Tampilkan postingan dengan label KANIBAL SUMANTO / 2004. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KANIBAL SUMANTO / 2004. Tampilkan semua postingan

Kamis, 07 Mei 2020

KANIBAL SUMANTO / 2004

KANIBAL SUMANTO


Sumanto (Jeremias Nyangoen), pemuda lugu dan miskin dari desa Plumutan, Kemangkon, Purbalingga, Jawa Tengah, ditahan polisi atas tuduhan memakan mayat. Peristiwa tentang kanibalisme ini menggemparkan desa dan menjadi berita ramai di koran-koran. Wartawan muda, Lili Wijaya (Farach Diana), ditugaskan untuk meliput kasus Sumanto itu. Hingga ia mewawancarai Sumanto di dalam tahanan. Sumanto mengisahkan perjalanan hidupnya sejak kecil hingga kemudian menjadi seorang kanibal.
 
Lewat kilas balik, digambarkan Sumanto sejak kecil suka memakan binatang seperti jangkrik. Dikisahkan pula ia pernah berpacaran dengan Samien (Ati Cancer), gadis desa tetangganya. Sumanto dikeroyok pemuda desa saat berpacaran, dan sejak itu ia berpikir untuk mendapat ilmu kebal. Dia lalu berguru pada Ki Sirat (Sujiwo Tejo). Syaratnya ia harus memakan sejumlah mayat. Melakukan pertapaan dan menahaan diri dari godaan seperti bidadari (Della Puspita). Kemudian Sumanto merantau ke Lampung, menjadi buruh perkebunan. Di tempat ini, ia sempat berhadapan dengan penjahat yang memaksanya menyerahkan uang. Karena terpaksa, Sumanto menebas perut sang penjahat hingga tewas. Mayat penjahat itu lalu dimakannya.
 
Kebiasaan ini berlanjut saat Sumanto pulang ke desanya, hingga diketahui warga dan ditangkap polisi. Lili yang ingin melengkapi laporannya, mencari Ki Sirat. Namun, Lili selalu dintai keberderaannya karena mengincar seseorang. Hingga Lili diajak Ki Sirat ke tempat sunyi dan diancam akan dibunuh, karena laporannya bisa menyeretnya ke pengadilan. Namun sayangnya, Lili lolos dari ancaman dan menyelesaikan laporannya.

Di dunia modern sekarang, kanibalisme memang sudah jadi barang barbar, dianggap kuno dan tidak wajar. Lewat sastra dan media, kanibalisme bahkan dibingkai menjadi tindakan keji dan erat dengan masalah kejiwaan. Salah satu novel yang paling populer menggali praktik kanibalisme sebagai inti ceritanya adalah The Silence of the Lambs (1989) dan Hannibal (1999) karya Thomas Harris.

Cerita ini bahkan masih didongengkan lewat adaptasi sinetron yang juga ditayangkan Netflix, membuat generasi sekarang masih bergidik ketika mendengar nama Hannibal Lecter, sang tokoh utama. Meski sudah berumur lama dan tidak populer lagi, cerita-cerita tentang orang-orang kanibal masih sering kita dengar sesekali.

Misalnya cerita tentang José Salvador Alvarenga, seorang pelaut yang hilang selama 14 bulan di Pasifik dan akhirnya bertahan hidup karena memakan daging kawannya sendiri. Atau cerita Sumanto, manusia kanibal paling populer di Indonesia. Lebih jauh sedikit, sebagian orang masih mengingat kisah Jeffrey Dahmer, pembunuh berantai dari Amerika Serikat yang doyan mengunyah dan memerkosa otak korbannya.

Lalu apakah kanibalisme memang selalu berkaitan dengan ihwal tak ilegal? Sayang sekali jawabannya tidak. Memakan manusia lain atau memakan organ tubuh manusia biasanya tak diatur dalam konstitusi, setidaknya tidak di Indonesia, Amerika Serikat, dan sejumlah negara di Eropa. Itu sebabnya, aktris January Jones tak masuk penjara karena memakan plasentanya sendiri pasca-melahirkan. Sementara Sumanto dan Jeffrey Dahmer dipenjara karena tuduhan membunuh, bukan karena praktik kanibalisme. Alasan praktik kanibalisme muncul memang bisa beragam.

Antropolog Lawrence Goldman menyebut, dalam sejumlah kelompok masyarakat zaman dulu, kanibalisme muncul sebagai norma budaya. Misalnya sebagai cara bertahan hidup, akibat peperangan, atau sebagai keyakinan spiritual. Di dunia modern, alasan-alasan itu masih ditemukan seperti yang terjadi pada Alvarenga, Dahmer, ataupun Sumanto. Alasan lain yang juga sering muncul adalah pernyataan tanpa bukti sains tentang tubuh manusia yang diduga kaya nutrisi dan mujarab sebagai obat. Seperti yang dilakukan January Jones pada plasentanya sendiri, apakah betul?

Daging Manusia Kurang Bernutrisi

Arkeolog James Cole dari Universitas Brighton di Inggris, awal April lalu mengeluarkan sebuah studi baru tentang nutrisi yang diperoleh kanibal di masa Paleolitik, era ketika kanibalisme masih populer. Ia mengukur kadar rata-rata kalori yang didapat ketika mengonsumsi tubuh seorang pria dewasa. Totalnya kurang lebih 125 ribu kalori. Jumlah ini rupanya lebih sedikit dari kalori yang didapat manusia dari hewan lain.

Bahkan lebih jauh daripada kalori yang bisa didapat dari mamut, gajah prasejarah yang bisa bikin kenyang 25 orang purba jenis Neanderthal. Kulit punya 10.280 kalori, kepala dan torso punya 5.420 kalori, lengan atas 7.450 kalori, jantung 650 kalori, hati 2.570 kalori , paru-paru 1.600 kalori, limpa 130 kalori, lengan bawah 1.660 kalori, paha 13.350 kalori, ginjal 380 kalori, saluran pencernaan 1.260 kalori.

Sementara otak, sumsum tulang belakang, dan saraf sebesar 2.700 kalori, sedangkan lemak 49.940 kalori, Betis sebesar 4.490 kalori, dan tulang 25.330 kalori. National Geographic merincikan bahwa kalori-kalori daging manusia tidak lebih bernutrisi daripada daging rusa, babi hutan, rinosaurus berbulu, kuda, dan mamut.

Bahkan, jika ada yang ingin memakan kawannya sendiri demi bertahan hidup—di kondisi terdesak—seperti Alvarenga, bisa pikir-pikir ulang. Yang jelas, kanibalisme bukan sesuatu yang lucu apalagi dijual sebagai tontonan.