Sabtu, 10 April 2010
Film Sejarah Kita, apakah Jujur???
Dari dulu saya tidak pernah percaya dengan satu sejarah saja, saya akan mencari dari unsur lainnya juga. Karena saya percaya sejarah akan di tulis bagi pemenangnya, ketika sudah tidak bertahan dan digantikan oleh oposisinya, maka akan berubah lah sesuai dengan kepentingan masing-masing. Dari jaman, nabi-nabi...sejarah sudah di selewengkan...apalagi jaman sekarang. Sejarah yang benar hanya dari satu sisi versi saja. Oleh karena itu tidak terpatok sama satu sudut saja, hendaknya melihat sejarah dari hal yang lainnya juga.
Sama seperti perang Vietnam, selama ini film Amerika membuat tentang hal itu dari sudut pandang mereka dan merasa membenarkan perang itu terjadi, sedangkan dari sisi Vietnamnya sendiri sangat sedikit. Mungkin Stone dan Kubrick dan Copolla yang sedikit lain. Seperti dalam film Pagar kawat berduri, si Belanda bilang benci pada pejuang Indonesia karena kalau mereka mati akan di kenang sebagai pahlawan dan ditangisi orang banyak, tetapi bila Belanda yang mati, hanya sebuah tugas dari penguasa yang menginginkan keuntungan semata saja. Berjuang melawan Tugas. Ini yang sulit di pisahkan, pahlwan bagi siapa, dan musuh bagi siapa?
21 Mei 1983
Tangan-tangan yang menyampaikan sejarah bisa jujurkah film sejarah kita?
SEDERET jip dan truk tua parkir di pekarangan PPFN, Jatinegara, Jakarta. Melihat inisial RPKAD, yang tertera di semua kendaraan itu, ingatan melayang ke pasukan Baret Merah, 17 tahun silam. Memang jip dan truk RPKAD adalah bagian dari momen-momen besar dalam sejarah. Kini oleh PPFN momen-momen besar itu dipentaskan kembali, antara lain, lewat film SOB (Sejarah Orde Baru), Kereta api Terakhir, dan Serangan Fajar. "Untuk melestarikan sejarah dan menanamkan nilai-nilai sejarah pada generasi muda," ucap Direktur PPFN G. Dwipayana. Tapi ia keberatan jika ketiga film tersebut disebut film sejarah, meski pengolahannya, seperti diakuinya sendiri, benar-benar obyektif. Agaknya ia punya alasan sendiri untuk berhati-hati. Tapi Nyoo Han Siang, produser film November 1828, bersikap sederhana saja. "Saya buat film sejarah dengan tujuan mengenalkan sejarah Indonesia, untuk pendidikan, dan mengobarkan semangat menghormati pahlawan," tuturnya. Ia, pengusaha sukses, yang raganya rapuh karena diabetes, bertekad untuk terus membuat film sejarah. "Mungkin nonton film sejarah orang tidak tertarik, tapi saya akan membuatnya lagi, lagi, dan lagi." Semangat Nyoo, 53 tahun, ibarat semangat pahlawan pantang menyerah.
Ada hal yang mengusik nuraninya, memang. "Saya heran, dulu bendera bisa jadi persoalan bagi anak-anak sekolah. Sekarang anak-anak itu berkelahi dan memecahkan kaca sekolah sendiri. Itu bagaimana ...." Untuk ini Nyoo mencari jawaban. Yang ditemukannya: film sejarah. Baginya tidak terlalu penting aksentuasi harus diletakkan di mana: pada tokoh, patriotisme, atau episode tertentu saja. Dan jika ia bermaksud mengenalkan sejarah Indonesia, ini bisa berarti banyak orang yang tidak mengenalnya. Siapa? Kalau bukan anak-anak pemecah kaca itu, ya, barangkali kaum Cina perantauan, puak dari mana Nyoo berasal. Roy Marten, produser sekaligus pemeran utama film epik Wolter Mongisidi merumuskan keinginannya secara lain. "Saya ingin orang Indonesia tidak hanya mempelajari sejarah, tapi juga belajar dari sejarah," katanya. Untuk tujuan itu, Roy Marten menanamkan uang ratusan juta, dan dengan masa penggarapan film selama tujuh bulan -- terlama sepanjang karirnya sebagai bintang film. Itu pun dia merasa gagal. Dan untuk pembuatan film R A. Kartini, (produsernya, antara lain, PT Archipellago Film) menghabiskan Rp 800 juta. Sedangkan sutradara Sjumandjaya kehilangan bobot 8 kg selamat delapan bulan proses pembuatan. Lain lagi Yenny Rachman, pemeran Kartini. Ia telah berjanji pada diri sendiri tidak akan mau lagi memerankan tokoh sejarah. "Bagi saya Kartini adalah film sejarah pertama sekaligus yang terakhir," katanya. Ia menambahkan beban mental yang disandang terlalu berat. "Kalaupun nanti ditawarkan memerankan tokoh sejarah lagi, saya harus menerima kesepakatan terlebih dulu dari seluruh rakyat Indonesia," ungkap Yenny prihatin.
Sejarah, dalam wujud rangkaian peristiwa atau tokoh, yang pernah terjadi dan pernah hidup, memang dalam banyak hal menggiurkan tapi juga menyuguhkan banyak tantangan. Industri film seperkasa Hollywood mungkin tidak menghadapi kesulitan apa-apa untuk mengangkat kembali kebesaran Musa, ketangguhan Ben Hur, "keajaiban" Jean d'Arc atau kehebatan Jenderal Patton. Bahkan Anda boleh memungut nama tokoh sejarah mana saja, agaknya tidak ada yang luput dari jangkauan Hollywood. Dalam menggarap sejarah, industri film itu konon bisa dikatakan telah mengembangkan gayanya sendiri. Lewat gaya tersebut ia telah menciptakan kembali sejarah -- kendati penuh dengan hal-hal kecil yang tidak relevan, akting yang tidak dapat dipujikan atau segi-segi dramatik yang amat terabaikan. Di luar semua kelemahan itu, Hollywood terus menciptakan film kolosal raksasa dalam biaya, jumlah pemain, dan tetek-bengek peralatan. Apakah dengan demikian sejarah sudah berhasil diwujudkan sesuai dengan peristiwa aslinya? R.Z. Leirissa, sejarahwan ahli Maluku, berkata: "Film adalah film dan sejarah adalah sejarah." Ia ingin menyatakan bahwa, adalah tidak wajar menuntut film sejarah sebagai sama dan sebangun dengan sejarah itu sendiri. Ini mustahil. Jadi kalaupun orang film di Indonesia, dengan segenap keterbatasan teknik dan biaya, masih berani membuat film sejarah, hara sebagai dianggap satu permulaan. Katakanlah gejala yang menggembirakan. Ditinjau dari pihak sineas, ikhwal terpikatnya mereka mudah dijelaskan. Sejarah Indonesia adalah khazanah yang kaya dengan ceriu yang otentik, tokoh yang siap pakai, alur yang jelas, sesuatu yang serba besar. Sebaliknya, apa yang dicari produser? Laba? Nyoo menghabiskan Rp 300 juta untuk November 1828 uang diperolehnya kembali cuma Rp 200 juta.
Toh ia tidak jera. Nyoo sedang gandrung barangkali. Dewasa ini ia menganjurkan Sjumandjaya bersiap-siap dengan film tentang Ki Hajar Dewantara dan Chairil Anwar. Sementara Teguh Karya diminunya pula untuk mencari lokasi bagi produksinya yang akan berjudul: Cut Nya' Dhien. Nyoo sendiri riset ke Yoya dan Sala (persiapan Ki Hajar), setelah lebih dulu menawarkan peran Cut Nya' Dhien pada Herlina, Si Pending Emas. Untuk peran Chairil diunggulkannya Rendra. "Tapi apakah dia boleh main oleh pemerintah?" tanya Nyoo. Penyair Rendra, yang belakangan ini banyak terlibat politik praktis, memang agak kurang disukai pemerintah. Seperti halnya Nyoo, juga Roy Marten terjun sendiri untuk riset. Selain riset kepustakaan, juga melakukan riset lapangan. Untuk persiapan film tentang Wolter Mongisidi, ia sampai tiga kali pulang balik Jakarta-Sulawesi. Bahkan memesan dokumen-dokumen tentang pahlawan nasional itu ke Belanda -- sayang datangnya terlambat. Penulis skenario film sejarah juga punya hambatan. Menurut Putu Wijaya, yang membuat kerangka dasar skenario film Wolter Mongisidi, ia dipesani macam-macam oleh pemerintah maupun keluarga yang ikut dalam peristiwa di Sulawesi Selatan sesudah kemerdekaan itu. Misalnya, ada bagian dari riwayat Wolter yang tak boleh diceritakan. Takut menyinggung keluarga yang masih hidup. Keberatan tak cuma ditemui di sini. Di Pakistan, misalnya, pemerintah dikabarkan melarang film Gandhi, yang memenangkan delapan Oscar, diputar di negeri itu. Khawatir rakyat akan protes keras terhadap penggambaran tokoh Ali Jinnah, pendiri Pakistan, yang tak begitu menonjol dalam film tersebut. Adapun Dwipayana yang memfilmkan sejarah untuk pendidikan masyarakat (dalam rangka program pemerintah), Juga bersikap waspada. Meski PPFN memanfaatkan sepenuhnya bahan-bahan yang disediakan Pusa Sejarah ABRI, juga mengecek langsung ke para pelaku yang masih hidup.
Misalnya, orang-orang yang terlibat pengeboman Salatiga atau penyerbuan Yogya untuk film Serangan Fajar. "Dasar cerita dijadikan pegangan, hingga pembuatan film tidak aneh-aneh," kata Dwipayana. Ia menambahkan obyekivitas merupakan sasaran utama, karena itu ia perlu menegaskan pagi-pagi semua film sejarah PPFN tidak akan pernah mungkin menjadi alat propaganda. Dan sama seperti Nyoo, Dwipayana untuk memilih pemeran tokoh sejarah, titak merasa perlu terpatok pada suDerstar "Pembuatan film sejarah di sini tidak perlu serba gemerlapan seperti Hollywood. Bisa-bisa justru tidak sesuai dengan kenyataan sejarah," ujarnya. Sesudah persiapan yang rumit dan proses pembinaan yang melelahkan, bagaimana nasib film sejarah di pasaran? "Laku ditonton bukan tujuan utama," kata Dwipayana. Begitupun PPFN bekerja sama dengan Departemen P&K untuk pemutaran film bagi anak sekolah. Film November 1828 meski seret di Indonesia, laku juga di Berlin dan Jepang (untuk siaran tv). Tapi film R A. Katini yang menjadi topik diskusi Figur Sejarah Dalam Film Indonesia yang diadakan majalah Zaman, nampaknya laku keras. Hingga produser Widodo Sukarno dapat mengatakan: "Prospek film sejarah baik, asalkan landasan perfilman nasional jangan dirusak lagi dengan kebijaksanaan yang menghambat. "Diingatkannya, film sejarah muncul karena tuntutan masyarakat pada film berbobot. Cuma sayang, banyak film itu kurang daya tarik, mungkin karena pengolahannya kurang baik. Makanya kepada sutradara dituntut agar menyalurkan keinginan masyarakat itu di samping menggali bahan-bahan sejarah yang terkadang langka. Nampaknya tuntutan terhadap sutradara tidaklah sesederhana yang disebut Widodo. Mengapa? Kuntowijoyo, pengajar metodologi sejarah pada Fakultas Sastra UGM, punya persyaratan. "Film sejarah harus mampu mengetengahkan kebenaran faktual, dapat menangkap semangat zaman, dan anachronismenya harus jelas pula," katanya. Ia keberatan fakta sejarah didramatisasi, khawatir fakta itu melenceng nantinya.
Kuntowijoyo, sejarahwan yang juga penulis novel, mengambil adegan Kartini meninggal sebagai contoh. "Tidak tragis," katanya, "seperti kematian orang agun saja." Khusus adegan ini, yang jadi masalah agaknya bukan fakta, tapi interpretasi sutradara. Sjuman telanjur mengagungkan Kartini hingga tidak mungkin baginya membuat kematian pahlawan wanita itu biasa-biasa saja. Apalagi yang tragis. Dan celakanya, Sjuman melukiskannya berlebihan -- pakai aureol segala. Menteri P&K Prof. Dr. Nugroho Notosusanto -- juga dikenal sebagai seorang ahli sejarah Indonesia kontemporer -- menampilkan sebuah gagasan yang baik. "Kalau saya membuat film sejarah," katanya serius "saya kumpulkan terlebih dahulu sejarahwan dan seniman film. Di situ sejarahwan akan berfungsi sebagai pemberi fakta dan seniman berfungsi sebagai pengolah fakta untuk kemudian menuangnya dalam bentuk film." Tapi untuk sampai kepada bentuk film, banyak ranjau harus dilewati. Dan demi keselamatan, Prof. Sartono Kartodirjo, pendekar sejarah pada UGM, menegaskan dua hal: Pertama, urutan peristiwa harus dijaga tidak boleh diputar balik. Kedua, setting sejarahnya harus terjaga, di samping kebenaran sejarahnya harus tetap terpelihara. Alasan Sartono tentu ada. Urutan peristiwa perlu ditinjau dari segi edukatif. Kalau tidak urut, ya, film sejarah itu bisa dianggap merusak. Setting penting, agar penonton bisa menyerap masa lampau, utuh, suasana dan jiwanya. "Sebab jiwa zaman Mataram lain dengan jiwa sekarang," tukas Sartono. Perihal kebenaran sejarah, ini mutlak, dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tapi, Sartono paham tuntutan itu berat dan mahal. Sampai-sampai ia sendiri bertanya: "Apa masih mungkin membuat film sejarah?" Keraguan seperti itu tidak ditemukan pada Dr. Taufik Abduliah, sejarahwan jebolan UGM, yang kemudian memperdalam ilmunya di Cornell University, Amerika Serikat. Menurut Taufik, sebuah film sejarah, apakah sekadar mengangkat cerita atau tokoh sejarah, bisa saja dibuat asalkan tidak bertentangan dengan accepted histoy.
Pendapatnya ini diperkuat R.Z. Leirissa. Tapi apa itu accepted history. Tidak lain sejarah berdasarkan fakta yang ada. Contoh, Kartini yang putri bupati dengan selirnya tidak bisa disulap menjadi putri seorang sultan Fakta ini tidak bisa ditawar-tawar. Taufik, yang senang menonton film-film sejarah, rupanya memaklumi beban seorang sineas. Tidak heran kalau ia berkata: "Dalam batas-batas tertentu seorang sineas boleh diberi kebebasan menjadi (Muhammad) Yamin baru. Ia bebas mengembangkan imajinasinya." Yamin, searahwan, adalah tokoh pembaru dalam soal-soal sejarah nasional. Menurut Taufik, yang terpenting dalam pembuatan film sejarah adanya kesesuaian antara fakta dan makna yang ingin disampaikan. Bahkan ia, begitupun Leirissa, tidak keberatan jika sejarah kontemporer difilmkan (misalnya SOB). "Mengapa tidak?" tantangnya. "Risiko memang ada, tapi kalau kita takut pada risiko, maka tidak ada yang dapat kita kerjakan." Lebih dari itu, untuk film sejarah, cara kompromi ataupun romantisasi dianggapnya sah, sejauh itu tidak meninggalkan kecermatan faktual. Tapi tak urung ia menyesalkan ketidakcermatan sineas. Contoh: kehadiran Komandan Warouw dalam film Janur Kuning sudah menyimpang dari sejarah. Menurutnya, sesuai urutan peristiwa, waktu itu Warouw justru berada di Jawa Timur. Sedang cerita film Janur Kuning berfokus pada peristiwa di Jawa Tengah.
Terlepas dari persyaratan ilmu sejarah, yang bisa membuat para sineas gentar bahkan buyar, baik Sartono maupun Taufik tidak sampai tergelincir ke pandangan sempit. Sebaliknya, guru besar UGM itu melihat kegunaan praktis yang bisa diperoleh dari film sejarah. "Ia bisa menyadarkan masyarakat bahwa kita mempunyai masa lampau yang diwarnai pergolakan. Juga bisa menghargai perjuangan dan penderitaan masyarakat." Dengan pernyataan ini, boleh dibilang, terciptalah titik temu antara pemikiran seorang Sartono, seorang Nyoo Han Siang, dan seorang Roy Marten. Di situ para sineas tidak lagi harus dituntut, tapi mereka harus siap mental untuk berani menangkat kebenaran faktual seraya menangkap semangae zaman. Dan di situ pula para sejarahwan dapat menghargai kebebasan daya cipta seniman film, -- dengan catatan dalam batas-batas yang sah dan memungkinkan. Arifin C. Noor, sutradara Serangan Fajar dan SOB, menerjemahkan kondisi siap mental itu dalam tiga pendekatan yang dilakukannya terhadap film sejarah: pendekatan kesejarahan, pendidikan, dan keindahan. Ketiga pendekatan itu, menurut Arifin, bukan prosedur mati, tapi larut menyatu, seperti lumrahnya proses penciptaan seni. Resep Arifin ini bisa diuji penonton lewat film Serangan Faiar atau SOB yang akan dibioskopkan Agustus depan. Sejarahwan Abdurrahman Suryomihardjo, peneliti di Leknas-LIPI, sementara itu mengungkapkan penghargaannya ke alamat sineas. "Film sejarah masih merupakan karya seni," katanya. Dan suatu karya seni lebih dari sekadar rekonstruksi sejarah.
Ia lebih memberikan gambaran yang hidup daripada karya tulisnya sendiri." Berangkat dari pemahaman sejarah Arifin ataupun pemahaman artistik Abdurrahman, pantas kalau dikatakan sejarahwan dan seniman film harus saling mengisi. Tentu saja tanpa menutup pintu untuk kritik karena film sebagai seni dan sejarah sebagai ilmu (juga seni?) perlu tiap kali diuji, ditempa, disempurnakan. Bagaimana seharusnya film sejarah dibuat? Apakah film sejarah, kecuali sebagai tontonan, juga berperan dalam meningkatkan kesadaran sejarah masyarakat? Film Janur Kuning, misalnya, oleh Ashadi Siregar, novelis terkenal itu, dinilai gagal bahkan sebagai pelajaran sejarah. "Karena faktanya berubah jadi subyektif," kata Ashadi. Ia didukung oleh Indra Ariyani, mahasiswi Fak. Biologi UGM. "Saya hanya melihat dar-der-dor melulu. Tidak nampak kehebatan Pak Dirman (maksudnya: Jenderal Sudirman) sebagai pahlawan." Akan Ara Ruhara, mahasiswi tingkat terakhir Fak. Sospol UGM, menyimpulkan begini, "Janur Kuning itu film perang bukan film sejarah." Jelas, komentar-komentar itu mewakili pandangan yang kritis. Jelas pula sejauh yang menyangkut Janur Kuning terselip keberatan agar film yang mutunya begitu tidak sampai terulang lagi. Tapi paling jelas dari semua itu ialah kenyataan bahwa film sejarah bukan saja tidak mudah membuatnya, tapi pihak penonton pun, terkadang, bahkan sering menuntut terlalu muluk. Lupa, kemampuan kita tidak seperberapanya Hollywood. Tidak heran bila Sjuman jadi berang. Menurut sineas ini, film sejarah kurang semangat bikinnya dan semangat modalnya. "Biayanya besar, bikinnya ruwet, ngurus izinnya celaka, risetnya lama ... waktu dilempar ke pasaran, nggak ada yang nonton." Pahit, memang.
30 Januari 1993
Kolonialisme hitam-putih
SEGALANYA dimulai dengan warna. ''Mereka'' berwarna putih kekuning-kuningan dan biasa disebut ''kulit mentega''. Sedangkan ''saya'' berwarna cokelat dan sering disebut ''kacang tanah''. Marion Bloem tumbuh dengan pertanyaan-pertanyaan tentang perbedaan antara dirinya dan lingkungannya. Ia bukan orang Indonesia, tapi Belanda. Namun ia tak sepenuhnya menerima sebagai bagian dari Belanda. Tepatnya, ia seorang indo. Tapi apa arti di balik kata itu? Apa ia hanya menjelaskan bahwa ia adalah bayi yang sedang dikandung ibunya ketika orang tuanya terengah-engah harus lari ke Belanda? Atau indo adalah sekelompok inlander yang mendompleng dan menyusahkan orang Belanda? Ataukah indo adalah ''anjing-anjing Belanda'' yang oportunis? Ini salah satu pertanyaan yang dilontarkan film dokumenter And Never the Twain shall Meet. Film ini diputar pada Pekan Film Indonesia-Belanda di Balai Erasmus, sejak pekan lalu.
Dengan gaya polos dan sederhana, Marion Bloem, seorang gadis indo yang orang tuanya juga peranakan Indo-Belanda, menjelajahi asal-usulnya dengan mengadakan wawancara dengan orang tua dan neneknya, menghadiri reuni orang-orang indo, mempelajari tari Bali. Sebagai generasi indo yang tumbuh di negara Barat, Marion tentu saja menjadi anak yang jauh lebih kritis dan lebih mempersoalkan posisi orang tuanya. Misalnya, ia mempertanyakan kenapa ayahnya, yang selalu mengakui mencintai Indonesia, toh memihak KNIL pada masa perang. ''Kami tak pernah dianggap bagian dari masyarakat Indonesia,'' kata ayahnya. Sebutan ''anjing Belanda'', terlepas apakah mereka memihak tentara Indonesia atau Belanda, adalah cap yang melekat bagi orang-orang indo di Indonesia. Persoalan identitas ini juga menjadi salah satu tema film My Blue Heaven karya Laurens Geel dan Dick Maas. Keluarga Charles Benoit terpaksa pergi ke Belanda ketika pemerintahan Bung Karno pada tahun 1961 membersihkan orang-orang Belanda dari Indonesia. Keluarga peranakan indo yang sudah merasa sebagai orang Indonesia ini harus kaget hidup di Amsterdam yang dingin, di mana mereka hanya boleh mandi sekali seminggu, dan kehidupan yang penuh kecurigaan rasisme. Dengan adegan-adegan sederhana dan penyuntingan gambar yang rapi, Geel dan Maas berhasil menyuguhkan kisah keluarga Benoit yang mencoba membangun sebuah restoran Indonesia yang diberi nama My Blue Heaven dan harus bertahan menghadapi cercaan kawan-kawan dan tetangganya, hanya karena mereka ''berwarna kacang tanah''.
Tapi, di mata Geel dan Maas, tidak semua orang Belanda jahat. Memang ada tiga kawanan ''orang putih'' yang digambarkan sebagai stereotip orang Eropa yang jahat: pemabuk dan bersikap rasis. Tapi ada juga seorang pemuda Belanda yang jatuh cinta pada Brenda, anak sulung keluarga Benoit. Bagian inilah yang menarik dari beberapa film Belanda yang diputar dalam pekan film yang masih berlangsung hingga pekan ini. Sutradara Belanda generasi pascakolonialisme bahkan kini ikut mengutuk kolonialisme yang menjadi sebuah bagian yang memalukan dalam sejarah mereka. Tapi para sineas Belanda juga merasa perlu mengajukan tokoh-tokoh Belanda yang menunjukkan bahwa tidak semua orang Belanda jahat, rasis, dan bermental kolonial. Bahkan kalau perlu tokoh Max Havelaar, yang sebenarnya adalah sekrup dari mesin kolonialisme itu, maju sebagai pembela keadilan. Max Havelaar karya Fons Rademakers, yang juga diputar, sesungguhnya membentangkan sebagian dari sejarah penindasan umat manusia. Penindasan itu, di mata Rademakers, tidak hanya terjadi antara dua bangsa. Ada penindasan Belanda terhadap rakyat Indonesia dan ada penindasan seorang bupati pribumi terhadap rakyatnya sendiri. Havelaar (Peter Faber) memang seorang asisten residen yang mencoba menjadi adil. Tapi Rademaker juga memperlihatkan bahwa Havelaar juga seorang aparat kolonialis ''normal'', yang sesungguhnya berambisi ingin menjadi gubernur jenderal dan menggunakan Lebak sebagai batu ujian kariernya. Film Indonesia yang diputar adalah Doea Tanda Mata (Teguh Karya), Tjoet Nya' Dhien (Eros Djarot), Pagar Kawat Berduri (Asrul Sani). Pada karya Teguh dan Eros, mau tak mau orang-orang Belanda digambarkan sebagai sekumpulan penindas yang kejam dan laknat.
Pada karya Asrul Sani, orang-orang Belanda memang sengaja menjadi latar belakang, sementara orang-orang Indonesia yang saling bergumul -- antarkawan dan lawan -- menjadi peran utama film-film tersebut. Konsentrasi para sineas pada perjuangan orang-orang Indonesia ini agaknya tidak memudahkan mereka untuk mengeksplorasi watak orang-orang Belanda yang -- meskipun penjajah -- seharusnya cukup heterogen. Kita hanya melihat perkecualian dalam Pagar Kawat Berduri. Tokoh Sersan Koenen yang berwatak kompleks adalah orang Belanda yang bersimpati pada pribumi dan menentang kekerasan. Tapi toh ia seorang aparat kolonialis Belanda yang rajin mengatakan ''tentu kalian bisa merdeka, tapi harus tunggu waktu''. Penyajian persoalan -- apalagi dengan tema kolonialisme -- yang tidak hitam-putih biasanya akan membuat penonton berpikir lebih jauh tentang misi film itu, yang pasti bukan sekadar ingin memunculkan seorang pahlawan Indonesia. Dan inilah yang agaknya harus dipikirkan oleh para sineas Indonesia. Rademaker dan Asrul Sani adalah dua sutradara yang berhasil menggambarkan kompleksnya persoalan kolonialisme. Jika film-film semacam ini dibuat lebih banyak, niscaya kita tidak hanya belajar mengenal ''mereka, sang penjajah yang berkulit kuning mentega'', tapi juga mempelajari diri sendiri. Leila S. Chudori
Sama seperti perang Vietnam, selama ini film Amerika membuat tentang hal itu dari sudut pandang mereka dan merasa membenarkan perang itu terjadi, sedangkan dari sisi Vietnamnya sendiri sangat sedikit. Mungkin Stone dan Kubrick dan Copolla yang sedikit lain. Seperti dalam film Pagar kawat berduri, si Belanda bilang benci pada pejuang Indonesia karena kalau mereka mati akan di kenang sebagai pahlawan dan ditangisi orang banyak, tetapi bila Belanda yang mati, hanya sebuah tugas dari penguasa yang menginginkan keuntungan semata saja. Berjuang melawan Tugas. Ini yang sulit di pisahkan, pahlwan bagi siapa, dan musuh bagi siapa?
21 Mei 1983
Tangan-tangan yang menyampaikan sejarah bisa jujurkah film sejarah kita?
SEDERET jip dan truk tua parkir di pekarangan PPFN, Jatinegara, Jakarta. Melihat inisial RPKAD, yang tertera di semua kendaraan itu, ingatan melayang ke pasukan Baret Merah, 17 tahun silam. Memang jip dan truk RPKAD adalah bagian dari momen-momen besar dalam sejarah. Kini oleh PPFN momen-momen besar itu dipentaskan kembali, antara lain, lewat film SOB (Sejarah Orde Baru), Kereta api Terakhir, dan Serangan Fajar. "Untuk melestarikan sejarah dan menanamkan nilai-nilai sejarah pada generasi muda," ucap Direktur PPFN G. Dwipayana. Tapi ia keberatan jika ketiga film tersebut disebut film sejarah, meski pengolahannya, seperti diakuinya sendiri, benar-benar obyektif. Agaknya ia punya alasan sendiri untuk berhati-hati. Tapi Nyoo Han Siang, produser film November 1828, bersikap sederhana saja. "Saya buat film sejarah dengan tujuan mengenalkan sejarah Indonesia, untuk pendidikan, dan mengobarkan semangat menghormati pahlawan," tuturnya. Ia, pengusaha sukses, yang raganya rapuh karena diabetes, bertekad untuk terus membuat film sejarah. "Mungkin nonton film sejarah orang tidak tertarik, tapi saya akan membuatnya lagi, lagi, dan lagi." Semangat Nyoo, 53 tahun, ibarat semangat pahlawan pantang menyerah.
Ada hal yang mengusik nuraninya, memang. "Saya heran, dulu bendera bisa jadi persoalan bagi anak-anak sekolah. Sekarang anak-anak itu berkelahi dan memecahkan kaca sekolah sendiri. Itu bagaimana ...." Untuk ini Nyoo mencari jawaban. Yang ditemukannya: film sejarah. Baginya tidak terlalu penting aksentuasi harus diletakkan di mana: pada tokoh, patriotisme, atau episode tertentu saja. Dan jika ia bermaksud mengenalkan sejarah Indonesia, ini bisa berarti banyak orang yang tidak mengenalnya. Siapa? Kalau bukan anak-anak pemecah kaca itu, ya, barangkali kaum Cina perantauan, puak dari mana Nyoo berasal. Roy Marten, produser sekaligus pemeran utama film epik Wolter Mongisidi merumuskan keinginannya secara lain. "Saya ingin orang Indonesia tidak hanya mempelajari sejarah, tapi juga belajar dari sejarah," katanya. Untuk tujuan itu, Roy Marten menanamkan uang ratusan juta, dan dengan masa penggarapan film selama tujuh bulan -- terlama sepanjang karirnya sebagai bintang film. Itu pun dia merasa gagal. Dan untuk pembuatan film R A. Kartini, (produsernya, antara lain, PT Archipellago Film) menghabiskan Rp 800 juta. Sedangkan sutradara Sjumandjaya kehilangan bobot 8 kg selamat delapan bulan proses pembuatan. Lain lagi Yenny Rachman, pemeran Kartini. Ia telah berjanji pada diri sendiri tidak akan mau lagi memerankan tokoh sejarah. "Bagi saya Kartini adalah film sejarah pertama sekaligus yang terakhir," katanya. Ia menambahkan beban mental yang disandang terlalu berat. "Kalaupun nanti ditawarkan memerankan tokoh sejarah lagi, saya harus menerima kesepakatan terlebih dulu dari seluruh rakyat Indonesia," ungkap Yenny prihatin.
Sejarah, dalam wujud rangkaian peristiwa atau tokoh, yang pernah terjadi dan pernah hidup, memang dalam banyak hal menggiurkan tapi juga menyuguhkan banyak tantangan. Industri film seperkasa Hollywood mungkin tidak menghadapi kesulitan apa-apa untuk mengangkat kembali kebesaran Musa, ketangguhan Ben Hur, "keajaiban" Jean d'Arc atau kehebatan Jenderal Patton. Bahkan Anda boleh memungut nama tokoh sejarah mana saja, agaknya tidak ada yang luput dari jangkauan Hollywood. Dalam menggarap sejarah, industri film itu konon bisa dikatakan telah mengembangkan gayanya sendiri. Lewat gaya tersebut ia telah menciptakan kembali sejarah -- kendati penuh dengan hal-hal kecil yang tidak relevan, akting yang tidak dapat dipujikan atau segi-segi dramatik yang amat terabaikan. Di luar semua kelemahan itu, Hollywood terus menciptakan film kolosal raksasa dalam biaya, jumlah pemain, dan tetek-bengek peralatan. Apakah dengan demikian sejarah sudah berhasil diwujudkan sesuai dengan peristiwa aslinya? R.Z. Leirissa, sejarahwan ahli Maluku, berkata: "Film adalah film dan sejarah adalah sejarah." Ia ingin menyatakan bahwa, adalah tidak wajar menuntut film sejarah sebagai sama dan sebangun dengan sejarah itu sendiri. Ini mustahil. Jadi kalaupun orang film di Indonesia, dengan segenap keterbatasan teknik dan biaya, masih berani membuat film sejarah, hara sebagai dianggap satu permulaan. Katakanlah gejala yang menggembirakan. Ditinjau dari pihak sineas, ikhwal terpikatnya mereka mudah dijelaskan. Sejarah Indonesia adalah khazanah yang kaya dengan ceriu yang otentik, tokoh yang siap pakai, alur yang jelas, sesuatu yang serba besar. Sebaliknya, apa yang dicari produser? Laba? Nyoo menghabiskan Rp 300 juta untuk November 1828 uang diperolehnya kembali cuma Rp 200 juta.
Toh ia tidak jera. Nyoo sedang gandrung barangkali. Dewasa ini ia menganjurkan Sjumandjaya bersiap-siap dengan film tentang Ki Hajar Dewantara dan Chairil Anwar. Sementara Teguh Karya diminunya pula untuk mencari lokasi bagi produksinya yang akan berjudul: Cut Nya' Dhien. Nyoo sendiri riset ke Yoya dan Sala (persiapan Ki Hajar), setelah lebih dulu menawarkan peran Cut Nya' Dhien pada Herlina, Si Pending Emas. Untuk peran Chairil diunggulkannya Rendra. "Tapi apakah dia boleh main oleh pemerintah?" tanya Nyoo. Penyair Rendra, yang belakangan ini banyak terlibat politik praktis, memang agak kurang disukai pemerintah. Seperti halnya Nyoo, juga Roy Marten terjun sendiri untuk riset. Selain riset kepustakaan, juga melakukan riset lapangan. Untuk persiapan film tentang Wolter Mongisidi, ia sampai tiga kali pulang balik Jakarta-Sulawesi. Bahkan memesan dokumen-dokumen tentang pahlawan nasional itu ke Belanda -- sayang datangnya terlambat. Penulis skenario film sejarah juga punya hambatan. Menurut Putu Wijaya, yang membuat kerangka dasar skenario film Wolter Mongisidi, ia dipesani macam-macam oleh pemerintah maupun keluarga yang ikut dalam peristiwa di Sulawesi Selatan sesudah kemerdekaan itu. Misalnya, ada bagian dari riwayat Wolter yang tak boleh diceritakan. Takut menyinggung keluarga yang masih hidup. Keberatan tak cuma ditemui di sini. Di Pakistan, misalnya, pemerintah dikabarkan melarang film Gandhi, yang memenangkan delapan Oscar, diputar di negeri itu. Khawatir rakyat akan protes keras terhadap penggambaran tokoh Ali Jinnah, pendiri Pakistan, yang tak begitu menonjol dalam film tersebut. Adapun Dwipayana yang memfilmkan sejarah untuk pendidikan masyarakat (dalam rangka program pemerintah), Juga bersikap waspada. Meski PPFN memanfaatkan sepenuhnya bahan-bahan yang disediakan Pusa Sejarah ABRI, juga mengecek langsung ke para pelaku yang masih hidup.
Misalnya, orang-orang yang terlibat pengeboman Salatiga atau penyerbuan Yogya untuk film Serangan Fajar. "Dasar cerita dijadikan pegangan, hingga pembuatan film tidak aneh-aneh," kata Dwipayana. Ia menambahkan obyekivitas merupakan sasaran utama, karena itu ia perlu menegaskan pagi-pagi semua film sejarah PPFN tidak akan pernah mungkin menjadi alat propaganda. Dan sama seperti Nyoo, Dwipayana untuk memilih pemeran tokoh sejarah, titak merasa perlu terpatok pada suDerstar "Pembuatan film sejarah di sini tidak perlu serba gemerlapan seperti Hollywood. Bisa-bisa justru tidak sesuai dengan kenyataan sejarah," ujarnya. Sesudah persiapan yang rumit dan proses pembinaan yang melelahkan, bagaimana nasib film sejarah di pasaran? "Laku ditonton bukan tujuan utama," kata Dwipayana. Begitupun PPFN bekerja sama dengan Departemen P&K untuk pemutaran film bagi anak sekolah. Film November 1828 meski seret di Indonesia, laku juga di Berlin dan Jepang (untuk siaran tv). Tapi film R A. Katini yang menjadi topik diskusi Figur Sejarah Dalam Film Indonesia yang diadakan majalah Zaman, nampaknya laku keras. Hingga produser Widodo Sukarno dapat mengatakan: "Prospek film sejarah baik, asalkan landasan perfilman nasional jangan dirusak lagi dengan kebijaksanaan yang menghambat. "Diingatkannya, film sejarah muncul karena tuntutan masyarakat pada film berbobot. Cuma sayang, banyak film itu kurang daya tarik, mungkin karena pengolahannya kurang baik. Makanya kepada sutradara dituntut agar menyalurkan keinginan masyarakat itu di samping menggali bahan-bahan sejarah yang terkadang langka. Nampaknya tuntutan terhadap sutradara tidaklah sesederhana yang disebut Widodo. Mengapa? Kuntowijoyo, pengajar metodologi sejarah pada Fakultas Sastra UGM, punya persyaratan. "Film sejarah harus mampu mengetengahkan kebenaran faktual, dapat menangkap semangat zaman, dan anachronismenya harus jelas pula," katanya. Ia keberatan fakta sejarah didramatisasi, khawatir fakta itu melenceng nantinya.
Kuntowijoyo, sejarahwan yang juga penulis novel, mengambil adegan Kartini meninggal sebagai contoh. "Tidak tragis," katanya, "seperti kematian orang agun saja." Khusus adegan ini, yang jadi masalah agaknya bukan fakta, tapi interpretasi sutradara. Sjuman telanjur mengagungkan Kartini hingga tidak mungkin baginya membuat kematian pahlawan wanita itu biasa-biasa saja. Apalagi yang tragis. Dan celakanya, Sjuman melukiskannya berlebihan -- pakai aureol segala. Menteri P&K Prof. Dr. Nugroho Notosusanto -- juga dikenal sebagai seorang ahli sejarah Indonesia kontemporer -- menampilkan sebuah gagasan yang baik. "Kalau saya membuat film sejarah," katanya serius "saya kumpulkan terlebih dahulu sejarahwan dan seniman film. Di situ sejarahwan akan berfungsi sebagai pemberi fakta dan seniman berfungsi sebagai pengolah fakta untuk kemudian menuangnya dalam bentuk film." Tapi untuk sampai kepada bentuk film, banyak ranjau harus dilewati. Dan demi keselamatan, Prof. Sartono Kartodirjo, pendekar sejarah pada UGM, menegaskan dua hal: Pertama, urutan peristiwa harus dijaga tidak boleh diputar balik. Kedua, setting sejarahnya harus terjaga, di samping kebenaran sejarahnya harus tetap terpelihara. Alasan Sartono tentu ada. Urutan peristiwa perlu ditinjau dari segi edukatif. Kalau tidak urut, ya, film sejarah itu bisa dianggap merusak. Setting penting, agar penonton bisa menyerap masa lampau, utuh, suasana dan jiwanya. "Sebab jiwa zaman Mataram lain dengan jiwa sekarang," tukas Sartono. Perihal kebenaran sejarah, ini mutlak, dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tapi, Sartono paham tuntutan itu berat dan mahal. Sampai-sampai ia sendiri bertanya: "Apa masih mungkin membuat film sejarah?" Keraguan seperti itu tidak ditemukan pada Dr. Taufik Abduliah, sejarahwan jebolan UGM, yang kemudian memperdalam ilmunya di Cornell University, Amerika Serikat. Menurut Taufik, sebuah film sejarah, apakah sekadar mengangkat cerita atau tokoh sejarah, bisa saja dibuat asalkan tidak bertentangan dengan accepted histoy.
Pendapatnya ini diperkuat R.Z. Leirissa. Tapi apa itu accepted history. Tidak lain sejarah berdasarkan fakta yang ada. Contoh, Kartini yang putri bupati dengan selirnya tidak bisa disulap menjadi putri seorang sultan Fakta ini tidak bisa ditawar-tawar. Taufik, yang senang menonton film-film sejarah, rupanya memaklumi beban seorang sineas. Tidak heran kalau ia berkata: "Dalam batas-batas tertentu seorang sineas boleh diberi kebebasan menjadi (Muhammad) Yamin baru. Ia bebas mengembangkan imajinasinya." Yamin, searahwan, adalah tokoh pembaru dalam soal-soal sejarah nasional. Menurut Taufik, yang terpenting dalam pembuatan film sejarah adanya kesesuaian antara fakta dan makna yang ingin disampaikan. Bahkan ia, begitupun Leirissa, tidak keberatan jika sejarah kontemporer difilmkan (misalnya SOB). "Mengapa tidak?" tantangnya. "Risiko memang ada, tapi kalau kita takut pada risiko, maka tidak ada yang dapat kita kerjakan." Lebih dari itu, untuk film sejarah, cara kompromi ataupun romantisasi dianggapnya sah, sejauh itu tidak meninggalkan kecermatan faktual. Tapi tak urung ia menyesalkan ketidakcermatan sineas. Contoh: kehadiran Komandan Warouw dalam film Janur Kuning sudah menyimpang dari sejarah. Menurutnya, sesuai urutan peristiwa, waktu itu Warouw justru berada di Jawa Timur. Sedang cerita film Janur Kuning berfokus pada peristiwa di Jawa Tengah.
Terlepas dari persyaratan ilmu sejarah, yang bisa membuat para sineas gentar bahkan buyar, baik Sartono maupun Taufik tidak sampai tergelincir ke pandangan sempit. Sebaliknya, guru besar UGM itu melihat kegunaan praktis yang bisa diperoleh dari film sejarah. "Ia bisa menyadarkan masyarakat bahwa kita mempunyai masa lampau yang diwarnai pergolakan. Juga bisa menghargai perjuangan dan penderitaan masyarakat." Dengan pernyataan ini, boleh dibilang, terciptalah titik temu antara pemikiran seorang Sartono, seorang Nyoo Han Siang, dan seorang Roy Marten. Di situ para sineas tidak lagi harus dituntut, tapi mereka harus siap mental untuk berani menangkat kebenaran faktual seraya menangkap semangae zaman. Dan di situ pula para sejarahwan dapat menghargai kebebasan daya cipta seniman film, -- dengan catatan dalam batas-batas yang sah dan memungkinkan. Arifin C. Noor, sutradara Serangan Fajar dan SOB, menerjemahkan kondisi siap mental itu dalam tiga pendekatan yang dilakukannya terhadap film sejarah: pendekatan kesejarahan, pendidikan, dan keindahan. Ketiga pendekatan itu, menurut Arifin, bukan prosedur mati, tapi larut menyatu, seperti lumrahnya proses penciptaan seni. Resep Arifin ini bisa diuji penonton lewat film Serangan Faiar atau SOB yang akan dibioskopkan Agustus depan. Sejarahwan Abdurrahman Suryomihardjo, peneliti di Leknas-LIPI, sementara itu mengungkapkan penghargaannya ke alamat sineas. "Film sejarah masih merupakan karya seni," katanya. Dan suatu karya seni lebih dari sekadar rekonstruksi sejarah.
Ia lebih memberikan gambaran yang hidup daripada karya tulisnya sendiri." Berangkat dari pemahaman sejarah Arifin ataupun pemahaman artistik Abdurrahman, pantas kalau dikatakan sejarahwan dan seniman film harus saling mengisi. Tentu saja tanpa menutup pintu untuk kritik karena film sebagai seni dan sejarah sebagai ilmu (juga seni?) perlu tiap kali diuji, ditempa, disempurnakan. Bagaimana seharusnya film sejarah dibuat? Apakah film sejarah, kecuali sebagai tontonan, juga berperan dalam meningkatkan kesadaran sejarah masyarakat? Film Janur Kuning, misalnya, oleh Ashadi Siregar, novelis terkenal itu, dinilai gagal bahkan sebagai pelajaran sejarah. "Karena faktanya berubah jadi subyektif," kata Ashadi. Ia didukung oleh Indra Ariyani, mahasiswi Fak. Biologi UGM. "Saya hanya melihat dar-der-dor melulu. Tidak nampak kehebatan Pak Dirman (maksudnya: Jenderal Sudirman) sebagai pahlawan." Akan Ara Ruhara, mahasiswi tingkat terakhir Fak. Sospol UGM, menyimpulkan begini, "Janur Kuning itu film perang bukan film sejarah." Jelas, komentar-komentar itu mewakili pandangan yang kritis. Jelas pula sejauh yang menyangkut Janur Kuning terselip keberatan agar film yang mutunya begitu tidak sampai terulang lagi. Tapi paling jelas dari semua itu ialah kenyataan bahwa film sejarah bukan saja tidak mudah membuatnya, tapi pihak penonton pun, terkadang, bahkan sering menuntut terlalu muluk. Lupa, kemampuan kita tidak seperberapanya Hollywood. Tidak heran bila Sjuman jadi berang. Menurut sineas ini, film sejarah kurang semangat bikinnya dan semangat modalnya. "Biayanya besar, bikinnya ruwet, ngurus izinnya celaka, risetnya lama ... waktu dilempar ke pasaran, nggak ada yang nonton." Pahit, memang.
30 Januari 1993
Kolonialisme hitam-putih
SEGALANYA dimulai dengan warna. ''Mereka'' berwarna putih kekuning-kuningan dan biasa disebut ''kulit mentega''. Sedangkan ''saya'' berwarna cokelat dan sering disebut ''kacang tanah''. Marion Bloem tumbuh dengan pertanyaan-pertanyaan tentang perbedaan antara dirinya dan lingkungannya. Ia bukan orang Indonesia, tapi Belanda. Namun ia tak sepenuhnya menerima sebagai bagian dari Belanda. Tepatnya, ia seorang indo. Tapi apa arti di balik kata itu? Apa ia hanya menjelaskan bahwa ia adalah bayi yang sedang dikandung ibunya ketika orang tuanya terengah-engah harus lari ke Belanda? Atau indo adalah sekelompok inlander yang mendompleng dan menyusahkan orang Belanda? Ataukah indo adalah ''anjing-anjing Belanda'' yang oportunis? Ini salah satu pertanyaan yang dilontarkan film dokumenter And Never the Twain shall Meet. Film ini diputar pada Pekan Film Indonesia-Belanda di Balai Erasmus, sejak pekan lalu.
Dengan gaya polos dan sederhana, Marion Bloem, seorang gadis indo yang orang tuanya juga peranakan Indo-Belanda, menjelajahi asal-usulnya dengan mengadakan wawancara dengan orang tua dan neneknya, menghadiri reuni orang-orang indo, mempelajari tari Bali. Sebagai generasi indo yang tumbuh di negara Barat, Marion tentu saja menjadi anak yang jauh lebih kritis dan lebih mempersoalkan posisi orang tuanya. Misalnya, ia mempertanyakan kenapa ayahnya, yang selalu mengakui mencintai Indonesia, toh memihak KNIL pada masa perang. ''Kami tak pernah dianggap bagian dari masyarakat Indonesia,'' kata ayahnya. Sebutan ''anjing Belanda'', terlepas apakah mereka memihak tentara Indonesia atau Belanda, adalah cap yang melekat bagi orang-orang indo di Indonesia. Persoalan identitas ini juga menjadi salah satu tema film My Blue Heaven karya Laurens Geel dan Dick Maas. Keluarga Charles Benoit terpaksa pergi ke Belanda ketika pemerintahan Bung Karno pada tahun 1961 membersihkan orang-orang Belanda dari Indonesia. Keluarga peranakan indo yang sudah merasa sebagai orang Indonesia ini harus kaget hidup di Amsterdam yang dingin, di mana mereka hanya boleh mandi sekali seminggu, dan kehidupan yang penuh kecurigaan rasisme. Dengan adegan-adegan sederhana dan penyuntingan gambar yang rapi, Geel dan Maas berhasil menyuguhkan kisah keluarga Benoit yang mencoba membangun sebuah restoran Indonesia yang diberi nama My Blue Heaven dan harus bertahan menghadapi cercaan kawan-kawan dan tetangganya, hanya karena mereka ''berwarna kacang tanah''.
Tapi, di mata Geel dan Maas, tidak semua orang Belanda jahat. Memang ada tiga kawanan ''orang putih'' yang digambarkan sebagai stereotip orang Eropa yang jahat: pemabuk dan bersikap rasis. Tapi ada juga seorang pemuda Belanda yang jatuh cinta pada Brenda, anak sulung keluarga Benoit. Bagian inilah yang menarik dari beberapa film Belanda yang diputar dalam pekan film yang masih berlangsung hingga pekan ini. Sutradara Belanda generasi pascakolonialisme bahkan kini ikut mengutuk kolonialisme yang menjadi sebuah bagian yang memalukan dalam sejarah mereka. Tapi para sineas Belanda juga merasa perlu mengajukan tokoh-tokoh Belanda yang menunjukkan bahwa tidak semua orang Belanda jahat, rasis, dan bermental kolonial. Bahkan kalau perlu tokoh Max Havelaar, yang sebenarnya adalah sekrup dari mesin kolonialisme itu, maju sebagai pembela keadilan. Max Havelaar karya Fons Rademakers, yang juga diputar, sesungguhnya membentangkan sebagian dari sejarah penindasan umat manusia. Penindasan itu, di mata Rademakers, tidak hanya terjadi antara dua bangsa. Ada penindasan Belanda terhadap rakyat Indonesia dan ada penindasan seorang bupati pribumi terhadap rakyatnya sendiri. Havelaar (Peter Faber) memang seorang asisten residen yang mencoba menjadi adil. Tapi Rademaker juga memperlihatkan bahwa Havelaar juga seorang aparat kolonialis ''normal'', yang sesungguhnya berambisi ingin menjadi gubernur jenderal dan menggunakan Lebak sebagai batu ujian kariernya. Film Indonesia yang diputar adalah Doea Tanda Mata (Teguh Karya), Tjoet Nya' Dhien (Eros Djarot), Pagar Kawat Berduri (Asrul Sani). Pada karya Teguh dan Eros, mau tak mau orang-orang Belanda digambarkan sebagai sekumpulan penindas yang kejam dan laknat.
Pada karya Asrul Sani, orang-orang Belanda memang sengaja menjadi latar belakang, sementara orang-orang Indonesia yang saling bergumul -- antarkawan dan lawan -- menjadi peran utama film-film tersebut. Konsentrasi para sineas pada perjuangan orang-orang Indonesia ini agaknya tidak memudahkan mereka untuk mengeksplorasi watak orang-orang Belanda yang -- meskipun penjajah -- seharusnya cukup heterogen. Kita hanya melihat perkecualian dalam Pagar Kawat Berduri. Tokoh Sersan Koenen yang berwatak kompleks adalah orang Belanda yang bersimpati pada pribumi dan menentang kekerasan. Tapi toh ia seorang aparat kolonialis Belanda yang rajin mengatakan ''tentu kalian bisa merdeka, tapi harus tunggu waktu''. Penyajian persoalan -- apalagi dengan tema kolonialisme -- yang tidak hitam-putih biasanya akan membuat penonton berpikir lebih jauh tentang misi film itu, yang pasti bukan sekadar ingin memunculkan seorang pahlawan Indonesia. Dan inilah yang agaknya harus dipikirkan oleh para sineas Indonesia. Rademaker dan Asrul Sani adalah dua sutradara yang berhasil menggambarkan kompleksnya persoalan kolonialisme. Jika film-film semacam ini dibuat lebih banyak, niscaya kita tidak hanya belajar mengenal ''mereka, sang penjajah yang berkulit kuning mentega'', tapi juga mempelajari diri sendiri. Leila S. Chudori
Tidak ada komentar:
Posting Komentar