Tampilkan postingan dengan label MOTINGGO BOESJE 1960-1978. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MOTINGGO BOESJE 1960-1978. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 05 Februari 2011

SEBELUM USIA 17 / 1975



Mbah Kus (Kusno Sudjarwadi) hidup bersama enam cucu dari perkawinan enam anaknya, yaitu Rini (Ernie Djohan), Tuti (Nanien Sudiar), Nina (Juni Arcan), Rita (Ani), Palupi (Palupi Suwito), dan Sony (Rano Karno). Rini dan Sony sengaja dikirim orangtuanya ke mbah Kus, karena kenakalannya. Rini pacaran terus, sementara Sony hampir mencelakakan ayahnya, pemilik pembakaran kapur, saat bermain-main dengan dinamit. Kumpulan cucu dengan kakeknya ini yang menjadi titik tolak sejumlah kelucuan. Sony, umpamanya, memperdaya Koko (Koestaman), pacar Rini, dengan menggunakan pakaian dan rambut palsu milik Rini. Keributan yang terjadi membuat Koko diusir, apalagi setelah tahu ibunya adalah bekas pacar Mbah Kus. Lain kali ia memasang petasan di tempat Koko-Rini pacaran. Juga memasang perekam, hingga pembicaraan mereka jadi bahan rapat keluarga. Lalu ada juga rebutan pacar antara Tuti dan Nina. Akibatnya Tuti melarikan diri. Sony yang menemukan surat Tuti, lalu melarikan motor pamannya untuk mencari saudara sepupunya itu. Kejadian ini membuat Mbah Kus panik, karena Sony tidak punya SIM. Mbah Kus kena serangan jantung. Toh semuanya berakhir baik. Tuti pulang, sementara Koko yang diantar ibunya, bisa melunakkan sikap keras Mbah Kus.
P.T. MAHKOTA METROPOLITAN FILM

RANO KARNO
KUSNO SUDJARWADI
ERNIE DJOHAN
NANIEN SUDIAR
KOESTAMAN
JUNI ARCAN
PALUPI SAWITO
ANDY CAROL
DARUSSALAM
ANI



News
12 Juli 1975
Ini baru boesye

SEBELUM USIA 17 Cerita, Skenario dan Sutradara: Motinggo Boesye. *** KETIKA melangkah ke dunia film, Motinggo Boesye ada berharap mengikuti jejak almarhum Usmar Ismail. Enam filmnya berlalu, dan yang berhasil ditirunya dari pemilik Perfini itu tidak lain dari layar ukuran standard ketika Boesye membuat film pertamanya. Sebelum Usia 17 ini adalah karya Boesye terbaru, dan siapa pun yang menontonnya tentulah akan teringat Tiga Dara Usmar Ismail -- meskipun bukan peniruan. Sebuah komedi keluarga yang segar. Dan cuma karena itu maka ia amat mengingatkan kita pada Tiga Dara. Kalau dalam karya Usmar kita berkenalan dengan keluarga pegawai, duda, dengan tiga orang anak gadis, maka Boesye mengajak kita masuk ke dalam rumah kakek Kus (Kusno Soedjarwadi) yang hidup dengan cucu-cucunya hasil perkawinan enam orang puteranya.

Cucu tertua adalah Rini (Erni johan). Ia ini gadis Medan yang dikirim ke Jakarta lantaran di rumah orang tuanya sana kerjanya cuma pacaran dengan sopir. Empat cucu lainnya juga wanita: Tuti (Nanin Sudiar), Nina (Juni Arcan), Rita (Ani) dan Palupi (Palupi Suwito). Yang terakhir menggabung ke markas besar mBah Kus adalah Sonny (Rano Karno). Berbeda dengan Usmar, Boesye memilih menggambarkan keluarga kaya, sehingga segalanya serba ada. Sonny, misalnya, ia anak seorang pemilik pembakaran kapur. Untuk mengisi masa kosongnya, anak ini bermain dengan menggunakan dinamit. Dengan cara yang sedikit artifisial (dibuat-buat) Boesye menggarbarkan bagaimana ayah Sonny (Darussalam) nyaris celaka oleh ledakan dinamit puteranya. Karena kenakalan inilah Sonny diungsikan ke rumah mBah Kus. Dan kumpulan enam cucu itu menjadi titik tolak sejumlah kisah kocak dalam rumah dengan banyak penghuni itu. Kehebohan pertama terjadi ketika Sonny memperdayakan Koko (Kustaman)--yang bercintaan dengan Rini-dengan menggunakan pakaian panjang serta rambut palsu milik Rini. Akibat ribut di halaman, Koko tertangkap oleh mBah Kus. Mula-mula kakek ini senang dengan pemuda penyanyi pop dan calon dokter itu, tapi tiba-tiba mengusirnya ketika tahu siapa ibu anak itu. Ketrampilan Boesye menangani adegan ini berhasil melahirkan suatu kejutan yang kemudian berfungsi pada kelanjutan kisah. Benar saja, dan Sonny kemudian memasang petasan dan kembang api pada tempat Koko dan Rini beristirahat ketika mereka pulang nonton, tanpa setahu mBah Kus.

Segala pembicaraan mereka di halaman itu direkam dengan rapi oleh Sonny untuk kemudian diserahkan kepada sang kakek yang kemudian diperdengarkan pada rapa penting enam orang ayah dari cucu-cucu itu. Serangan Jantung Persoalan dalam rumah juga timbul oleh anak-anak gadis kecil itu sendiri. Mereka semua satu sekolah, dan dalam soal pacar tidak jarang mereka rebutan. Terhadap teman mereka Dodi (Andy Carol), Nina maupun Tuti sama-sama senang. Akhir-akhirnya mereka ribut, dan entah apa alasannya, Tuti melarikan diri dari rumah. Yang gawat, kejadian ini pecah justru pada saat mBah Kus sedang mengumpulkan putera-puteranya dalam sebuah sidang pengadilan terhadap tingkah laku anak mereka masing-masing. Sonny yang mula-mula menemukan surat Tuti, tanpa memberitahu ayah maupun kakeknya melarikan motor pamannya untuk mencari saudara sepupunya. Kejadian ini mengerikan mBah Kus yang takut kehilangan cucu. Saking paniknya, mBah Kus lantas saja dilanda serangan jantung. Tahu cucunya yang perempuan minggat, serangan jantung mBah Kus makin menjadi. Di tengah ketegangan, muncul Koko dan ibunya (Narti). Mula-mula si kakek memilih mati dari pada disentuh Koko tapi Narti tiba-tiba angkat bicara "Koesje lief, waarom je ben zo koppig to?" Hati mBah dan bekas pacar Narti itupun lantas lunak. Ia tidak jadi mati, antara lain karena Sonny dan Tuti sudah pula berada di dalam kamar kakeknya. Kisah berakhir dengan pertunangan Koko dengan Rini. Kecuali pada bagian pertama - adegan Palupi bangun tidur yang didramatisir dengan bunyi-bunyian dari tubuhnya--struktur f1lm ini terjaga dengan baik.

Suasana segar yang terpancar dari layar terutama terasa dengan intens oleh penggambaran yang rapi, sederhana tapi cermat. Jelas sekali Boesye tahu obyek yang digambarkannya. Kelihatan betapa ia kenal psikhologi kehidupan cinta anak-anak remaja, karena itu penggambarannya menyentuh hati mereka yang pernah remaja ataupun masih remaja. Tapi tahu obyek saja belum merupakan jaminan untuk mendapat gabaran yang baik. Untunglah sejak karyanya yang keenam (Sayanglah Daku) Boesye memang telah memperlihatkan perbaikan dalam kemampuan teknisnya bercerita dengan gambar. Dan dengan kemampuan itulah kita bisa melihat bayangan Boesye dalam karya terbarunya ini. Barang siapa yang pernah membaca novel maupun drama-drama Boesye, dengan cepat ia bisa mengenal persamaan watak-watak manusia dalam karya-karya tulisnya dahulu dengan karakter-karakter yang ditampilkannya lewat tokoh mBah Kus. Manusia-manusia unik macam Utai dalam Malam Jahanam juga bukannya tidak ada dalam Sebelum Usia 17 ini. Cuma sayangnya tokoh dengan blangkon itu ditinggalkan begitu saja, sehingga tidak jelas ujung pangkalnya. Mula-mula saya sangka pelayan, tapi tidak pernah terlibat urusan rumah tangga. Cara penggambaran macam ini jelas mengganggu. Tapi yang barangkali akan lebih mengganggu adalah jika sutradara Boesye tidak sanggup mempertahankan prestasi yang dicapainya sekarang dalam - karya-karyanya mendatang. Tidak kurang contoh untuk kemunduran macam itu di tengah kita, bukan? Salim Said

BIARKAN MUSIM BERGANTI / 1971

 

Kerena cemburu dan lalu menikam perebut pacarnya, Lina (Ida Abdi), Jono (Iwan Gunawan) lari ke desanya. Di sini ia pacaran lagi dan kawin dengan Ningsih (lenny Marlina), meski kedua pihak orangtua sebetulnya saling bermusuhan. Keadaan ini diganggu oleh Karjo (Farouk Afero), sopir truk, yang mondar-mandir ke Jakarta, dan mengetahui kisah Jono. Apalagi Lina, yang ternyata anak desa itu juga, pulang dan membujuk Jono kembali ke Jakarta. Belakangan baru Jono tahu bahwa Lina masih terikat perkawinan, hingga suaminya yang cacat membalas dendam. Jono dengan luka-lukanya kembali ke desa untuk menemui Ningsih dalam keadaan kritis dan kemudian meninggal.
P.T. CHANDRA MOTION PICTURES

JALAL KOJAK PALSU / 1977



Kojak yang dikenal sebagai tokoh polisi botak dalam serial televisi, dalam film ini mungkin hanya dipakai kesukaannya makan permen lolipop, dan botaknya tokoh utamanya, Jalal (Jalal). Jalal naksir berat tetangganya, Elvy (Elvy Sukaesih). Karena kesombongan masing-masing, Jalal yang bekerja sebagai pemadam kebakaran, pertama-tama kawin dengan gadis yang rumahnya kebakaran. Tak bahagia dan karena menghasilkan anak perempuan, Jalal kawin lagi. Hasilnya sama. Akhirnya jadi juga Jalal kawin dengan Elvi. Hasilnya tetap sama.

P.T. CANDI DEWI FILM

BING SLAMET DUKUN PALSU / 1973



Film ini dibuat disaat lagi ramai-ramainya orang pergi ke dukun untuk kesehatan dan permintaan yang macam-macam hingga yang tidak masuk akal sama sekali. Dalam persoalan ini, dukun dianggap sebagai penjahat penipuan. Tetapi masyarakat kita masih tetap percaya akan dukun, karena budaya mistik dalam sejarah kita cukup mengakar dalam kehidupan. Karena itu untuk hal ini film dibuat dengan menampilkan Bing Slamet yang ngetop saat itu.\

Ini termasuk serial Bing Slamet selain Koboi Cengeng, (NYaa Abbas) Setan Jalanan, (Hasmanan). Mengkaikan Motinggo dengan kesusastraan dengan banyak membuat cerita komedi, yang mendapat ilham dari komedi Anton Chekov tidaklah jelek. Anehnya diantara serial Bing Slamet. Koboi Cengeng, Setan Jalanan, Ambisi, ini adalah serial Bing Slamet yang paling jelek. Seharusnya dengan mengambil tema perdukunan, dan seringnya Motinggo dalam menulis cerita komedi dengan pemain kwartet Jaya, seharusnya bisa lebih segar. Ternyata Motinggo terjebak pada kamauan Kwartet Jaya pelawak tersebut. Sehingga apa yang ada dalam film hanyalah pengulangan dalam Kwartet Jaya di TV saja. Dari segi tema, Hasmanan yang mengambil kebut-kebutan di ibu kota, dan Motinggo perdukunan, maka keduanya boleh bangga dengan tema Antri perdukunan dan anti klenik. Tetapi dalam anti perdukunan, dan dukun yang dihancurkan, nampaknya sia-sia, sebab yang dibikin Motinggo lebih kurang cumalah dukun menurut imajinasi orang kota, yang sebahagian besar hidupnya diatur oleh Dokter praktik umum.

Untuk menyembunyikan identitasnya sebagai penjahat, Bing Slamet menyamar menjadi dukun. Eddy Sud seorang mahasiswa pemalas minta jimat supaya lulus begitu juga Ateng pengusaha rambut membutuhkan modal serta Iskak seorang pembantu yang ingin memperbaiki nasib.

Ateng dan Iskak ternyata sama-sama menaruh hati pada Vivi dan sama-sama datang ke dukun agar berhasil. Ternyata ramuan yang diberikan justru diminum oleh pembantunya, Ratmi sehingga sang pembantu ini yang jatuh cinta. Dari kejadian ini baru diketahui sang dukun adalah palsu.

TAKKAN KULEPASKAN / 1972



Orang yang dipaksa menunjukan emas batangan itu mengenakan topi ala serdadu Jepang. Menolak menunjukan harta timbunan Dai Nippon itu akhirnya ia menemui ajal oleh siksaan tangan Daud Mahitu (Muni Cader). Begitulah pengarang Motinggo memulai filmnya. Dan pikiran mengenai emas itu akhirnya memang tidak lepas dari benak Daud sehingga bagaikan orang gila, selama 20 tahun. Juga Benny Mahitu (Soekarno M.Noor) saudara angkatnya. Diperlihatkan pertamakali tidur dengan orang cacat (Farouk Afero) yang ternyata tahu kegiatan pencarian peninggalan Jepang itu, pada suatu ketika Benny berhasil mendesak Farouk untuk menunjukan di mana Daud meninggal. Dan tanpa banyak energi hilang, pisau Benny sudah bersarang di tubuh Farouk, sebelum melalui jendela pengejar batang emas itu akhirnya pergi dengan jip ke rumah Daud.

Benny sendiri beberapakali dipenjara karena pembunuhan yang dilakukannya. Sedangkan anak-anak Daud sudah tidak kenal lagi dengan Daud, dengan lihainya ia mudah akrab dengan anak-anak Daud, kecuali istri Daud, Asia (Sodia WD), memperlihatkan sikap curiga dan takut. Selain tahu banyak tentang Benny, Asia sendiri pernah menjadi pacar Benny yang konon direbut Daud, Benny kemudian tahu lokasi penggalian emas.

Daud sebenarnya sudah dibunuh oleh Benny pada perkelahian dimalam buta, dan terseret ke laut. Pada suatu ketika Daud datang ke rumah istrinya, dan memesan agar rahasia ia selamat ini dirahasiakan. Selanjutnya sasaran pembunuhan adalah Nana, Benny menabraknya dengan mobil, tapi sayang Nana tidak mati, hanya luka saja. Korban berikutnya adalah Asia yang ditikam dengan pisau di gudang. Sudah itu baru tiba giliran si tolol Menyung (M.Nizar). Yang gagal mati adalah Nana (Teguh Afrianto) meskipun kepada penonton Boesye ada memberi kesan sebaliknya, yang kemudian terbantah setelah anak muda ini muncul dalam monbil ambulance.

Selanjnya perkelahian dengan Daut, seru juga. Ada polisi yang mati, dan akhirnya Benny mati dikursi goyang. Tapi kemana polisi?

Perhatikan adegan Soekarno M.Noer menyanyi pada awal film, sangat menarik bukan saja lantaran sifatnya yang humanis, tapi sekaligus merupakan informasi keakraban tokoh Benny dengan kehidupan sekitarnya. Dalam keadaan ini, hanya orang sinting yang bisa membunuh temannya yang sekamar dan cacat itu (Farouk) tanpa takut di sergap polisi. Boiesje menggarap Benny ini seorang penjahat biasa yang berniat membalas dendam kepada saudara angkat Benny lantaran saat kecil pernah disakiti. Tokoh ini terlihat totol dengan tindakan satu sama lainnya yang membingungkan, Tidak jelas motifnya membunuh Nana, pacarnya, Menyung dan Asia. Diluar soal yang menyangkut cerita itu, Motinggo memperlihatkan kemajuan sebagai sutradara. Begitulah ketika kemajuan dia sebagai sutradara baik, malah kemunduran dia dalam soal penulisan cerita. Namun yang sangat jelas dalam sinematography Boesje tidak mengecewakan. hasil kerja juru kamera Harry Susanto menggembirakan, juga pada pemainnya terutama M.Nizar.

P.T. NAWANGWULAN FILM

TJINTAKU DJAUH DIPULAU / 1972

TJINTAKU DJAUH DIPULAU
Cintaku Jauh di Pulau


Chairil Anwar, WS Rendra, dan Mansur Samin. Chairil adalah penulis sajak Cintaku Jauh Dipulau, yang diberi judul yang sama. Karena film ini juga dibuat di sebuah pulau di teluk Jakarta. Judul film sama dengan judul puisi Chairil Anwar, yang konon dijadikan ilham. Film dicetak dalam ukuran 70mm stereo dan 35mm.

CINTAKU JAUH DI PULAU
Chairil Anwar

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.

1946


Tapi sayang sajak yang baik itu tidak tertulis dengan baik juga dalam skenario yang ditulis oleh Motinggo. Ia memiliki pengalaman dalam menulis novel panjang. Niatnya baik, ia ingin mengungkapakan aspek kemanusiaan tokoh-tokohnya melalui cara pendekatan hal-hal kecil yang biasanya kurang diperhatikan orang. Walapun dinilai gagal.

Selain cerita ini diilhami oleh Sajak Chairil Anwar dan WS.Rendra dan Mansur Samin main dalam film ini, yang paling utama adalah seberapa jauh pemain teater bisa berperan dalam film dan berhadapan dengan kamera. Dalam film ini WS.Rendra gagal berhadapan dengan kamera. John Gilgud dan Richard Burton menyebutkan 2 hal yang penting adalah aktor yang cemerlang di depan kamera maupun di pentas.

Film ini bercerita tentang wabah Kolera di sebuah pulau. Banyak pertanyaan dari penonton yang menilai film ini tidak nyambung. Ini salah satu film yang mengorbankan apa saja asal ceritanya jalan, yang pada akhirnya yang menjadi korban adalah ceritanya itu sendiri. Tetapi film ini memberi masukan dalam soal pemilihan tema dan lokasi di sebuah pulau. Pada saat itu gencar-gencarnya orang film menginginkan film Indonesia menjadi turan rumah di negeri sendiri. Walaupun yang dihasilkan cuma film seperti ini.
CHANDRA MOTION PICTURES

SOPHAN SOPHIAAN
RIMA MELATI
WIDYAWATI
FAROUK AFERO
HASSAN SANUSI
MANSYUR SAMIN
W.S. RENDRA
FIFI YOUNG
RINA HASSIM


NEWS

Motinggo Boesje berhasil mengajak Rendra bermain film. Tentu, karena Boesje pun orang teater, yang membuka ladang penyutradaraan film nasional, sejak film "Biarkan Musim Berganti" (1970).

Dalam penanganan Boesje di film komesial, "Tjintaku Djauh di Pulau" (1972), Rendra tampil berperan antagonis sebagai Pak Bondan. Sosok ayah Tina (Rima Melati), yang urakan. Dengan totalitas karakteristik Pak Bondan, Rendra tampil dalam keutuhan tuntutan perannya, meski belum terbebas dari warna teaterikal. Namun, kekuatan pasar film ini, tidak terlalu mempertaruhkan nilai jual W.S. Rendra, tetapi justru lebih bertumpu pada duet komersial alm. Sophan Sophiaan dan Widyawati, yang kejayaanya tengah memuncak.

Sungguh pun begitu, kelahiran "Tjintaku Djauh di Pulau" banyak menarik pembicaraan orang karena kesiapan W.S. Rendra untuk tampil di depan kamera film, dan kesungguhan Motinggo Boesje menebus kegagalan pasar film "Biarkan Musim Berganti".

05 Agustus 1972
Teriak rendra & inisiatif boesye

FILM kedua Motinggo Boesje telah beredar. Kali ini, bekas penulis tjerita-tjerita populer itu datang bersama Chairil Anwar, WS Rendra dan Manur Samin (perhatian: ketiganja penjair). Pelopor Angkatan 45 tentu sadja dalam persadjakan) itu kebagian kehormatan lantaran sjairnja Tjintaku Djauh di Pulau mendjadi djudul film, sebab konon sadjak romantis itulah pula jang diadaptasi Boesje kedalam bentuk skenario. Sedang 2 penjair lainnja mendapat kesempatan untuk pertama kali muntjul didepan kamera. Dan lahirlah film tjintaku Djauh Dipulau (TDD), antara lain karena film tersebut dibuat pada sebuah pulau diteluk Djakarta. Ini tentu harus dikatakan, sebab nampaknja sipenulis skenario lebih banjak berlindung dibalik nama Chairil Anwar daripada mentjiptakan sesuatu kisah jang paling sedikit memiliki daja pesona jang kental sebagai jang terpantjar dari sjair jang kemudian terbukti buma saduran dari karja penjair Spanjol jang bernama Lorca.

Karena itu besar kemungkinan bahwa lebih terasa enak andaikata Boesje mengaku sadja diilhami Chairil, sebab karja djenis demikian bisa lebih djuga bermutu, tapi kalau sebaliknja orangpun bisa mafhum. Samin. Sebagai suradara Boesje memang memperlihatkan kemadjuan. Namun sebagai penulis skenario, nampaknja ia masih harus lebih tekun. Pengalamannja sebagai penulis novel populer dimana ia bisa berbukan-bukan sambil berpandjang-pandjang- kelihatannja meninggalkan pengaruh jang kurang menguntungkan. Hasrat Boesje memang baik, ia ingin mengungkapkan aspek kemanusiaan tokoh-tokohnja melalui tjara pendekatan hal-hal ketjil jang biasanja Kurang diperhatikan orang. Tapi Boesje belum seorang Tjekov, meskipun tidak pula harus dikatakan bahwa sutradara muda ini selalu gagal dalam usahanja. Lihatlah tokoh Tambun (Mansur Samin) dalam TDD ini. Selain utuh pelukisannja djuga tjukup subtil, sehingga sukar untuk menjangkal bahwa Tambun memang seorang manusla jang bisa atau bahkan pernah kita temukan. Tentu harus diakui bahwa pentjapaian jang demikian itu antara lain djuga disebabkan oleh permainan Mansur Samin jang baik. Nah, kalau Mansur Samin sudah disebut-sebut, tidak afdol kalau WS Rendra dibiarkan. Bahwa penjair asal Sala ini populer, itu betul.

Tapi jang lebih menarik lagi adalah ini: bagaimanakah dia sebagai orang teater- ketika harus berhadapan dengan kamera? Tokoh Bondang, duda tua jang hidup dipulau bersama seorang anak gadisnja sesungguhnja tokoh jang menarik, sekiranja Rendra berusaha lebih banjak daripada hanja mondar-mandir dan berteriak-teriak. Sajangnja kesempatan ini dibiarkan begitu sadja oleh Rendra. Tentu sadja kegagalan Rendra disini tidak dengan sendirinja membuktikan bahwa orang Teater selamanja tidak betjus berhadapan dengan kamera. John Giclgud dan Richard Burton untuk menjebutkan dua diantara daftar jang masih tjukup pandjang adalah aktor-aktor jang tjemerlang baik didepan kamera maupun dipentas teater. Tapi film TDD ini bukan semata tjatjat karena kekurangan Rendra. Sebab Boesje sendiri ternjata djuga punja andil jang mengganggu penonton. Ia misalnja patut dituntut oleh penonton mengenai menghilangnja Rina Hasim (sebagai pembantu suster) ketika suster Narti (Widyawati) mulai diadjak bermain asmara oleh dr Darko (tentu ini dimainkan oleh Sophan Sophian), dan muntjul kembali ketika wabah kolera hinggap dipulau terpentjil mereka. Ini memang penjakit rutin film-film hiburan jang gemar mengorbankan apa sadja agar tjerita djalan, meskipun jang achirnja djadi korban adalah tjerita itu sendiri. Entah supaja apa, tapi disini djuga ada adegan bertjinta dalam air.

Tapi ini meskipun tidak mempunjai peranan dalam keutuhan tjerita - boleh sadja ada, paling sedikit untuk membuktikan bahwa orang-orang dinegeri ini djuga bisa menjelam sambil bikin film. Dan meskipun Boesje tidak sesukses Teguh Karya dalam menangani Rima Melati, dan pasangan Sophan Widya sebagai jang pernah dihasilkan Wim Umboh, Motinggo Bustami Djalid Boesje tidak perlu berketjil hati: filmnja jang kedua ini bagaimanapun tidak tergolong film-film konjol sebagaimana jang kini banjak dibikin oleh saudara-saudara kita jang konon berharap mendjadi tuan-rumah dinegeri sendiri. Disamping ketekunan kerdja, Boesje djuga harus dipudji atas inisiatifnja mentjari daerah lain untuk film jang kisahnja tidak djauh berkisar dari tjerita-tjerita tjinta jang sudah hampir mendjadi mata pentjahariannja tetap Sophan dan njonja

SAYANGILAH DAKU / 1974



Telly(Deasy Arisandi) kaya, manis tapi pincang. Cacat inilah yang membuat calon suami pertamanya yang gemuk dan tua, menolak. Kemudian datang Hadi (Dicky Zulkarnaen), yang tampak baik, hingga Telly mau kawin. Ternyata Telly masuk perangkap. Hadi dan ibunya (Mieke Wijaya) adalah manusia serakah dan busuk, sampai Telly masuk rumah sakit. Maka datanglah suami baik yang sungguhan, dokter yang merawatnya, membawanya ke Jerman, dan pulang dalam keadaan sempurna. Suatu film yang dimaksud untuk memeras air mata.

P.T. MAHKOTA METROPOLITAN FILM

RENDRA KARNO
DICKY ZULKARNAEN
DEASY ARISANDI
FIFI YOUNG
H.B. JASSIN
MIEKE WIJAYA
ZAINAL ABDI
CHITRA DEWI
AMINAH CENDRAKASIH

News
12 Juli 1975
Ratapan lain ?

SAYANGILAH DAKU Cerita: Mawarliany Skenario/sutradara: Motinggo Boesye. *** MEMPERKENALKAN keluarga Anwar, tekanan terutama diberikan pada Telly (Deasy Arisandi) yang pincang. Kaya, manis tapi pincang, memang bukan kombinasi yang baik, dan mas Win yang gemuk serta tua itu menolak menjadi menantu pak Anwar (Rendra Karno). Rasa-rasanya bukan penolakan itu benar yang meneteskan air mata Telly. Tapi adakah seorang lelaki baik-baik - teman usaha Anwar - seberutal itu menolak permintaan seorang calon mertua dengan anak yang cacat? Jika anda telah menyaksikan karya Motinggo Boesye ini, sedikit kemungkinan anda bakal menjawab: "ada". Hati-hati, sebab bukan karena Motinggo tidak tahu menggambarkan adegan pertemuan mas Win dengan si-pincang Telly. Jika anda mengikuti jalan cerita hingga akhir, nah, anda akan temukan ujung pangkalnya. Maka ini nampaknya sejenis tontonan yang dibangun dengan sebuah resep yang konon pernah cukup mujarab. Tidak usah jauh-jauh mencari, ini film dibuat dengan konsep Ratapan Anak Tiri. Resepnya sederhana: yang jelek, amat jelek (akhirnya hancur) dan yang baik, terlau amat baik (mula-mula menderita, tapi akhirnya menang).

Jadi kalau - adegan mas Win yang menghancurkan hati Telly pada pembuka film tidak berkenan di hati dan otak penonton, harap mengerti sajalan bahwa itu hanya persiapan untuk lebih menyiksa Telly sebelum pada akhirnya ia - sebagai tokoh baik - bakal dimenangkan (penyakit sembuh, dapat suami dokter dan ke Jerman segala). Dengan mengerti resep pembuatannya, dalam menonton film ini orang tidak usah banyak bertanya mengenai kekejaman tokoh Hadi (Dicky Dzulkarnaen) serta ibunya (Mike Widjaya). Dengan menganiaya Telly hingga masuk rumah sakit, kedua anak beranak ini sebenarnya tidak lebih dari memerankan tokoh jelek yang harus jahat sejahat-jahatnya untuk akhirnya dihancurkan tepat pada saat Telly mendapat kebahagiaan. Kebiasaan menghasilkan film dengan penggambaran kontras hitam putih semacam ini sebenarnya bukan barang baru, meskipun untuk jenis film berwarna diperkenalkan kembali oleh Sandi Suwardi Hassan lewat film Ratapan Anak Tin dan seri-seri berikutnya. Dongeng-dongeng kuno Indonesia pada umumnya beredar dalam bentuk ini. Tujuannya jelas, agar mudah dimengerti oleh para pendengarnya. Tapi dalam film, berkat sifat audio visuilnya yang mengundang partisipasi banyak indra, lukisan hitam putih macam itu dengan segera menimbulkan rasa kejanggalan. Karena itulah maka baik kisah Ratapan Anak Tiri maupun Sayangilah Daku, barangkali saja tidak memancing kejanggalan jika dibaca sebagai sinopsis maupun cerita pendek dan bukan film. Efek Tertentu Sebagian orang menganggap bahwa kegagalan kisah macam karya Mawarliany ini di layar putih bersumber pada kurang terampilnya sutradara. Mungkin benar. Tapi melihat bahwa baik tokoh ibu yang tua maupun tokoh Hadi yang lebih muda tidak mengalami perkembangan watak hingga akhir cerita, jelas bahwa soal harus dipulangkan pada adanya suatu konsep tertentu dengan niat mendapatkan efek tertentu pula. Sayangnya konsep semacam itu tidak mudah diakurkan dengan sifat dasar film.

Sebuah film tentang manusia haruslah berkisah tentang manusia dengan segala lekuk likunya, yang kadang memang tidak selalu mudah dijabarkan. Menyederhanakan kisah tersebut, apalagi mencoba membengkak-bengkokkan untuk efek-efek tertentu kebanyakan hanya menghasilkan karikatur belaka. Karena ia cuma karikatur, maka pada Sayangilah Daku, di mana turut bermain Dr. HB Jassin ini, kita tidak bertemu dengan Boesye yang dalam novel-novelnya terkenal amat berbau Anton P. Cekov yang penuh nuansa itu. Harus disayangkan, terutama karena pada film ini ketrampilan Boesye lebih sempurna dari pada ketika mengerjakan Si Rano (TEMPO, 19 Oktober 1974). SS.