Tampilkan postingan dengan label USMAR ISMAIL 1949-1970. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label USMAR ISMAIL 1949-1970. Tampilkan semua postingan

Kamis, 10 Februari 2011

LARUIK SANDJO / 1960

 

 
Judul dari lagu Minang yang dipopulerkan oleh orkes Gumarang pimpinan Asbon. Film ini tak beredar.

PERFINI

BAMBANG IRAWAN
FARIDA OETOJO
MIESKE

JA MUALIM / 1968

JA MUALIM








Anwar (Rachmat Hidayat) kembali ke kampungnya dan aktif memberikan dakwah mengenai ibadah haji. Kegiatan ini mendapat tantangan Kyai Anwar yang tersaingi, hingga Anwar disebutnya sebagai santri gadungan dan tidak membolehkan anaknya, Rokayah (Widyawati) bertemu atau berkenalan dengan Anwar. Alasan pokoknya, usaha tengkulak menampung harta penduduk kampung yang ingin naik haji jadi terhalang. Tantangan ini dihadapi dan diselesaikan oleh Anwar.

PERFINI
YAYASAN JA MUALIM SEMARANG

RACHMAT HIDAYAT
WIDYAWATI
MENZANO
M.S. DERITA
MANSJUR SJAH
TIAR MUSLIM
JOSANA SANUSI
RIKRIK RS
HASSAN SANUSI
SYAMSUL FUAD
ARIATI

ASRAMA DARA / 1958

ASRAMA DARA


Penghuni asrama yang dipimpin Bu Siti (Fifi Young) punya persoalan sendiri-sendiri. Mahasiswa Tari (Aminah Cendrakasih) jatuh cinta kepada lelaki yang pantas jadi ayahnya. Calon dokter Rahimah (Chitra Dewi) akan dipaksa kawin di kampung, dan ditolong oleh Nasrul (Bambang Irawan). Pramugari Maria (Baby Huwae) terlibat cinta segi empat; dicintai co-pilot Imansyah (Bambang Hermanto), tapi Maria lebih tertarik kepada Saudagar Broto (Rendra Karno), sedangkan Broto lebih menyenangi guru tari Sita (Nun Zairina). Masuk pula dua remaja, Ani (Nurbani Jusuf) dan Ina (Suzanna), yang dititipkan, karena orang tuanya sibuk berpolitik. Persoalan yang serba macam itu diselesaikan secara komedi.

Singkat
Jakarta 1950-an. Sejumlah gadis bersatu di sebuah asrama. Dengan ibu asrama yang sedikit bawel namun tetap kocak. Nama asrama itu Asrama Dara.

Rahimah, Ani, Ina, Maria, dan Sita adalah gadis-gadis penuh gairah dan segudang coba. Rahimah, calon dokter tapi diminta paksa pulang kampung untuk segera dinikahkan. Ayahnya, seorang pensiunan sudah tak sanggup lagi membiayainya kuliah.

Ani dan Ina adalah adik kakak yang terperangkap masalah orang tua. Ayah dan ibunya berpisah hanya karena sang ibu sibuk urusan politik. Rapat partai dan sidang dewan membuat suaminya cemburu buta. Sebagai lelaki ia belum pasrah melihat istrinya begitu sibuk.

PERFINI

BAMBANG HERMANTO
CHITRA DEWI
FIFI YOUNG
NUN ZAIRINA
RENDRA KARNO
AMINAH CENDRAKASIH
BAMBANG IRAWAN
BONO
HASSAN SANUSI
SUZANNA
BABY HUWAE
NURBANI JUSUF

FULL MOVIE


Film Asrama Dara arahan sutradara Usmar Ismail.
Film Asrama Dara dimainkan aktris-aktris seperti Suzanna yang bermain cemerlang sebagai Ina. Di film ini Suzanna bahkan berhasil memboyong piala FFI 1960 untuk kategori Pemain Harapan. Dia juga berhasil memboyong piala FFA untuk kategori pemain cilik.

Aminah Cendrakasih begitu menjiwai perannya sebagai gadis yang selalu berburu pasangan, bahkan rela bernyanyi di trem (alat transportasi massal kala itu) untuk mencari buah hatinya. Aminah sebagai Tari pas sekali dengan karakternya.

Aktris Fifi Young yang berperan sebagai bu Siti alias ibu Asrama juga menjadi sosok yang menonjol dalam film ini. Citra Dewi yang berperan sebagai Rahimah juga membuat warna lain dengan perannya sebagai calon dokter.

Film ini menjadi contoh kehidupan remaja pada era 1950-an. Dengan potongan busana yang menggelembung di bagian bawah dan dada nan ramping, para remaja itu memberikan pesan yang mendalam buat saya. Di film bergenre drama komedi ini, sungguh sarat dengan pesan.

Sita (Nun Zairina) adalah model anak muda yang berkeinginan membuat studio tari tapi harus mencari akal agar bisa mewujudkan mimpinya itu. Dia akhirnya bertemu Broto yang tak sengaja ia kenal lewat telepon.

Soal Ina dan Ani yang sangat ingin agar kedua orangtuanya tetap berkumpul dan mereka tak lagi diasramakan, juga menjadi pesan penting tentang perceraian yang kini marak.

Sementara Maria dan Sita berebut seorang saudagar bernama Broto dengan kumis tipisnya yang perlente. Padahal, kopilot Imansyah diam-diam menaruh hati pada Maria sang pramugari.

Tari hidup dengan dunianya sendiri. Dia ingin punya pacar tapi tak kunjung dapat. Terakhir dia malah berkenalan dengan seorang duda yang usianya jauh di atasnya. Tapi percintaan mereka ditentang oleh ibu asrama yang merasa pria itu lebih pantas jadi bapaknya.

BAJANGAN DIWAKTU FADJAR / 1962

BAJANGAN DIWAKTU FADJAR

CATHAY-KERIS. Prod


Dibanding dengan "Tjitra", maka boleh dibilang film ini ada perubahan kecil, disesuaikan dengan rekan kerjasamanya, Singapura/Malaysia. Nama-nama tokoh juga diubah. Omar (S. Roomai Noor) bertindak "semau gue" dalam segala hal, termasuk menodai Suryani (Latifah Omar), anak angkat keluarganya yang dicintai Salim (Rendra Karno), abang tiri Omar. Omar yang tak pernah tinggal di perkebunan karetnya, dan tinggal di kota hanya menghabiskan uang yang diusahakan abang tirinya, berfoya-foya dengan gadis binal, Sandra (Nurbani Jusuf). Setelah habis uangnya, ia kembali ke perkebunan karet, dan menyaksikan Suryani telah jadi istri Salim, karena ingin menyelamatkan bayi yang telah dikandung dari hubungannya dengan Omar. Ajakan rujuk Omar ditolak, Salim lebih mencintai Suryani.

Ulang buat dari film Usmar Ismail berjudul "Tjitra" (1949), yang aslinya berupa naskah drama. Kerja sama dengan Singapura, yang menugaskan A. Lam Shoon Kong sebagai produser pelaksana. Dialog dalam bahasa Melayu dibuat oleh S. Roomai Noor.aslinya berupa naskah drama. Kerja sama dengan Singapura, yang menugaskan A. Lam Shoon Kong sebagai produser pelaksana. Dialog dalam bahasa Melayu dibuat oleh S. Roomai Noor.

TOHA, PAHLAWAN BANDUNG SELATAN / 1962

TOHA, PAHLAWAN BANDUNG SELATAN
Ini adalah film DokuDrama. tahun 1962



Kisah kepahlawanan Mochamad Toha yang berhasil meledakkan gudang mesiu Belanda di Bandung, hingga pertahanan Belanda lumpuh. Kisah diawali dengan penggambaran situasi masyarakat Bandung pada saat peralihan dari Jepang ke Belanda yang didukung Inggris, sementara Indonesia sudah menyatakan kemerdekaannya. Dalam situasi itu muncul tokoh Toha, yang digambarkan sebagai manusia biasa. Ia melihat ketidakadilan dan penindasan, tapi ia juga terlibat dalam sebuah percintaan. Motivasi mana yang lebih menonjol yang membuat Toha berani mengorbankan dirinya untuk tindakan "jibaku" meledakkan gudang mesiu, tidak begitu dikhususkan. Agaknya sutradara dan penulis skenario memang ingin melukiskan manusia dalam sebuah konteks tertentu.
PERFINI
DASWATI II BANDUNG

BIG VILLAGE / 1969

 

Saya pernah mendengar istilah Jakarta The Big Village all the world. Mungkin yang dimaksud adalah masyarakat urbanisasi ke Jakarta yang sudah terjadi dari dulu hingga saat ini terus berdatangan sehingga Jakarta menampung banyak sekali orang dari berbagai suku, bahasa, ras dan budaya masing-masing. Saat ini juga termasuk orang dari luar negeri. Sehingga apa yang akan terjadi, bila semua orang di Indonesia yang berbeda suku dan budaya ini numpuk di Jakarta. Bayangan saya adalah dahulu Jakarta sangat sepi, tetapi kini sudah sesak. Inilah mungkin gambaran dari film ini juga. Tetapi dengan mengambil judul berbahasa Asing, Usmar Ismail tidak dapat di pahami untuk siapa dia membuat film ini. Apakah ini cermin bagi masyarakat Indonesia, atau ingin menunjukan bagi bangsa asing atas fenomena kota Jakarta yang mungkin lebih dimirpkan dengan kota New York yang nemampung berbagai suku dan bangsa.

Sebuah sketsa tentang Jakarta yang meski wujud fisiknya kota besar, tapi perilaku orang-orangnya masih dusun. Kisah berputar pada keluarga Partoyo (Rachmat Hidayat), direktur sebuah perusahaan besar, yang menelantarkan keluarganya. Saat ulang tahun 20 perkawinannya, ia masih berunding dengan kompanyonnya, dan mengejar karyawatinya yang cantik. Anak lelakinya sering ngebut dan ditangkap polisi, bahkan terakhir masuk dalam perangkap sebuah gang perjudian. Untuk melunasi hutangnya, ia merampok, ditangkap dan diadili. Anak perempuannya kabur dengan seorang penyanyi pop. Lalu ada wartawan yang ingin mengikis kebejatan sosial masyarakat, tapi toh korannya memuat foto-foto setengah bugil, hingga sering cekcok dengan istrinya. Ia menguntit terus keluarga Partoyo. Ada ustad yang mencoba memahami perubahan keadaan ini, sambil terus melakukan tugasnya. Di akhir film, dalam sidang pengadilan, hakim berkhotbah tentang keadaan sosial Jakarta yang mempengaruhi kehidupan keluarga Partoyo.
 PEMDA D.K.I. JAYA
PERFINI
SARINAH

RACHMAT HIDAYAT
MIEKE WIJAYA
RIMA MELATI
DICKY ZULKARNAEN
ALICE ISKAK
KOES HENDRATMO
RACHMAT KARTOLO
TINI MARTINI
MENZANO
FERRY IRAWAN
M.S. DERITA
SYAMSUL FUAD

SENGKETA / 1957

 

Film ini adalah Drama Komedi. Waktu mengungsi dimasa revolusi, Jaka (Rd Sukarno) menitipkan rumahnya kepada husin (Udjang), yang lalu menyewa – kontrakkannya. Maryam (Tina Melinda) harus menerima kenyataan pahit yang masih harus di tambah lagi dengan kedatangan saudaranya, Danu (Wahid Chan) dan istrinya Ratih (Risa Umami). Danu ini menggunakan uang negara untuk memanjakan istrinya. Ia ditangkap ketika sedang mengadakan selamatan tujuh bulan kandungan istrinya. Karena kaget, Ratih melahirkan mendadak dan mengeluarkan banyak darah.. sementara yang lain panik, pemuda acuh tak acuh Ridwan (Aedy Moward) menyumbangkan darah. Hal ini membuat Ros (Nurnaningsih) tertarik, padahal sebelumnya ia lebih menaruh perhatian pada Surya (Ismail Saleh), yang ternyata seorang pengecut.

PERFINI

INDRIATI ISKAK
BAMBANG IRAWAN
MIEKE WIJAYA
RENDRA KARNO
SUKARNO M. NOOR
TITI SAVITRI
BOY ISKAK

ENAM DJAM DI DJOGDJA / 1951

ENAM DJAM DI DJOGDJA
Film ini dogolongkan Dokudrama, produksi 1950. 

 
 
Film ini bercerita tentang pendulum kota Jogja pada perang kemerdekaan kedua (1846-1949) dan kegiatan para pejuang di dalam dan di luar kota. Tokoh utama dalam cerita ini adalah kota Jogja. Menampilkan tokoh para aktivis gerakan bawah tanah pimpinan Mochtar (Del Yusar). Cerita jadi menarik disaat ditampilkan orang tua (R.Ismail) ayah seorang komandan Gerlia. Tokoh ini menginginkan kembalinya jaman normal dan bosan dengan perjuangan yang tidak kunjung selesai. Tokoh historis tidak tampil sama sekali. Penonton juga tahu kalau yang memimpin serangan umum ke kota Jogja adalah Overste Suharto, meskipun Suharto sendiri tidak pernah tampil, sebaliknya dalam Janur kuning yang mengangkat namanya. Setelah Yogyakarta diduduki Belanda (Desember 1948), pasukan Republik Indonesia melakukan perang gerilya. Pada suatu ketika Yogya diserbu dan bisa diduduki, walau cuma selama enam jam. "Serangan Oemoem" pada 1 Maret 1949 itu sekedar menunjukkan kepada dunia internasional, bahwa RI masih punya kekuatan, dan tidak (belum) hancur seperti dipropagandakan Belanda. Film ini dengan sadar melukiskan peristiwa nyata terkenal dalam sejarah revolusi Indonesia itu dengan cara fiktif, karena merasa dokumen-dokumen yang ada masih belum lengkap dan takut menyinggung berbagai pihak. Yang dilukiskan adalah kerja sama antara rakyat, tentara dan pemerintah. Meski fiktif, tapi fakta nyata menjadi acuannya. Dan kisah disuguhkan lebih dari sisi rakyat atau tentara yang berpangkat rendah. Tekanan Belanda membuat rakyat menderita dan berbagi sikap. Ada yang mendukung perjuangan tentara, ada yang menggerutu. Tentara yang memeras rakyat pun sekilas dilukiskan. Kesulitannya adalah menyatu padukan sikap, gerakan dan menegakkan disiplin semua anggota gerakan. Ada juga terselip kisah cinta. Tidak ada tokoh yang menonjol dalam kisah, karena begitu banyak pihak yang diceritakan sedikit-sedikit, karena yang jadi tujuan memang pelukisan peristiwa itu secara global.
 PERFINI

DEL JUZAR
R. SUTJIPTO
AEDY MOWARD
RD ISMAIL
N. DAMAJANTI
H. AL RASJID
ISMIENDARI
M. SANI
S. MARDJONO
D. ARIFIN
OSPATI
AGUS MULJONO

 

12 Maret 1977
 
Film yang mengharukan
GAMELAN sayup-sayup. Seorang pemuda berpakaian Jawa keluar dari pintu. Mengendap-endap. Di luar jauh di sana, terdengar panser dan truk tentara Belanda berseliweran. Pemuda itu hati-hati menyelinap di antara rumah-rumah kampung Yogya yang padat itu, lalu menghilang. Di waktu subuh, ia kembali ke rumah tempatnya menumpang. Ia berusaha agar langkahnya tak membangunkan induk semangnya. Tapi ketika ia naik tangga ke kamarnya sendiri di atas, ia dengar wanita itu sudah bangun di kamar bawah. Habis sembahyang subuh. Cepat-cepat ia masuk ke kamar tidumya, berganti pakaian, memakai slaapbroek lagi, membuka jendela dan pura-pura baru bangun tidur. Tapi ibu itu, masih mengenakan mukena, muncul di pintu. "Apakah nak Mohtar baru ketemu ngarsa dalem?", tanyanya. Pemuda itu tak bisa mengelak lagi. Rahasianya tersingkap. Wanita itu tahu, bahwa pemuda yang mondhok di rumahnya itu adalah seorang anggota gerakan di bawah tanah, kurang-lebih penghubung antara para gerilyawan di gunung dengan kraton Yogya, yang diam-diam melawan kekuasaan pendudukan Belanda. Hari itu di tahun 1949. Dan kisah ini dihidupkan dalam film cerita Enam Jam Di Yogya -- satu cerita berlatarkan sejarah, yang dibuat Usmar Ismail di tahun 1950. Hanya satu tahun jaraknya, antara kejadian sebenarnya dengan dibikinnya film itu. Tapi ketika di awal Maret 1977 film itu diputar kembali di TVRI, masih ada yang terharu menyaksikannya. Seorang rekan menangis, diam-diam. Waktu itu adegan ketika pasukan gerilya memasuki lorong-lorong sempit kota, disambut penduduk dengan gembira .... ***


MEMANG, sesuatu yang indah. Perjoangan dan setiakawan, masing-masing dan semuanya adalah sesuatu yang indah. Kini dalam Festival Film Indonesia '77 orang-orang berbicara tentang "sesuatu yang indah" yang lain. Tidak apa. Wim Umboh tidak salah jika ia kini membuat Sesuatu Yang Indah dan itu berarti percintaan seorang pilot atau gadis bar yang hangat dalam ajojing. Zaman telah berganti. Yang jadi pertanyaan ialah: mengapa Enam Jam di Yogya justru menggetarkan, dalam zaman yang telah berganti ini? "Itu hanya nostalgia biasa dan agak kuno dari seorang yang mulai berumur", kata seorang, setengah mengejek. Mungkin. Seorang wartawan tua kemudian berbicara tentang film itu. "Film itu dibuat oleh Usmar dengan alat-alat yang sederhana", katanya, "tapi ia bisa mencerminkan ke-Indonesia-an kita". Kini, katanya lagi, teknologi sudah jauh lebih lengkap, tapi kita kehilangan wajah kita sendiri. ***

TAK selamanya enak terdengar, bila seseorang mengeluh tentang masa kini seraya memuji masa yang silam. Tapi agaknya kita pun setuju: ketika dalam film Enam Jam di Yogya seseorang menyebut nama "Pak Harto", terasalah ada sesuatu yang lain. Kata itu tetap berarti nama Presiden kita sekarang, yang waktu itu memimpin serangan umum dan berhasil merebut Yogya selama 6 jam yang menentukan. Tapi di tahun 1950, ucapan itu jelas jauh dari niat menjilat. Seperti sambutan penduduk kampung kepada pasukan yang masuk ke kota itu, yang menyebabkan seorang rekan menangis entah kenapa.

LIBURAN SENIMAN / 1965



Suromo (Sukarno M. Noor), pengarang, setelah mendengar amanat Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno, menemukan apa yang dicarinya: seni yang mengabdi pada amanat penderitaan rakyat. Rutaf (Rachmat Hidayat), pelukis yang selalu gagal. Kadjiman (Menzano), sutradara film yang dirongrong pemainnya. Tiga seniman ini berjumpa dengan pejuang (Aedy Moward) yang bekerja di Bank Dagang Negara dan sangat berminat pada kesenian, mengarahkan kegiatan para seniman itu.

BANK NEGARA INDONESIA
PERFINI

SUKARNO M. NOOR
MIKE WIJAYA
MILA KARMILA
RACHMAT HIDAYAT
MENZANO
NIZMAH ZAGLULSYAH
SANDY SUWARDI HASSAN
KEIKO TAKEUCHI
FENTY EFFENDI
M.S. DERITA
TIAR MUSLIM

Sudah lima tahun berkasih mesra, si dara manis tak kunjung dilamar jua. Gadis cantik sekaligus anak Presiden Direktur Bank Masjarakat itu makin gundah gulana.

Ia hampir putus asa menjadi perawan tua. Terlebih, sang kekasih sering menghilang tak kunjung rimbanya. Sekalinya bersua, kekasihnya tak punya keberanian guna mendatangi ayahandanya lantaran ia seorang pelukis luntang-lantung yang tak kunjung arah.

Ayah sang gadis pun juga tidak rela putri semata wayangnya serius berhubungan dengan seniman yang masa depannya belum jelas. Demikian gambaran singkat tumpukan konflik batin tokoh Mira yang dimainkan dengan epik oleh aktris Mila Karmila.

Mira merupakan salah satu karakter protagonis dalam film ‘LIBURAN SENIMAN’ karya sutradara Usmar Ismail (1965).

Rachmat berperan sebagai Rutaf Marzuki, pelukis bohemian yang lebih memilih pergi ke neraka dibandingkan harus bertemu dengan calon ayah mertuanya sendiri di Kebayoran. Sepasang kekasih yang hubungannya naik-turun itu dimainkan secara kocak nan jenaka, baik oleh Mila maupun Rachmat.

Mila Karmila, sebagaimana para pemain lainnya ialah pelaku dan saksi hidup dari film ‘LIBURAN SENIMAN’ yang akhirnya tak sempat beredar lantaran mengandung ide-ide Presiden Sukarno (1901-1970) melawan Neo Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim).

Prahara G30S 1965 menjadi alasan utamanya. Syutingnya sendiri diperkirakan diambil pada bulan April-Mei 1965. Bila tak ada tragedi nasional itu, mungkin film itu sudah meluncur di penghujung tahun.

Apa lacur saat nasi telah menjadi bubur. Usmar Ismail sebagai sutradara film yang saat itu sekaligus Ketua LESBUMI NU (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia – Nahdlatul Ulama) – yang di ranah akar rumput juga terlibat dalam prahara 1965 – tak kuasa menyelamatkan karya filmnya itu agar tetap bisa beredar.

Prahara 1965 yang melahirkan Orde Baru pimpinan Jenderal Soeharto rupanya tidak memberi ruang bagi golongan lain seperti NU yang meskipun terlibat perseteruan yang keras terutama di aras akar rumput dengan PKI. Bahkan, Orde Baru pada akhirnya ikut menggulung kekuatan Banom NU seperti Sarbumusi (Serikat Buruh Muslimin Indonesia yang terafiliasi dengan NU) yang masa sebelumnya melawan SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia).

Sarbumusi harus patuh untuk dilebur ke dalam FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia) sesudah pemilu tahun 1971. Sebelum dilebur, Sarbumusi mengalami represi dari Orde Baru. Nasib LESBUMI sendiri tak lagi terdengar hingga pasca Reformasi diaktifkan kembali.

Film ‘LIBURAN SENIMAN’ diproduksi oleh Usmar Ismail dengan Perfini (Pusat Film Nasional Indonesia) yang ia bidani sejak tahun 1950. Bank Negara Indonesia (BNI) turut mensponsori pembuatannya. Usmar Ismail tentu menjadi pihak yang paling terpukul manakala film ini tak dapat beredar.

Berdasarkan ‘Katalog Film-film Produksi PFN (Perusahaan Film Negara), 1962-1968’ (terbit tahun 1969) terdapat tiga kategori film cerita yang diperlakukan pasca G30S 1965. Pertama, diusahakan izin beredar. Kedua, yang harus dibekukan dan diperkenankan beredar sesudah lolos sensor ulang. Terakhir, yang harus dihancurkan. Artinya tidak boleh beredar dan ditolak dari sensor ulang.

Bila mengikuti kategorisasi diatas, besar kemungkinan bahwa film ‘LIBURAN SENIMAN’ masuk klasifikasi ketiga. Atau Usmar Ismail sendiri memutuskan secara sepihak agar film ini diurungkan. Rol film sendiri ditemukan tidak dalam keadaan utuh.

Preservator film Subiyanto yang menangani digitalisasi film ini menyatakan bahwa material film ini belum lengkap sehingga bagian penutup film belum diketemukan. Proses digitalisasi film dari koleksi Sinematek hanya didapat dari materi original negative.

Faktor Usmar Ismail yang ditahbiskan sebagai Bapak Perfilman Indonesia belum menjadi garansi bahwa penyimpanan dan pengarsipan filmnya di Indonesia memadai. Dikarenakan material film ini tidak lengkap maka adegannya terputus tidak sampai akhir film.

Padahal film ini merekam proses transformasi Usmar Ismail dari seorang dramawan menjadi sutradara. Awalnya ‘LIBURAN SENIMAN’ merupakan naskah drama yang ditulis Usmar Ismail semasa pendudukan Jepang tahun 1944.

Sudah barang tentu semangat zaman Jepang disesuaikan kepada panggilan zaman di tahun 1965. Adaptasi semangat zaman dari naskah drama dan film itu mampu merekam kelihaian Bapak Perfilman Nasional itu mengemas sebuah konten cerita.

Sebut saja saat Mila Karmila yang memerankan Mira hendak minta izin keluar rumah pada ayahnya dengan ditemani Sukanto untuk mencari Rutaf kekasihnya. Mira berkelit di depan ayahnya, “urusan Dasawarsa KAA (Konferensi Asia Afrika) ‘Yah.”

Sepanjang film memang disorot sudut-sudut Jakarta yang bermandikan spanduk, mural, slogan, baliho, hingga lukisan progresif berisi semangat revolusioner mengusir Nekolim saat peringatan 10 Tahun KAA yang mulai merambah Amerika Latin. Sesuatu yang pasca G30S 1965 dikubur seiring Presiden Sukarno dilucuti kekuasaannya diikuti mandi darah saudara sendiri sebagai tragedi nasional.

Mila Karmila yang telah membintangi lebih dari 40 judul film tentu bakal menjadikan ‘LIBURAN SENIMAN’ sebagai noktah dalam perjalanan karirnya. Sebuah titik yang merekam sebuah semangat zaman yang telah hilang.

AMOR DAN HUMOR / 1961

AMOR DAN HUMOR

 
Film ini Komedi dan dibintai oleh Bing Slamet. Yang ber"amor" adalah pria kaya (Rendra Karno). "Kerjanya" hanya datang ke Gelanggang Dagang (untuk) Wanita, dan "nonton" penjaga stand yang cantik (Baby Huwae). Padahal si gadis sudah punya pacar (Bambang Irawan), seorang wartawan. Cinta (amor) jadi segi empat, karena terlibatnya wartawati/juru potret pemula (Rima Melati). Yang ber"humor" adalah Bing Slamet, Mansyur Syah dan Ateng.
 BABY HUWAE FILM PROD.
PERFINI

BING SLAMET
MANSJUR SJAH
BABY HUWAE
RENDRA KARNO
RIMA MELATI
ATENG

ANAK PERAWAN DI SARANG PENJAMUN / 1962

ANAK PERAWAN DI SARANG PENJAMUN

 
Suatu kali gerombolan perampok pimpinan Medasing (Bambang Hermanto) menguras habis harta seorang haji kaya (Rd Ismail). Dibawa lari juga ke "sarang" mereka di tengah hutan lebat itu, anak pak haji, Sayu (Nurbani Jusuf). Walau di luar kasar, tapi Medasing berhati lembut. Sebagai pemimpin dia tetap mempertahankan peraturan untuk tidak mengganggu perawan/gadis. Usaha melanggar peraturan hampir selalu dapat digagalkan oleh Sayu, justru berkat kebaikan budi dan keteguhan iman. Hal ini yang kemudian membikin Medasing insyaf, dan membuang perbuatan tercelanya selama ini. Kisah dilukiskan berlaku di Sumatra Selatan.

PERFINI

BAMBANG HERMANTO
NURBANI JUSUF
BAMBANG IRAWAN
RACHMAT HIDAYAT
RD ISMAIL

DOSA TAK BERAMPUN / 1951

DOSA TAK BERAMPUN



Seorang ayah (Rd. Ismail) meninggalkan keluarga, karena terpikat wanita muda. Anak tertua Gunarto (AN Alcaff) bersama ibunya, harus membanting tulang, demi menghidupi keluarga. Setelah anak-anak dewasa tiba-tiba muncul sang ayah, yang tanpa sengaja ditemui Mintarsih (Titi Savitri) tanpa saling kenal dan dalam keadaan miskin terlunta-lunta. Ia diajak masuk rumah. Istrinya kaget dan memberi tahu Mintarsih dan Maimun (Awal) bahwa orang itu ayahnya. Ketika Gunarto pulang, masalah muncul. Ia tak tak mau mengakui ayahnya. Kekerasan sikapnya membuat sang ayah pergi dan bunuh diri menceburkan diri kelaut. Maka kesalahan ditimpakan pada Gunarto yang hanya bisa menyesal. Peristiwa berlangsung tepat menjelang hari lebaran.
 











ANAK-ANAK REVOLUSI / 1964

 

Masa revolusi. Jepang sudah kalah perang, tapi belum menyerah. Seorang bocah berusia sekitar 14 tahun memaksa masuk tentara. Ia ingin menebus perbuatan ayahnya yang dibuang ke Nusa Kambangan karena membunuh. Maka perbuatannya jadi berlebihan dalam segala hal. Melihat ini komandan pasukan mengangkatnya jadi kepala seksi. Anak buahnya orang-orang dewasa. Ia minta tugas-tugas yang nekad, dan kalau perlu mengabaikan tugas kalau menurut pikirannya benar. Akibat tindakannya ini, salah seorang anak buahnya meninggal. Ia terluka. Pacar anak buah tadi lalu minta ikut ke garis depan. Dan gadis itu juga meninggal karena kenekatan yang ditunjukkan si bocah, sementara sang gadis terangsang untuk berbuat sama.
 PERFINI
DJABAR FILM

WAHAB ABDI
SUKARNO M. NOOR
MIEKE WIJAYA
RITA ZAHARA
MARLIA HARDI
ARMAN EFFENDY
RIKRIK
RACHMAT HIDAYAT

PEDJUANG / 1960



Sekitar tahun 1947, sebuah peleton pimpinan Letnan Amin (Rendra Karno) mendapat tugas untuk mempertahankan sebuah jembatan yang sangat strategis. Di balik pasukan itu, berlindung sejumlah pengungsi, antara lain Irma (Chitra Dewi), anak keluarga menengah yang sinis terhadap pejuang kemerdekaan. Antara Amin dan Irma terjalin hubungan kasih, yang mereka sembunyikan. Sersan Mayor Imron (Bambang Hermanto) yang urakan juga menaruh hati atas Irma. Ketika Amin terluka, Imron diserahi memimpin pasukan untuk meninggalkan tempat yang sudah dikuasai Belanda itu. Tugas diterima dan dilaksanakan. Kopral Seno (Bambang Irawan) mencurigai Imron, yang dianggap punya niat menyingkirkan Amin, agar bisa mendapatkan Irma. Untuk membuktikan bahwa tak ada maksud begitu, Imron memutuskan melakukan operasi membebaskan Amin dari tawanan Belanda. Amin berhasil dibebaskan, tapi Imron tewas. Meski mata dan kaki satu, Irma akhirnya memilih menemani Amin.

Film ini mendapat penghargaan untuk pemeran pria Bambang Hermanto di Moscow Film Festival.

Film ini pada dasarnya jauh lebih baik dalam segala hal. Hanya saja penampilan serdadu Belanda yang digambarkan agak tolol pada saat menjelang akhir cerita. Begitu mudah pasukan Imron menerobos masuk kamp musuh yang menawan Amin danLatifa, seakan-akan Belanda tidak tahu mereka sedang dalam keadaan perang. Tapi cara penggambarannya seperti ini tentu tidak harus dipisahkan dari konteks waktu pembuatan film ini yang pada tahun 1959, saat Indonesia kembali pada UUD 1945, saat orang muali bicara mengenai perlunya semangat 45 dihidupkan kembali. Masa itu udara dipenuhi kampanye perlunya solidaritas revolusi dihidupkan kembali, setelah bangsa Indonesia tercabik-cabik oleh berbagai pertentangan yang antara lain menghasilkan perang saudara di Sumatra dan Sulawesi Utara.

Menarik untuk melihat Usmar di tahun 1954 tampil dengan kekecewaan lewat film Lewat Jam Malam, kini tampil dengan optimisme yang bersumber pada solidaritas antara para pejuang. Dan untuk kepentingan itu Usmar menghidarkan diri dari berbicara tentang keadaan setelah revolusi sebagai yang digambarkannya Lewat Jam Malam. Dengan Pejuang Usmar menterjemahkan ke dalam film semangat jamanya yang dipenuhi harapan melihat perubahan politik yang dipelopori Presiden Soekarno -dekret 5 Juli 1959 -sebagai suatu yang bisa mengatasi segala kekecewaan yang melanda Indonesia di tahun lima puluhan. Dan selanjutnya masalah bentuk NASAKOM (Nasionali, Agama, Komunis), belum lagi konfrontasi dengan Belanda masalah Irian Barat, dan hingga soal pembentukan Malaysia.
 PERFINI

BAMBANG HERMANTO
CHITRA DEWI
RENDRA KARNO
BAMBANG IRAWAN
FARIDA ARRIANY
ISMED M. NOOR
LIES NOOR
WOLLY SUTINAH
ARIATI
HAMIDY T. DIAMIL
SOENDJOTO ADIBROTO
PITRAJAYA BURNAMA
 
 
 

DELAPAN PENDJURU ANGIN / 1957

DELAPAN PENDJURU ANGIN


Armansyah Perkasa Alam, seorang bintang film dan radio yang sedang naik daun, mendapat banyak surat dari para penggemarnya. Armansyah memanfaatkannya sebagai pelampiasan watak play boynya. Temannya Trisno berulang-ulang menasehati, tapi tak digubrisnya. Kadang lebih dari satu gadis yang datang ke rumah Armansyah. Akhirnya kedelapan gadis calon korban menyadari kekeliruan mereka, tinggallah Arman sendirian.
 PERFINI

BAMBANG HERMANTO
CHITRA DEWI
BAMBANG IRAWAN
MIEKE WIJAYA
MIMI MARIANI
DIAN ANGGRIANIE D
NANNY LYDIA
TUTY S
ROOSILAWATY
RUBIATI

KAFEDO / 1953

KAFEDO


Film pertama Usmar Ismail sepulang dari belajar di Hollywood selama satu tahun.
Suatu ketika di masa revolusi fisik, sekelompok pemuda pimpinan Harun (Del Juzar) menembus patroli Angkatan Laut Belanda, dan mendarat di Pulau Mentawai. Tugas khususnya adalah menangkap Kafedo (Rd Sukarno), yang dituduh bekerja sama dengan musuh. Sebelum itu, Harun terlibat asmara dengan Hiya (Tina Melinda).

Kesulitan timbul karena Baiha (Udjang) menyetujui pinangan Kafedo atas putrinya, Hiya. Ketika pasukan Belanda mendarat di pulau itu terlihatlah bahwa Kafedo sebenarnya seorang yang berjiwa patriot, sehingga Harun merelakan Hiya untuk Kafedo.

PERFINI

DEL JUZAR
RENDRA KARNO
TINA MELINDA
AEDY MOWARD
ISMAIL SALEH
UDJANG
WAHID CHAN
CASSIM ABBAS

HARTA KARUN / 1949

HARTA KARUN

Abdulkadir (Rd Ismail) kaya tetapi kikir. Mata pencaharian utamanya adalah membungakan uang (rentenir). Anak gadisnya Suliati (Djuriah Karno), berpacaran dengan Ahmad (Rd Sukarno). Walaupun Ahmad itu sekretaris, tetapi Abdulkadir tidak setuju, karena pemuda itu miskin.

Suliati kemudian dijodohkan dengan Abdulrachman (Djauhari Effendi), yang kaya. Abdulkadir sendiri pacaran dengan Rohana (Herawati), padahal gadis itu adalah pacar anaknya lelakinya, Ramelan (A. Hamid Arief). Ternyata Ahmad itu anak Abdulrachman. Dengan sendirinya Ahmad dapat menikahi Suliati, sedangkan Ramelan dapat bersanding dengan Rohana

Difilm ini Usmar belajar tentang kesalahan yang ia lakukan. Tidak selamanya sesuatu hal yang tampak lucu di cerita dan pengadeganan akan tampak lucu juga di penonton. Saat membuat film ini Usmar tertawa, sedangkan saat di putar di bioskop, reaksi penonton tidak tertawa. Karena itu Usmar gagal membuat film ini dan dari hal ini ia belanja.


SOUTH PACIFIC FILM

\RD ISMAIL
RENDRA KARNO
DJURIAH KARNO
A. HAMID ARIEF
HERAWATI
DJAUHARI EFFENDI


 

TAMU AGUNG / 1955

TAMU AGUNG

 

Camat dan staf di sebuah desa Sukaslamet di gunung mengutus Pak Midi diutus untuk menjemput pimpinan suatu partai yang sedang berkunjung di kabupaten. Pak Midi di pilih karena dia dan si tamu agung itu adalah satu partai. Tapi pak Midi boro-boro memenui pim,pinan partai di kantor kabupaten itu, masuk halaman kantor kabupaten saja dia tidak berani. Biar pulang tidak tangan kosong pak Midi keluyuran saja. Di sebuah pasar ia ketemu tukang obat (M. Pandji Anom) yang sedang mempropagandakan obat "manjur". dia membawa tukang obat itu bersama obat-obatannya yang dinilai manjur buat orang-orang di desanya. Karena tukang obat mengunakan mobil dan berpakaian jas, orang orang mengiranya inilah Tamu Agung itu yang mereka nantikan. Tukang obat merasa terperosok, tetapi ia manfaatkan peluang tersebut yang disambut oleh barisan ibu-ibu cantik dan makanan yang istimewa. Sedang pak Camat membawa Tamu Agung keliling kampung, melihat sekolah dan berbagai fasilitas yang dinilai perlu dikembangkan. Ke"onar"an baru terhenti waktu Tamu Agung (yang sebenarnya) muncul,dan si tukang obat lari.
 PERFINI

M. PANDJI ANOM
TINA MELINDA
HASSAN SANUSI
SULASTRI
CASSIM ABBAS
UDJANG
KUNTJUNG
CHITRA DEWI
NINA AMORA

FULL MOVIE
 

Tamu Agung ini  sanduran dari The Revisor karya Nikolai Gogol (Rusia), kondisi politik saat itu yang mendorong Usmar Ismail mendahulukan pembuatan film ini. Pada saat itu kondisi partai politik sedang semarak sejak menjelang pemilu 1955. Kesibukan partai politik hanya terbatas pada kota-kota saja. Sehingga tidak sempat memperhatikan rakyat di desa-desa. Intinya adalah mengkeritik hal itu. Rakyat mendambakan pemimpin yang memperhatikan rakyat dengan datang ke desa-desa dan memperhatikan kebutuhan mereka. Skenario yang ditulis oleh Soemanto segar, dan orisinil. Leluconnya menyerempet ke sana dan kemari, termasuk gaya pidato Bung Karno. Lelucon banyak terdapat di dialoq, Gaya Soemanto ini banyak mempengaruhi Nyaa Abbas . 

Misbach sempat terlibat dalam pembuatan film ini sebagai asisten Usmar Ismail, dan bahkan Misbach dapat kesempatan menyutradarai scene-scene yang tidak terlalu berat.Film ini mendapat penghargaan khusus (Special Award) di Festival Film Asia 1956 di Hongkong sebagai film komedi terbaik. Tetapi ketika di pasarkan film ini anjlok. Kata Misbach, dia optimis sekali film ini akan laku di pasar, karena menurut dia memang bagus dan segar ceritanya. Tetapi sebelum di pasarkan Misbach ikut terlibat dalam promosi film ini. Tentulah dengan membuat posterfilm, seorang Broker Cina melihat foto yang ada di poster film, dan ia mengatakan film ini akan laku di bioskop cuma 3 hari saja. Misbach marah, Broker itu bilang, tidak usah melihat filmnya, hanya melihat photo di poster film dia sudah bisa menebak hanya 3 hari di bioskop. Dan kenyataan itu benar. Film ini hanya bertahan 3 hari saja, itu pun sudah dipaksa-paksain karena penontonnya tidak memadai.

Gagalnya film ini dinilai leluconnya terlalu tinggi untuk penonton Indonesia. Orang menengah ke atas menonton film Barat, sedangkan menengah ke bawah menonton film India. Mungkin orang golongan menengah ke atas yang sering nonton film barat membaca artiket tentang film ini menang di Hongkong, tetapi mereka engan menontonnya. Kegagalan Tamu Agung semakin membawa perfini kebangkrutan, penyitaan oleh bank pun sudah diambang pintu.

Posterfilm, seorang Broker Cina melihat foto yang ada di poster film, dan ia mengatakan film ini akan laku di bioskop cuma 3 hari saja. Misbach marah, Broker itu bilang, tidak usah melihat filmnya, hanya melihat photo di poster film dia sudah bisa menebak hanya 3 hari di bioskop. Dan kenyataan itu benar. Film ini hanya bertahan 3 hari saja, itu pun sudah dipaksa-paksain karena penontonnya tidak memadai.

ANANDA / 1970

ANANDA


 
Film terakhir Usmar Ismail.

Film ini adalah produksi PERFINI. Inilah kisah film Cinderella Indonesia yang beakhir tragis dan sedikit misterius. Namanya boleh siapa, meskipun dalam fiolm dipanggila Irma, lalu Ananda (lenny Marlina) dan pangkal kesedihan adalah ibu yang mati dan ibu tiri ( Mike Wijaya) yang tidak baik hati. Sebagai penjual goreng pisang ia memikat Tarna (Ferry Irawan). Ketika di pantai, Kasan (Ismar Lubis) mengejarnya. Waktu kembali ke kota dengan warisan harta nenek, ia terlibat dengan Rachim (Rorimpandey).
 
Irma alias Ananda (Lenny Marlina) harus berjualan pisang goreng sejak kematian ibunya, apalagi ia mendapat ibu tiri yang tak baik hati. Kemudian mulailah "petualangannya" dengan lelaki. Pertama Tarma (Ferry Irawan), lalu Kasan (Ismar Lubis) dan waktu mendapat warisan ia terlibat dengan Rachim (Frank Rorimpandey). Ternyata Rachim kawin dengan gadis lain, sementara ia sudah tak perawan lagi. Maka terjerumuslah dia dalam pergaulan anak brandal, sampai masuk bui. Lalu muncul Halim (Rachmat Hidayat), wartawan yang mengaku paman Ananda, hingga sang gadis ini bisa bebas. Ketika kehidupan mulai layak, muncul Azam (Galeb Husein), dan Ananda pun jadi nyonya. Saat Ananda sedang sendirian di rumah, muncul kawan lamanya yang brandal, menagih janji. Ananda terbunuh dengan keris pusakanya sendiri. Ananda mulai hidup baru dirumah mewah dan sedang sendirian, muncul laki-laki misterius yang penonton menduga adalah kenalan Ananda, tetapi lain. Ananda dibunuh, dan pembunuhnya tidak diberitahukan. Penonton bisa menebaknya siapa. 

PERFINI memang bukan membuat film detektif, jadi persoalan siapa yang membunuh tidak tahu.Usmar sendiri berkeinginan sederhana dengan film-filmnya dalam menceritakan kehidupan drama manusia. Jadi yang menarik adalah drama itu sendiri, dan inilah karya Usmar yang terakhir dan juga yang paling mencerminkan dirinya. SElain film yang ia garap dengan penuh tawaran ide-ide dari yang lainnya. Jadi film ini banyak yang bilang Usmar Ismail sekali.