Mbah Kus (Kusno Sudjarwadi) hidup bersama enam cucu dari perkawinan enam anaknya, yaitu Rini (Ernie Djohan), Tuti (Nanien Sudiar), Nina (Juni Arcan), Rita (Ani), Palupi (Palupi Suwito), dan Sony (Rano Karno). Rini dan Sony sengaja dikirim orangtuanya ke mbah Kus, karena kenakalannya. Rini pacaran terus, sementara Sony hampir mencelakakan ayahnya, pemilik pembakaran kapur, saat bermain-main dengan dinamit. Kumpulan cucu dengan kakeknya ini yang menjadi titik tolak sejumlah kelucuan. Sony, umpamanya, memperdaya Koko (Koestaman), pacar Rini, dengan menggunakan pakaian dan rambut palsu milik Rini. Keributan yang terjadi membuat Koko diusir, apalagi setelah tahu ibunya adalah bekas pacar Mbah Kus. Lain kali ia memasang petasan di tempat Koko-Rini pacaran. Juga memasang perekam, hingga pembicaraan mereka jadi bahan rapat keluarga. Lalu ada juga rebutan pacar antara Tuti dan Nina. Akibatnya Tuti melarikan diri. Sony yang menemukan surat Tuti, lalu melarikan motor pamannya untuk mencari saudara sepupunya itu. Kejadian ini membuat Mbah Kus panik, karena Sony tidak punya SIM. Mbah Kus kena serangan jantung. Toh semuanya berakhir baik. Tuti pulang, sementara Koko yang diantar ibunya, bisa melunakkan sikap keras Mbah Kus.
P.T. MAHKOTA METROPOLITAN FILM
P.T. MAHKOTA METROPOLITAN FILM
RANO KARNO KUSNO SUDJARWADI ERNIE DJOHAN NANIEN SUDIAR KOESTAMAN JUNI ARCAN PALUPI SAWITO ANDY CAROL DARUSSALAM ANI |
News
12 Juli 1975
Ini baru boesye
SEBELUM USIA 17 Cerita, Skenario dan Sutradara: Motinggo Boesye. *** KETIKA melangkah ke dunia film, Motinggo Boesye ada berharap mengikuti jejak almarhum Usmar Ismail. Enam filmnya berlalu, dan yang berhasil ditirunya dari pemilik Perfini itu tidak lain dari layar ukuran standard ketika Boesye membuat film pertamanya. Sebelum Usia 17 ini adalah karya Boesye terbaru, dan siapa pun yang menontonnya tentulah akan teringat Tiga Dara Usmar Ismail -- meskipun bukan peniruan. Sebuah komedi keluarga yang segar. Dan cuma karena itu maka ia amat mengingatkan kita pada Tiga Dara. Kalau dalam karya Usmar kita berkenalan dengan keluarga pegawai, duda, dengan tiga orang anak gadis, maka Boesye mengajak kita masuk ke dalam rumah kakek Kus (Kusno Soedjarwadi) yang hidup dengan cucu-cucunya hasil perkawinan enam orang puteranya.
Cucu tertua adalah Rini (Erni johan). Ia ini gadis Medan yang dikirim ke Jakarta lantaran di rumah orang tuanya sana kerjanya cuma pacaran dengan sopir. Empat cucu lainnya juga wanita: Tuti (Nanin Sudiar), Nina (Juni Arcan), Rita (Ani) dan Palupi (Palupi Suwito). Yang terakhir menggabung ke markas besar mBah Kus adalah Sonny (Rano Karno). Berbeda dengan Usmar, Boesye memilih menggambarkan keluarga kaya, sehingga segalanya serba ada. Sonny, misalnya, ia anak seorang pemilik pembakaran kapur. Untuk mengisi masa kosongnya, anak ini bermain dengan menggunakan dinamit. Dengan cara yang sedikit artifisial (dibuat-buat) Boesye menggarbarkan bagaimana ayah Sonny (Darussalam) nyaris celaka oleh ledakan dinamit puteranya. Karena kenakalan inilah Sonny diungsikan ke rumah mBah Kus. Dan kumpulan enam cucu itu menjadi titik tolak sejumlah kisah kocak dalam rumah dengan banyak penghuni itu. Kehebohan pertama terjadi ketika Sonny memperdayakan Koko (Kustaman)--yang bercintaan dengan Rini-dengan menggunakan pakaian panjang serta rambut palsu milik Rini. Akibat ribut di halaman, Koko tertangkap oleh mBah Kus. Mula-mula kakek ini senang dengan pemuda penyanyi pop dan calon dokter itu, tapi tiba-tiba mengusirnya ketika tahu siapa ibu anak itu. Ketrampilan Boesye menangani adegan ini berhasil melahirkan suatu kejutan yang kemudian berfungsi pada kelanjutan kisah. Benar saja, dan Sonny kemudian memasang petasan dan kembang api pada tempat Koko dan Rini beristirahat ketika mereka pulang nonton, tanpa setahu mBah Kus.
Segala pembicaraan mereka di halaman itu direkam dengan rapi oleh Sonny untuk kemudian diserahkan kepada sang kakek yang kemudian diperdengarkan pada rapa penting enam orang ayah dari cucu-cucu itu. Serangan Jantung Persoalan dalam rumah juga timbul oleh anak-anak gadis kecil itu sendiri. Mereka semua satu sekolah, dan dalam soal pacar tidak jarang mereka rebutan. Terhadap teman mereka Dodi (Andy Carol), Nina maupun Tuti sama-sama senang. Akhir-akhirnya mereka ribut, dan entah apa alasannya, Tuti melarikan diri dari rumah. Yang gawat, kejadian ini pecah justru pada saat mBah Kus sedang mengumpulkan putera-puteranya dalam sebuah sidang pengadilan terhadap tingkah laku anak mereka masing-masing. Sonny yang mula-mula menemukan surat Tuti, tanpa memberitahu ayah maupun kakeknya melarikan motor pamannya untuk mencari saudara sepupunya. Kejadian ini mengerikan mBah Kus yang takut kehilangan cucu. Saking paniknya, mBah Kus lantas saja dilanda serangan jantung. Tahu cucunya yang perempuan minggat, serangan jantung mBah Kus makin menjadi. Di tengah ketegangan, muncul Koko dan ibunya (Narti). Mula-mula si kakek memilih mati dari pada disentuh Koko tapi Narti tiba-tiba angkat bicara "Koesje lief, waarom je ben zo koppig to?" Hati mBah dan bekas pacar Narti itupun lantas lunak. Ia tidak jadi mati, antara lain karena Sonny dan Tuti sudah pula berada di dalam kamar kakeknya. Kisah berakhir dengan pertunangan Koko dengan Rini. Kecuali pada bagian pertama - adegan Palupi bangun tidur yang didramatisir dengan bunyi-bunyian dari tubuhnya--struktur f1lm ini terjaga dengan baik.
Suasana segar yang terpancar dari layar terutama terasa dengan intens oleh penggambaran yang rapi, sederhana tapi cermat. Jelas sekali Boesye tahu obyek yang digambarkannya. Kelihatan betapa ia kenal psikhologi kehidupan cinta anak-anak remaja, karena itu penggambarannya menyentuh hati mereka yang pernah remaja ataupun masih remaja. Tapi tahu obyek saja belum merupakan jaminan untuk mendapat gabaran yang baik. Untunglah sejak karyanya yang keenam (Sayanglah Daku) Boesye memang telah memperlihatkan perbaikan dalam kemampuan teknisnya bercerita dengan gambar. Dan dengan kemampuan itulah kita bisa melihat bayangan Boesye dalam karya terbarunya ini. Barang siapa yang pernah membaca novel maupun drama-drama Boesye, dengan cepat ia bisa mengenal persamaan watak-watak manusia dalam karya-karya tulisnya dahulu dengan karakter-karakter yang ditampilkannya lewat tokoh mBah Kus. Manusia-manusia unik macam Utai dalam Malam Jahanam juga bukannya tidak ada dalam Sebelum Usia 17 ini. Cuma sayangnya tokoh dengan blangkon itu ditinggalkan begitu saja, sehingga tidak jelas ujung pangkalnya. Mula-mula saya sangka pelayan, tapi tidak pernah terlibat urusan rumah tangga. Cara penggambaran macam ini jelas mengganggu. Tapi yang barangkali akan lebih mengganggu adalah jika sutradara Boesye tidak sanggup mempertahankan prestasi yang dicapainya sekarang dalam - karya-karyanya mendatang. Tidak kurang contoh untuk kemunduran macam itu di tengah kita, bukan? Salim Said