangan Pembajakan, yang diketuai Moh. Sadikin Natadipura. "Segera dijajaki kemungkinan-kemungkinan penyalinan sejak film itu keluar dari laboratorium sampai lolos sensor BSF. Termasuk keadaan di Bea Cukai diteliti,' ujar Sadikin. Yang memberikan reaksi terhadap pembajakan baru BSF. "Mana mungkin kami melakukan pembajakan itu? Selain tidak memiliki peralatan canggih, pada waktu penyensoran, para pemilik film itu juga hadir, kok," kata Ketua BSF Thomas Soegito. Dirjen RTF Drs. Subrata tak kalah terkejut, ketika BSF ini dibawa-bawa oleh Penasihat Hukum Henry Yosodiningrat.

"Masya Allah, kalau pembajakan itu dituduhkan ke alamat BSF," kata Subrata, sembari menyesalkan keterangan penasihat hukum para produser itu. "Pemberantasan pembajakan tidak perlu menggunakan bahasa emosional. Mestinya, rasional dan konsepsional." Kesalahpahaman memang terjadi gara-gara disebut-sebutnya BSF. Sampai-sampai, menurut sumber TEMPO, BSF menunda pengeluaran surat tanda lolos sensor untuk film baru. Alasannya, blangko surat sedang kosong. "Sebelum ini tak ada alasan seperti itu," kata seorang produser. Dan, Henry sudah pula mengajukan permohonan bertemu dengan Ketua BSF, supaya persoalan menjadi jelas. "Saya tidak menuduh lembaga BSF melakukan pembajakan. Saya mengatakan pembajakan kemungkinan di BSF, bukan oleh BSF," ujar Henry. Pengacara muda ini sudah melaporkan hasil temuannya ke polisi. Disertai daftar film yang dibajak, saat ditemukannya kaset bajakan itu, dan juga dilaporkan sejumlah kedai video yang menyewakan kaset bajakan. Tetapi, Henry sadar, laporan itu tak akan menyelesaikan masalah. "Sebab, dari seluruh perangkat undang-undang yang ada, tidak ada satu pun peraturan yang bisa dijadikan penangkal pembajakan," katanya. Menurut Henry, kalaupun seseorang terbukti membajak, hukumannya hanya denda Rp 50.000. "Kalau kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, tidak mustahil produser film menghentikan produksinya, karena bangkrut," tambah Henry. Henry menyebut contoh film Arie Hanggara ketika diputar di Lampung. "Dua hari pertama menyedot 14 ribu penonton.

Hari ketiga hanya 5 ribu penonton, karena saat itu video didrop ke sana," katanya. Nawawi menambahkan, film Hati yang Perawan menderita rugi Rp 80 juta gara-gara video bajakannya lebih laris dari rumah ke rumah. Yang paling sengsara, film Melintas Badai, karya Sutradara Sophan Sophian, yang dibintangi oleh Marissa Haque. "Harapan saya film ini memasukkan Rp 250 juta. Sekarang dapat Rp 150 juta saja sudah bagus," kata Ferry Anggriawan, produser Virgo Film. Ada contoh lain yang menguatkan sinyalemen Henry. PT Tobali Film memproduksi film Sunan Kalijaga dengan biaya Rp 700 juta dan dikerjakan dua tahun, karena perlu riset. Film itu dibajak setelah setahun beredar. "Sampai sekarang film itu baru memasukkan Rp 600 juta," kata Gunawan, pimpinan Tobali Film. Pengusaha ini belum kapok. Dibuat lagi film Syekh Siti Jenar dengan biaya Rp 400 juta, beredar 1985. "Entah kapan biaya itu kembali, videonya sudah ada secara gelap," sambung Gunawan. Kini, Tobali Film menjadi pengedar bukan memproduksi. Henry yakin bahwa hanya dengan ancaman hukuman yang berat, masalah pembajakan ini bisa dikurangi. Untuk itulah, dalam waktu dekat ini, ia akan mengunjungi DPR. "Keresahan produser film perlu disampaikan," katanya. Putu Setia Laporan Moebanoe Moera & Eko Yuswanto

16 Agustus 1986
Anak betawi dengan dua piala

DUA Piala Citra tidak mampu mengubah penampilan Deddy Mizwar sehari-hari. Ia tetap saja muncul sederhana, walau dikerumuni penggemarnya di Hotel Sanur Beach yang berbintang lima atau tampil di panggung terbuka Werdi Budaya, Denpasar. Ini adalah acara Pekan Film Daerah Bali yang dibuka Jumat malam pekan lalu dan berakhir Senin malam pekan ini, diisi diskusi, pemutaran film, dan pawai.

Dan Deddy Mizwar tampil dalam semua kegiatan itu. Anak Betawi ini, yang memang tak biasa dengan dunia gemerlapan para bintang, mengaku tidak punya jas. "Bukannya aku tak bisa. Tapi aku tak suka suasana seperti itu." Selama pekan itu, jika mobil jemputan panitia tak muncul, Deddy terkadang naik bemo. Atau nebeng mobil VW Safari yang disewa wartawan. "Di Jakarta, kalau aku pulang dari tempat pacar, aku biasa naik mikrolet." Bukan Deddy tak suka tampil di depan umum. Ia sibuk melambai-lambaikan tangan dan menerima salam khalayak yang memenuhi jalan ketika rombongan artis Jakarta diarak di Denpasar. Ia hadir di gedung bioskop yang memutar film yang dibintanginya. "Kita harus menghargai penonton film nasional, di tengah tidak seimbangnya jumlah film nasional dan film impor," katanya. Deddy Mizwar, anak ketiga dari enam bersaudara yang lahir 5 Maret 1955, adalah aktor yang menonjol sekarang ini. Ia sudah malang-melintang di panggung drama pada awal 1970-an. Pertama kali mendapat peran utama dalam teater pada 1973, lewat pementasan Matahari Sore Bersinar Lembayung karya N. Riantiarno yang disutradarai Aldizar Syafar. Ialah pemain yang, bersama grupnya, dulu ditandai dengan lagu dialognya yang model Indo alias tak sama dengan cara bicara sehari-hari ("Tidak begittun, Mammaaa ... Akku Chinta Khau!"), dengan naskah-naskah yang kebanyakan blasteran. Tahun 1975 ia pemain terbaik Festival Teater Remaja se-Jakarta, acara tahunan Dewan Kesenian Jakarta. Grupnya sendiri Teater Remaja Jakarta namanya -- meraih kejuaraan pertama dan berhak mendapat pembinaan dan sekaligus kesempatan pentas di TIM. "Saat itu aku memang sudah gila-gilaan di teater. Tak terbayang sama sekali akan melangkah ke film." Adalah Wahyu Sihombing, salah seorang pembina teater para muda itu, yang lalu menawari Deddy bermain film dalam Cinta Abadi, 1976. Langsung peran utama. "Banyak hal yang mengagetkan. Aku masih buta dunia yang kumasuki. Apalagi shooting hari pertama itu kebetulan di hari kelima pementasan dramaku di TIM. Adegan yang kulakukan: berpelukan, terus berciuman, dengan lawan main yang tidak kukenal. Aku gemetar. Ha hak haak ...(tertawa). Di panggung teater, adegan berciuman paling-paling hanya simbolis.

Tapi di film, sungguhan ! Ditonton banyak orang. Diterpa lampu sekian watt. Panas. "Saya kemudian banyak belajar teknik perfilman. Format film harus juga diketahui. Kalau yang di-shoot hanya mata, bagaimana mengorganisir seluruh kemampuan akting pada mata? Belum lagi kalau adegan yang diambil melompat-lompat. Dalam teater, itu 'kan tidak ada." Bukankah semuanya bisa diberi petunjuk sutradara? "Memang. Tapi yang keluar nanti akting yang teknis saja. Bukan akting wajar. Memerankan tokoh (di film maupun teater) adalah menjadikan tokoh itu manusia. Untuk itu perlu analisa." Dalam Arie Hanggara, film yang menyebabkannya memperoleh Citra untuk pemeran utama pria, ia menganalisa tokoh Machtino dengan, antara lain, mengunjunginya di penjara. "Karena, modelnya sudah ada," katanya. "Di film Opera Jakarta, jenderal yang saya mainkan adalah gabungan dari banyak hasil pengamatan. Memegang tongkat, saya tiru dari seorang tokoh. Berjalan, dari tokoh lain. Begitu banyaknya, sehingga sosok jenderal di Opera Jakarta pasti tak ada modelnya, ha hak haak .... "Stanislavsky sudah bilang akting itu bukan sekadar gerakan dan ucapan, tapi motivasi apa yang mendorong lahirnya gerakan dan ucapan. Ini 'kan perlu penghayatan mendalam. Aktor itu harus banyak belajar, ha hak haak ...." Dan dalam hal itulah ia melihat kelemahan dunia bintang film Indonesia. "Yang diperlukan para bintang saat ini adalah bagaimana menciptakan iklim kebutuhan belajar itu," katanya. Ia sendiri mengakui, ketika memasuki Jurusan Teater Institut Kesenian Jakarta, 1980, yang dicarinya adalah kebutuhan belajar. "Banyak bintang, aku tak menyebutkan nama, yang populer pada suatu periode, tetapi karena tak mau belajar meningkatkan akting, hilang dari peredaran.

"Yang saya katakan adalah belajar terus-menerus. Tidak selalu harus teater. Jenny Rahman awal-awalnya hanya bermodal paras cantik dan keberanian memamerkan tubuh. Tapi ia segera belajar lebih tekun ketika bersama Teguh Karya -- kemudian dipoles lagi ketika ditangani Sjumandjaja. Christine Hakim juga begitu, tidak lewat teater." Menumbuhkan iklim belajar ini, menurut Deddy, bisa lewat bentuk sanggar, seperti yang dilakukan Teguh Karya. Trend film nasional sekarang ini, dalam pengamatan anak muda yang suka wayang golek ini, sudah membutuhkan aktor dan aktris yang matang. Penonton sudah mulai memperhatikan akting, tidak lagi paha dan pipi yang mulus. "Buktinya film-film unggulan FFI juga menyedot banyak penonton. Produser pun sudah mulai membuat film yang tidak hanya mengikuti selera pasar. Lagi pula, apa, sih, selera pasar ? Kita bisa mengatur selera itu ! ha ha...." Dari 21 film yang dibintanginya, Deddy sulit mengatakan mana filmnya yang paling bagus, mana permainannya yang paling menonjol. "Kalau saya bermain film, saya bermain habis-habisan, seperti di teater. Karena itu, betapa tak masuk akalnya kalau ada bintang film yang bermain rangkap sampai tiga atau empat film." Tapi bujangan yang akan menikah pekan depan ini -- dengan Giselawati, sarjana komputer berdarah Sunda -- pernah bermain rangkap. Pada saat Arie Hanggara tinggal bagian akhirnya, ia sudah harus terjun dalam jadwal Pengantin Baru. "Capeknya luar biasa. Capek mikir. Kepala ini terasa pecah. Tapi, itu karena di luar perencanaan." Lalu ia tertawa lagi: hak hak hak haaaaak .... Putu Setia

18 Mei 1985
Kasetnya telah beredar

BOCAH malang Arie Hanggara, yang mati di tangan ayahnya itu, batal dimonumenkan lewat patung karena diprotes pihak keluarganya. Tapi tak lama lagi, kaset yang menceritakan nasib bocah tersebut akan beredar di masyarakat. Kaset cerita yang berisikisah-kisah sedih Arie ini diproduksi pasangan penyanyi tahun 1960-an, Ony Soerjono dan Tuty Soebardjo. "Ini kisah yang sebenarnya tentang Arie," kata Tuty, yang bersama suaminya mengelola Ony Record. Menurut Tuty, kaset cerita Arie, yang baru akan beredar pekan depan, dikerjakan mereka kurang dari sebulan dan menelan biaya Rp 15 juta. Yang mereka tunggu, ditariknya kaset-kaset lain tentang Arie, yang dibuat tanpa diketahui keluarga korban. Henry Yosodiningrat, S.H., penasihat hukum Machtino Eddiwan - orangtua Arie yang kini mendekam di penjara - sudah memasang iklan di koran Ibu Kota. Isinya melarang peredaran kaset mengenai musibah Arie Hanggara. Iklan itu ditujukan untuk kaset yang tak jelas siapa produsernya. "Soalnya, kaset-kaset itu tanpa izin dan pihak Machtino," kata Tuty. Ia menambahkan, satu-satunya perusahaan yang mengantungi izin adalah Ony Record. "Kalau tidak begitu, ceritanya nanti simpang siur."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar