Minggu, 06 Februari 2011

TUTUR TINULAR / PEDANG NAGA PUSPA / 1989

TUTUR TINULAR
(Pedang Naga Puspa)


Diangkat dari Cerita S Tidjab, drama radio seri yang cukup terkenal ke seluruh Indonesia. Ceritanya sangat bagus sekali sehingga kita terpacu untuk menyaksikan episode selanjutnya. Saat saya kuliah di IKJ, ada anaknya S Tidjab yang kuliah satu kelas sama saya, lalu kita kerumah dia dan terkagum melihat pak S Tidjab. Mulai banyak tanya saat itu, karena saya adalah korban dari serial radio tersebut. Cerita-cerita dulu banyak diambil beberapa dari komik, dan beberapa diadaptasi dengan realita yang ada seperti sejarah sebuah kerajaan dan beberapa benda sejarah lainnya termasuk candi dan gunung-gunung yang dianggap mistik.Dari dulu memang kita tidak pernah tahu seperti apa pertempuran yang terjadi di pulau Jawa ini. Apakah selayaknya peperangan antar kerajaan terjadi seperti yang dibuat oleh film-film Hollywood tentang Eropha, dan Timur tengah? Kita tidak tahu, mungkin saja. Tetapi yang lebih menariknya karena Jawa ini mistis, jadi banyak hal yang bisa terjadi diluar akal manusia. Beberapa banyak yang menjadi orang sakti. Tetapi awalnya orang sakti itu berasal dari budaya Hindu, yang direalistiskan pada Wayang yang seolah-olah sakti. Ini adalah propaganda raja untuk meyakinkan pada rakyatnya bahwa raja mereka sakti seperti yang ada pada cerita wayang tersebut agar mereka tidak melawan atau patuh melakukan apa saja demi raja.
Tetapi melihat sejumlah mistik di jawa, seperti yang terjadi saat ini saja, banyaknya tempat mistik didatangi guna mencari ilmu yang diluar manusia normal bisa melakukannya, ini terjebak pada percaya apa tidak. Tetapi banyak hal yang bohong, tetapi hanya sedikit saja kebenarannya. Tetapi sejumlah wilayah di jawa, bila geografisnya aneh, sering dikaitkan dengan cerita-cerita legenda yang luar biasa atas terjadinya tempat itu. Ini memungkinkan orang tidak bisa melakukan hal yang aneh pada tempat itu. Biasanya cerita legenda dibuat untuk menghubungkan terjadinya sesuatu itu lalu dikaikan dengan maksud agar tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran serupa. Cerita dibuat semenakut mungkin agar hal tersebut tidak terjadi (pantangan).

Cerita dalam radio ini sungguh sakti sekali orang-orang jaman dahulu, tetapi bukan hal ini yang menarik di balik radio tersebut. Tetapi bagaimana kita bisa dibuat penasaran agar mengikuti kelanjutannya. Kata Pak Tijab, drama radio yang dimainkan adalah imajinasi penonton. Maka hal ini sangat penting untuk terus memberikan informasi penting dan memuat imajinasi penonton. Jangan pernah memberikan hal yang nyata, biarkan imajinasi pendengar yang main. Kalau sudah ini terbentuk...maka imajinasi penonton seperti apa settingnya, pemerannya, wujudnya, pertempuran tersebut harus berdasarkan imajinasi pendengar masing-masing yang tentu berbeda-beda. Ini seperti tehnik pen-dongeng, jangan pernah memberikan hal yang nyata, jangan pernah mengkebiri imajinasi pendengar.

Tetapi ketika dilayar lebarkan, imajinasi itu bubar...banyak penonton yang kecewa, tetapi untunglah settingan film ini kolosal sehingga tidak kecewa banget. Ini yang sulit, ketika imajinasi pendengar di mainkan, lalu di nyatakan dalam layar lebar,....pasti banyak yang kecewa. Ini sama seperti halnya dengan sastra/novel. Karena film adalah nyata, bahkan kita bisa melihat ke hal yang tidak dibayangkan oleh kita. Sebenarnya dengan tehnik film/sebagai bahasa gambar, sangat memungkinkan untuk memainkan imajinasi penonton sama halnya dengan drama radio atau novel, hanya saja kadang pembuat film merasa seorang tuhan yang ingin memberikan hal yang nyata kepada penontonnya. Banyak filmmaker yang terjebak pada lebih penting memvisualisasikan hal imajinasi itu dari pada membuat sesuatu yang bisa memainkan juga imajinasi penonton. Perbedaannya adalah ketika mereka membuat film yang bukan dari novel atau drama radio, mereka bisa memainkan imajinasi penonton (karena penonton tidak mengetahui sebelumnya tentang itu), tetapi ketika mengadaptasi dari novel atau dramaradio yang sudah terbentuk imajinasi itu malah di nyatakan. Tetapi penonton juga menonton film ingin melihat nyatanya imajinasi mereka di layar lebar tersebut yang sebelumnya sudah terbentuk dalam imajinasi mereka atas radio tersebut.

Film ini dibuat mengikuti suksesnya Saur Sepuh, yang juga berasal dari drama radio, sangkin suksesnya Saur Sepuh (bukan karena imajinasi penonton seperti di radio) tetapi lebih pada settingan dan kolosalnya. Maka dibuat beberapa serinya.

News

S. Tidjab dikenal sebagai penulis skenario sandiwara radio yang handal. Selain serial sandiwara radio Saur Sepuh yang ditulis oleh Niki Kosasih, Tutur Tinular, Kaca Benggala dan Mahkota Mayangkara karangan Tidjab telah merajalela di ruang dengar penikmat radio di era tahun 1980 hingga 1990-an. Kala itu, sandiwara radio karyanya disiarkan di lebih dari 400 radio di seluruh tanah air.

Tokoh rekaannya, seperti Arya Kamandanu, Arya Dwipangga, dan Mei Sin, pun berkelindan masuk ke dalam ingatan anak-anak muda pada saat itu. Karyanya kemudian diubah juga ke layar lebar maupun layar kaca.

Namun, era sandiwara radio redup dan tergantikan dengan suguhan layar kaca yang bisa memanjakan telinga dan mata sekaligus. Orang pun tak bisa mendengar lagi sepak terjang Arya Kamandanu, rintihan kesedihan Mei Sin dan lantunan puisi rayuan Arya Dwipangga serta ampuhnya kilatan pedang Naga Puspa.

Pria kelahiran Solo, 1946 itu kemudian berusaha mengobati kerinduan akan hiburan yang memanjakan indra pendengar dengan mengudarakan kembali sebuah serial sandiwara radio pada 2007. Karyanya yang mengambil judul puitis Pelangi di Atas Gelagahwangi disiarkan serentak oleh lebih dari 100 radio di seluruh tanah air.

Ia masih konsisten dengan roman berlatar belakang sejarah. Kali ini, Tidjab mencipta karya berdasarkan pada Babad Tanah Jawi yang bercerita tentang munculnya Kerajaan Islam pertama kali di tanah Jawa: Demak Bintoro. Pelangi menerangi Gelagah Wangi, asal muasal Demak, yang tumbuh menjelang runtuhnya Kerajaan Hindu Syiwa terbesar di Nusantara: Majapahit.

Tidjab kemudian mencoba peruntungan dengan media bertutur yang lain. Skenario Pelangi di Atas Gelagahwangi : Drama Cinta di Senja Kala Majapahit itu didandani menjadi sebuah novel dengan judul yang sama. Novel tersebut diterbitkan kemudian oleh Penerbit Qanita baru-baru ini.

Tidjab kini sebagai dalang bagi tokoh sentral fiktifnya, seperti Mpu Janardana, Woro Kembangsore, Endang Kusumadewi, Endang Puspitasari, dan Resi Wiyasa, dipadu dengan tokoh yang ada dalam fakta sejarah, seperti Raden Patah sang pendiri Demak.

Kisah novel ini diawali dari kehidupan di dua padepokan yang mengajarkan ilmu agama dan kanuragan, Antahpura dan Indrakila. Kedua padepokan tersebut dipimpin oleh dua saudara seperguruan, Mpu Janardana dan Resi Wiyasa. Kunjungan Mpu Janardana bersama adik angkatnya, Woro Kembangsore, ke padepokan kakak seperguruannya itu mengawali kisah cinta segi empat yang mengharubiru hingga halaman terakhir buku tersebut.

Mpu Janardana, yang masih lajang meski sudah berumur, dicintai oleh adik angkatnya sendiri, Woro Kembangsore. Anak bungsu sang resi, Endang Kusumadewi, juga jatuh hati ke perjaka tua nan tampan itu. Hal ini kemudian membawa konflik cinta tak berbalas, karena Janardana lebih memilih kakak Kusumadewi, Endang Puspitasari, yang tiba-tiba berubah cantik jelita setelah menguasai ilmu Rikma Sidi atau ilmu Rembulan Dingin. Ilmu yang meningkatkan keindahan seorang perempuan pada puncaknya sekaligus membawa pemiliknya pada kematangan ilmu kanuragan.

Setelah pernikahan Mpu Janardana dengan Endang Puspitasari, maka dua gadis yang sama-sama jatuh cinta pada Mpu Janardana memutuskan meninggalkan masing-masing padepokannya untuk mengembara menghilangkan kepedihan hati. Dalam pengembaraanya, Kembangsore dan Kusumadewi berlabuh di tempat yang sama, Kotaraja Majapahit.

Woro Kembangsore bertemu dengan Raden Bondan Kajawen, putra Maharaja Majapahit. Ia kemudian menjadi dayang istana. Lalu, Endang Kusumadewi bertemu dengan Adipati Pecattnanda yang kemudian menjadikanya sebagai pengawal pribadi.

Sementara itu, Mpu Janardana melakukan perjalanan untuk mengobati rasa bersalahnya dengan mencari adik iparnya, Endang Kusumadewi. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Raden Patah. Pertemuan itu membawa perubahan dalam hidupnya. Ia kemudian berpindah keyakinan menjadi penganut agama Islam dan menjadi santri di Gelagahwangi. Endang Puspitasari, yang menyusulnya kemudianm juga mengikuti keyakinan baru suaminya.

Berkembang-pesatnya Gelagahwangi sebagai pusat pengembangan Islam di tengah tlatah Majapahit yang menganut kepercayaan Hindu kemudian menimbulkan gesekan yang berujung perang. Janardana, yang sudah berganti nama menjadi Abdul Rochim, dan istrinya berdiri di pihak Gelagahwangi. Adapun Endang Kusumadewi dan Kembangsore membela panji Wilwatikta.

Kilatan pedang dan keris serta adu ajian sakti mandraguna menjadi bumbu yang mewarnai kelanjutan cerita novel ini. Majapahit yang sudah uzur kemudian tak kuasa menantang perubahan yang dibawa dari Gelagahwangi. "Sirna Ilang Kertaning Bumi" yang berkali-kali disebut Maharaja Majapahit Prabu Brawijaya dalam pelarianya sambil memandangi istananya yang terbakar menjadi penanda berakhirnya sebuah kekuasaan besar di Nusantara. Segala yang ada memang mesti berakhir, tumbuh dan berkembang mengikuti hukum alam dan berputar seperti layaknya Cakra Manggilingan.

Tidjab cukup berhasil menyajikan cerita silat yang seru. Ia pun pandai mengaduk emosi dengan menyajikan kisah pengorbanan dan cinta segiempat Janardana, Kembangsore, Kusumadewi dan Puspitasari. Ia juga mencoba menyampaikan pesan moral melalui kearifan Prabu Brawijaya dan kebijaksanaan Resi Wiyasa yang memuja pluralisme dan kebebasan beragama.

Secara keseluruhan novel setebal 704 halaman tersebut disajikan dengan cukup runut dengan dialog yang cukup detail. Konflik yang tajam tidak membuat cerita menjadi sulit dipahami. Sayang, Tidjab kurang sempurna mengkonversikan rangsangan audio yang menimbulkan imajinasi hebat dalam sandiwara radio itu ke dalam bahasa tulis.

Rintihan hati Kembangsore ataupun Kusumadewi yang merana karena cinta tak sepenuhnya mengena. Riuh rendah pertarungan, deru ajian sakti Pangracut Sukma yang beradu dengan ajian Rembulan Dingin atau pun derap kuda yang melaju kencang tak hadir utuh.

Tidjab dalam kata pengatar yang ditulisnya memang telah sadar bahwa sandiwara radio dan novel adalah dua media yang sangat berbeda karakter. Radio mengandalkan rangsangan auditif yang menjadi keahliannya, sementara novel amat bergantung terhadap gaya bertutur tulisan. Memahami isi cerita sandiwara radio tak perlu keahlian membaca, sedangkan imajinasi yang dihasilkan dari membaca kurang bisa didekati oleh karakter sandiwara radio.

Namun, Tidjab masih memiliki segudang naskah sandiwara radio fenomenal yang menunggu digubah menjadi novel yang gurih dibaca. Mahkota Mayangkara, Tutur Tinular, dan Kaca Benggala menunggu mantra ampuhnya. Dan, setidaknya pintu bangkitnya cerita silat asli Indonesia telah terbuka lebar.



Kaset drama radio kisah lain dari S.Tijab


GUNANTO E S
FILM Arya Dwipangga (Baron Hermanto) senang olah sastra, adiknya Arya Kamandanu (Benny G. Rahardja) senang bersilat. Pacar Kamandanu direbut oleh Dwipangga. Ia lari dan diperangkap masuk gua ahli senjata Empu Ranubaya dan dijadikan murid. Ranubaya adalah kawan seperguruan Empu Hanggareksa, ayah Kamandanu. Tetapi dua empu ini bertolak belakang dalam sikap. Hanggareksa mengabdi raja Singasari, Kartanegara (Aspar Paturusi), Ranubaya tidak mau. Kertanegara kedatangan utusan Kubilai Khan dari Mongolia yang ingin menjalin hubungan damai. Tawaran itu ditampik. Utusan Mongolia kecewa dan pulang sambil menculik Empu Ranubaya (Yoseph Hungan). Di Mongolia Empu Ranubaya sangat diperhatikan Kubilai Khan (Syarief Friant), dan disuruh membuat cemburu perwira tinggi lain. Mereka merencanakan melenyapkan Empu Ranubaya. Untung ada kelompok lain yang menyelamatkan Empu Ranubaya dan pedangnya, yaitu Lou (Lamting) dan istrinya Mei Shin (Elly Ermawati), yang kemudian disuruh membawa pedang itu dan terdampar di Jawa. Pedang lalu diperebutkan para pendekar kerajaan Kediri yang baru saja dibangun menggantikan Singasari. Lou dan Mei Shin dibantu oleh Kamandanu. Lou meninggal. Mei Shin berniat balas dendam.

Ada yang menarik dari film ini yang dibuat tahun 1989, sedangkan Saur Sepuh 1 dibuat tahun 1988, dan ketika tahun 1989 Saur Sepuh sudah selesai seri yang ke 3-nya. Jadi Tutur dan Saur Sepuh 3 bersamaan produksinya. Sudah pasti Tutur mengekor kesuksesan Saur Sepuh. Bahkan Tutur berani menciptakan adegan yang jauh lebih hebat dari Saur Sepuh, dan juga kehebatan para ilmu silat dalam tokoh mereka.

Film ini juga berseri sama seperti Saur Sepuh yang sampai 5 film, Dan Film pertamanya dibuat oleh Nurhadie Irawan 1989, Tutur Tinular 2 (NAGA PUSPA KRESNA) sutradara ABDUL KADIR 1991, Tutur Tinular 3 (PENDEKAR SYAIR BERDARAH ) Sutradara SOFYAN SHARNA 1992, Tutur Tinular 4 ( MENDUNG BERGULUNG DI ATAS MAJAPAHIT ) Sutradara JOPI BURNAMA 1992.

News
06 Oktober 1990
Tak kalah dengan silat hong kong

FILM silat Indonesia, ~ternyata, tak cuma laris di daerah-daerah, tetapi juga diam-diam dikagumi oleh pedagang film dari luar negeri. Film yang penuh gedebak-gedebuk ini konon secara teknik tak kalah dengan film-film silat buatan Hong Kong. Dan kelebihannya, cerita yang melatarbelakangi silat itu adalah sejarah atau lebih tepatnya mengenai legenda. Tak mengherankan kalau film Saur Sepuh sampai saat ini sudah dibuat dalam empat edisi dan mungkin masih ditambah beberapa judul lagi. Dari produser ~yan~g sama, Kanta Indah Film, muncul serial baru, Tutur Tinular, yang kini sudah mengambil ancang-ancang untuk episode kedua. Rapi Film, yang dahulu memproduksi film silat serial Si Buta dari Gua Hantu kini memproduksi serial yang lain, Pedang Nagapasa.

Akan halnya Si Buta untuk episode keenam ini pindah produser. Puluhan film silat sudah lahir dan beredar di bioskop-bioskop daerah, termasuk di layar tancep. Bahkan raja dangdut Rhoma Irama yang selama ini punya merek dagang "film dakwah", ikut-ikutan bersilat dalam serial Jaka Swara, dan edisi pertamanya segera beredar. Adanya seri-seri itu membuktikan bagaimana film jenis ini mendapat sambutan & daerah "pinggiran". Yang menarik, itu tadi, ternyata beberapa film silat pribumi ini mampu menembus pasar luar negeri. Walau belum jelas berapa judul yang sebenarnya sudah laku, yang bisa diekspor agaknya yang digarap dengan kolosal. Seperti yang dikatakan produser Rapi Film, Gope T. Samtani, film silat yang bisa dijual ke luar negeri itu yang betul-betul digarap cermat dan melibatkan ribuan pemain. Biayanya juga besar. Gope mengambil contoh film Pedang Nagapasa yang pekan lalu mulai beredar serentak di beberapa kota. "~Ongkos produksi di luar mencetak ~copy lebih dari Rp 700 juta," katanya. Film yang penuh adegan perkelahian di udara ini ditawarkan untuk peredaran di Eropa dan Amerika. Gope mengaku tak punya kesulitan karena hubungan dagang dengan mitra usahanya sudah terjalin. Yang jadi persoalan adalah dubbing karena memerlukan waktu yang tidak singkat. "Semua film itu harus didubbing ke dalam bahasa Inggris sebelum ditawarkan," katanya.

Menurut Gope, daya tarik film silat Indonesia adalah teknik tipuannya (~trick) yang tak kalah dan bahkan kini melebihi film silat Hong Kong yang beredar di sini. Padalhal, kata Gope, tipuan-tipuan itu sudah bisa dibuat oleh orang-orang Indonesia sendiri. "Animasi film Pedang Nagapas~a menghabiskan lebih dari Rp 70 juta," ujar Gope. Anid yang dimaksud misalnya membuat bagian-bagian tubuh lepas, cahaya gaib, adegan terbang. Pedang Nagapasa yang disutradarai Slamet Riyadi dengan bintang antara lain W.D. Mochtar, Afrizal Anoda, Aneke Putri, Advent Bangun ini juga menonjol dalam hal musik yang dikerjakan Embi C. Noer. Para musisi ternama memang kin~i tak "malu-malu" lagi menggarap ilustrasi musik film silat. Dulu, keengganan itu ada karena cerita film-film silat hanyalah gedebak-gedebuk sambil pamer darah. Selain Embi, musisi dari Bandung, Harry Roesli, pun mulai tertarik mengisi musik film silat. Garapan terakhirnya adalab film Le~mbah~ Maut yang merupakan episode keenam dari Si Buta dari Gu~a Hantu.

"Banyak tantangannya, jadi saya tertarik," kata Harry Roesli. Namun, Ratno Ti~moer, produser dan sutradara yang tetap memerankan Si~ Buta, tak bernafsu menjajaki penjualan filmnya ini ke luar negeri. "Sasaran saya di dalam negeri saja. Permintaan masyarakat cukup besar, karena itu Si Buta diproduksi terus," katanya. Ia menyebutkan, filmnya kali ini lebih "manusia~wi" karena adegan perkelahian diku~rang~i porsinya. Itu berarti biaya animasi dan menciptal~an tr~ick bisa dihemat. Ratno menga~u, Si Buta episode keenam ini hanya menelan biaya Rp 200 juta. Tapi itu belum termasuk untuk men~etak 40 copy. Jika teknik dan trick-trick film silat Indonesia mulai membaik, gaya bertuturnya tetap ma~sih kedodoran. Apalagi kalau cerita itu dicantelkan pada "sejarah", misalnya, yang berlatar belakang Kerajaan Majapabit. Terasa sekali, kelemahan skenarionya terletak pada kurangnya riset kepustakaan. Putu Setia dan Moebanoe Moera

Tidak ada komentar:

Posting Komentar