JAKA TINGKIR
“Karena itulah ia diberi nama Jaka Tingkir, pemuda dari Tingkir, sebagaimana yang dikenal dan dicintai di mana-mana di daerah raja-raja Jawa Tengah,” tulis H.J. De Graaf dalam Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati.
Ketika remaja, Jaka Tingkir belajar pada Kiai Ageng Sela. Babad Tanah Jawi menyebut gurunya itu sakti dan begitu dihormati, sekaligus ditakuti oleh masyarakat. Jaka Tingkir disebut menerima kesaktian dari gurunya itu. Keduanya sangat dekat. Kiai Ageng Sela sampai memberi perhatian yang amat besar kepada muridnya itu.
Selain kepada Kiai Ageng Sela, Jaka Tingkir juga menerima pelajaran dari Sunan Kalijaga. Salah satu Wali penyebar Islam di tanah Jawa itu memberi ajaran agama dan kehidupan kepada Jaka Tingkir. Dia jugalah yang menyarankan kepada Tingkir untuk bekerja di Demak. Ia menerima saran itu dan mendaftar sebagai pengawal pribadi raja.
“Keberhasilannya melompati kolam masjid dengan lompatan ke belakang –tanpa sengaja karena sekonyong-konyong ia harus menghindari Sultan dan para pengiringnya– memperlihatkan bahwa dialah orang yang tepat sebagai tamtama, dan ia pun dijadikan kepala tamtama,” tulis de Graaf sebagaimana dituturkan dalam Babad Tanah Jawi.
Jaka Tingkir sempat diusir dari Demak setelah memperlihatkan kesaktiannya di depan penguasa Demak. Bermaksud menguji calon pengawal baru yang memiliki ilmu kebal, Jaka Tingkir justru membunuhnya. Sebuah tusuk konde menancap tepat di jantung si calon pengawal. Kesaktian Jaka Tingkir terbukti lebih hebat, meski berujung pengusiran.
Merasa putus asa, Jaka Tingkir memilih kembali ke desanya. Ia menghabiskan waktu dengan bertapa dan berguru kepada Kiai Ageng Butuh, Ki Ageng Ngerang, dan Kiai Buyut dari Banyubiru. Jaka Tingkir mendapat lebih besar kesaktian. Satu waktu, Demak dilanda kekacauan. Seekor kerbau besar mengamuk. Tidak ada seorang pun pengawal mampu menghentikannya. Mendengar kabar itu, Jaka Tingkir segera pergi ke Demak. Dengan kesaktiannya, kerbau itu dengan cepat dihentikan. Ia mendapatkan kembali kedudukan sebagai kepala pengawal raja.
“Beberapa waktu kemudian, ia kawin dengan putri ke-5 raja (Trenggana), dan menjadi bupati Pajang dengan daerah seluas 4.000 bau. Tiap tahun ia harus menghadap ke Demak. Negerinya berkembang dengan baik sekali dan di sanalah dibangunnya sebuah istana,” ungkap de Graaf.
Sebagai menantu Sultan Tranggana, Jaka Tingkir jelas tidak memiliki hak apapun atas Demak. Tetapi tidak lama setelah pemakaman Sultan Tranggana, Jaka Tingkir mengumumkan kekuasaannya di Demak. Pengangkatan mendadak Jaka Tingkir itu dilakukan berdasarkan pilihan rakyat Demak. Ia lalu memerintahkan agar pemerintahan Demak dipindahkan ke Pajang. Seluruh benda pusaka di Demak juga tak luput dari perpindahan tersebut.
Sebagai pewaris sah Demak, Sunan Prawata, seharusnya menggantikan kedudukan Sultan Trenggana. Tetapi ia diceritakan tidak ingin naik takhta, dan secara sukarela menjadi Priayi Mukmin atau Susuhunan di wilayah Prawata, sebuah pasanggarahan yang digunakan Raja Demak selama musim hujan. Hal itulah yang kemudian mempermudah Jaka Tingkir untuk mengambil alih kekuasaan.
Berdasar penelitiannya, JJ Meinsma mengatakan kalau Jaka Tingkir dan penguasa Pajang begitu berambisi menguasai Demak. Mereka segera mengamankan takhta atas pemilik sebagian besar wilayah Jawa Tengah tersebut. Ia bahkan melakukan berbagai tindakan untuk memastikan kedudukannya tetapi baik. Sampai tidak ada wilayah yang berani mengusik raja Pajang karena takut akan kesaktiannya.
“Semua negara bawahan menyerah. Yang mengadakan perlawanan dikalahkan. Tidak ada seorang pun yang berani melawan, karena takut akan kesaktian adipati dari Pajang. Hanya adipati dari Jipang, Pangeran Aria Panangsang, yang tidak mau menyerah,” tulis Meinsma.
Pada perkembangan selanjutnya, setelah melalui persaingan kekuasaan yang cukup panjang, Aria Panangsang berhasil menduduki takhta Demak. Ia memindahkan pusat pemerintahan dari Demak ke Jipang.
Karebet pemuda dari desa Tingkir, dengan dibantu pamannya yang berpangkat lurah, memberanikan diri untuk melamar sebagai prajurit Kasultanan Demak. Untuk menguji kemampuannya, Karebet harus berhadapan dengan Wirajaya. Karebet menampakkan keunggulannya, maka diterima oleh Sultan Trenggono. Perjuangan untuk mengabdi kepada Sultan ternyata tidak mudah. Karena fitnah dan dengki, Karebet dipecat oleh Sultan Trenggono saat ia mencapai posisi sebagai Lurah Prajurit. Ketika Demak dikacaukan oleh prajurit perdikan, Karebet berhasil menyelamatkan Sultan Trenggono. Dari sinilah Karebet yang dikenal sebagai Jaka Tingkir, memperoleh kedudukan yang lebih tinggi.
P.T. INEM FILM
TEDDY PURBA RINI S. BONO TITIN KARTINI CHAIDAR DJAFAR SRI SADHONO BUDI PURBOYO SIMON PETERSON TRI WARSONO HERU SUTOPO SUPARMI SITORESMI PRABUNINGRAT BAGONG KUSSUDIARDJO |
PEMUDA TINGKIR
Pada 1546, Demak menghadapi krisis. Kematian Sultan Tranggana menjadi mula permasalahan muncul di Jipang dan Pajang, dua wilayah di Jawa Tengah yang sama-sama menuntut hak peninggalan Demak. Aria Panangsang, keponakan Sultan Tranggana, yang memerintah Jipang berusaha menguasai salah satu kerajaan Islam terbesar di Jawa tersebut.
Namun di tengah upaya itu,Jaka Tingkir (Raja Pajang) muncul. Ia berusaha keras menghalangi upaya Sultan Trenggana. Konflik mulai meluas di antara Jipang dan Pajang. Melibatkan rakyat di kedua wilayah. Jaka Tingkir keluar sebagai pemenang. Kharisma dan kesaktiannya diakui mampu mengembalikan kejayaan Demak. Siapa sebenarnya Jaka Tingkir?
Menurut J.J. Meinsma dalam Babad Tanah Djawi: Javaanse Rijskroniek, Jaka Tingkir lahir di Pengging, sebuah negeri merdeka di Jawa Tengah yang penuh rahasia. Wilayah itu dahulu berada di bawah kuasa Kebo Kenanga, alias Andayaningrat, ayah Jaka Tingkir. “Karena ia lahir sewaktu ada pertunjukan wayang beber (juga dinamakan wayang krebet) maka ia pun dinamakan Mas Krebet,” tulis Meinsma.
Jaka Tingkir harus hidup dalam pelarian setelah ayahnya terlibat dalam upaya pemberontakan atas Demak. Andayaningrat dikisahkan tewas di tangan Sunan Kudus. Tidak lama, ibunya pun meninggal. Jaka Tingkir menjadi yatim-piatu di usia yang cukup muda. Oleh keluarganya ia dibawa ke desa Tingkir dan diadopsi oleh seorang janda kaya, sahabat ayahnya.
Namun di tengah upaya itu,Jaka Tingkir (Raja Pajang) muncul. Ia berusaha keras menghalangi upaya Sultan Trenggana. Konflik mulai meluas di antara Jipang dan Pajang. Melibatkan rakyat di kedua wilayah. Jaka Tingkir keluar sebagai pemenang. Kharisma dan kesaktiannya diakui mampu mengembalikan kejayaan Demak. Siapa sebenarnya Jaka Tingkir?
Menurut J.J. Meinsma dalam Babad Tanah Djawi: Javaanse Rijskroniek, Jaka Tingkir lahir di Pengging, sebuah negeri merdeka di Jawa Tengah yang penuh rahasia. Wilayah itu dahulu berada di bawah kuasa Kebo Kenanga, alias Andayaningrat, ayah Jaka Tingkir. “Karena ia lahir sewaktu ada pertunjukan wayang beber (juga dinamakan wayang krebet) maka ia pun dinamakan Mas Krebet,” tulis Meinsma.
Jaka Tingkir harus hidup dalam pelarian setelah ayahnya terlibat dalam upaya pemberontakan atas Demak. Andayaningrat dikisahkan tewas di tangan Sunan Kudus. Tidak lama, ibunya pun meninggal. Jaka Tingkir menjadi yatim-piatu di usia yang cukup muda. Oleh keluarganya ia dibawa ke desa Tingkir dan diadopsi oleh seorang janda kaya, sahabat ayahnya.
“Karena itulah ia diberi nama Jaka Tingkir, pemuda dari Tingkir, sebagaimana yang dikenal dan dicintai di mana-mana di daerah raja-raja Jawa Tengah,” tulis H.J. De Graaf dalam Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati.
Ketika remaja, Jaka Tingkir belajar pada Kiai Ageng Sela. Babad Tanah Jawi menyebut gurunya itu sakti dan begitu dihormati, sekaligus ditakuti oleh masyarakat. Jaka Tingkir disebut menerima kesaktian dari gurunya itu. Keduanya sangat dekat. Kiai Ageng Sela sampai memberi perhatian yang amat besar kepada muridnya itu.
Selain kepada Kiai Ageng Sela, Jaka Tingkir juga menerima pelajaran dari Sunan Kalijaga. Salah satu Wali penyebar Islam di tanah Jawa itu memberi ajaran agama dan kehidupan kepada Jaka Tingkir. Dia jugalah yang menyarankan kepada Tingkir untuk bekerja di Demak. Ia menerima saran itu dan mendaftar sebagai pengawal pribadi raja.
“Keberhasilannya melompati kolam masjid dengan lompatan ke belakang –tanpa sengaja karena sekonyong-konyong ia harus menghindari Sultan dan para pengiringnya– memperlihatkan bahwa dialah orang yang tepat sebagai tamtama, dan ia pun dijadikan kepala tamtama,” tulis de Graaf sebagaimana dituturkan dalam Babad Tanah Jawi.
Jaka Tingkir sempat diusir dari Demak setelah memperlihatkan kesaktiannya di depan penguasa Demak. Bermaksud menguji calon pengawal baru yang memiliki ilmu kebal, Jaka Tingkir justru membunuhnya. Sebuah tusuk konde menancap tepat di jantung si calon pengawal. Kesaktian Jaka Tingkir terbukti lebih hebat, meski berujung pengusiran.
Merasa putus asa, Jaka Tingkir memilih kembali ke desanya. Ia menghabiskan waktu dengan bertapa dan berguru kepada Kiai Ageng Butuh, Ki Ageng Ngerang, dan Kiai Buyut dari Banyubiru. Jaka Tingkir mendapat lebih besar kesaktian. Satu waktu, Demak dilanda kekacauan. Seekor kerbau besar mengamuk. Tidak ada seorang pun pengawal mampu menghentikannya. Mendengar kabar itu, Jaka Tingkir segera pergi ke Demak. Dengan kesaktiannya, kerbau itu dengan cepat dihentikan. Ia mendapatkan kembali kedudukan sebagai kepala pengawal raja.
“Beberapa waktu kemudian, ia kawin dengan putri ke-5 raja (Trenggana), dan menjadi bupati Pajang dengan daerah seluas 4.000 bau. Tiap tahun ia harus menghadap ke Demak. Negerinya berkembang dengan baik sekali dan di sanalah dibangunnya sebuah istana,” ungkap de Graaf.
Sebagai menantu Sultan Tranggana, Jaka Tingkir jelas tidak memiliki hak apapun atas Demak. Tetapi tidak lama setelah pemakaman Sultan Tranggana, Jaka Tingkir mengumumkan kekuasaannya di Demak. Pengangkatan mendadak Jaka Tingkir itu dilakukan berdasarkan pilihan rakyat Demak. Ia lalu memerintahkan agar pemerintahan Demak dipindahkan ke Pajang. Seluruh benda pusaka di Demak juga tak luput dari perpindahan tersebut.
Sebagai pewaris sah Demak, Sunan Prawata, seharusnya menggantikan kedudukan Sultan Trenggana. Tetapi ia diceritakan tidak ingin naik takhta, dan secara sukarela menjadi Priayi Mukmin atau Susuhunan di wilayah Prawata, sebuah pasanggarahan yang digunakan Raja Demak selama musim hujan. Hal itulah yang kemudian mempermudah Jaka Tingkir untuk mengambil alih kekuasaan.
Berdasar penelitiannya, JJ Meinsma mengatakan kalau Jaka Tingkir dan penguasa Pajang begitu berambisi menguasai Demak. Mereka segera mengamankan takhta atas pemilik sebagian besar wilayah Jawa Tengah tersebut. Ia bahkan melakukan berbagai tindakan untuk memastikan kedudukannya tetapi baik. Sampai tidak ada wilayah yang berani mengusik raja Pajang karena takut akan kesaktiannya.
“Semua negara bawahan menyerah. Yang mengadakan perlawanan dikalahkan. Tidak ada seorang pun yang berani melawan, karena takut akan kesaktian adipati dari Pajang. Hanya adipati dari Jipang, Pangeran Aria Panangsang, yang tidak mau menyerah,” tulis Meinsma.
Pada perkembangan selanjutnya, setelah melalui persaingan kekuasaan yang cukup panjang, Aria Panangsang berhasil menduduki takhta Demak. Ia memindahkan pusat pemerintahan dari Demak ke Jipang.