Sabtu, 10 April 2010

PANCA TUNGGAL SAMA SAJA MONOPOLI KEUNTUNGAN BESAR

28 September 1991

Pancatunggal dan sebuah ambisi ...
 
Pancatunggal dan Sebuah Ambisi Besar Pertama kali pihak-pihak yang bersengketa di dunia perfilman bertemu dalam sebuah musyawarah. Siapakah pemilik PT Ace, importir film Amerika, yang baru ditunjuk itu? INILAH musyawarah besar dengan keinginan besar. Selama dua hari, pekan silam, sejumlah pekerja film berkumpul di Hotel Indonesia, Jakarta. Inisiatif datang dari anggota Pancatunggal, orang-orang lapangan yang berhubungan langsung dengan persoalan perfilman nasional. Mereka adalah PPFI (persatuan produser), Parfi (artis), Gasfi (studio film), GPBSI (pengusaha bioskop), KFT (karyawan). Inti persoalan yang dibicarakan, tidak lain, soal pembinaan perfilman nasional. Karena itu, hadir pula dalam musyawarah itu, pihak Departemen Penerangan yang memang berfungsi sebagai pembina perfilman nasional, pihak asosiasi importir film, dan PT Perfin, lembaga pengedar film nasional. 

Tampaknya kelompok Pancatunggal yang dibentuk pada awal tahun 1980-an ini memang serius ingin membereskan kemelut perfilman. Buktinya, mereka sudah mengadakan 15 kali rapat kerja sebelum musyawarah ini. Dewan Film Nasional sendiri, tahun 1980, sebenarnya sudah merumuskan masalah perfilman nasional di dalam Pola Dasar Pembinaan dan Pengembangan Perfilman Nasional (P4N). "Tapi setelah 11 tahun tampaknya problem bukannya terkikis, malah makin banyak," tutur Slamet Rahardjo, Wakil Ketua KFT. Untuk pertama kali, pihak-pihak yang dianggap "bersengketa" -- bos Subentra, Sudwikatmono, dengan Eros Djarot dkk. -- berhadapan langsung.

Selama ini segala unek-unek mengenai ketidakberesan pembinaan dan peredaran film nasional, dan gayung bersambutnya, hanya terlontar melalui media massa atau dengar pendapat di DPR. Untung, mereka tetap bersemangat. Barangkali karena di ruang Reog HI itu dipajang poster besar bergambar wajah bapak perfilman nasional, Usmar Ismail, dengan kalimat Sinema Indonesia, Bung. Apalagi mereka juga sangat berharap bisa memberikan masukan untuk RUU Perfilman Nasional yang akan dibahas DPR, Oktober nanti. Suhu di ruang berpendingin itu mulai memanas ketika PT Perfin mulai dihujani pertanyaan-pertanyaan tentang peredaran film. PT Perfin (singkatan dari Peredaran Film Indonesia), sesuai dengan yang disarankan namanya, sesungguhnya bertugas membantu peredaran film nasional. Namun, Pancatunggal justru menganggap PT Perfin telah "mengimpit peredaran film Indonesia di seluruh wilayah edar film Indonesia," demikian kata Turino Djunaudi. Berbagai contoh dibeberkan. Bukan hanya kasus Langitku Rumahku yang terkenal karena dibetot dari Studio 21 -- atas perintah PT Perfin -- setelah baru sehari diputar.

Juga, film Taksi yang berhasil meraup Piala Citra terbanjak tahun silam ternyata mengalami kemacetan peredaran. 
 
Film karya Arifin C. Noer itu sesungguhnya meledak dan bertahan cukup lama di bioskop kelas atas. Namun, ketika film ini tiba gilirannya turun ke bioskop kelas menengah dan bawah, Perfin tak bisa menjadwalkannya. Alasan Kepala Bidang Peredaran PT Perfin, Sandjojo Nitimihardjo, "Terlampau lamanya diputar di bioskop kelas tahap atas maka penonton kelas bawah sudah naik ke atas." Apa mungkin penonton yang biasa menonton di bioskop kelas bawah datang berbondong-bondong ke bioskop kelas atas? Mungkin saja, menurut Sandjojo. Soalnya, harga karcis sebagian bioskop kelas atas sama dengan harga karcis bioskop kelas bawah. "Maka, penonton kelas bawah yang menunggu terlalu lama menonton di bioskop-bioskop itu." Dialog dengan Sudwikatmono, bos PT Subentra, yang siang itu mewakili para asosiasi importir film, tampaknya mengundang simpati dan optimisme. Soalnya, belum-belum ia mengucapkan "saya mendukung 100 persen agar film nasional betul-betul bisa jadi tuan rumah di negeri sendiri." Tentu saja ucapan ini disambut keplok gemuruh dan suit-suit yang ramai. Ia juga mengakui bahwa terjadi berbagai kendala di dalam pelaksanaan pemasaran film nasional. "Maklum, anak buah saya banyak sekali sehingga sulit dikontrol.



Dulu saya sudah memecat dua orang. Nanti akan saya tinjau kembali," janjinya. Ucapan Dwi, yang selama ini dituding melakukan monopoli, oleh Sophan Sophiaan dianggap seperti tiupan angin segar. Menurut Dwi, ia sudah lama mencoba membantu memajukan film Indonesia. "Sejak awal, kami para importir film sudah mengumpulkan dana melalui sertifikat produksi yang ditampung oleh Dewan Film Nasional. Setiap film asing yang masuk, kami harus bayar Rp 3,5 juta. Mestinya dana ini dipakai untuk menggairahkan sineas-sineas idealis di Indonesia. Tak usah pikirkan untung. Pokoknya film itu bermutu dan dibuat oleh sutradara yang baik," ujarnya. Berapa uang yang telah disumbangkan importir yang, katanya, untuk membantu perfilman nasional? Dirjen Radio, Televisi, dan Film, Alex Leo Zulkarnain, mengaku tak ingat. Narto Erawan, Direktur Pembinaan Film dan Rekaman Video, yang pada pertemuan itu mewakili Departemen Penerangan, menyebut jumlahnya sekitar Rp 6 milyar. Ada pula yang mengatakan Rp 10 milyar. Namun, berapa pun jumlahnya, Sudwikatmono berharap uang itu seharusnya untuk "Bikin film anak-anak tanpa memikirkan keuntungan karena film pendidikan kan penting." Berbeda dengan Dwi, Alex Leo mengatakan jika ada yang membuat proposal produksi, "sebaiknya yang filmnya bisa mengembalikan uang pokok, jangan sampai uang itu dihambur-hamburkan." Tapi, hingga kini belum ada yang mengajukan proposal. Suasana agak tegang ketika Ketua Bidang Luar Negeri KFT, Eros Djarot, menanyakan penunjukan PT Ace Indonesia sebagai importir baru film Amerika.

Dwi mengaku tak kenal dengan mereka. Wartawan pun tak ada yang kenal karena setiap mengajukan permintaan wawancara selalu ditolak. "Buat kami, ketidakjelasan ini membuat mereka kelihatan misterius," kata Eros Djarot. "Mereka tak ada hubungannya dengan kami," kata Sudwikatmono dengan tegas. Padahal, menurut Menteri Harmoko, PT Ace memang sudah diputuskan untuk menjadi importir film Amerika di luar asosiasi importir yang sudah ada. "MPEAA (Motion Picture Export Association of America) mengajukan beberapa perusahaan, dan akhir Agustus lalu sudah diputuskan bahwa PT ACE Indonesialah yang memenuhi kriteria," tuturnya.
 
Yang jelas, PT Ace Indonesia ini berkantor di Tamara Center, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, dan juga bergerak di bidang jasa konsultasi perdagangan dan investasi. Perusahaan ini dipimpin oleh Ny. Isnania Singgih, S.H., dengan Slamet Nuryanto sebagai direktur dan Praptono Honggopati Tjitrohupojo sebagai komisaris.

Di antara mereka terdapat orang asing, misalnya F.H. Holloway. "Kemisteriusan" yang disebut Eros itu mungkin akan menjadi jelas sesudah 26 September nanti karena, menurut F.H. Holloway, Commercial Director PT Ace Indonesia, saat ini, "Masih ada tahap-tahap yang harus kami selesaikan terlebih dahulu." Lalu apa hasil musyawarah Pancatunggal? Yang terpenting menegaskan bahwa film yang menumbuhkan rasa kebanggaan nasional dan menunjang nilai-nilai idiil hendaknya dijadikan lokomotif pembentukan opini dan persepsi masyarakat. Karena itu, segala yang diperlukan untuk memproduksi dan memasarkannya harus dijamin dan ditunjang berbagai kemudahan. Pancatunggal juga menekankan bahwa film impor hanya sebagai pelengkap dan karenanya sistem kuota harus dipertahankan. Ada lagi keputusan penting, yaitu penjadwalan peredaran film, baik film nasional maupun asing. Musyawarah ini menegaskan agar pendaftaran dan penjadwalannya diatur dan dilakukan secara terbuka. Selama ini hal-hal yang menyangkut nasib film nasional memang terasa tertutup. Budiman S. Hartoyo, Leila S. Chudori

Tidak ada komentar:

Posting Komentar