Sabtu, 28 November 2009

AKTING, BELANDA, HOLLYWOOD, INDIS

AKTING



Semenjak perkenalan pertama dengan film, perkara akting tak lebih urusan kedua. Sebagai anak-anak kebudayaan indis yang melahirkan seni stambul, tonel, tontonan dipahami sebagai dunia indah gemerlap dan penuh sensasi.


Selera “Toonel Melajoe”

Pada seperempat awal Abad 20, film yang masuk ke Hindia Belanda tak kalah jumlahnya dengan di Eropa. Bahkan film paling baru keluaran Hollywood, diputar lebih awal di sini, tinimbang di Belanda. Bioskop-bioskop membutuhkan suplai setidaknya 100 film setahun, sehingga produksi-produksi barupun sudah musti didatangkan.

Dari jumlah itu, film-film besar yang sukses di Eropa, hanya bertahan 2-3 hari karena tidak laku. Sementara Odjan Jotosan (bukan judul asli) yang dibintangi James Jeffries, mantan juara dunia kelas berat, Joer Rivers, juara dunia kelas bulu, dan Jack Butchinkson, jago Australia meraih box office.

Bintang yang populer masa-masa itu bukan Emil Jannings atau George Arliss yang memenangkan Academy Award tahun 1929 dan 1930, melainkan sang “Hercules of the Screen” Eddie Polo yang di sini dijuluki “Raja dari segala jago seri.”

Tan Koen Yauw dengan Tan’s Filmnya menyadari kecenderungan itu. Penonton film Hindia adalah penonton “toonel Melajoe”. Mereka pun mengambil cerita-cerita dari panggung tonel, tetapi bukan sembarang cerita. Tan’s film mengangkat Njai Dasima (1929), Si Ronda (1930), dan Melati van Agam (1930).

Njai Dasima, yang direduksi menjadi film laga dibanjiri penonton, bahkan banyak yang tak kebagian karcis, meskipun pemilihan pemain, kemampuan bermain, set, detail, dan kostum, hancur lebur. Njai Dasima, dilanjutkan dengan Njai Dasima II (1930), dan III (1930) dan tetap meraup sukses. Sementara Melati van Agam, meski sebuah lakon panggung yang bagus, namun karena tidak ada adegan pertarungan di dalamnya, maka orang enggan menonton.

Film-film kungfu dan siluman dari dongeng-dongeng klasik Tiongkok, produksi Cino Motion Picture seperti Pat Kiam Hap (1933), Ouw Peh Tjoa (1934), juga berhasil menarik minat penonton, karena banyak menyajikan adegan adu bogem, dan trik-trik memukau.

Keberhasilan Terang Boelan (1938), yang membuat nama Roekiah dan Rd. Mochtar mencuat, dan menjadi model bagi film-film lain merupakan bukti yang paling nyata. Terang Boelan benar-benar mengetrapkan resep dunia panggung: roman, pemandangan indah, sensasi, perkelahian, lelucon, di selingi nyanyi Melayu yang disukai oleh seluruh lapisan, lalu dikocok bersama sistem bintang.

Di tengah hegemoni sub kultur panggung, bukan tidak ada orang yang memperhatikan seni akting dalam film. L. Hauveldorp, Lie Tek Swie, Andjar Asmara, Rd. Ariefien, adalah orang-orang yang selalu ingin menyajikan permainan yang menawan, tetapi mereka hanya silent minority, minoritas yang terbisukan oleh selera publik, meskipun tak lelah mencoba berteriak, menentang arus.

Loetoeng Kasaroeng (1926) Hauveldorp adalah film yang memperhatikan soal akting. Pemain-pemainnya terdiri dari sepupu dan kemenakan Bupati Cianjur Wiratakusuma. Pemain amatiran ini mengira beraksi depan kamera itu hal sepele saja. Hauveldorp membiarkan saja dan merekam dulu permainan mereka seadanya, barang beberapa ratus film, lalu memutarkan hasilnya pada mereka. Keluarga ningrat itu melihat bejibun kekurangan mereka, dan terpacu membuktikan pada penonton pribumi maupun Eropa bahwa mereka mampu bermain seperti aktor-aktris Amerika. Setelah itu Haveldorp mengambil ulang gambar-gambar mereka, dengan sebelumnya melakukan latihan dua kali setiap adegan. Permainan aktor-aktris amatiran itu pun melampaui harapan Heuverldorp.

Dalam menggarap Melatie van Agam, yang diambil dari cerita panggung populer karangan Parada Harahap, Lie Tek Swie mempergunakan para pemain dari Padangsche Opera, yang telah melakukan modernisasi dalam seni pemeranan dan pertunjukan berkat polesan Andjar Asmara. Sebagai film drama murni, Melatie van Agam memang memerlukan pemain-pemain kuat. Salah satu akting yang diingat dari film tersebut adalah adegan percintaan saat sepatu Idrus mengorek kaki Norma.

1941, Andjar Asmara, menyutradarai Kartinah. Dalam film produksi Java Industrial Film ini Andjar menghapus kisah cinta yang klise, bumbu-bumbu aksi dan musik, dan menekankan pada segi cerita dan pemeranan.

Rd. Ariefien dan Ang Hok Liem mendirikan Union Films Batavia di permulaan 1940. Tujuan lembaga itu adalah mengangkat derajat kesenian Indonesia. Mereka memproduksi film macam Kedok Ketawa (1940), yang memerlukan permainan watak ala Boris Karloff, aktor Amerika yang terkenal karena perannya sebagai Frankeinstein. Union Films pula yang menemukan Rd. Soekarno lewat produksi Mega Mendoeng (1941). Rd. Soekarno diakui sebagai salah seorang aktor besar dalam sejarah film Indonesia.

Penjaga Gawang Seni Peran

Pelarangan film-film Amerika dan Eropa, pelatihan bagi para sineas, aktor, dan aktris Indonesia di bangsal “Balai Film”, serta berkembangnya sandiwara, baik secara teknis, artistik, dan cerita, pada masa pendudukan Jepang, tak mampu menaikan derajat akting dalam perfilman Indonesia.

Ketika Jepang angkat kaki, film-film aksi Hollywood dan film-film lokal beresep Terang BoelanDjaoeh di Mata, Anggrek Boelan, Gadis Desa produksi South Pacific Film Corporation (SPFC) yang disutradari Andjar Asmara, ternyata belum beranjak dari budaya mestizo (agaknya film-film ini bukan suara hati Andjar hingga ia pun keluar). Dapat dipahami, karena yang terjun ke bisnis perfilman sesudah perang tetap pemaih-pemain lama, Teng Chun, Wong bersaudara, Fred Young. Dalam memproduksi film, cara kerja mereka amat hemat, hingga seringkali tanpa retake. yang penuh perkelahian, nyanyian merdu, dagelan, kembali merajai. Film-film baru sesudah perang, seperti

Usmar Ismail melakukan pendekatan akting yang berbeda dalam Harta Karun dan Tjitra. Hal ini tak terlepas dari penjelajahannya pada karya-karya Ibsen, August Strindberg, dan Moliere (Harta Karun merupakan saduran dari naskah Moliere), tiga tokoh yang memberikan landasan bagi akting realis, bahkan teater avant-garde.

Pada tahun 1944, Usmar bersama D. Jayakusuma, Suryo Sumanto, Rosihan Anwar and Abu Hanifah mendirikan Sandiwara Penggemar Maya. Suyatna Anirun mencatat bahwa pada masa inilah teori akting mulai dipelajari secara serius. Tokoh-tokoh kelompok ini plus Asrul Sani, nantinya mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) tahun 1956, yang mengembangkan realisme Ibsen dan Chekov, serta sistem Stanilavskian Lee Strasberg.

Dari ATNI lahir nama-nama besar seperti Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Sukarno M.Noor, Ismed M. Noor, Tatiek Maliyati yang menjadi penjaga gawang seni peran dalam perfilman Indonesia.

Waktu menjabat sebagai ketua umum PARFI periode 1978-1980, Soekarno M. Noor mengadakan pelatihan seni peran dan analisa skenario, sebab ia melihat para aktor dan aktris Indonesia hanya mengandalkan bakat alam saja, yang tentu saja tak mencukupi dan hanya menghasilkan permainan-permainan tipikal.

Teguh Karya mendirikan Teater Populer pada tahun 1968, yang kemudian melahirkan aktor dan aktris sekelas Slamet Rahardjo Djarot, Christine Hakim, Franky Rorimpandey, Alex Komang, Dewi Yul, Rae Sahetapi, Rina Hasyim, Tuti Indra Malaon (Alm), George Kamarullah, Henky Solaiman, Benny Benhardi, Ninik L. Karim, dan Ayu Azhari.

Rendra, Arifien C. Noor, dan Putu Wijaya, memberikan warna lain terhadap seni akting dalam film Indonesia. Mereka memasukan konsep-konsep Brecht, Artaud, Viola Spolin dan Augusto Boal dalam film-film atau aktor-aktris lulusan kelompok teater mereka.

Di luar itu, bisa dibilang tak ada apa pun yang berubah, akting dalam film-film Indonesia, bahkan yang paling mutakhir, tetap menjadi sesuatu yang tak terpikirkan. Penonton tetap saja disuguhi gambar-gambar mooi indie, wajah-wajah tampan dan cantik, prejengan yang gemerlap, roman, sensasi, bahkan pada suatu masa, seks.

Indis! Indis! Indis!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar