Kamis, 10 Februari 2011

LIBURAN SENIMAN / 1965



Suromo (Sukarno M. Noor), pengarang, setelah mendengar amanat Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno, menemukan apa yang dicarinya: seni yang mengabdi pada amanat penderitaan rakyat. Rutaf (Rachmat Hidayat), pelukis yang selalu gagal. Kadjiman (Menzano), sutradara film yang dirongrong pemainnya. Tiga seniman ini berjumpa dengan pejuang (Aedy Moward) yang bekerja di Bank Dagang Negara dan sangat berminat pada kesenian, mengarahkan kegiatan para seniman itu.

BANK NEGARA INDONESIA
PERFINI

SUKARNO M. NOOR
MIKE WIJAYA
MILA KARMILA
RACHMAT HIDAYAT
MENZANO
NIZMAH ZAGLULSYAH
SANDY SUWARDI HASSAN
KEIKO TAKEUCHI
FENTY EFFENDI
M.S. DERITA
TIAR MUSLIM

Sudah lima tahun berkasih mesra, si dara manis tak kunjung dilamar jua. Gadis cantik sekaligus anak Presiden Direktur Bank Masjarakat itu makin gundah gulana.

Ia hampir putus asa menjadi perawan tua. Terlebih, sang kekasih sering menghilang tak kunjung rimbanya. Sekalinya bersua, kekasihnya tak punya keberanian guna mendatangi ayahandanya lantaran ia seorang pelukis luntang-lantung yang tak kunjung arah.

Ayah sang gadis pun juga tidak rela putri semata wayangnya serius berhubungan dengan seniman yang masa depannya belum jelas. Demikian gambaran singkat tumpukan konflik batin tokoh Mira yang dimainkan dengan epik oleh aktris Mila Karmila.

Mira merupakan salah satu karakter protagonis dalam film ‘LIBURAN SENIMAN’ karya sutradara Usmar Ismail (1965).

Rachmat berperan sebagai Rutaf Marzuki, pelukis bohemian yang lebih memilih pergi ke neraka dibandingkan harus bertemu dengan calon ayah mertuanya sendiri di Kebayoran. Sepasang kekasih yang hubungannya naik-turun itu dimainkan secara kocak nan jenaka, baik oleh Mila maupun Rachmat.

Mila Karmila, sebagaimana para pemain lainnya ialah pelaku dan saksi hidup dari film ‘LIBURAN SENIMAN’ yang akhirnya tak sempat beredar lantaran mengandung ide-ide Presiden Sukarno (1901-1970) melawan Neo Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim).

Prahara G30S 1965 menjadi alasan utamanya. Syutingnya sendiri diperkirakan diambil pada bulan April-Mei 1965. Bila tak ada tragedi nasional itu, mungkin film itu sudah meluncur di penghujung tahun.

Apa lacur saat nasi telah menjadi bubur. Usmar Ismail sebagai sutradara film yang saat itu sekaligus Ketua LESBUMI NU (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia – Nahdlatul Ulama) – yang di ranah akar rumput juga terlibat dalam prahara 1965 – tak kuasa menyelamatkan karya filmnya itu agar tetap bisa beredar.

Prahara 1965 yang melahirkan Orde Baru pimpinan Jenderal Soeharto rupanya tidak memberi ruang bagi golongan lain seperti NU yang meskipun terlibat perseteruan yang keras terutama di aras akar rumput dengan PKI. Bahkan, Orde Baru pada akhirnya ikut menggulung kekuatan Banom NU seperti Sarbumusi (Serikat Buruh Muslimin Indonesia yang terafiliasi dengan NU) yang masa sebelumnya melawan SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia).

Sarbumusi harus patuh untuk dilebur ke dalam FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia) sesudah pemilu tahun 1971. Sebelum dilebur, Sarbumusi mengalami represi dari Orde Baru. Nasib LESBUMI sendiri tak lagi terdengar hingga pasca Reformasi diaktifkan kembali.

Film ‘LIBURAN SENIMAN’ diproduksi oleh Usmar Ismail dengan Perfini (Pusat Film Nasional Indonesia) yang ia bidani sejak tahun 1950. Bank Negara Indonesia (BNI) turut mensponsori pembuatannya. Usmar Ismail tentu menjadi pihak yang paling terpukul manakala film ini tak dapat beredar.

Berdasarkan ‘Katalog Film-film Produksi PFN (Perusahaan Film Negara), 1962-1968’ (terbit tahun 1969) terdapat tiga kategori film cerita yang diperlakukan pasca G30S 1965. Pertama, diusahakan izin beredar. Kedua, yang harus dibekukan dan diperkenankan beredar sesudah lolos sensor ulang. Terakhir, yang harus dihancurkan. Artinya tidak boleh beredar dan ditolak dari sensor ulang.

Bila mengikuti kategorisasi diatas, besar kemungkinan bahwa film ‘LIBURAN SENIMAN’ masuk klasifikasi ketiga. Atau Usmar Ismail sendiri memutuskan secara sepihak agar film ini diurungkan. Rol film sendiri ditemukan tidak dalam keadaan utuh.

Preservator film Subiyanto yang menangani digitalisasi film ini menyatakan bahwa material film ini belum lengkap sehingga bagian penutup film belum diketemukan. Proses digitalisasi film dari koleksi Sinematek hanya didapat dari materi original negative.

Faktor Usmar Ismail yang ditahbiskan sebagai Bapak Perfilman Indonesia belum menjadi garansi bahwa penyimpanan dan pengarsipan filmnya di Indonesia memadai. Dikarenakan material film ini tidak lengkap maka adegannya terputus tidak sampai akhir film.

Padahal film ini merekam proses transformasi Usmar Ismail dari seorang dramawan menjadi sutradara. Awalnya ‘LIBURAN SENIMAN’ merupakan naskah drama yang ditulis Usmar Ismail semasa pendudukan Jepang tahun 1944.

Sudah barang tentu semangat zaman Jepang disesuaikan kepada panggilan zaman di tahun 1965. Adaptasi semangat zaman dari naskah drama dan film itu mampu merekam kelihaian Bapak Perfilman Nasional itu mengemas sebuah konten cerita.

Sebut saja saat Mila Karmila yang memerankan Mira hendak minta izin keluar rumah pada ayahnya dengan ditemani Sukanto untuk mencari Rutaf kekasihnya. Mira berkelit di depan ayahnya, “urusan Dasawarsa KAA (Konferensi Asia Afrika) ‘Yah.”

Sepanjang film memang disorot sudut-sudut Jakarta yang bermandikan spanduk, mural, slogan, baliho, hingga lukisan progresif berisi semangat revolusioner mengusir Nekolim saat peringatan 10 Tahun KAA yang mulai merambah Amerika Latin. Sesuatu yang pasca G30S 1965 dikubur seiring Presiden Sukarno dilucuti kekuasaannya diikuti mandi darah saudara sendiri sebagai tragedi nasional.

Mila Karmila yang telah membintangi lebih dari 40 judul film tentu bakal menjadikan ‘LIBURAN SENIMAN’ sebagai noktah dalam perjalanan karirnya. Sebuah titik yang merekam sebuah semangat zaman yang telah hilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar