Tampilkan postingan dengan label CATATAN HARIAN SEORANG GADIS / 1972. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CATATAN HARIAN SEORANG GADIS / 1972. Tampilkan semua postingan

Minggu, 06 Februari 2011

CATATAN HARIAN SEORANG GADIS / 1972

CATATAN HARIAN SEORANG GADIS

 

"Ciuman adalah Sex, Bagi aku unsur SEX adalah urusan spele dalam Cinta" dialog dalam film.
Setelah filmnya dan pemunculannya lewat film Tiga Buronan banyak ditonton orang, bukan karena yang main Bing Slamet, film hitam putih ini tergolong film komedi, film bukan lucu-lucuan ala badut-badutan.
 


Film ini melodrama bermula dengan gaya komedi. Dialog yang berlebih-lebihan dan gaya pemainnya Wahab Abdi, penonton menduga ini adalah film komedi diawal film. Padahal ini kisah tentang masa remaja seorang gadis yang terombang-ambing dan mencari pegangan. Saija (Debby Cynthia Dewi) yang lincah -selepas membebaskan diri dari sebuah affair di Suarabaya -selain jatuh cinta dengan Mondera (Wahab Abdi) disebuah peran sekitar Medan. Disatu pihak orang tua Mondera -yang digambarkan terlalu kolot -menolak Saija, dilain pihak, Sarah (Rahayu Effendi) kakak Saija, menginginkan adiknya kawin saja dengan Hamid (Aedy Mowardy), bujangan tua pemilik perkebunan yang kaya raya meskipun tingkah lakunya kampungan.
 


Skenario ditulisnya sendiri, cuma cukup memberi perhatian pada tokoh Saidja dan Hamid. Mondera, cukup menarik perkembangan karakternya atas perubahan yang terjadi, apalagi berlatar belakang dari keluarga yang kolot dan tradisional. Terlihat Nyaa punya perhatian pada pendalaman tokoh Saija remaja dan Hamid tua.
 


Hamid sukses dalam usah dan kerja kerasnya yang asing dengan sopan santun dan tata krama kota itu justru memiliki kepercayaan diri dan ketekunan pada pekerjaannya. Ia bekerja keras dan keinginannya selalu tercapai. Ketika melihat Saija, kesepiannya sebagai bujangan kaya tiba-tiba terdesak untuk mendapatkan Saija. Tanbpa basa-basi, bahkan belum kenal bai, ia melamarnya. Sudah pasti terjadi konflik pada mereka yang berasal dari keluarga dan latar belakang yang beda. Bagi Hamid yang penting hasilnya, tapi Saija memikirkan dari sekedar keuntungan poerusahaab, karena itu rumah kantor dan hiasan rumah ia benahi dengan selera gadis kota masa kini.Perempuan desa itu bicara tentang seni, dan suaminya menyewa band kampung untuk menyanyikan lagu-lagu pop yang cukup membisingkan. Ensiklopedi yang tiba-tiba memenuhi rak buku di kantor direksi perkebunan masuk akal kalau membingungkan Hamid, sebab ia sangkanya harus segera membaca semua itu.

Dalam konflik itu Nya Abbas sangat baik menyutradarainya. adegan pertemuan Saija dengan Mondera yang kedua kalinya kurang tertata, sehingga menjadikan Haid marah dan memukul dengan santai istrinya Saija, dan lari kepelukan Mondera. Tidak banyak dialog yang digunakan Abbas disini. kartena itu intensi konflik terasa. Hamid yang sendiri dan kesepian menyadari hal itu, Abbas sangat pintar menggambarkan hal itu dengan kucing kecil kesayangan Saija dan dimusuhi oleh Hamid, tetapi Hamid mengelus-elus kucing itu. Saija kembali karena sikap kebimbangan Mondora dan piura-pura untuk mengambil kucingnya kembali. Dan Hamid bertanya, Untuk Kucing ini sajakah kau kembali Saija? Tidak ada jawaban tapi dengan langkah lamban dan seperti dihitung Saija masuk ke kamar. Abbas ingin menggambarkan tiadanya hambatan umur maupun tata krama bagi 2 hati yang ditakdirkan bersatu.
 


Abbas tidak cuma sibuk dengan psikologi dan sosiologi kedua tokoh utamanya, meskipun misalnya ia mnggarap Hamid sampai pada aksen bahasa dan tingkah laku kampung sedetail-detailnya, hal yang biasanya kurang diperhatikan sutradara-sutradara Indonesia. Alam dan benda-benda mati juga dimanfaatkan dengan seksama oleh Abbas, sehingga film Indah Sumatra Utara dengan Danau Toba dan Rumah Batak hadir seperlunya menyertai tokoh-tokoh ciptaan Abbas ini. Gambar juga baik yang dilakukan oleh juru kamera Kasdullah ini akan mencapai mutu lebih dari yang sempat dihasilkan Abbas sekarang.
 
Singkatan cerita Kisah Saijah (Debby Cynthia Dewi) yang terombang-ambing antara memilih Mondera (Wahab Abdi) pacar yang muda, ganteng, berpendidikan dan berselera tinggi tapi peragu, dan Hamid (Aedy Moward) direktur tua, kaya tapi kampungan. Ia akhirnya memang kawin dengan Hamid, tapi di awal perkawinannya keraguan muncul lagi. Ia seolah sukar menyesuaikan diri dengan suaminya, hingga ia sering mengadu dan mencari hiburan pada Mondera. Ketika ketahuan, Hamid marah. Saijah lari untuk sementara sampai akhirnya ia menyadari betapa tulus cinta Hamid padanya. Sebuah film yang jarang dibuat oleh Nya Abbas Acup yang lebih sering membuat film komedi.
 
 
News
15 Desember 1973

NAMA Ny Abbas Acyp tiba-tiba muncul ketika film Tiga Buronan ditonton orang banyak belasan tahun siJam. Tidak karena Bing Slarmet mak film produksi Perfini hitam putih itu tergolong jenis komedi, dan orang tertawa bukan pula karena badut-badutan ala Kwartet Jaya yang makin tidak menggelikan itu. Upaya yang sama di coba kembali oleh Abbas melalui fm Mat Dower, tapi lantaran terlalu sarat muatan idc, tontonan produksi DPFN (Dewan Produksi Film Nasional) itu akhirnya tidak seasyik karya pertama Abbas. Tapi dengan dua komedi tersebut, nyata bcnar bakat sutradara asuhan Perfini ini dalam jurusan film komedi. Mudah-mudahan tidak karena bakat khusus demikian itu maka meloderama Catatan Seorang Gadis bermula dengan gaya komedi pula. Tentu saja tidak perlu menyelidiki nwayat hidup Abbas untuk menyadari gaya permainan dan dialog yang di lebih-lebihkan (ekscgrasi) yang diperlihatkan oleh Wahab Abdi pada awal film. menggiring penonton untuk mencurigai Catatan Harian Seorang Gadis sebagai sebuah komedi.

Pada hal ini kisah ada lah tcntang masa remaja seorang gadis yang terombang ambing dan mencari pegangan. Saija (Debbie Cynthia Dewi) yang lincah--selepas membebaskan diri dari sebuah affair di-Surabaya--saling jatuh cinta dengan Mondera (Wahab Abdi) di sebuah perkebunan sekitar kota Medan. Di satu fihak orang tua Mondera -- yang digambarkan terlalu kolot -- menolak Saija, di lain fihak, Sarah (Rahayu Efendi) kakak Saija. menginginkan adiknya kawin saja dengan Hamid (Aedi Moward), bujangan tua pemilik perkebunan yang kaya raya meskipun karnpungan tingkah lakunya. Terlibat percintaan. 
 
Lepas dari sikap konservatif Nya Abbas Acup sebagai penulis cerita, skenario yang ditulisnya sendiri cuma sanggup memberi perhatian pada tokoh Saija dan Hamid. Mondera, si anak muda yang nampaknya baru pertama kali terlibat percintaan, sesungguhnya juga tokoh yang amat menarik perkembangan jiwanya, apa lagi dengan latar belakang keluarga yang tradisionil dan kolot. Akan halnya dua tokoh utama, Abbas memang dengan cekatan mendalami jiwa Saija yang remaja dan Hamid yang beranjak tua. Sukses dengan usaha dan kerja keras nya, Hamid yang asing dari sopan santun dan tata kerama kota itu justru memiliki kepercayaan pada diri sendin dan ketekunan pada pekerjaannya.

Ia bekerja keras, dan keinginannya selalu tercapai. Ketika ia melihat Saija, kesepiannya sebagai bujangan kaya tiba-tiba mendesaknya untuk mendapatkan sang gadis. Tanpa basa-basi -- bahkan sebelum kenal baik - langsung saja ia melamar untuk akhirnya kawin. Sudah terang konflik terjadi dalam rumah tangga yang menyatukan dua makhluk dari kultur dan selera yang berbeda. Bagi Hamid yang penting hasilnya, tapi Saija memikirkan lebih dari sekedar keuntungan perusahaan, karena itu ruang kantor dan hiasan rumah ia benahi dengan selera gadis kota masa kini. Perempuan remaja ini berbicara tentang seni, dan suaminya menyewa band kampung untuk memainkan lagu-lagu pop yang membisingkan. Dan ensilclopedi yang tiba-tiba memenuhi rak buku kantor direksi perkebunan masuk akal kalau membingungkan Hamid, sebab sangkanya ia harus segera membaca semua itu. Jawaban verbal. Pengamatal1 dan penggambaran Abbas atas konflik kedua tokohnya ini memperlihatkan kebolehan sang sutradara. 
 
Sayangnya bahwa pertemuan kembali Saija dan Mondera cuma merusak suasana lantaran tokoh pemuda yang kurang utuh penggambarannya sehingga soal yang mereka percakapkan berputar di situ-situ saja, dan film terasa sedikit lamban.

Tapi pertemuan itu toh akhirnya memarahkan Hamid dan dengan tangannya ia mengajar isterinya yang tentu saja lari kembali pada Mondera. Tidak banyak dialog dipergunakan oleh Abbas di sini, karena itu intensitas konflik lebih terasa. Hamid yang ditinggal sendiri dan kesepian, tiba-tiba menyadari kesendiriannya. Untuk menggambarkan perubahan jiwa itu, Abl as cukup pandai menggunakan kucing kecil kesayangan Saija yang biasa nya dimusuhi Hamid. Membelai-belai anak kucing yang ditinggal pemiliknya, Hamid menerawang ketika Saija kemudian pelan-pelan kembali setelah kecewa oleh kebimbangan sikap Mondera. Purapura untuk mengambil kucingnya, tapi dengan lembut Hamid bertanya: "Untuk kucing ini sajakah kau kembali Saija?". Tidak ada jawaban verbal, tapi dengan langkah yang lamban dan bagai kan dihitung ia menuju ke kamarnya kembali. Dengan ini semua, Abbas ingin meyakinkan penontonnya tentang tiada nya hambatan umur maupun tata krama bagi dua hati yang ditakdirkan bersalu.

Kata anak muda yang suka kata-kata mutiara: Cinta itu buta. Tapi sutradara tidak cuma sibuk dengan psikologi dan sosiologi kedua tokoh utamanya, meskipun misalnya ia menggarap Hamid sampai pada aksen bahasa dan tingkah laku kampung sedetail-detailnya, hal yang biasanya ku rang diperhatikan sutradara-sutradara Indoncsia. Alam dan benda-benda mati juga dimanfaatkan dengan saksama oleh Abbas, sehingga filmnya tiba di hati tapi juga di mata penonton. Alam indah Sumatra Utara dengan danau Toba dan rumahBatakhadir seperlunya menyertai tokoh-tokoh ciptaan Abbas. Kalau saja skenario dikerjakan lebih baik, tentulah film yang dipotret dengan baik oleh Kasdullah ini akan mencapai mutu lebih dari yang sempat dihasilkan Abbas sekarang. Salim Said