“World Tour Revisited” mencatat perjalanan Charlie keliling dunia di tahun 1932. Pada perjalanan ini, Charlie ditemani saudaranya, Sydney Chaplin. Perjalanan Chaplin bersaudara di pulau Jawa berlangsung antara tanggal 30 Maret sampai 1 April 1932.
Ringkasnya, setiba dari Singapura tanggal 30 Maret, singgah sebentar di Batavia, siangnya lanjut ke Bandoeng menggunakan mobil, kemudian malamnya lanjut dan tiba di Garoet, sore tanggal 31 Maret menuju Djokja menggunakan kereta api, dan tanggal 1 April 1932 tiba di Soerabaja. Kemudian lanjut ke Bali menggunakan kapal laut.
Laporan Sumatra Post edisi 2 April 1932 yang dilansir Javapost.nl menyebutkan, sebelum datang ke Hindia Belanda, aktor yang dikenal peduli dengan masalah sosial dan ekonomi ini baru saja merilis film kritis berjudul 'City Lights' (1931). Kemudian, Chaplin memutuskan untuk meninggalkan Hollywood beberapa lama untuk melakukan perjalanan panjang keliling dunia agar bisa lebih memahami perkembangan dunia saat itu. Chaplin menyatakan bahwa selama berkeliling Hindia Belanda ia ingin mendapatkan pengalaman yang beragam, sehingga Chaplin akan melakukan perjalanan dengan mobil, kereta api dan pesawat terbang.
Batavia – Bandoeng – Garoet. 30 Maret.
Bersumber dari Kantor Berita Aneta, rencana kedatangan Charlie Chaplin dari Singapura ke Batavia sudah diberitakan sejak tanggal 29 Maret 1932 di beberapa suratkabar. Misalnya dalam De Sumatra Post, Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië, dan De Indische Courant. Bukan saja rencana kedatangan di Batavia, malah kemungkinan Charlie Chaplin akan melakukan perjalanan ke Garoet pun sudah muncul beritanya. Perjalanan Charlie Chaplin ini dikatakan diatur oleh Cook’s Reisbureau (biro perjalanan Cook’s).
Dengan menggunakan kapal Van Lansberge, rombongan Chaplin berlayar dari Singapura. Tiba di pelabuhan Tandjong Priok, Charlie menggambarkan suasana saat kedatangannya di Batavia itu: “Dari Singapura, kami melanjutkan perjalanan dengan kapal Van Lansberge ke Batavia, ibukota Java di Hindia Belanda. Setiba di sana kami disambut kerumunan orang di dermaga dan dikalungi karangan bunga selamat datang.”
Beberapa suratkabar tanggal 31 Maret menurunkan berita dengan headline: Charlie Chaplin Op Java. Enthousiaste Ontvangst (Charlie Chaplin di Jawa. Disambut dengan Antusias). Dalam De Indische Courant ditulis, saat Charlie Chaplin menerima karangan bunga itu (dari seorang produser film), anak-anak menatap penuh rasa penasaran pada kaki Charlie dari bawah meja.
Chaplin bersaudara tak lama berada di Batavia. Setelah acara minum teh bersama seorang kameramen Belanda, Henk Aalsem, di Hotel Java, Charlie dan Syd “diajak tur darat lintas Jawa ke Soerabaja” menggunakan mobil. Pemberhentian pertama nanti dalam perjalanan itu adalah Bandoeng. Namun, sebelum melanjutkan perjalanan ke Bandoeng, rombongan Chaplin ini katanya sempat keliling Batavia dulu, konvoi menggunakan kendaraan terbuka, dari Priok menuju Weltevreden.
Charlie dan Syd merencanakan perjalanan dengan kendaraan lintas Jawa menuju Soerabaja. Mereka mengejar kapal milik KPM atau Koninklijke Paketvaart-Maatschappij (maskapai perkapalan Belanda) di Soerabaja untuk melanjutkan perjalanan ke Bali.
Perjalanan lintas Jawa itu ditempuh dengan jarak 400 mil. Jauhnya jarak tempuh membuat mereka harus merencanakan tempat pemberhentian: Bandoeng, Garoet, dan Djokja. Dari penuturan Charlie, perjalanan dari Batavia menuju Bandoeng itu ditempuh dalam waktu 6 jam dengan mobil, melalui jalanan yang bagus.
Di Bandoeng, Chaplin bersaudara mengambil kamar di Hotel Preanger. Kata Charlie, saat itu hanya di hotel Preanger ini yang tersedia bak mandi dengan fasilitas air panas yang “bergaya Eropa”. Di hotel lain, katanya, kamar mandinya masih menggunakan gayung untuk mengambil air dari bak. Setelah istirahat dan makan malam, Chaplin bersaudara melanjutkan perjalanan ke Garoet.
Petualangan Malam di Garoet. 30 Maret.
Tanggal 30 Maret malam, Charlie tiba di Garoet dan menginap satu malam di sebuah hotel. Tak disebutkan nama hotelnya, tapi dari gambaran Syd mengatakan: “In the morning we found the hotel had a beautiful view over the mountains and valleys.” Katanya, saat pagi tiba baru tahu bahwa hotel yang ditempatinya itu punya view gunung-gunung dan lembah yang indah.
Hal yang berkesan bagi Chaplin saat bermalam di Garoet adalah adanya istilah “dutch wife”. Kata Charlie, “Di sinilah saya menemukan pengalaman pertama saya dengan “dutch wife” , yang kalau Anda tinggal di daerah tropis untuk waktu yang lama, maka Anda akan mengetahui bahwa Anda sangat memerlukannya.” Sementara Syd mengatakan : “We get a lot of amusement out of “Dutch wife” in bed.”
Kabarnya, dulu banyak pendatang dari Belanda yang tidak membawa serta istrinya ke Hindia Belanda. Sehingga ada yang mencari ganti orang lokal yang disebut “dutch wife”. Namun, kata Charlie, pada malam hari itu ada banyak yang menemani selain dari “dutch wife”, yakni serangga yang beterbangan sekitar kain kelambu, dengan suara-suara khas yang berseliweran. “My first night’s adventure gave me many comedy ideas for a picture.”
Menurut Charlie, “dutch wife” dan serangga malam di Garoet itu memberinya banyak inspirasi bagi film komedinya. Menjelang siang, Charlie dan Syd pelesiran ke Tjisoeroepan Hot Springs. Sore harinya Charles dan Syd melanjutkan perjalanan ke Djokja dengan kereta api.
Yang lucu, saat berangkat ke Djokja dari Tjibatoe, Chaplin bersaudara tidak mendapatkan tempat duduk di kabin penumpang. Sehingga sepanjang perjalanan, Chaplin bersaudara duduk di gerbong makan. Katanya, mereka terkena asap dan kotoran (jelaga) yang beterbangan dari mesin. Mereka kapok dan memutuskan untuk tidak menggunakan kereta api lagi. Karena itu, dari Djokja mereka tidak naik kereta api melainkan kembali menggunakan mobil menuju Soerabaja.
Dalam perjalan menuju Soerabaja ini, tampaknya Chaplin sempat mampir ke Candi Borobudur. Hal ini dapat dilihat dalam dokumentasi videonya saat berpose di kawasan Candi Borobudur. Saat Chaplin datang ke Surabaya, orang-orang mengira akan naik kereta api. Karena itu, banyak yang datang ke Stasiun Goebeng untuk melihat Chaplin. Namun, ternyata Chaplin sudah berada di Hotel Oranje dengan mobil dan beberapa saat kemudian baru menunjukkan dirinya kepada publik.
Chaplin Betah di Bali
Pewarta Deli tanggal 4 April memberitakan bahwa kedatangan Charlie Chaplin menuju Singaradja, menggunakan kapal mewah milik Koninklijke Paketvaart-Maatschappij (KPM). Kapal mewah tersebut semula berlayar dari Eropa, singgah ke Singapura, lalu singgah ke pelabuhan di Batavia, singgah Surabaya, hingga sampai di Pulau Dewata pada bulan April.
Dari Singaraja, Bali Utara, Chaplin naik motor ke Denpasar lalu check-in di Bali Hotel yang tergolong mentereng. Chaplin berkeliling ke pura sekitar dan sibuk memotret, mengabadikan eksotisme Bali serta tingkah laku penduduk. Chaplin dan Sidney juga merekam perjalanan mereka sampai ke Bali Hotel dan selama kunjungan di Bali dalam film hitam putih. Tak cuma itu, mereka bahkan sempat meminta seluruh penduduk di sebuah desa untuk menari.
Rupanya keindahan budaya dan alam Bali menawan hati Chaplin. Terbukti dia memperpanjang kunjungannya hingga sepekan. Hingga hari ulang tahunnya ke-43, Chaplin malahan masih asik menikmati libur di Bali.
Pewarta Deli, 8 April 1932 memberitakan karena merasa senang di Bali, Chaplin menunda perjalanannya kembali ke Surabaya--yang semula tanggal 10 menjadi tanggal 17 April kedepan. Chaplin tampak menikmati suguhan gemalan dan tarian Bali. Wujud kesenangan Chaplin adalah dengan mengadakan pemutaran film-filmnya di Denpasar untuk menghibur orang Bali.
Pementasan Seni Drama Tari (Sendratari) Ramayana pertama kali diadakan pada tanggal 26 Juli 1961.
Ide tersebut tercetus oleh Menteri Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi, dan Pariwisata (PDPTP), Mayor Jenderal Gusti Pangeran Haryo Jatikusumo (sebelum EYD: Goesti Pangeran Harjo Djatikoesoemo) dengan tujuan meningkatkan pariwisata Indonesia di mata dunia.
Sebelumnya pada tahun 1960, Jatikusumo menyaksikan pertunjukan Royal Ballet of Cambodia yang dipentaskan di depan Angkor Wat.
Seusai melihat pertunjukan tersebut akhirnya ia terinspirasi untuk mementaskan pertunjukan dramatari di pelataran Candi Prambanan.
Sebelum penampilan perdana, gladi resik dipentaskan selama 3 malam berturut-turut pada tanggal 23 sampai 25 Juli 1961 dan penduduk Prambanan dan sekitarnya diperkenankan menonton secara cuma-cuma.
Sendratari Ramayana Prambanan bersifat kolosal yang melibatkan banyak penari, produksi pementasan awal pada tahun 1961 sendiri melibatkan 865 orang, termasuk anggota panitia, keamanan dan petugas kesehatan.
Penari utama berjumlah 55 orang, dengan tiap tokohnya diperankan 3 sampai 4 orang agar satu penari tidak perlu menari berturut-turut tiap malamnya.
Penari tarian massal berjumlah 400 orang, penabuh gamelan pelok 33 orang, penabuh gamelan slendro 33 orang, penggerong 60 orang, perias 27 orang, perancang kostum 11 orang, dan pelayanan dan sesaji 7 orang.
Musik pengiring tariannya digubah oleh maestro karawitan saat itu, Ki Cokrowasito, yang meleburkan gending Yogyakarta dan Surakarta/Solo.
Karcis masuk terjual habis pada pementasan perdana di teater yang berkapasitas 2.000-3.000 penonton.
Pementasan perdana dilakukan yang dilangsungkan pada 26 Juli 1961 akhirnya diresmikan oleh Jatikusumo selaku pencetus ide pementasan tari tersebut.
Pementasan dibuka dengan pidato pengantar dari Prof. Dr. Suharso, yang menjabat sebagai panitia penyelenggara dan sutradara.
Tamu undangan yang hadir dalam peresmian antara lain; Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Gubernur Jawa Tengah Mochtar, Kepala Polisi Jawa Tengah Dr. Sukahar, dan Pembantu Menteri PDPTP Mayor Petut Suharto.
Pementasan berikutnya yang dianggap penting digelar pada 25 Agustus 1961.
Presiden Sukarno turut hadir ditemani 5 orang menteri Kabinet RI, 16 duta besar negara sahabat.
Kala itu sebelum pementasan, orang nomor satu di Indonesia tersebut sedang meninjau rencana pembangunan Hotel Ambarukmo di pusat kota Yogyakarta.
Sejumlah tamu undangan kelas VIP lainnya yang berjumlah sekitar 50 orang turut hadir, di antaranya aktor Hollywood kenamaan, Charlie Chaplin, dan ahli teater asal Australia, Peter Scriven.
Pada pementasan ini Presiden Soekarno juga menulis pesan dalam prasasti yang berbunyi: ''Balet Ramayana Prambanan adalah satu percobaan (good effort) untuk membawa seni pentas Indonesia ke taraf yang lebih tinggi.''
Sineas sekaligus aktor ternama, Charlie Chaplin, beserta istrinya
ditemani dua bintang film Indonesia, Farida Arriany (kedua dari kiri)
dan Alwi Oslan (belakang) di Bandar Udara (Bandara) Kemayoran, Jakarta,
pada Agustus 1961.
Sosok Charlie Chaplin menjadi sorotan seusai pementasan tari.
Chaplin yang saat itu berusia 72 tahun tidak menonton sendirian karena ditemani istrinya dan dua anaknya, Geraldine dan Michael.
Ini merupakan ketiga kalinya Chaplin mengunjungi Indonesia.
Sebelumnya aktor film bisu itu pernah berkunjung ke Garut dan Bali pada 1927 dan 1932.
Seusai pentas, Chaplin memberikan testimonialnya di mana ia mengaku dibuat terkesima dengan para penari dan pengiring lagunya.
''Bila dunia tahu akan Festival Ramayana ini, para pengunjung tentu akan datang berbondong-bondong ke Indonesia. Akan saya ceritakan kepada dunia, bahwa di Jawa Tengah terdapat kesenian yang mengagumkan yang membuat saya amat terkesan,'' kata Chaplin. "Dan saya berpikir akan bakal ada banyak kebahagiaan di dunia bila kita melihat tarian seindah itu, karena itu akan melupakan kita pada apa yang ada di dunia mulai dari kontroversi, konflik, kemiskinan dan kesedihan."
Retno Maruti, pemeran Kijang Kencana, mendapatkan perhatian lebih dari Chaplin.
Sanjungan diberikan Chaplin pada remaja asal kota Solo tersebut karena tariannya yang begitu lincah dan anggun.
"Tarian Kijang Kencana misalnya tak ada bandingannya. Saya tak butuh penjelasan tentang tari itu. Saya benci penjelasan, saya bisa menangkap segalanya. Saya benar-benar tergerak oleh keindahan. Mati pada saat itu tak berarti apa-apa bagi saya, kecuali kebahagiaan," kata Chaplin harian Indonesian Observer.
''Dia (Retno Maruti) dilahirkan untuk menari. Anak perempuan saya belajar balet delapan tahun, tetapi saya sangsi apakah ia bisa menari seindah dia,'' puji Chaplin dikutip GNFI dari Star Weekly.
Pementasan perdana ini masih menggunakan istilah Ramayana Ballet, tetapi tokoh seniman Andjar Asmara yang turut hadir pada pementasan ini mengubah istilah Ballet Ramayana dengan Sendratari Ramayana.
Pada tahun-tahun berikutnya, digunakan Sendratari Ramayana sebagai nama resmi, selain itu tahun pementasan perdana ini, dianggap tahun kelahiran sendratari di Indonesia.
"Melihat pertunjukan perdana Sendratari Ramayana berarti menyaksikan kelahiran suatu babak baru dalam sejarah senitari kita, yang merupakan impian dari segala keindahan, demikianlah kesan dari pertunjukan ini akan berbekas dalam kenanganku untuk selama-lamanya sebagai sesuatu yang indah dan menakjubkan salah satu puncak kebahagiaan dalam hidupnya tiap tiap pecinta seni,'' kata Andjar Asmara dikutip dari Sendratari Ramayana Prambanan: Seni dan Sejarahnya karya Moehkardi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar