Sabtu, 10 April 2010

MELAWAN FILM HOLLYWOOD

13 Juli 1991
Kiat melawan air bah
Usmar Ismail meninju pemilik bioskop agar filmnya diputar. Ke mana larinya dana produksi film nasional? FILM Krisis karya Usmar Ismail membuat sejarah pada tahun 1953. Film itu menembus dan bertahan lima minggu di bioskop elite. Lebih komersial dibanding dengan Ivanhoe meskipun sedikit di bawah Quo Vadis -- keduanya produksi MGM Amerika. Padahal, AMPAI (American Motion Pictures Association of Indonesia) baru membuka kantor di Jakarta, dan film-film Amerika datang bagai air bah. Usmar sukses karena mendatangi langsung pemilik bioskop Capitol, seorang warga Belanda bernama Weskin. Lalu dagu orang itu ditinjunya. Eh, ternyata Krisis diterima Capitol, dan tiap malam menyedot 4.000 penonton. Di Palembang, produksi PT Perfini itu diputar seminggu, dengan 5.000 penonton tiap malam. Baru empat belas tahun kemudian lahir lagi film nasional yang bagus, ketika B.M. Diah diangkat jadi menterl penerangan (1963-1968). Misalnya, Apa yang Kau Cari Palupi (1967) karya Asrul Sani. Film ini lahir lewat serangkaian proteksi dan usaha keras melahirkan film-film bermutu. 

Menurut Dr. Umar Kayam, Dirjen Radio Televisi dan Film (RTF) di zaman itu, caranya adalah dengan membuka lebar-lebar keran film impor. Jumlah film asing pernah 700 judul setahun. Tapi tiap judul tak boleh melebihi dua kopi. Kayam menarik Rp 250 ribu dari tiap judul film impor, untuk dana produksi dan rehabilitasi film nasional. Ada Dewan Produksi Film Nasional (DPFN), dengan arggota, antara lain, Asrul Sani. "Dengan dana dari importir, lalu dibentuk tim untuk menentukan sutradara, penulis skenario dan bintang filmnya," kata Kayam. Dan lahirlah Apa yang Kau Cari Palupi, film terbaik FFI 1970 yang tak mampu mengembalikan modal Rp 30 juta. Tapi Bernapas dalam Lumpur (1967) karya Turino Djunaedi atau Nyi Ronggeng (1967) karya Alam Surawijaya berhasil komersial. Belakangan, para importir film protes, menuduh ada pemborosan dalam pemakaian dana produksi tadi. Padahal, Dirjen RTF hanya memberi pinjaman modal kerja pada produser. Namun, "Tanpa bunga. Bahkan, kalau produser rugi, mereka tak usah mengembalikan modal. Itu memang risiko. Yang penting, kita telah bikin film bermutu," kata Kayam, profesor doktor sosiologi yang kini mengajar di Pascasarjana UGM. Ketika Boediardjo menggantikan B.M. Diah pada tahun 1968, dana produksi tetap dipungut. Dana dihimpun oleh sebuah yayasan film, untuk biaya produksi film nasional. Lahirlah film silat yang lumayan, Si Jampang Mencari Naga Hitam karya sutradara Lilik Sudjio. Belakangan, DPFN dibubarkan. Boediardjo juga membentuk Badan Koordinasi Importir Film (BKIF) untuk menangkis persaingan tak sehat di antara sesama importir film. 

Kenyataannya, BKIF ini disinyalir banyak menarik pungli dari para importir. Sewaktu Mashuri menjabat menteri penerangan, BKIF dibubarkan. Film nasional dapat proteksi hebat lewat "Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri" pada 1975. Bioskop diwajibkan memutar minimal dua judul sebulan. Untuk mengatur distribusi, tahun itu juga dibentuk PT Perfin. Setahun kemudian, dibentuk empat konsorsium importir film (KIF). Kuota film asing dipatok: 350 judul setahun. Importir juga digiring untuk membuat film nasional. Dari satu judul film nasional yang diproduksi, importir dapat jatah impor tiga film asing.

Yang tak memproduksi wajib membeli tiga sertifikat dengan nilai masing-masing Rp 3 juta, untuk mendapat izin mendatangkan satu judul film impor. Produksi pun melonjak. Pada tahun 1977, tercatat ada 135 judul film nasional dengan kualitas amburadul. Menteri Ali Moertopo yang datang kemudian mengubah KIF menjadi Asosiasi Importir Film (AIF). Kuota film asing dipangkas lagi, tinggal 260 judul termasuk 25 film anak-anak. Setiap judul dikenai Rp 3 juta untuk sertifikat produksi film nasional. Jumlah itu menciut jadi hanya 200 judul ketika Menteri Penerangan Harmoko naik pentas. Dana produksi film nasional tetap ditarik dari importir Rp 3 juta untuk tiap enam kopi pertama dan Rp 1 juta untuk tambahan maksimal sampai 12 kopi. Tahun ini, kuota film asing tinggal 160 judul. Departemen Penerangan, lewat Dewan Film Nasional (DFN), masih mengenakan pungutan Rp 3,5 juta untuk tiap enam kopi pertama, dan Rp 500 ribu untuk tiap 18 kopi tambahan. Bos Subentra Sudwikatmono menaksir, jumlah yang ditarik Deppen dari importir itu "milyaran" jumlahnya. "Dana itu bisa dipakai untuk menyuntik modal produser film nasional," kata bos Studio 21 itu. Tapi belum pernah terdengar ada film nasional yang dibuat dengan dana tadi. Jangan khawatir. "Uang itu terkumpul di Dewan Film Nasional. Sebagian besar di bank," ujar Dirjen RTF Alex Leo Zulkarnain. Dari bunganya saja, segala keperluan administrasi dan honor anggota DFN bisa ditanggulangi. Sebagian dana itu untuk membiayai kegiatan DFN, konon seperti pendidikan dan pelatihan orang film di luar negeri. Kalau selama ini tak ada film nasional yang dibiayai DFN, itu karena tak pernah ada proposal dari produser atau sutradara ke alamat DFN. "Kalau feasible, bisa diterima," kata Alex Leo. Nah, para produser dan sutradara, serbu saja. Toriq Hadad, Wahyu Muryadi, Leila S. Chudori, dan Kastoyo Ramelan


29 Juni 1991 


Hollywood datang, pribumi minggir 

Dua perusahaan film Amerika anggota MPEAA mulai menancapkan kukunya di Indonesia. Ada sejumlah reaksi, dan tudingan monopoli pun kembali mencuat. Di mana tempat film Indonesia? STUDIO pembuatan poster film itu mirip gudang. Udara panas. Beberapa lelaki dengan bertelanjang dada dan belepotan cat tampak bekerja ektrakeras. Mereka harus menyiapkan puluhan poster yang bergambar Kevin Costner sedang membentangkan panah. Itulah poster film Robin Hood: Prince of Thieves. Pelukis poster di Sin Studio yang berada di kawasan Bendungan Jago, Kemayoran, Jakarta Pusat itu memang harus lembur siang malam. Poster itu harus sudah jadi pekan ini untuk dipasang di 48 gedung bioskop yang akan memutar Robin Hood. Pekerjaan yang terburu-buru, memang. Itulah hasil dari kerja sama perusahaan film AS anggota MPEAA (Motion Picture Export Association of America), Time Warner- gabungan produsen film kondang Warner Bros dan kelompok majalah Time- dengan mitra dagangnya di sini, PT Satria Perkasa Estetika Film, yang ditandatangani Jumat dua pekan lalu di Jakarta. Robin Hood, yang di Amerika sendiri masih diputar di 2.639 gedung dan box office, betul-betul film yang masih gres. (Tentang film ini buka halaman 107). Tampaknya di hari mendatang, film-film laris dan berkelas akan bisa ditonton pecandu film di Indonesia pada saat tontonan itu masih hangat "dibicarakan" dunia. Warner Bros, umpamanya, menjanjikan film karya sutradara masyhur Francis Ford Copolla, Godfather III dan Batman, yang dibintangi Jack Nicolson, menyusul Robin Hood tadi. 

Artinya, penggemar film bermutu tak perlu memburu video atau cuma bisa mengomel seperti ketika film Rain Man yang dibintangi Dustin Hoffman muncul dua tahun setelah menerima Oscar sebagai film terbaik.

Atau, sedikitnya ada alternatif cukup selain menonton film sontoloyo. Kabar baik buat penonton ini, kalau benar demikian pelaksanaannya, datang bersama masuknya dua anggota MPEAA ke In- donesia. MPEAA adalah kelompok eksportir yang mengageni penjualan film-film perusahaan layar putih kenamaan Hollywood yang tergabung dalam MPAA (Motion Picture Association of America). Atau biasa disebut, MPEAA adalah divisi luar negeri MPAA. Selain Warner Bros, UIP (United Internasional Pictures) pun berkongsi dengan PT Camilia Internusa Film- anggota Asosiasi Importir Film Eropa-Amerika (AIFEA). Ini berarti hampir semua anggota MPEAA punya tangan di sini, karena UIP mengageni distribusi anggota MPEAA yang lain, MGM, Paramount, Universal, dan United Artists. Dan tak lama lagi angin Hollywood akan bertambah kencang. Karena menurut Kamarulzaman Algamar, Dirjen Perdagangan Luar Negeri, tiga eksportir AS lainnya- juga anggota MPEAA- sudah siap menjajakan langsung filmnya ke mitra di Indonesia. "Yang satu negosiasinya hampir final. Dan dua lagi masih dalam proses," kata Algamar kepada Bambang Harymurti dari TEMPO di Washington. 

Algamar berada di sana untuk mempersiapkan perundingan dagang ASEAN-AS. Yang hampir final itu, kata Al- gamar, adalah perundingan antara Columbia Pictures dan PT Amero Mitra Film, anggota AIFEA yang lain. Pagi-pagi Dirjen Radio Film dan Televisi Deppen Alex Leo Zulkarnain menegaskan, kerja sama ini tidak mengubah syarat pemerintah untuk masuknya film impor: sensor dan kuota. Karena, sifat film asing, kata Alex, hanya sebagai pelengkap film nasional.

"Supaya masyarakat ada punya perbandingan," katanya. Untuk tujuan itulah makanya perlu mengatur jumlah film asing yang masuk, untuk melindungi film tuan rumah. Namun, muncul tanda tanya besar di balik perkongsian anggota MPEAA dan mitra lokalnya. Karena ternyata perusahaan asing ini memilih kompanyon lokal dari kelompok yang dituduh selama ini telah melakukan praktek monopoli peredaran film impor- suatu praktek yang tadinya dikecam dan mengancam hubungan dagang ASIndonesia. Tentu saja yang dimaksud adalah kelompok Subentra- importir, distributor, dan pemilik jaringan sinepleks 21, yang sebagian besar sahamnya dimiliki raja bioskop Sudwikatmono. Satria Estetika itu jelas-jelas anak perusahaan Subentra. Dan Camilia pun kompanyon grup 21. 

Bagaimana awal mulanya sehingga MPEAA bisa masuk ke sini? Menurut A. Rahim Latif, kepala seksi luar negeri dan festival PT Ekapraya Film yang lama berkecimpung di bidang distribusi film, MPEAA mencium ketidakberesan peta peredaran film AS di Indonesia sejak tiga tahun lalu. Inti soal adalah masuknya film lewat satu importir, walau secara de jure anggota asosiasi importir Eropa-Amerika ada lima biji. Monopoli ini menyebabkan pilihan film yang beredar di Indonesia, "mewakili selera rendah dan murahan saja," kata pihak MPEAA. Konon, pengusaha Amerika merasa malu kalau dianggap film-filmnya cerminan masyarakatnya- hanya digambarkan dekat dengan kekerasan dan seks bebas. Newsweek edisi April menyebut "film darah dan seks macam Tango & Cash dan Die Hard yang tidak membawa pesan morallah yang masuk ke Indonesia. Bukan jenis lainnya." Selain itu, yang lebih penting, studio Hollywood merasa monopoli itu telah membatasi keuntungan sampai US$ 50 juta per tahun. 

Laba yang seharusnya diperoleh bila mereka bisa memasarkan sendiri produk-produknya langsung ke Indonesia di bawah bendera MPEAA.

Strategi pemasaran langsung ini- bahkan tanpa kuota sudah mereka lakukan, antara lain, di Malaysia, Singapura, Hong Kong, Korea, dan Jepang. Jack Valenti, presiden MPAA dan sekaligus pimpinan eksekutif MPEAA, memasukkan "daftar dosa" Indonesia itu dalam laporan tahunnya pada USTR (United States Trade Representative)- Departemen Perdagangan AS. Pada akhir 1989 MPEAA pun melayangkan surat pada Departemen Perdagangan RI untuk meminta keleluasaan dalam ekspor film AS ke Indonesia. MPAA yang juga punya lobi kuat di Kongres AS- sampai-sampai MPAA disebut "deplu kecil"- mendesak agar Indonesia dijewer karena melakukan praktek dagang yang tidak fair. Manuver MPEAA itu berhasil membuat Indonesia masuk dalam daftar negara yang harus diamati (watch list) USTR, bersama 22 negara lain dengan "dosa" yang lain pula. Kendati kesalahan dalam kategori watch list masih termasuk dosa kecil, Indonesia tidak bisa tak peduli. "AS adalah negara penyerap ekspor nonmigas terbesar," kata K. Algamar. Contohnya, 30% dari seluruh ekspor tekstil kita masuk ke AS. Ini yang membuat Indonesia takut pada gertak MPEAA. Untuk membuktikan bahwa peringatan itu bukan main-main, MPEAA sempat melakukan aksi boikot. Caranya, mendongkrak harga jual film ke Indonesia sampai 400%. Akibatnya, bioskop hanya menghidangkan film Amerika murahan dan hanya sedikit tontonan bermutu produksi perusahaan film independen yang bukan anggota MPEAA. 

Keseriusan ancaman AS juga tampak dengan datangnya delegasi USTR merundingkan komoditi film ini dengan fihak Departemen Perdagangan. Perundingan itu sampai tiga kali dalam kurun 1989-1991. Pihak yang khawatir akan "tertembak" dengan langkah gencar MPEAA ini sempat ketar-ketir. Misalnya Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI), yang kemudian mengadukan masalah ini ke DPR, Februari lalu.

Celakanya, delegasi yang dipimpin ketua PPFI Turino Djunaidi menyebutkan MPEAA mengajukan tuntutan 10 soal. Antara lain, agar film AS yang masuk ke Indonesia diisi suara berbahasa Indonesia, mencabut ketentuan wajib putar film nasional, izin membuka jaringan bioskop sendiri. Setelah keluhan PPFI dimuat di media massa, Paian Nainggolan- waktu itu Dirjen Perdagangan Luar Negeri- menyebutkan delapan dari 10 klausul MPEAA versi PPFI itu hanya isapan jempol belaka. Yang benar hanya dua tuntutan: "MPEAA menuntut memasukkan langsung film AS ke Indonesia dan mendistribusikannya sendiri," kata Paian Nainggolan. Isapan jempol yang dibuat PPFI itu sempat membuat Sutradara Eros Djarot berang dan menuduh pembuat 8 klausul palsu itu punya maksud-maksud tertentu. Perekayasa klausul palsu itu ingin membangkitkan rasa nasionalisme bangsa untuk menghambat masuknya MPEAA. Padahal, di balik itu, kata Eros, "Untuk kepentingan kelompok tertentu yang diuntungkan dari bisnis film impor." Bagaimana sebenarnya peta importir film di Indonesia? Ada tiga asosiasi importir yang membawahkan 16 perusahaan, masing-masing dengan kuota yang ditentukan. Untuk film Eropa-Amerika kuota untuk tahun ini sebanyak 80 judul (lihat Zaman Keemasan Kelompok 21). Namun, dalam prakteknya, sejak 1985, PT Suptan Film, yang menjadi anggota asosiasi importir film Mandarin, merangkul yang lain. 

Maklum, di belakangnya duduk pemodal raksasa, duet pemilik PT Subentra- kependekan dari Sudwikatmono dan Benny Suherman Putera. Sudwikatmono sebagai presiden direktur dan Benny Suherman sebagai direktur. Dalan praktek, Suptan-lah yang menguasai semua kegiatan ketiga asosiasi itu.

Karena anggota-anggota asosiasi yang lain kekurangan modal. Tiga asosiasi itu berada dalam satu atap manajemen. Dan perkembangannya kemudian lewat Subentra, mereka menguasai bukan saja jalur impor, tapi distribusi dan bioskopnya sekaligus, di hampir semua kota besar Indonesia. Mereka membuat distributor tunggal di daerah-daerah. Dari sinilah diatur jadwal pemasokan film impor itu. Umumnya, pembelian film impor dilakukan dalam bentuk paket yang dijajakan pada pasar bursa film Cannes (Prancis) dan Hollywood (AS), dua tahun sekali. Satu paket berisi 20-40 judul, dengan harga rata-rata US$ 1.500 per film, atau Rp 60 juta sampai Rp 120 juta satu paket. Beli paket ini untung-untungan, syukur kalau ada terselip film bagus. Namun, secara formal, pembelian film lewat paket itu dilakukan atas nama anggota asosiasi. Misalnya PT Perfini, yang didirikan Bapak Perfilman Indonesia Usmar Ismail. Tahun ini, Perfini "membeli" tiga judul saja. "Ya, kita atur-atur saja pembagian kuota di antara anggota," kata Irwan di kantornya yang gelap, dengan AC yang tidak dingin dan tanpa bunyi dering telepon, di sudut Menteng Raya, Jakarta. Atur-atur itu tentunya termasuk urusan uang. "Kami bisa pinjam-meminjam uang untuk mengimpor," kata Irwan lagi. "Terutama dari Pak Dwi," ujar lulusan Fakultas Teknik UI ini terus terang. Jika anggota asosiasi ingin mandiri, mereka butuh modal besar dan celakanya sulit meminta kredit bank. Sebab, kata Irwan, jaminannya cuma film. 

Sementara itu, sebagai produser, Perfini dalam kurun 20 tahun sejak ditinggalkan Usmar hanya mampu melahirkan sepuluh film. Terakhir Perfini membuat film Pacar Ketinggalan Kereta disutradari Teguh Karya dan meraih lima Piala Citra. Tapi sepi di pasaran. Soal modal yang akhirnya mengukuhkan monopoli asosiasi importir ini tercium oleh pedagang film di AS dan sampai ke MPEAA. Ini yang membuat MPEAA kemudian "berteriak" dan mengajukan dua tuntutan itu.

Puncaknya, Menteri Perdagangan Arifin Siregar menawarkan konsesi pada MPEAA, Mei lalu. "Untuk menghindarkan Indonesia masuk dalam daftar prioritas utama untuk diawasi USTR," kata Arifin Siregar. Maksudnya, masuk daftar hitam untuk dijatuhi sanksi. Tapi, yang jelas, seperti yang akhirnya terjadi, pihak Indonesia tidak bisa mengabulkan permintaan MPEAA untuk mengedarkan sendiri film-filmnya. "Karena ini bertentangan dengan undang-undang kita," kata Algamar. Jadi, pihak MPEAA harus mengambil partner lokal. Pilihan itu akhirnya jatuh ke tangan Subentra Group, seperti yang sudah diuraikan tadi. Lirikan ke Subentra, kata Wakil Presiden Distribusi Film Bioskop Warner Bros, Edward F. Frumkes, "karena kami nilai mereka yang paling progresif." Terus terang, kata Frumkes, yang mengadakan konperensi pers di Grand Hyatt Jakarta, Ahad dua pekan lalu, kelebihan grup ini karena memiliki jaringan bioskop canggih. "Kursinya lebih nyaman daripada kursi kapal terbang," kata Mr. Frumkes kepada Sandra Hamid dari TEMPO. 
Dan menyajikan film bermutu di sebuah bioskop dengan peralatan canggih, sesuai dengan motonya, "Menghibur dunia, itulah bisnis kami." Frumkes mengelak pertanyaan soal putusan kenapa Warner bermitra dengan Subentra. "Mari kita lupakan masalah yang pernah terjadi," katanya, seraya mengaku tak mau tahu soal politik. Pihak Subentra mengakui, mereka diutus oleh Departemen Perdagangan untuk melobi anggota MPEAA ketika muncul demam boikot itu. "Karena ancaman yang dilontarkan AS menyangkut banyak komoditi di luar film," kata Benny Suherman, menirukan ucapan Paian Nainggolan.

Subentra dipilih karena punya akses ke Hollywood. Bagi MPEAA, masalah mereka telah terselesaikan dengan terjalinnya kerja sama ini. Tapi ada pihak yang makin tergencet dengan kedatangan raksasa Hollywood ini. Ya, para sineas kita. Sejumlah produser film pribumi merasa terperosok dalam ruang yang makin sempit dan bahkan memilih gulung tikar. Protes bermunculan. KFT (Karyawan Film dan Televisi) yang dipimpin Sophan Sophiaan dan Parfi (Persatuan Artis Film Indonesia), Rabu pekan ini rencananya mengadu ke DPR. Yang memilih bangkrut, misalnya Virgo Film. "Ini semacam protes," kata bos Virgo Film, Ferry Anggriawan. Sebab, empat film produksi Virgo terakhir, antara lain Pagar Ayu dan Barang Titipan, macet dalam peredaran. Dan itu, katanya, karena ada monopoli (lihat Cukup di Daerah Pinggiran). Eros Djarot, kendati dihubungi TEMPO sewaktu baru bangun tidur pekan lalu, langsung berapi-api ditanyai soal MPEAA ini. "Benar-benar bak membangunan macan dari tidur. Runyam. Sekarang mereka punya dua taring," ujar Eros, sutradara film Tjoet Nya' Dhien. 
Taring-taring itu, katanya, akan mengukuhkan ganjalan di pintu-pintu peredaran film nasional, baik di Jakarta maupun di daerah. Dan Eros akan menunggu apakah MPEAA akan mengkhianati falsafah negeri AS sebagai "pemimpin negara demokrasi dan pasar bebas". Ia juga membantah sebagai orang yang melaporkan borok sistem peredaran film di negeri ini pada MPEAA. "Yang mengundang keramaian itu sistem monopoli. Pelakunya jelas Suptan," kata Eros dengan bersemangat, sampai-sampai puntung rokoknya salah dibuang ke cangkir kopi. Seharusnya, kata Eros, masyarakat film Indonesia sudah mengantisipasi kedatangan MPEAA ini dan bisa bertindak sebagai pengontrol.

Duduk dalam barisan penentang ini Sophan Sophiaan, Ketua Umum KFT. Dulu, katanya, ia termasuk orang yang setuju kalau MPEAA masuk ke Indonesia. "Karena dulu saya tahu mereka antimonopoli," kata sutradara sekaligus aktor ini. Sophan yakin, lebih gampang bekerja sama dengan ekportir ini secara langsung daripada dengan kelompok "satu pintu" itu. Tapi perkiraan itu meleset, karena MPEAA bersatu dengan "satu pintu" itu. Bahkan Asrul Sani, sutradara 20 film nasional, khawatir sepak terjang MPEAA akan mengulang sejarah American Motion Picture Association of Indonesia (AMPAI) yang menghalangi perkembangan film nasional. (Lihat Mampusnya AMPAI). Hanya pada awal-awalnya saja hubungan Hollywood dan Subentra ini kelihatan mulus. Tapi tahap selanjutnya Asrul Sani meramalkan tamu-tamu ini akan mendikte mitra lokal. Dan akhirnya, yang paling parah, MPEAA akan menggoyang soal kuota film impor dengan merujuk kesepakatan GATT soal kuota film yang tertuang dalam article IV. "Jadi, sama saja memasukkan singa ke kandang kita," ujar Asrul. Namun, produser pribumi Budiati Abiyoga melihat dari sudut yang lain. Selama ini, kata pendiri PT Prasidi Teta Film itu, kalangan sineas selalu meributkan cerita monopoli itu. "Dan seolah-olah kalau Subentra Group sudah remuk, dunia film ini akan bebas. Padahal tidak," kata produser yang berjilbab ini. Menurut Budiati, karena yang diributkan itu hanya sebagian dari pasar film. Subentra dan eksportir anggota MPEAA itu, kata Budiati lagi, tak mempengaruhi nasib film nasional.

Sebab, sasaran Warner dan kawan-kawan hanya pada bioskop-bioskop kelas menengah atas. Itu bukan rumah film-film nasional, yang kalau digambarkan secara piramida berada di lapisan bawah. Perhitungan Budiati, sekitar 60% film nasional dipasarkan di bioskop kelas menengah bawah itu. Budiati justru melihat bahwa sisi positif kedatangan ekportir Hollywood ini adalah menjadi pemacu semangat sineas setempat untuk meningkatkan mutu. 

Cuma, tidak dijelaskan, bagaimana film bermutu itu- kalaupun muncul- mau dipasarkan karena bioskop sudah dikuasai importir. Pada akhirnya, bisa ditebak kelompok Subentra yang paling berseri-seri atas kedatangan MPEAA. "Kerja sama ini menguntungkan kita," kata Benny Suherman, Direktur Subentra. Sebab, kongsi ini berarti bagi hasil sama rata 50:50 di antara mereka. Semua ongkos, di luar gedung, ditanggung pihak asing. Ini berbeda dengan aturan main MPEAA di negeri lain, yang menurut Benny mengambil bagian 60%-70% laba. Warner akan langsung menawarkan film-filmnya yang hangat ke Indonesia. Dengan begitu, importir tak perlu lagi menunggu sampai film itu basi. Tapi, apakah itu menjamin bahwa film yang disajikan akan lebih bermutu? Jauh-jauh hari Benny Suherman sudah mengatakan akan ikut menyeleksi film yang ditawarkan. "Soalnya, kami yang lebih tahu selera penonton di sini," ujar Benny enteng. Jadi, lagi-lagi persoalannya adalah selera- menurut kriteria pedagang. Dan memang, film bermutu tak cuma ada di Amerika. Dan siapa yang bisa mendatangkannya ke sini? Bunga Surawijaya, Dwi S. Irawanto, Sri Pudyastuti, Moebanoe Moera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar