Roekiah; 1917–1945, sering ditulis sebagai Miss Roekiah,
adalah aktris dan penyanyi keroncong Indonesia. Seorang putri dari pasangan pemain sandiwara, ia memulai kariernya pada usia tujuh tahun; pada tahun 1932 ia terkenal di Batavia, Hindia Belanda (kini Jakarta, Indonesia), sebagai penyanyi dan pemain sandiwara. Pada masa ini, ia bertemu dengan Kartolo, yang ia nikahi pada tahun 1934. Pasangan ini bermain dalam film Terang Boelan pada tahun 1937. Dalam film tersebut, Roekiah dan Rd Mochtar berperan sebagai sepasang kekasih.
Setelah film tersebut sukses secara komersial, Roekiah, Kartolo, dan sebagian besar pemeran dan kru Terang Boelan dikontrak oleh Tan's Film, dan pertama kali bermain dalam film Fatima yang diproduksi oleh perusahaan tersebut pada tahun 1938. Roekiah dan Mochtar kembali beradu akting dalam dua film sebelum Mochtar hengkang dari Tan's Film pada tahun 1940; melalui film-film ini, Roekiah dan Mochtar menjadi pasangan layar lebar pertama di Hindia Belanda. Pengganti Mochtar, Rd Djoemala, beradu akting dengan Roekiah dalam empat film, meskipun film-film tersebut tidak begitu sukses. Setelah Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942, Roekiah hanya bermain dalam satu film menjelang kematiannya; sebagian besar waktunya ia habiskan untuk menghibur para tentara Jepang.
Semasa hidupnya, Roekiah adalah seorang ikon mode dan kecantikan, penampilannya dalam sejumlah iklan dan lukisan kerap dibandingkan dengan Dorothy Lamour dan Janet Gaynor. Meskipun sebagian besar film-film yang ia bintangi saat ini sudah hilang, ia tetap dikatakan sebagai seorang pelopor perfilman, dan sebuah artikel tahun 1969 menyatakan bahwa "pada zamannya [Roekiah] telah mencapai suatu popularitas yang boleh dikatakan sampai sekarang belum ada bandingannya". Dari kelima anaknya dengan Kartolo, salah satunya – Rachmat Kartolo – juga berkecimpung di dunia akting.
Roekiah lahir di Bandung, Jawa Barat, Hindia Belanda, pada tahun 1917, putri dari pasangan Muhammad Ali dan Ningsih, pemain sandiwara pada rombongan Opera Poesi Indra Bangsawan Ali berasal dari Belitung, sedangkan Ningsih berdarah Sunda dan berasal dari Cianjur.[3] Selain belajar akting dari kedua orang tuanya, Roekiah juga belajar kerajinan tangan bersama para anggota rombongan lainnya. Roekiah dan kedua orang tuanya terus-terusan bepergian, sehingga Roekiah tidak mempunyai waktu untuk menempuh pendidikan formal. Pada pertengahan 1920-an, mereka bergabung dengan rombongan sandiwara lain bernama Opera Rochani.
Meskipun ditentang oleh keluarganya, Roekiah bersikeras ingin ikut serta main sandiwara, dan meminta izin pada ibunya untuk tampil di atas panggung. Ningsih setuju, dengan syarat ia hanya diperbolehkan tampil sekali. Saat berusia tujuh tahun, Roekiah tampil di panggung untuk pertama kalinya, Muhammad Ali – yang tidak mengetahui perjanjian antara istri dan putrinya – bergegas ke atas panggung dan menyuruh Roekiah agar berhenti bernyanyi. Akibatnya, Roekiah menolak makan sampai kedua orang tuanya akhirnya mengalah. Setelah itu, Roekiah tampil secara rutin bersama rombongan sandiwara.
Pada tahun 1932, saat bergabung dengan Palestina Opera di Batavia (kini Jakarta), Roekiah berhasil menjadi seorang aktris sandiwara dan penyanyi keroncong terkenal. Ia dikagumi tidak hanya karena suaranya, tetapi juga karena kecantikannya. Saat bersama Palestina Opera, ia bertemu dengan calon suaminya, Kartolo; seorang aktor, pianis, dan penulis lagu dalam rombongan. Mereka berdua menikah saat Roekiah berusia tujuh belas tahun. Pasangan baru ini mengambil cuti selama sebulan dan kemudian bergabung dengan grup Faroka untuk menjalani tur di Singapura, dan kembali ke Hindia Belanda pada tahun 1936.
Pada tahun 1937, Roekiah bermain film untuk pertama kalinya dengan berperan sebagai aktris utama dalam film Terang Boelan karya Albert Balink. Ia dan lawan mainnya, Rd Mochtar, berperan sebagai sepasang kekasih yang kawin lari agar karakter Roekiah tidak dinikahi oleh seorang penyelundup opium Kartolo juga memiliki peran kecil. Film ini sukses secara komersial, meraup lebih dari 200.000 Dolar Selat saat dirilis secara internasional sejarawan film Indonesia, Misbach Yusa Biran, menyebut Roekiah sebagai "dinamit" yang menyebabkan kesuksesan film.
Setelah kesuksesan Terang Boelan, Algemeen Nederlandsch Indisch Filmsyndicaat yang memproduksi film tersebut memutuskan untuk berhenti memproduksi film fiksi. Menurut wartawan W. Imong, akibat tidak memiliki pekerjaan dan depresi setelah kematian ibunya, Roekiah "suka diam-diam, bermenung-menung sebagai seorang yang mengandung sakit jiwa". Untuk mengalihkan perhatian istrinya, Kartolo mengumpulkan para pemeran Terang Boelan lainnya dan mendirikan Terang Boelan Troupe. Grup ini menggelar tur ke Singapura dan akhirnya berhasil membuat Roekiah melupakan kesedihannya. Setelah rombongan ini kembali ke Hindia Belanda, sebagian besar pemeran bergabung dengan Tan's Film termasuk Roekiah dan Kartolo; pasangan ini juga bergabung dengan grup musik keroncong Lief Java.
Bersama Tan's Film, para pemeran Terang Boelan bermain dalam film sukses Fatima pada tahun 1938, yang dibintangi oleh Roekiah dan Rd Mochtar. Dalam film ini, Roekiah memainkan peran utama – seorang gadis muda yang menolak rayuan seorang pemimpin geng karena jatuh cinta pada seorang nelayan (Rd Mochtar). Fatima secara teliti mengikuti pola produksi yang diterapkan pada Terang Boelan. Akting Roekiah dalam film ini dipuji secara luas. Salah seorang pengulas dari Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië menulis bahwa "pemeranan Roekiah yang sederhana mengenai ketidakadilan dalam pernikahan adat Melayu bahkan telah memikat para penonton Eropa", sedangkan pengulas lainnya dari Bataviaasch Nieuwsblad menyatakan bahwa penampilan Roekiah diapresiasi oleh semua orang.
Fatima sukses besar secara komersial; dengan anggaran 7.000 gulden, film ini berhasil meraup 200.000 gulden. Setelah kesuksesan film ini, Tan's terus memasangkan Roekiah dan Rd Mochtar dalam film-filmnya. Mereka berdua menjadi pasangan selebriti layar lebar pertama di Hindia Belanda, dan dijuluki dengan Charles Farrell–Janet Gaynor Indonesia. Kepopuleran Roekiah-Rd Mochtar sebagai pasangan layar lebar menyebabkan studio-studio lainnya mengikuti jejak Tan's dengan membentuk pasangan romantis ciptaan mereka sendiri. The Teng Chun misalnya, memasangkan Mohamad Mochtar dan Hadidjah dalam film Alang-Alang pada tahun 1939.
Untuk mempertahankan bintang baru mereka, Tan's Film menghabiskan uang dalam jumlah besar. Roekiah dan Kartolo menerima gaji bulanan sebesar 150 dan 50 gulden masing-masingnya, dua kali lebih besar dari honor yang mereka terima saat bermain Terang Boelan. Mereka berdua juga diberi sebuah rumah di Tanah Rendah, Batavia. Roekiah dan Kartolo terus bermain dalam film-film produksi Tan's; Kartolo sering diberi peran-peran kecil dan komedi, sedangkan Roekiah menyanyikan lagu-lagu yang ditulis oleh suaminya. Pada tahun 1939, mereka bermain film bersama, dengan Rd Mochtar berperan sebagai pasangan Roekiah, yakni dalam film Gagak Item yang terinspirasi dari cerita Zorro. Meskipun tidak sesukses film-film sebelumnya, film ini masih menguntungkan. Seorang pengulas dari Bataviaasch Nieuwsblad memuji akting Roekiah yang "bersungguh-sungguh".
Film terakhir Roekiah bersama Rd Mochtar adalah Siti Akbari, yang dirilis pada tahun 1940. Cerita film ini kemungkinan terinspirasi dari syair berjudul sama karya Lie Kim Hok, dan menampilkan Roekiah sebagai pemeran utama. Filmnya sendiri mengisahkan mengenai seorang istri teraniaya yang tetap setia kepada suaminya meskipun ia telah berselingkuh. Siti Akbari diterima dengan baik, memperoleh pendapatan sebesar 1.000 gulden pada malam pertama pemutarannya di Surabaya, meskipun pada akhirnya tidak berhasil meraup keuntungan yang setara dengan Terang Boelan atau Fatima.
Ditengah-tengah perselisihan mengenai upah, Rd Mochtar keluar dari Tan's Film dan bergabung dengan pesaingnya, Populair Films, pada tahun 1940. Oleh sebab itu, Tan's mulai mencari pasangan baru untuk Roekiah. Kartolo meminta seorang kenalannya, pengusaha jahitan bernama Ismail Djoemala, untuk menjadi lawan main baru bagi Roekiah. Meskipun Djoemala tidak pernah berakting sebelumnya, ia telah bernyanyi bersama grup Malay Pemoeda pada tahun 1929. Setelah Kartolo memintanya enam kali, Djoemala akhirnya setuju. Perusahaan menganggap bahwa Djoemala yang rupawan dan berperawakan tinggi adalah pengganti yang cocok dan mempekerjakannya dengan nama panggung Djoemala.
Roekiah dan Djoemala pertama kali beradu akting dalam film Sorga Ka Toedjoe pada akhir 1940. Dalam film ini, Roekiah berperan sebagai seorang gadis muda yang dengan bantuan kekasihnya mampu mempersatukan kembali bibinya yang buta (Annie Landouw) dengan suaminya (Kartolo) setelah bertahun-tahun berpisah Seperti film-film sebelumnya, film ini juga sukses secara komersial dengan ulasan yang positif. Soerabaijasch Handelsblad berpendapat bahwa Djoemala berakting sebaik, jika tidak lebih baik dari Rd Mochtar. Ulasan lainnya di Singapore Free Press menulis bahwa "Roekiah memainkan peran pahlawan wanita dalam cara yang paling terpuji". Bulan April tahun berikutnya, Tan's merilis Roekihati, dibintangi oleh Roekiah yang berperan sebagai gadis muda yang pergi ke kota demi mencari uang untuk keluarganya yang melarat, dan akhirnya menikah. Penampilannya dalam film ini dipuji oleh Bataviaasch Nieuwsblad, yang menulis bahwa ia berhasil dengan baik memerankan peran yang sulit.
Pada tahun 1941, Roekiah dan Djoemala menyelesaikan Poesaka Terpendam, film aksi yang mengisahkan mengenai dua kelompok – ahli waris yang sah (termasuk Roekiah) dan segerombolan penjahat – yang berlomba menemukan harta karun terpendam di Banten. Roekiah dan Djoemala terakhir kali bermain bersama dalam film Koeda Sembrani pada awal 1942. Dalam film tersebut, yang diadaptasi dari Kisah Seribu Satu Malam, Roekiah berperan sebagai Putri Shams al-Nahar yang menunggangi seekor kuda terbang.[34] Film ini masih belum rampung ketika Jepang menduduki Hindia Belanda pada bulan Maret 1942, dan baru ditayangkan pada bulan Oktober 1943.
Secara keseluruhan, Roekiah dan Djoemala telah bermain dalam empat film dalam dua tahun. Biran berpendapat hal ini membuktikan bahwa Tan's Film telah "menyia-nyiakan hartanya", karena pesaingnya memanfaatkan bintang-bintangnya untuk bermain dalam lebih banyak film; Java Industrial Film misalnya, pada tahun 1941 saja mampu memproduksi enam film yang dibintangi oleh Moh. Mochtar. Meskipun terus sukses secara komersial, film-film tersebut masih belum mampu menghasilkan keuntungan sebesar yang dihasilkan oleh film-film Roekiah sebelumnya.
Produksi film di Hindia Belanda menurun setelah pendudukan Jepang pada awal 1942; penguasa Jepang memaksa untuk menutup semua, kecuali satu, studio film. Jepang membuka studio film milik mereka sendiri di Hindia Belanda bernama Nippon Eigasha, yang ditugaskan memproduksi film-film propaganda untuk kepentingan perang. Tanpa Roekiah, Kartolo bermain dalam film satu-satunya yang diproduksi oleh studio tersebut, Berdjoang, pada tahun 1943. Setelah absen selama beberapa tahun, Roekiah juga bermain dalam film produksi Nippon dengan membintangi sebuah film pendek propaganda Jepang berjudul Ke Seberang pada tahun 1944. Meskipun demikian, Roekiah menghabiskan sebagian besar waktunya dengan berpergian ke seluruh Jawa bersama perusahaan teater untuk menghibur para tentara Jepang.
Roekiah jatuh sakit pada bulan Februari 1945, tak lama setelah merampungkan film Ke Seberang. Meskipun sedang sakit, juga keguguran, ia tidak diperbolehkan beristirahat; tentara Jepang bersikeras bahwa ia dan Kartolo harus menjalani tur ke Surabaya, Jawa Timur. Sekembalinya ke Jakarta, kondisinya semakin memburuk. Setelah menjalani pengobatan selama beberapa bulan, ia meninggal dunia tak lama setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945. Roekiah dikebumikan di Kober Hulu, Jatinegara, Jakarta. Pemakamannya dihadiri oleh sejumlah tokoh, termasuk Menteri Pendidikan Ki Hadjar Dewantara.
Roekiah berkata bahwa Kartolo adalah pasangan yang tepat baginya, mengungkapkan bahwa pernikahannya mendatangkan "banyak rezeki". Pasangan ini dikaruniai lima anak. Sepeninggal Roekiah, Kartolo membawa kelima anaknya ke kampung halamannya di Yogyakarta. Untuk menafkahi keluarga, Kartolo bekerja di Radio Republik Indonesia sejak tahun 1946. Di sana, ia melewati Revolusi Nasional Indonesia yang sedang berlangsung, konflik bersenjata dan perjuangan diplomatik antara Indonesia yang baru merdeka dengan Kerajaan Belanda yang bertujuan untuk meraih pengakuan internasional atas kemerdekaan Indonesia. Setelah Belanda melancarkan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948 dan berhasil merebut Yogyakarta, Kartolo menolak bekerja sama dengan penjajah. Tanpa adanya sumber penghasilan, ia jatuh sakit dan meninggal dunia pada tanggal 18 Januari 1949.
Salah seorang anak Roekiah dan Kartolo meninggal di Yogyakarta saat berusia sepuluh tahun. Anak yang selebihnya dibawa ke Jakarta setelah Revolusi Nasional Indonesia berakhir pada tahun 1950. Di Jakarta, mereka dirawat oleh teman dekat Kartolo bernama Adikarso. Salah seorang anak mereka, Rachmat Kartolo, kelak menjadi penyanyi dan aktor yang aktif pada tahun 1970-an, ia dikenal atas lagu-lagu seperti "Patah Hati" dan film-film seperti Matjan Kemajoran (1965) dan Bernafas dalam Lumpur (1970). Dua putra mereka yang lainnya, Jusuf dan Imam, membentuk sebuah grup musik sebelum berkarier di tempat lain. Putri mereka, Sri Wahjuni, tidak ikut berkecimpung dalam industri hiburan.
Media memandang Roekiah dengan penuh kasih, dan film-film terbarunya secara konsisten selalu menerima ulasan positif. Di puncak popularitasnya, para penggemar meniru busana yang dikenakan oleh Roekiah di film-filmnya. Roekiah muncul secara rutin dalam berbagai iklan, dan sejumlah rekaman yang berisikan suaranya tersedia di pasaran. Dalam wawancara pada tahun 1996, salah seorang penggemar mengungkapkan bahwa Roekiah adalah "idola setiap pria", sedangkan penggemar lainnya menyebut Roekiah sebagai Dorothy Lamour-nya Indonesia. Penggemar lain, yang telah menyaksikan film-filmnya lima puluh tahun sebelumnya, menyatakan:
Roekiah selalu membuat penonton terlena di bangkunya saat ia mengalunkan lagu keroncong. Ia selalu mendapatkan tepuk tangan, sebelum atau sesudah bernyanyi. Bukan hanya kalangan pribumi. Banyak Belanda yang rajin menonton pertunjukan Roekiah!
Setelah kematian Roekiah, industri perfilman Indonesia berupaya untuk mencari pengganti dirinya. Pakar film Ekky Imanjaya memberi contoh ketika sebuah film diiklankan dengan kata-kata "Roekiah? Bukan! Tetapi Sofia dalam film Indonesia baru: Air Mengalir di Tjitarum". Film-film Roekiah dulunya ditayangkan secara rutin, namun saat ini sebagian besarnya sudah hilang. Film-film Hindia Belanda direkam dalam bentuk film nitrat yang mudah terbakar, dan setelah kebakaran memusnahkan sebagian gudang Produksi Film Negara pada tahun 1952, film-film lama yang direkam dalam bentuk nitrat juga ikut musnah. JB Kristanto dari Katalog Film Indonesia menyatakan bahwa dari keseluruhan film-film Roekiah, hanya Koeda Sembrani yang masih tersimpan di Sinematek Indonesia.
|
|
|
| Sebuah film yang lengkap. Ada petualangan, ada perkelahian, ada
nyanyian, ada lawakan. Masih dilengkapi lagi dengan pemandangan indah di
Serang dan Priangan. Ceritanya mengenai harta yang disimpan secara
rahassia. Harta itu jadi rebutan para ahli waris, dan "diramaikan" lagi
oleh kawanan penjahat yang ikut memburu. |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|