HARYA SURAMINATA
(Si Putra Petir)
Di tengah gempuran superhero impor asal Jepang dan Amerika Serikat, Hasmi tetap setia menghadirkan sosok pahlawan super namun bercitarasa lokal. Alhasil, Gundala ciptaanya itu sangat digemari oleh mereka yang hidup di era 80-an hingga 90-an. Kisahnya bermula ketika Hasmi sedang kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia atau ASRI.
Saat itu, usianya menginjak 23 tahun. Tokoh Gundala ciptaanya terinspirasi dari The Flash buatan DC Comic Amerika.
Meski sama-sama mengusung tema superhero yang mempunyai kecepatan kilat, Hasmi membedakannya dengan sentuhan lokas khas Indonesia. Nama Gundala sendiri berasal dari Bahasa Jawa ‘gundolo’ yang artinya bledek atau petir.
Hasmi pun mulai dikenal berkat sosok Gundala Putra Petir ciptaanya. Bersama dengan Wid NS yang juga menciptakan tokoh bernama Godam Manusia Besi. Terlalu larut dengan keasyikannya bersama Gundala, Hasmi pun harus rela mengubur impiannya menjadi sarjana alias drop out dari bangku kuliah. “Sementara saya lebih berat memikirkan membuat jalan cerita Gundala karena sudah bisa menghasilkan uang pada saat itu,” lanjut Hasmi.
Karena mengorbankan pendidikannya, Hasmi pun terpacu untuk membuat Gundala menjadi karya terbaik. Selama 14 tahun menjalani proses kreatif, Ia telah membuat Gundala dalam 23 judul antara tahun 1969 hingga1982. Di mana kisah Surat dari Akherat merupakan kisah yang terakhir dari awal terciptanya Gundala. Hingga pada puncaknya, karya Hasmi itu menjadi ikon bagi generasi tahun 70-an hingga 80-an.
Penciptaan
Gundala oleh komikus Harya Suraminata disebut-sebut terinspirasi oleh
Ki Ageng Selo, tokoh legenda yang diceritakan bisa menangkap petir. Nama
Gundala sendiri berasal dari kata "gundolo" yang artinya petir.
Dalam tradisi lisan di beberapa daerah di Jawa Tengah, Ki Ageng Selo merupakan tokoh yang terkenal bisa menangkap petir. Diceritakan, suatu hari Ki Ageng Selo sedang mencangkul di sawah. Langit mendung lalu turun hujan dan tiba-tiba petir menyambarnya. Namun, dengan kesaktiannya, dia berhasil menangkap petir itu. Petir tersebut berwujud naga. Ki Ageng Selo mengikatnya ke sebuah pohon Gandrik.
Ketika dibawa kepada Sultan Demak, naga tersebut berubah menjadi seorang kakek. Kakek itu kemudian dikerangkeng oleh Sultan dan menjadi tontonan di alun-alun. Kemudian datanglah seorang nenek mendekat, lalu menyiram air dari sebuah kendhi ke arah kakek tersebut. Tiba-tiba, terdengar suara petir menggelegar dan kakek nenek tersebut menghilang.
Dari kisah tersebut berkembang mitos kalimat, “Gandrik, aku iki putune Ki Ageng Selo” yang artinya, “Gandrik, saya ini cucunya Ki Ageng Selo.” Kalimat itu, bagi sebagian penduduk daerah Gunung Merapi dan Gunung Merbabu misalnya, dipercaya dapat menghindarkan mereka dari sambaran petir ketika hujan datang.
Sigit Prawoto, dosen Antropologi Sosial dan Etnologi Universitas Brawijaya, dalam bukunya Hegemoni Wacana Politik menyebut, “pernyataan klaim kekeluargaan ini mengandung keyakinan kultural bahwa seseorang yang berasal dari keturunan orang yang memiliki kualitas (kasekten) tertentu akan mewarisi kualitas tersebut.”
Kisah Ki Ageng Selo menangkap petir diabadikan dalam ukiran pada Lawang Bledheg atau pintu petir di Masjid Agung Demak. Ukiran pada daun pintu itu memperlihatkan motif tumbuh-tumbuhan, suluran (lung), jambangan, mahkota mirip stupa, tumpal, camara, dan dua kepala naga yang menyemburkan api.
Lawang bledheg sekaligus menjadi prasasti berwujud sengkalan memet (chronogram) dibaca “naga mulat salira wani” yang menunjukkan angka tahun 1388 S atau 1466 M. Tahun tersebut diyakini sebagai cikal bakal berdirinya Masjid Agung Demak.
Lawang bledheg memiliki makna lain selain sebagai penggambaran kisah Ki Ageng Selo. Supatmo dalam "Ikonografi Ornamen Lawang Bledheg Masjid Agung Demak" yang terbit di Jurnal Imajinasi, September 2018, menyebut Lawang Bledheg berisi makna simbolis nilai-nilai pra-Islam.
“Dalam dimensi ikonografis, keberadaan motif-motif tradisi seni hias pra-Islam (Jawa, Hindu, Buddha, dan China) pada ornamen lawang bledheg Masjid Agung Demak merupakan pernyataan simbolis tentang toleransi terhadap pluralitas budaya masyarakat yang berkembang pada masa awal budaya Islam di Jawa (Demak),” tulis Supatmo, dosen Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Semarang.
Menurut Soetardi dalam Pepali Ki Ageng Selo, Ki Ageng Selo merupakan keturunan Brawijaya, raja terakhir Majapahit. Prabu Brawijaya, dari istrinya yang paling muda yang berasal dari Wandan atau Bandan atau Pulau Banda Neira, mempunyai anak bernama Bondan Kejawen. Ki Ageng Selo merupakan cucu dari Bondan Kejawen.
Ki Ageng Selo hidup di masa Kerajaan Demak. Tepatnya pada masa kekuasaan Sultan Trenggana, awal abad ke-16. Dia lahir sekitar akhir abad 15 atau awal abad 16. Ki Ageng Selo pernah ditolak menjadi anggota Prajurit Tamtama Pasukan Penggempur Kerajaan Demak.
Dalam tradisi lisan di beberapa daerah di Jawa Tengah, Ki Ageng Selo merupakan tokoh yang terkenal bisa menangkap petir. Diceritakan, suatu hari Ki Ageng Selo sedang mencangkul di sawah. Langit mendung lalu turun hujan dan tiba-tiba petir menyambarnya. Namun, dengan kesaktiannya, dia berhasil menangkap petir itu. Petir tersebut berwujud naga. Ki Ageng Selo mengikatnya ke sebuah pohon Gandrik.
Ketika dibawa kepada Sultan Demak, naga tersebut berubah menjadi seorang kakek. Kakek itu kemudian dikerangkeng oleh Sultan dan menjadi tontonan di alun-alun. Kemudian datanglah seorang nenek mendekat, lalu menyiram air dari sebuah kendhi ke arah kakek tersebut. Tiba-tiba, terdengar suara petir menggelegar dan kakek nenek tersebut menghilang.
Dari kisah tersebut berkembang mitos kalimat, “Gandrik, aku iki putune Ki Ageng Selo” yang artinya, “Gandrik, saya ini cucunya Ki Ageng Selo.” Kalimat itu, bagi sebagian penduduk daerah Gunung Merapi dan Gunung Merbabu misalnya, dipercaya dapat menghindarkan mereka dari sambaran petir ketika hujan datang.
Sigit Prawoto, dosen Antropologi Sosial dan Etnologi Universitas Brawijaya, dalam bukunya Hegemoni Wacana Politik menyebut, “pernyataan klaim kekeluargaan ini mengandung keyakinan kultural bahwa seseorang yang berasal dari keturunan orang yang memiliki kualitas (kasekten) tertentu akan mewarisi kualitas tersebut.”
Kisah Ki Ageng Selo menangkap petir diabadikan dalam ukiran pada Lawang Bledheg atau pintu petir di Masjid Agung Demak. Ukiran pada daun pintu itu memperlihatkan motif tumbuh-tumbuhan, suluran (lung), jambangan, mahkota mirip stupa, tumpal, camara, dan dua kepala naga yang menyemburkan api.
Lawang bledheg sekaligus menjadi prasasti berwujud sengkalan memet (chronogram) dibaca “naga mulat salira wani” yang menunjukkan angka tahun 1388 S atau 1466 M. Tahun tersebut diyakini sebagai cikal bakal berdirinya Masjid Agung Demak.
Lawang bledheg memiliki makna lain selain sebagai penggambaran kisah Ki Ageng Selo. Supatmo dalam "Ikonografi Ornamen Lawang Bledheg Masjid Agung Demak" yang terbit di Jurnal Imajinasi, September 2018, menyebut Lawang Bledheg berisi makna simbolis nilai-nilai pra-Islam.
“Dalam dimensi ikonografis, keberadaan motif-motif tradisi seni hias pra-Islam (Jawa, Hindu, Buddha, dan China) pada ornamen lawang bledheg Masjid Agung Demak merupakan pernyataan simbolis tentang toleransi terhadap pluralitas budaya masyarakat yang berkembang pada masa awal budaya Islam di Jawa (Demak),” tulis Supatmo, dosen Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Semarang.
Menurut Soetardi dalam Pepali Ki Ageng Selo, Ki Ageng Selo merupakan keturunan Brawijaya, raja terakhir Majapahit. Prabu Brawijaya, dari istrinya yang paling muda yang berasal dari Wandan atau Bandan atau Pulau Banda Neira, mempunyai anak bernama Bondan Kejawen. Ki Ageng Selo merupakan cucu dari Bondan Kejawen.
Ki Ageng Selo hidup di masa Kerajaan Demak. Tepatnya pada masa kekuasaan Sultan Trenggana, awal abad ke-16. Dia lahir sekitar akhir abad 15 atau awal abad 16. Ki Ageng Selo pernah ditolak menjadi anggota Prajurit Tamtama Pasukan Penggempur Kerajaan Demak.
Tak sekedar menggambar Gundala, Hasmi juga melebarkan bakat seninya ke berbagai bidang. Seperti bermain sinetron, tampil di sejumlah acara TV, serta menulis skenario film. Gundala ciptaan Hasmi, bahkan telah dibuatkan filmnya yang dirilis pada 1981.GUNDALA PUTRA PETIR
Saking digandrungi kawula muda saat itu, Preseiden Soeharto pun menyuruhnya agar dibuatkan sebuah seri komik bercerita. Alhasil, tawaran proyek yang datang membuat Hasmi dan seniman lainnya seperti Wid NS, menghentikan aktivitas menggambarnya untuk fokus membuat jalan cerita komik.
Menginjak sekitar tahun 1986, banyak penerbit menghentikan percetakan komik lokal. Tentu saj hal ini merupakan berita buruk bagi Gundala dan tokoh imajinatif lainnya. Dua tahun kemudian, tepatnya pada 1988, eksistensi komik lokal Indonesia benar-benar hilang dari peredaran. Seiring redupnya popularitas Gundala dan sosok lainnya, kartun manga dari Jepang perlahan mulai menyita perhatian mulai dari awal 1990-an hingga saat ini.
Setelah lama tidak terdengar, tahun 2005 agak sering diberitakan media karena rencana Penerbit PT Bumi Langit menerbitkan ulang semua karya Gundala yang mencapai 23 buku. Dan tahun 2009 ini sehubungan dengan rencana peringatan 40 tahun Gundala dan pembuatan film Gundala The Movie.
Ada beberapa fakta menarik yang berhasil saya kumpulkan mengenai Gundala dan Hasmi:
1. Gagasan Gundala diinspirasi oleh tokoh komik The Flash yang dipadukan dengan cerita legenda Ki Ageng Selo.
2. Tokoh Nemo di komik Gundala adalah cerminan Hasmi. Kebetulan Nemo adalah nama panggilannya.
3. Pengakuan terakhir Hasmi, Gundala adalah seorang insinyur bukan peneliti, dosen sebagaimana yang disebutkan di Wikipedia. Ini mungkin ada hubungannya dengan cita-citanya yang gagal menjadi seorang insinyur karena gagal masuk UGM.
4. Dalam Gundala The Movie yang akan masuk bioskop bulan Juni 2009, Gundala diceritakan sebagai arkeolog. Dalam hal ini nampaknya Hasmi keberatan. Rencana film ini nampaknya menjadi tidak jelas sesuai konfirmasi terakhir Hasmi (12/3) ke Jawa Pos. Apa yang ada di Facebook bukan resmi dari Bumi Langit tetapi merupakan inisiatif para penggemar Gundala.
5. Saat ini dia sedang sibuk menyiapkan edisi 40 Tahun Gundala bersama tim dari Bumi Langit yang rencananya diterbitkan September, sesuai kelahiran Gundala.
GundalaPuteraPetir(1969)
Komigrafi Gundala:
1. Gundala Putera Petir (UP Kentjana Agung, 1969)
2. Perhitungan di Planet Covox (UP Kentjana Agung,1969)
3. Dokumen Candi Hantu (UP Kentjana Agung,1969)
4. Operasi Goa Siluman (UP Kentjana Agung,1969)
5. The Trouble (UP Kentjana Agung,1969)
6. Tantangan buat Gundala (UP Kentjana Agung,1969)
7. Panik (UP Kentjana Agung,1970).
8. Kuntji Petaka (UP Prasidha,1970).
9. Godam vs Gundala (UP Prasidha,1971)
10. Bentrok Jago-jago Dunia (UP Prasidha,1971)
11. Gundala Jatuh Cinta (UP Prasidha,1972).
12. Bernafas dalam Lumpur (UP Prasidha,1973)
13. Gundala Cuci Nama (UP Prasidha,1974)
14. 1000 Pendekar (UP Prasidha,1974)
15. Dr. Jaka dan Ki Wilawuk (UP Prasidha,1975)
16. Gundala sampai Ajal (UP Prasidha,1976)
17. Pangkalan Pemunah Bumi (UP Prasidha,1977)
18. Penganten buat Gundala (UP Prasidha,1977)
19. Bulan Madu di Planet Kuning (UP Prasidha,1978)
20. Lembah Tanah Kudus (UP Prasidha,1979)
21. Gundala Sang Senapati (UP Prasidha,1979)
22. Istana Pelangi (UP Prasidha,1980)
23. Surat dari Akherat (UP Prasidha,1982)
Semuanya diterbitkan ulang oleh PT Bumi Langit, kecuali Bentrok Jago-jago Dunia karena masalah hak cipta.
Tahun 1988, Gundala pernah muncul di Jawa Pos sebagai komik strip.
Filmografi:
1. Gundala Putra Petir (1981, Teddy Purba sebagai Gundala, Sutradara Lilik Sudjio).
2. Gundala The Movie (rencana Juni 2009, Sandy Mahesa sebagai Gundala, Sutradara Alex J. Simal, Produksi Langit Bumi Pictures).
Fan Made Komik:
1. Gundala The Reborn (1999, Adurahman Saleh)
2. Putra Petir (2001, Riri Dewi)
3. Sancaka (2005, Ahmad Ilyas)
4. Gundala (2005, Asrulloh)
Hasmi lahir di Yogyakarta pada 25 Desember 1946.
Ia menempuh pendidikan di SD Ngupasan 2 Yogyakarta, kemudian melanjutkan ke SMP Bopkri 1 Yogyakarta.
Setelah SMP, Hasmi melanjutkan sekolahnya di SMA Bopkri 1 Yogyakarta.
Setelah lulus SMA, Hasmi memasuki bangku perkuliahan di Akademi Seni Rupa Indonesia selama dua tahun.
Namun, pendidikan di akademi seni ini tak diselesaikannya.
Sejak 1968 hingga 1995, ia aktif membuat komik.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengenal Harya "Hasmi" Suraminata, Komikus di Balik Gundala Putra Petir", https://www.kompas.com/tren/read/2019/08/29/152734165/mengenal-harya-hasmi-suraminata-komikus-di-balik-gundala-putra-petir?page=all.
Penulis : Dandy Bayu Bramasta
Editor : Inggried Dwi Wedhaswary
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengenal Harya "Hasmi" Suraminata, Komikus di Balik Gundala Putra Petir", https://www.kompas.com/tren/read/2019/08/29/152734165/mengenal-harya-hasmi-suraminata-komikus-di-balik-gundala-putra-petir?page=all.
Penulis : Dandy Bayu Bramasta
Editor : Inggried Dwi Wedhaswary