Film porno pun tak mampu selamatkan bioskop di Medan
Mati tak mau, hiduppun susah, itulah kisah bioskop untuk melawan jaringan 21. Mereka tidak ada film, karena importir film di kuasai jaringan 21, kalau mau film baru, harus ikut 21. Bioskop pun harus sama, standart mereka, mirip kalau mau buka cabang KFC. Mau tidak mau, putar film semi yang di dapat dari black market. Film ini tidak masuk BSF, namanya juga black market. Lalu putar lah film itu.
Sebahagian orang ini adalah nostalgia mereka, sering poster yang terlalu seksi atau pakaian tanpa BH suka di tutupi dengan lakban hitam, karena poster itu berada di daerah umum, tapi pas di dalam bioskop, wawo...dan ini bertebaran di seluruh wilayah, termasuk di Medan juga.
Bioskop sudah dikenal di Medan sejak awal abad 20 dan sempat jaya hingga akhir 1980-an. Namun puluhan usaha hiburan ini tetap bangkrut meski sempat mencoba menarik penonton dengan memutar film porno.
Keberadaan bioskop di Medan bermula dari berdirinya De Oranje Bioscoop di seberang Grand Hotel Medan (sekarang kantor Wilayah Bank Mandiri) pada awal abad 20. Bangunannya kemudian dipindah ke ujung timur Titi Gantung pada 1908 (kemudian menjadi Gedung Kesenian, Restoran April Mop, sebelum menjadi Bioskop Bali).
Selanjutnya, bioskop baru pun bermunculan di Kota Medan, seperti Imperial Theater, Capitol, Cong Kun Tat, Rex, Deli, Cathay, Astoria, Royal, dan lainnya. Mereka umumnya memutar film produksi Hollywood. Penontonnya pun orang-orang berduit pada masa itu, terutama bangsa Eropa.
Setelah masa kemerdekaan, bioskop-bioskop itu berubah nama. Misalnya, Rex berubah menjadi Ria dan Astoria berganti nama menjadi Astana Ria.
Pada perkembangannya, bioskop semakin memasyarakat. Para preman pun berkumpul dan mencari makan di sana. "Kami menjual tiket catutan dan menyelundupkan orang masuk ke bioskop," kata Anwar Congo, seorang preman di masa 1960-an.
Berjayanya film-film Bollywood dan film Indonesia akhir 1960-an dan awal 1970-an membuat bioskop semakin menjamur. Banyak panggung hiburan rakyat (PHR) didirikan hingga ke daerah pinggiran. Harga tiket masuknya pun lebih murah.
Di era 1970 hingga awal 1990-an, bioskop berjaya. Mereka memutar film Indonesia, Hollywood, Bollywood, maupun Mandarin.
Pada akhir 1980-an hingga akhir1990-an, bioskop-bioskop di Medan mulai ditinggalkan penonton. Era ini mulai disesaki televisi swasta dan grup besar yang memonopoli perfilman. Penggunaan VCR (video cassette recorder) pun semakin awam, kemudian diikuti dengan keberadaan laser disc dan VCD. Sementara itu film Indonesia semakin terpuruk, dan cenderung menampilkan erotisme.
Bioskop semakin kesulitan. Di Medan, para pengusaha mengakali situasi ini dengan memutar film-film panas, bahkan porno. Ketika itu, sebagian besar bioskop memutar film porno. Namun, tetap ada yang memutar film lulus sensor.
Modusnya beragam, ada yang terang-terangan menampilkan poster bergambar seronok guna memancing penonton. Bahkan untuk membuat penasaran calon penonton, mereka sengaja menyensor bagian tertentu pada poster film.
"Poster ini sering menipu. Terkadang film yang diputar bukan seperti yang tergambar di poster, tapi lebih mirip film lepas di TVRI. Jika ini terjadi, penonton biasanya berteriak minta uang kembali dan bikin rusuh. Terkadang filmnya diganti sama yang benar-benar hot, tapi lebih sering tidak diganti," kata Soni (42), warga Medan.
"Sebaliknya, meski posternya nggak hot, tapi filmnya bisa saja ada isinya. Biar nggak rugi, biasanya kukenali dulu pegawainya. Waktu mau beli karcis aku tanya, 'ada isinya ini?' Kalau katanya ada, aku beli, kalau nggak ya nggak jadi," lanjutnya.
Pemutaran film porno ini tidak dapat dimungkiri. Pada 10 April 1997, polisi menangkap seorang direktur dan 3 staf kantor importir film karena terbukti memutar film porno di sebuah bioskop di Medan. Dari ke 4 tersangka disita 4 rol film porno, salah satunya berjudul Stay in Bed.
Namun, film porno tidak serta-merta menyelamatkan bioskop di Medan. Sebagian besar tak sanggup melawan kemajuan zaman dan kapitalisme. Mereka bangkrut.
Tak satu pun bioskop bersejarah di Medan masih beroperasi. Hampir semua sudah dihancurkan dan dijadikan ruko atau pusat perbelanjaan, kecuali gedung Rex Bioscoop yang kini menjadi Restoran Ria di Jalan MT Haryono, Medan.
Kini, hanya ada lima bioskop sineplex di Medan. Semuanya di plaza atau mal.. Episode demi episode dibuat, laba memang tak harus ditolak. Putu Setia, Tri Budianto S. (Jakarta)
Keberadaan bioskop di Medan bermula dari berdirinya De Oranje Bioscoop di seberang Grand Hotel Medan (sekarang kantor Wilayah Bank Mandiri) pada awal abad 20. Bangunannya kemudian dipindah ke ujung timur Titi Gantung pada 1908 (kemudian menjadi Gedung Kesenian, Restoran April Mop, sebelum menjadi Bioskop Bali).
Selanjutnya, bioskop baru pun bermunculan di Kota Medan, seperti Imperial Theater, Capitol, Cong Kun Tat, Rex, Deli, Cathay, Astoria, Royal, dan lainnya. Mereka umumnya memutar film produksi Hollywood. Penontonnya pun orang-orang berduit pada masa itu, terutama bangsa Eropa.
Setelah masa kemerdekaan, bioskop-bioskop itu berubah nama. Misalnya, Rex berubah menjadi Ria dan Astoria berganti nama menjadi Astana Ria.
Pada perkembangannya, bioskop semakin memasyarakat. Para preman pun berkumpul dan mencari makan di sana. "Kami menjual tiket catutan dan menyelundupkan orang masuk ke bioskop," kata Anwar Congo, seorang preman di masa 1960-an.
Berjayanya film-film Bollywood dan film Indonesia akhir 1960-an dan awal 1970-an membuat bioskop semakin menjamur. Banyak panggung hiburan rakyat (PHR) didirikan hingga ke daerah pinggiran. Harga tiket masuknya pun lebih murah.
Di era 1970 hingga awal 1990-an, bioskop berjaya. Mereka memutar film Indonesia, Hollywood, Bollywood, maupun Mandarin.
Pada akhir 1980-an hingga akhir1990-an, bioskop-bioskop di Medan mulai ditinggalkan penonton. Era ini mulai disesaki televisi swasta dan grup besar yang memonopoli perfilman. Penggunaan VCR (video cassette recorder) pun semakin awam, kemudian diikuti dengan keberadaan laser disc dan VCD. Sementara itu film Indonesia semakin terpuruk, dan cenderung menampilkan erotisme.
Bioskop semakin kesulitan. Di Medan, para pengusaha mengakali situasi ini dengan memutar film-film panas, bahkan porno. Ketika itu, sebagian besar bioskop memutar film porno. Namun, tetap ada yang memutar film lulus sensor.
Modusnya beragam, ada yang terang-terangan menampilkan poster bergambar seronok guna memancing penonton. Bahkan untuk membuat penasaran calon penonton, mereka sengaja menyensor bagian tertentu pada poster film.
"Poster ini sering menipu. Terkadang film yang diputar bukan seperti yang tergambar di poster, tapi lebih mirip film lepas di TVRI. Jika ini terjadi, penonton biasanya berteriak minta uang kembali dan bikin rusuh. Terkadang filmnya diganti sama yang benar-benar hot, tapi lebih sering tidak diganti," kata Soni (42), warga Medan.
"Sebaliknya, meski posternya nggak hot, tapi filmnya bisa saja ada isinya. Biar nggak rugi, biasanya kukenali dulu pegawainya. Waktu mau beli karcis aku tanya, 'ada isinya ini?' Kalau katanya ada, aku beli, kalau nggak ya nggak jadi," lanjutnya.
Pemutaran film porno ini tidak dapat dimungkiri. Pada 10 April 1997, polisi menangkap seorang direktur dan 3 staf kantor importir film karena terbukti memutar film porno di sebuah bioskop di Medan. Dari ke 4 tersangka disita 4 rol film porno, salah satunya berjudul Stay in Bed.
Namun, film porno tidak serta-merta menyelamatkan bioskop di Medan. Sebagian besar tak sanggup melawan kemajuan zaman dan kapitalisme. Mereka bangkrut.
Tak satu pun bioskop bersejarah di Medan masih beroperasi. Hampir semua sudah dihancurkan dan dijadikan ruko atau pusat perbelanjaan, kecuali gedung Rex Bioscoop yang kini menjadi Restoran Ria di Jalan MT Haryono, Medan.
Kini, hanya ada lima bioskop sineplex di Medan. Semuanya di plaza atau mal.. Episode demi episode dibuat, laba memang tak harus ditolak. Putu Setia, Tri Budianto S. (Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar