Suromo (Sukarno M. Noor), pengarang, setelah mendengar amanat Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno, menemukan apa yang dicarinya: seni yang mengabdi pada amanat penderitaan rakyat. Rutaf (Rachmat Hidayat), pelukis yang selalu gagal. Kadjiman (Menzano), sutradara film yang dirongrong pemainnya. Tiga seniman ini berjumpa dengan pejuang (Aedy Moward) yang bekerja di Bank Dagang Negara dan sangat berminat pada kesenian, mengarahkan kegiatan para seniman itu.
|
BANK NEGARA INDONESIA PERFINI |
Sudah lima tahun berkasih mesra, si dara manis tak kunjung dilamar
jua. Gadis cantik sekaligus anak Presiden Direktur Bank Masjarakat itu
makin gundah gulana.
Ia hampir putus asa menjadi perawan tua.
Terlebih, sang kekasih sering menghilang tak kunjung rimbanya. Sekalinya
bersua, kekasihnya tak punya keberanian guna mendatangi ayahandanya
lantaran ia seorang pelukis luntang-lantung yang tak kunjung arah.
Ayah
sang gadis pun juga tidak rela putri semata wayangnya serius
berhubungan dengan seniman yang masa depannya belum jelas. Demikian
gambaran singkat tumpukan konflik batin tokoh Mira yang dimainkan dengan
epik oleh aktris Mila Karmila.
Mira merupakan salah satu karakter protagonis dalam film ‘LIBURAN SENIMAN’ karya sutradara Usmar Ismail (1965).
Rachmat berperan sebagai Rutaf Marzuki, pelukis bohemian yang lebih
memilih pergi ke neraka dibandingkan harus bertemu dengan calon ayah
mertuanya sendiri di Kebayoran. Sepasang kekasih yang hubungannya
naik-turun itu dimainkan secara kocak nan jenaka, baik oleh Mila maupun
Rachmat.
Mila Karmila, sebagaimana para pemain lainnya ialah pelaku dan saksi
hidup dari film ‘LIBURAN SENIMAN’ yang akhirnya tak sempat beredar
lantaran mengandung ide-ide Presiden Sukarno (1901-1970) melawan Neo
Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim).
Prahara G30S 1965 menjadi
alasan utamanya. Syutingnya sendiri diperkirakan diambil pada bulan
April-Mei 1965. Bila tak ada tragedi nasional itu, mungkin film itu
sudah meluncur di penghujung tahun.
Apa lacur saat nasi telah
menjadi bubur. Usmar Ismail sebagai sutradara film yang saat itu
sekaligus Ketua LESBUMI NU (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia
– Nahdlatul Ulama) – yang di ranah akar rumput juga terlibat dalam
prahara 1965 – tak kuasa menyelamatkan karya filmnya itu agar tetap bisa
beredar.
Prahara 1965 yang melahirkan Orde Baru pimpinan Jenderal
Soeharto rupanya tidak memberi ruang bagi golongan lain seperti NU yang
meskipun terlibat perseteruan yang keras terutama di aras akar rumput
dengan PKI. Bahkan, Orde Baru pada akhirnya ikut menggulung kekuatan
Banom NU seperti Sarbumusi (Serikat Buruh Muslimin Indonesia yang
terafiliasi dengan NU) yang masa sebelumnya melawan SOBSI (Sentral
Organisasi Buruh Seluruh Indonesia).
Sarbumusi harus patuh untuk
dilebur ke dalam FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia) sesudah pemilu
tahun 1971. Sebelum dilebur, Sarbumusi mengalami represi dari Orde Baru.
Nasib LESBUMI sendiri tak lagi terdengar hingga pasca Reformasi
diaktifkan kembali.
Film ‘LIBURAN SENIMAN’ diproduksi oleh Usmar
Ismail dengan Perfini (Pusat Film Nasional Indonesia) yang ia bidani
sejak tahun 1950. Bank Negara Indonesia (BNI) turut mensponsori
pembuatannya. Usmar Ismail tentu menjadi pihak yang paling terpukul
manakala film ini tak dapat beredar.
Berdasarkan ‘Katalog
Film-film Produksi PFN (Perusahaan Film Negara), 1962-1968’ (terbit
tahun 1969) terdapat tiga kategori film cerita yang diperlakukan pasca
G30S 1965. Pertama, diusahakan izin beredar. Kedua, yang harus dibekukan
dan diperkenankan beredar sesudah lolos sensor ulang. Terakhir, yang
harus dihancurkan. Artinya tidak boleh beredar dan ditolak dari sensor
ulang.
Bila mengikuti kategorisasi diatas, besar kemungkinan bahwa
film ‘LIBURAN SENIMAN’ masuk klasifikasi ketiga. Atau Usmar Ismail
sendiri memutuskan secara sepihak agar film ini diurungkan. Rol film
sendiri ditemukan tidak dalam keadaan utuh.
Preservator film
Subiyanto yang menangani digitalisasi film ini menyatakan bahwa material
film ini belum lengkap sehingga bagian penutup film belum diketemukan.
Proses digitalisasi film dari koleksi Sinematek hanya didapat dari
materi original negative.
Faktor Usmar Ismail yang
ditahbiskan sebagai Bapak Perfilman Indonesia belum menjadi garansi
bahwa penyimpanan dan pengarsipan filmnya di Indonesia memadai.
Dikarenakan material film ini tidak lengkap maka adegannya terputus
tidak sampai akhir film.
Padahal film ini merekam proses
transformasi Usmar Ismail dari seorang dramawan menjadi sutradara.
Awalnya ‘LIBURAN SENIMAN’ merupakan naskah drama yang ditulis Usmar
Ismail semasa pendudukan Jepang tahun 1944.
Sudah barang tentu semangat zaman Jepang disesuaikan kepada panggilan
zaman di tahun 1965. Adaptasi semangat zaman dari naskah drama dan film
itu mampu merekam kelihaian Bapak Perfilman Nasional itu mengemas
sebuah konten cerita.
Sebut saja saat Mila Karmila yang memerankan
Mira hendak minta izin keluar rumah pada ayahnya dengan ditemani
Sukanto untuk mencari Rutaf kekasihnya. Mira berkelit di depan ayahnya,
“urusan Dasawarsa KAA (Konferensi Asia Afrika) ‘Yah.”
Sepanjang
film memang disorot sudut-sudut Jakarta yang bermandikan spanduk, mural,
slogan, baliho, hingga lukisan progresif berisi semangat revolusioner
mengusir Nekolim saat peringatan 10 Tahun KAA yang mulai merambah
Amerika Latin. Sesuatu yang pasca G30S 1965 dikubur seiring Presiden
Sukarno dilucuti kekuasaannya diikuti mandi darah saudara sendiri
sebagai tragedi nasional.
Mila Karmila yang telah membintangi
lebih dari 40 judul film tentu bakal menjadikan ‘LIBURAN SENIMAN’
sebagai noktah dalam perjalanan karirnya. Sebuah titik yang merekam
sebuah semangat zaman yang telah hilang.